Vania menemukan hari dimana ia hanya bisa mengetuk mimpi dari pintu yang jauh. Vania tak menyesal tentang apa yang baru saja ia dapatkan. Tempat baru, kisah baru, dan rasa yang baru tentang kehidupan. Semua Vania nikmati dalam kesesakkan dadanya. Vania duduk di tengah-tengah majlis. Hatinya sedang merindukan sang ibu yang selalu membuatkan masakan untuknya di siang hari.
"Ma.. " Gumamnya dalam hati. Santriah lalu lalang di luar, ada yang bergegas mandi, ada yang membersihkan halaman majlis, ada yang mencuci piring, ada juga yang menuju warung untuk membeli makanan. Vania tak tergubris sedikitpun oleh ketuk kaki yang mungkin jika bagi orang lain, akan menjadi kekacauan. Hatinya dalam keteguhan rindu. Vania mulai meneteskan air mata di pipinya. "Hei, kamu kenapa?" tanya seorang gadis berjilbab merah. Vania mengangkat kepalanya yang menunduk. Ia menghaous air matanya. Menatap mata gadis yang berbicara kepadanyaSebulan telah berlalu. Vania merasa dirinya menemukan sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. Vania kehilangan jati drinya sendiri. Ia berhenti sekolah. Pamannya sendiri tak mendaftarkan Vania untuk sekolah. Entah apa yang ada di pikiran David. Vania merasa dirinya kurang beruntung pindah ke tempat yang kini ia pijak. Vania terjatuh dalam tangisan yang seharusnya tak ia rasakan.“Sekarang sudah bukan jamannya lagi kalau anak seusia kamu tidak sekolah.” Kalimat itu terngiang di kepala Vania.Vania terlahir dari keluarga intelektual yang tinggi. Dirinya tak akan sebebas orang lain. Ia akan menjadi bahan pergunjingan jika ia berpacaran. Ia akan menjadi bahan pergunjingan jika ia melakukan kesalahan besar. Ia akan menjadi bahan pergunjingan jika ia melakukan keburukan. Vania akan menjadi orang yang paling hina di mata keluarga jika ia tidak melakukan apa yang menjadi kebanggaan keluarga besarnya.Dalam satu bulan itu pula Vania sangat berhati-hati me
Vania masih menatap langit dengan mata cokelatnya. Ia menyilangkan tangan di dadanya. Meratapi hari yang ia rasa tak pernah menjadi miliknya. Mentari masih mengganggunya dengan kehangatan yang lebih dari apa yang Vania minta. Pagi pergi perlahan. Meninggalkan gadis itu dalam kesendiriannya. Langit tak memberinya tanda apapun. Tentang kesetiaan, tentang pengkhianatan, bahkan tentang kejujuran.Vania duduk di teras depan. Membiarkan mengintipnya dari ujung pohon. Ia melamun.“Lagi apa, Van?” tanya Rani.“Lagi duduk, Om. Eh. Tan,” Ucap Vania gugup.“Duduk terus,” ucap Rani sambil berlalu menggendong anak bungsunya.Vania hanya tersenyum menanggapinya. Ia melihat ketuk kaki istri sang paman yang semakin tak beraturan langkahnya. Vania kembali memandang langit yang terlihat tenang. Dadanya bergemuruh, tak ia mengerti apakah artinya itu. Ia kemudian tertunduk. Vania masuk ke kamar. Membiarkan pagi tak menemaninya lagi.
Biasanya, Vania menatap atap kamar dengan tenang. Lambai lampu yang menyala membuatnya terus memperhatikannya. Namun, kini lain lagi yang ia lakukan. Atap kamar tak lagi ditatapnya. Kini, atap kamar itu berubah menjadi atap kehancuran. Vania menatap atap klinik dengan lekat. Tiada sarang laba-laba di sana. Sungguh, bersih sekali. Selain itu, warna putihnya tak terlihat putih, tapi menguning. Karena pandangannya luluh oleh rasa sakit."Om.." Vania melirik David yang tertidur di sampingnya.David tak terbangun juga. Ia tertidur dengan begitu pulasnya. Vania menatap ke arah lain. Ia begitu haus melihat air yang ada dalam botol di atas meja pasien. Namun, tak dapat Vania raih. Vania menyerah dengan menunggu David terbangun. Hingga di jam berikutnya, David terbangun mendapati Vania melek sendirian."Kenapa belum tidur?" tanya David yang baru saja terbangun. Ia mengucek matanya."Gak apa-apa, Om. Vania ingin minum." Ucapnya sambil berusaha untuk
Vania terbangun di sana. David mendapatinya sejak pukul tiga pagi. Mereka mengobrol kesana kemari. Sampai Vania terlihat cukup segar. Vania duduk dan minum. Sepertinya, ia cukup membaik"Om.." kata Vania."Kenapa?" tanya David."Kapan kita bisa pulang?" kata Vania sambil menunjukkan wajah sedihnya."Sebentar lagi kita bisa pulang, kamu mau makan dulu, sekarang?" kata David."Makan apa, Om?" tanya Vania."Roti mau enggak? Biar Om belikan." Ucap David."Boleh, Om." Vania tersenyum menatap pamannya."Sebentar, ya.. Om ke depan dulu beli roti." David mengusap-usap kening Vania.Vania mengangguk. Ia menunggu.David keluar klinik. Ia melihat lalu lalang kendaraan berjalan lancar. Ia mencari toko yang sudah buka. Hingga akhirnya pencariannya berlabuh di toko bercat hijau. Kaki David mengetuk lantainya. Ia melihat-lihat jajanan yang ada di rak dagangan. Ia mengambil 3 bungkus roti, 5 susu kotak rasa cokelat, dan satu pak kue marie untuk Va
Vania masih tertidur di tempat tidurnya. Dia bernafas degan berat. Rintik kecil mengetuk genting rumah David. Vania tak jua terbangun. Ponselnya terus bergetar membiarkan gerimis terdengar samar. Rani yang mendapati hal tersebut mengintip ke dalam kamar, lalu masuk. Ia memeriksa ponsel milik Vania. Namun, urung saat melihat Vania menggerakkan kepalanya."Tante.. mau minum." Kata Vania yang membuka matanya perlahan.Rani menoleh ke arah Vania. Tersenyum. Menyimpan kembali ponsel Vania. Lalu mengangguk. Rani beranjak keluar kamar dan kembali dengan membawakan segelas air putih yang masih hangat."Tante simpan di sini airnya, ya?" kata Rani."Iya, Tan, terimakasih." Ucap Vania."Sama-sama." Ucap Rani sambil meninggalkan Vania.Vania menatap punggung istri sang paman. Ia melihat hal lain di sana. Entah apa. Vania tidak mengerti dengan penglihatannya. Vania mengucek matanya. Ada kotoran di pelupuk kerinduannya.Dingin menyusut di hamparan di
Hari ini, rasanya keterlaluan sekali. Dinding lembab yang terbentang di sekeliling sisi kamar gadis itu tak membangunkan tidurnya. Aldy didapatinya sedang pergi dari percakapan sehari-harinya. Begitu pula Reno, ia pergi entah kemana. Tubuh Vania panas. Kulitnya putih pucat. Lalu Vania membuka matanya perlahan.Di pembaringannya, ia menatap atap kamar berubah menjadi gelap. Padahal, baru saja terlihat jelas oleh kedua matanya."Ada apa ini?" gumamnya dalam hati.Dunia sungguh gelap. Ia tak dapat melihat apa pun yang nampak di hadapannya. Vania memejamkan matanya sejenak dan membukanya kembali. Namun, hasilnya tetap sama. Ia mendapati alam yang tiada setitik pun cahaya di sana. Vania bingung dengan apa yang kini ia rasakan."Tuhan.." ia meneteskan air matanya.Pikirnya, ia buta. Ia mencoba memanggil David, Rani, dan yang lainnya. Namun, tiada satupun diantara mereka yang terpaut pada suara gadis yang sedang mengeluh. Vania kembali memanggil mereka.
Vania masih berbaring di klinik yang menjaganya. Ia tersudut oleh rasa sakit. Membuat hatinya lebih gundah dari biasanya. Vania merasa dirinya sangat terluka. Batinnya sedang sakit. Raganya pun terluka. Namun, tiada yang bisa dilakukannya. Ia tak berdaya melawan tantangan semesta."Van," seseorang memegang tangan Vania.Kedua mata Vania terbuka. Ia mendengar suara yang familiar dengan suara yang selalu terdengar. Senyumnya terlihat ramah. Vania berdebar melihatnya."Sudah enakan?" katanya lagi.Vania mengatakan dirinya baik-baik saja. Namun, hanya dengan senyuman. Dan ia mengangguk"Sudah makan?" ia bertanya lagi.Vania menggelengkan kepalanya."Makan, yuk?" ajaknya.Vania kembali menggeleng. Ia meneteskan cintanya di sudut mata itu."Kenapa? Kamu enggak mau sama aku?" tanyanya.Vania menangis tersedu di hadapan lelaki itu. Ia melihat bibir manis di wajah lelaki yang sedang ada di hadapannya. Matanya yang khas, membuat Va
Mengukir sore yang memetakan harapan ketika senja terlukis di langit yang cahayanya tak dapat dipetik. Jemariku mengaduh pada keringat yang tiada henti mengucur begitu deras. Sungguh ku nantikan kesyahduan yang mungkin tak akan aku dapatkan.Mataku menatap tajam sosok cantik yang berparas langit. Mengutuk hati yang menyimpan rasa kagum untuknya. Tak dapat ku hapus rasa yang membelenggu untuk seseorang yang sedang ada di hadapanku.Lagu dan suara yang membuat jantung berdegup syahdu hingga akalku dibebani dengan belenggu yang sulit terhapus. Bersama rindu yang mengantarku pada masa yang kian layu, hari-hariku penuh aksara yang membisu. Tak akan terselesaikan, sampai aku menemukan cerita yang teramat buntu, menggantung filu, dan menjaga rasa yang tersimpan dalam kalbu. Tersirat dalam kegulitaan yang terkenang dalam hangatnya sebuah rasa, kesedihan-kesedihan selalu ku nikmati dalam kemayaan sebuah cinta dan kerinduan yang penuh dusta. &nb
Tanganku menyentuh punggung besi pembatas jalan. Tatapanku berpaling pada bukit yang terlihat asri yang terhias sungai cantik yang mengalir di sana. Ku rasakan gemuruh itu lebih menusuk jantung yang dibuat berdegup sakit oleh seseorang yang kini mengikutiku dengan tangan menyentuh besi pembatas jalan. Tubuhnya yang bersandar, memandang tubuhku yang sedang menikmati sore bersama seseorang yang akan membuat hatiku lebih sakit lagi suatu saat nanti.“Kamu tidak cantik, tapi aku mencintaimu dengan hati yang tak dapat kau lihat. Aku tidak kaya, semua yang ku miliki adalah milik orang tuaku dan itu semua hanya titipan Tuhan.”Kemeja abu tua dengan kancing yang terbuka, menunjukkan kaos abu muda yang dikenakannya. Tangannya terlihat kedinginan, warna ungu yang terhias pada kulit merahnya terlihat mengganggunya. Dan dengan cepat ia memasukkan tangan ke saku celananya.Tampan sekali, tapi kamu bukan untukku.Hatiku berucap kata dengan rasa sa
“Aku pulang, ya?”Ia hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas dari tubuhku yang beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Ketika kaki melangkah lebih jauh dari mobil yang terparkir dan masih menyala itu, ku lihat mobil itu masih terdiam dengan sendirinya. Tak ada tanda-tanda segera pergi meninggalkanku yang kan berlalu meninggalkannya terlebih dahulu.Sore kan segera hilang, mobil yang ku harap segera pergi itu tak jua meninggalkanku. Aku mencoba kembali melangkahkan kaki untuk segera menghampirinya. Senyum yang terhias di bibirnya, menatapku yang kembali mendekat padanya. Kaca mobil yang terketuk membuat jari telinjuknya segera memencet tombol untuk membukakan kaca untukku.“Ada apa? Masih kangen sama aku?” Godanya dengan mata nakal yang berkedip bersama senyumannya.“Aku hanya penasaran. Kenapa kamu masih di sini?”Tanganku mencoba untuk menelusuri tombol hitam untuk ku buka kunci pintu mobil yang masih terdiam bersama pe
“HATI INITELAH IA BAWA PERGIBERSAMAKESEMUASenyum cemara dalam rumpun cerita yang melihatku begitu sendu. Ku lihat bibirnya begitu manis. Bagai perasan anggur yang tertuang dalam cawan emas.Aku terduduk di sebuah mobil yang baru saja membawaku bersuka ria melewati bukit-bukit senyuman. Membawa mata untuk menyaksikan keindahan yang Tuhan anugerahkan, hamparan awan yang menutupi kepingan kota. Lambai daun yang masih tersisa di pinggir jalan menemaniku yang semakin menyerah untuk bertahan. Rasa lelah yang tiba-tiba memeluk tak menghancurkan jalan yang tak jua membiarkan roda yang membawaku menyentuh punggungnya.“Aku ingin menikah. Tidak pacaran terus seperti ini.”Adrian tersentak mendengar apa yang aku katakan dengan raut yang dilihatnya begitu datar.“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?”“Aku ingin kamu lamar aku. Jangan banyak alasan untuk hal ini!”
Langkah kakiku ku lihat begitu bergetar ketika kesulitan datang menyelubunginya. Penantian yang sungguh membelenggu kakak perempuanku benar-benar tak dapat ia pupus dengan air mata yang dibiarkannya terjatuh begitu saja. Tanganku pun menikmati getar, bagai kekokohan sebuah tiang yang berdiri di atas tanah yang segera ambruk, menjatuhkan segala sesuatu yang ditopangnya.Menghela nafas sedalam samudera hindia untuk sekejap menghirup debu yang penuh dengan alunan kematian dan rasa sakit yang kan meresap pada tubuh yang kian menikmatinya. Di antara langit yang terjunjung senyum yang selalu terenyuh bersama kebahagiaan, dan di antara bumi yang terpijaki kedamaian ketika tertunduk, merasa tersakiti dengan kehancuran semesta. Terlihat celah membelah batuan kebahagiaan. Seperti sebuah jurang yang menyimpan berjuta kesengsaraan. Ada cinta yang terhirup, menghitamkan dada yang dibuat pulas ketika mimpi memeluk mata yang tertidur. Surya meng
Irama keyword terus berkerlik, mengetuk pintu tombol huruf demi huruf, hingga tersurat gagasan cantik penuh rima.Seketika tongkat penopang amarah runtuh. Purnama itu terluka. Diam-diam geram merenggut keteguhan jiwa yang siap merana. Angin sejuk terhirup sesaat, ketika sesuatu tengah memberatkan beban yang ku pikul dengan benak yang lemah, purnama yang selalu ku puisikan.Hati ini tak pernah tegar, seringkali sedih berpangku pada nyanyian sukma yang terus mengganggu akal, nalar, dan pikiran yang penuh dengan rimbunan daun-daun kebutaan.Terlarut dalam kerasnya tantangan hukum dunia yang penuh dengan kebiadaban, aku terkalahkan. Aku tak mengerti dengan semua tuntutan kehidupan yang sungguh membebani.Daun-daun bertanya pada tumpukan kerinduan yang terdengar hampa.Aku milik siapa?Ombak yang membuat semua kegaduhan di hamparan samudera, tak menjawab apapun untuk lambaian nyiur yang tak bersuara.Aku butuh seseorang yan
Ku saksikan senja di tengah kota. Terduduk lesu dalam kelajuan roda di sore yang buta. Suara kendaraan tak lagi ku perhatikan, hanya rambu-rambu jalan yang ku jadikan sebagai tempat ku bertukar cerita, cerita yang begitu menyakitkan.Masih dalam detik kehilangan senja yang sungguh melelahkan. Menyambut kesedihan yang mengundang. Jingga menyalami langit yang menceritakan masalah tentang lepasnya penantian. Kecemasan tenggelam dalam kelam, hingga tiada rasa percaya, bahwa roda akan berputar, dan cahaya terang akan dating bersama rembulan yang menemani malam di tengah rumpun keramaian.Gerutu yang berkecamuk membakar suara kota. Gemuruhnya lenyap ditelan kepedihan. Lelahku siap menjemput malam. Hanya Jangkrik yang berderik di atas pohon yang berdiri di atas kekokohan trotoar. Tiang-tiang tak menghentikan kekacauan. Kehancuran seolah membunuh dan hatiku tiada hentinya mengeluh.Dalam kegelisahan yang mengutuk. Aku hanya diam, menyesali apa yang sudah terjadi.
Ku ceritakan kisahku dalam sebuah buku harian.Bagaimana rasanya memiliki seorang kakak perempuan?Hatiku bertanya pada suara yang kerap tak terdengar. Sukma. Teriakanku mulai meninggi, menaiki rimbun pepohonan yang hijau. Daun-daun merunduk, membungkuk sampai tertimbun tanah.Tersurat dalam buku harian.Purnama yang sedang dalam tulisan.Terdengar membosankan, kidung sederhana selalu diperuntukkan pada sosok kakak perempuan. Padahal jalinan kami hanya sebatas sepupu.Sepupu.Tertunduk lesu saat menyadari hubunganku hanya sebatas sepupu. Rasa sayang ini terbilang normal, namun lebih dari sekedar sepupu. Lebih tinggi dari itu. Kakak kandung. Yaa, kakak perempuan. Aku ingin rembulan yang ku maksud bisa ku miliki dengan rasa bahagia yang kan ku beri untuknya dan rasa bahagia yang ingin ku dapat darinya.Amora.Gadis cantik bermata tiongkok itu terlahir dari rahim seorang wanita mulia dengan perawakan gemuk, berkulit putih,
Terlihat di atas sana, dalam jendela kamar kos, sebuah wajah cantik seorang perempuan cantik yang mengenakan kemeja pink penuh dengan bunga. Senyumnya meyambut kedatangan kami. Tangan kiri yang memegang daun jendela, dengan kepala terselubungi sejadah yang hanya dipegang dengan tangan kanan untuk menutupi mahkotanya.“Hai, tunggu!!”Sapanya dengan senyum yang ramah dan segera berlalu meninggalkan jendela yang ia genggam.Ketukan kaki yang memijaki satu persatu anak tangga yang terbuat dari sebuah kayu terdengar begitu terburu-buru. Pintu hitam yang ku nantikan terbukanya, dengan segera Linda membukakannya untuk kami. Aku segera berlalu, meraih anak tangga yang akan mengantarku menuju kamar kos Linda di atas. Sebab tempat yang kami masuki merupakan tempat menyimpan kendraan roda dua bagi penghuni kos.Kakak perempuanku terdengar menyapa Linda dengan senyuman manis. Begitupun Linda, terlihat menyapa dan mencium punggung tangan Kakak pe
Seseorang telah membuat hatiku bahagia, merasakan kasih sayang seorang biadadari yang ku jadikan sebagai kakak perempuan dan aku menemukannya dalam rimbun daun dan nyanyian-nyanyian yang menghanyutkan.Amora (Cucu Susilawati).Hatiku terampas dari sepi yang benar-benar sukar untuk ku jelasakan, tanpa jelmaan malaikat yang ingin ku sebut sebagai kakak perempuan. Memang, itu bukan kerinduan. Harapan adalah nama yang lebih pantas untuk menyebut sebuah keinginan. Garis yang tergambar sebagai batas lintas pergaulan membuatku terpaku dalam permainan sebuah renungan.Memperhatikan mulut insan bicara di depanku lebih ku nikmati daripada harus ku getarkan tenggorokan kering untuk mengeluarkan suara di depan manusia yang belum ku tahu siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya. Mendengar langkah orang-orang yang datang ke rumah ku rasa lebih sempurna dibanding harus menyapa dan senyum ramah di depan pemilik suara kaki itu. Menguping pembicaraan adalah kecukupan yang