Semua Bab Balada Cinta ShaBar: Bab 71 - Bab 80

106 Bab

70. Alisha: Kamu Ngga Khawatir?

"Halo, assalamu'alaikum, Topan."Ngga ada jawaban."Topan?""Mbak Alisha?""Lah? Bengong. Mana salamku ngga dijawab.""Oh, sorry, Mbak. Tadi kaget, takut salah sambung. Mbak Alisha tiba-tiba pake salam soalnya."Halah! "Lagi tobat aku. Jalan sama CEO Alim, ngga bisa macem-macem." Ngomong gini sambil ngelirik Akbar yang mukanya lurus kaya jalan tol. "Gimana, Pan?"Topan terkekeh di ujung telepon. "Pak Akbar sama Mbak Alisha ke Baltimore, kan?""Eh, dapat info dari mana?"
Baca selengkapnya

71. Alisha: Maaf

Kulingkarkan lengan di leher Akbar. Harum kopi merasuk, menguasai otak, bikin aku menghirup lebih banyak udara di atas pundaknya. "Akbar ....""Hm?""Maafin aku, ya." Kurebahkan kepala di bahunya. Seluruh beban yang  bikin kepala berat dua bulan ini kaya meluncur jatuh ketarik gravitasi bumi, atau gravitasi Akbar? "Aku ngga bisa jagain Naila," kataku. Kubiarkan air meleleh dari sudut mata. "Padahal kamu udah ngasih aku hape baru buat jagain Naila, kan?" Tiba-tiba Akbar brenti, trus ngomong pake bahasa Jepang. Ngagetin aja, deh. Cepet-cepet kutegakkan kepala dan kuapus airmata di muka. Sebulatan kecil air juga ikut ngebasahin kemeja Akbar. Jadi ngga enak ati, mudah-mudahan ngga dimintain uang laundry.  
Baca selengkapnya

72. Akbar: Imajinasi

Kutahan gemetar di bibir. Kuabaikan entakan jantung dalam rongga dada. Kukepalkan tangan agar tak ada getar yang menjalar. Ternyata, begini rasanya mengaku dosa.Di hadapanku, Alisha tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya memandang tanpa berkedip hingga ponsel di saku kemejaku bergetar. Mulanya kukira jantungku berdebar terlalu keras sampai beresonansi dengan ponsel. Ternyata panggilan video dari GM Baltimore. Dia sedang berada di kamar Naila, menunjukkan suasananya melalui kamera. Kuajak Alisha untuk ikut melihat apa yang ada di layar. Kamar Presidential Suite itu tampak sangat rapi seolah memang tak pernah ditinggali. Tak ada barang bertebaran di ruang tamu, pintu kaca ke ruang tidur utama pun tertutup rapat. Saat aku di sana, ruang tidur utama adalah ruang prib
Baca selengkapnya

73. Akbar: Salah

"Fine!" Kututup mata, berusaha fokus memikirkan ke mana kira-kira Naila akan pergi. Namun, yang muncul malah gambaran es krim cokelat yang sedang meleleh kepanasan. Mungkin aku terlalu lelah.Lampu kabin telah diredupkan dari tadi, penumpang lain mungkin sudah tidur. Kuatur bangku hingga menjadi tempat tidur. Untuk ukuran badanku, The Room terasa terlalu kecil. Terpaksa berbaring diagonal dengan sedikit menekuk kaki. Tidak terlalu nyaman sebenarnya,  tapi ini yang terbaik karena bangku First Class sudah penuh kemarin."Kamu ngga mau es krimnya?" tanyanya ketika aku hendak menarik selimut ke muka.
Baca selengkapnya

74. Alisha: Let's Learn Together

"Kamu tahu, gara-gara ini, kurasa, cara terbaik menghadapi persoalan hidup emang ngikutin aturan yang udah dikasih Allah." Kutarik napas dalem, susah banget gara-gara idung mampet.Duh, cengeng banget, sih. Gini aja nangis. Abis, gimana, dong? Aku bener-bener berharap bisa muter ulang waktu, trus bilang sama Akbar biar dia nyuruh Naila mutusin Fikri.Ngga ada respon dari Akbar. Aku cuma denger suara napasnya yang kedengeran mendesah kaya putus asa. "Kita belum salat," katanya, ngalihin pembicaraan tiba-tiba, "wudhu di toilet sana!""Heh? Di toilet?""Ada air, kan, di wastafelnya? Hati-hati jangan sampai toiletnya basah."Lah? Gimana? Wudhu pake aer tapi ngga boleh basah?Ya, pasti
Baca selengkapnya

75. Akbar: Perjalanan Panjang

"Lalu?" tanyaku tak sabar. Debar jantung terasa terlalu keras hingga memicu nyeri di sambungan tulang dada. Aku harus mengatur napas agar debaran ini tak terlalu menyakitkan.Alisha menghela napas dalam. Matanya yang jenaka seperti berusaha menghindariku. Dia menggumam lalu mendeham. "Kalo kamu terdampar di pulau tak berpenghuni, kamu berharap terdampar sama siapa?"Pertanyaan macam apa ini? Dia berusaha mengalihkan pembicaraan? "Out of topic," balasku."In of topic banget," bantahnya, "ayo, jawab.""Apa hubungannya?""Jawab aja, sih," balasnya gemas.
Baca selengkapnya

76. Alisha: Lempeng

Ah, tidur yang menyenangkan. Akbar masih bobo, mending rapi-rapi dulu. Ada body sheet di toilet, bisa buat lap-lap dikitlah. Kucopot kompres yang nempel semaleman di kaki. Sekarang pergelangan kaki udah jauh lebih enakan. Musti inget-inget, jangan lari-lari dulu, jangan nendang-nendang dulu, ntar sakit lagi. Eh, tapi kalo kakiku sakit, kan, jadi bisa digendong Akbar lagi, he he he. Akbar masih merem aja, padahal aku udah selesai poles-poles bedak sama lipstik tipis-tipis. Bulu mata juga udah lentik pake maskara dikit. Barusan juga udah pesen sarapan, nasi goreng gunung berapi. Tau, deh, kaya gimana itu nasi goreng. Apa mungkin nasi gorengnya meledak-ledak? Seru, nih.Ceki-ceki IG, deh. Notifnya bejibun, ya, ampun. Pada nanyain soal hubunganku sama Akbar. Ehem, apa kasih
Baca selengkapnya

77. Akbar: My Fiance

Baru sepuluh derajat, bibir Alisha sudah gemetar. Tampaknya dia tak hanya butuh mantel, tapi juga sarung tangan, syal, dan sepatu boot.Syukurlah, suhu di dalam terminal sedikit lebih hangat. Kalau terlalu lama di luar, aku khawatir Alisha akan mengalami hipotermia bahkan sebelum sampai di Baltimore. "Ayo, ngopi dulu," ajakku untuk menghangatkan badan."Apa ngga kelamaan nanti?""Masih empat jam lagi. Memilih mantel paling hanya beberapa menit," balasku, langsung berbelok ke kios kopi yang ada di pojokan selasar."Double espresso, please," kataku pada barista di balik meja.
Baca selengkapnya

78. Alisha: Second Account

Lagi sibuk milih-milih mantel, hape bergetar. Satu pesan masuk dari Topan. "Aku udah ketemu Naila," katanya, plus satu gambar yang loading-nya bener-bener nguji kesabaran. Foto tiket pesawat buat berangkat jam enam pagi. Otakku langsung buru-buru berhitung perbedaan waktu Chicago sama Jakarta. Jam tiga sore waktu sini berarti jam dua pagi waktu sana. Topan masih bangun jam segini? Penting banget kayanya, nih.Cepet-cepet kutaro mantel di gantungannya, lanjut setengah lari, balik ke tempat Akbar nunggu tadi. Jempolku buru-buru mencet layar buat nelepon Topan. Ngga diangkat.Apa dia lagi dalam perjalanan ke bandara? Masih empat jam lagi, ngga kecepetan ke bandara jam segini?
Baca selengkapnya

79. Alisha: Life

Keluar dari Emporio, tangan Akbar penuh sama tas belanjaan. Aku bantuin bawa satu paper bag beriisi dua kotak ankle boot. Sebenernya Akbar nyaranin beli yang setinggi lutut karena katanya bakal dingin banget nanti, tapi aku ngga mau, ribet banget makenya.Segini aja, gayanya Akbar udah kaya cowok-cowok di meme yang pergi nemenin ceweknya belanja. Tiga paper bag di tangan kanan, tiga lagi di tangan kiri. Sementara di punggung masih ada ransel segede gaban. Hebatnya, dia masih sanggup jalan tegak tanpa ngeluh.Kami salat
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status