"Lalu?" tanyaku tak sabar. Debar jantung terasa terlalu keras hingga memicu nyeri di sambungan tulang dada. Aku harus mengatur napas agar debaran ini tak terlalu menyakitkan.
Alisha menghela napas dalam. Matanya yang jenaka seperti berusaha menghindariku. Dia menggumam lalu mendeham. "Kalo kamu terdampar di pulau tak berpenghuni, kamu berharap terdampar sama siapa?"
Pertanyaan macam apa ini? Dia berusaha mengalihkan pembicaraan? "Out of topic," balasku.
"In of topic banget," bantahnya, "ayo, jawab."
"Apa hubungannya?"
"Jawab aja, sih," balasnya gemas.
Ah, tidur yang menyenangkan. Akbar masih bobo, mending rapi-rapi dulu. Ada body sheet di toilet, bisa buat lap-lap dikitlah. Kucopot kompres yang nempel semaleman di kaki. Sekarang pergelangan kaki udah jauh lebih enakan. Musti inget-inget, jangan lari-lari dulu, jangan nendang-nendang dulu, ntar sakit lagi. Eh, tapi kalo kakiku sakit, kan, jadi bisa digendong Akbar lagi, he he he.Akbar masih merem aja, padahal aku udah selesai poles-poles bedak sama lipstik tipis-tipis. Bulu mata juga udah lentik pake maskara dikit. Barusan juga udah pesen sarapan, nasi goreng gunung berapi. Tau, deh, kaya gimana itu nasi goreng. Apa mungkin nasi gorengnya meledak-ledak? Seru, nih.Ceki-ceki IG, deh. Notifnya bejibun, ya, ampun. Pada nanyain soal hubunganku sama Akbar. Ehem, apa kasih
Baru sepuluh derajat, bibir Alisha sudah gemetar. Tampaknya dia tak hanya butuh mantel, tapi juga sarung tangan, syal, dan sepatu boot.Syukurlah, suhu di dalam terminal sedikit lebih hangat. Kalau terlalu lama di luar, aku khawatir Alisha akan mengalami hipotermia bahkan sebelum sampai di Baltimore. "Ayo, ngopi dulu," ajakku untuk menghangatkan badan."Apa ngga kelamaan nanti?""Masih empat jam lagi. Memilih mantel paling hanya beberapa menit," balasku, langsung berbelok ke kios kopi yang ada di pojokan selasar."Double espresso, please," kataku pada barista di balik meja.
Lagi sibuk milih-milih mantel, hape bergetar. Satu pesan masuk dari Topan. "Aku udah ketemu Naila," katanya, plus satu gambar yang loading-nya bener-bener nguji kesabaran. Foto tiket pesawat buat berangkat jam enam pagi.Otakku langsung buru-buru berhitung perbedaan waktu Chicago sama Jakarta. Jam tiga sore waktu sini berarti jam dua pagi waktu sana. Topan masih bangun jam segini? Penting banget kayanya, nih.Cepet-cepet kutaro mantel di gantungannya, lanjut setengah lari, balik ke tempat Akbar nunggu tadi. Jempolku buru-buru mencet layar buat nelepon Topan.Ngga diangkat.Apa dia lagi dalam perjalanan ke bandara? Masih empat jam lagi, ngga kecepetan ke bandara jam segini?
Keluar dari Emporio, tangan Akbar penuh sama tas belanjaan. Aku bantuin bawa satu paper bag beriisi dua kotak ankle boot. Sebenernya Akbar nyaranin beli yang setinggi lutut karena katanya bakal dingin banget nanti, tapi aku ngga mau, ribet banget makenya.Segini aja, gayanya Akbar udah kaya cowok-cowok di meme yang pergi nemenin ceweknya belanja. Tiga paper bag di tangan kanan, tiga lagi di tangan kiri. Sementara di punggung masih ada ransel segede gaban. Hebatnya, dia masih sanggup jalan tegak tanpa ngeluh.Kami salat
Nyampe ruang tunggu, staf maskapai lagi siap-siap buat boarding. Kucari bangku yang enak dan nyaman buat duduk, pengen liat postingan pengumuman yang tadi diceritain Topan.Alex duduk di sampingku, ngembus napas dengan keras sebelum ngomong, "Apa kamu bener-bener ngga ada rasa lagi sama aku?"Hhh, nyebelin. "Itu bukan pertanyaan dari seorang sahabat."Dia tersenyum pahit. "Oke." Diambilnya hape dan mulai ngusap-usap layar persegi itu.Kubuka aplikasi Instagram. Bener, ada notifikasi tagging dari Akbar. Duh, jadi deg-degan.Ternyata dia posting video
Ck! Kenapa dia ditempatkan di situ? Memang, aku sudah wanti-wanti agar memberikan pelayanan terbaik pada petugas yang melakukan investigasi kasus penusukan itu, tapi bukan dengan memberikan kamar di seberang Alisha. Kutelepon resepsionis, "Put the manager on line." Manager on Duty menjawab telepon dengan sangat hati-hati, "Is there anything I can do, Sir?" "The officer from Indonesia, send him to Presidential Suite." "
Antara tidur dan terjaga, kupingku berdenging gara-gara getar hape. Gosh, siapa, sih, nelepon tengah malem gini? Akbar? Masa masih belom cukup telpon-telponan sebelum bobo?"Assalamu'alaikum, haloh?""Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. MaasyaaAllah, anak Mama sekarang jawab telepon udah pake salam. Alhamdulillah, ya, Allah!""Mama?""Siapa lagi?""Biasanya Akbar yang suka nelepon tengah malem gini."Suara Mama langsung naik lima oktaf. "Icha! Tengah malem gimana? Udah mau asar ini."Hah? Spontan bangun aku. Buru-buru buka gorden. Di luar, suasananya masih gelap, bulan pun masih menggantung di langit. "Asar gimana?"
Pekerjaanku sepagian ini adalah menelepon Alisha. Semua karena ibunya cemas sekali terjadi sesuatu pada anak si gadis semata wayang. "Tadi kita nangis bareng. Dia sampe sesenggukan, trus suaranya makin lama makin ilang," ceritanya dengan cemas. "Mungkin ketiduran, Tante?" Mengingat kelelahan kemarin, serta waktu yang sudah cukup malam ketika mengakhiri telepon denganku semalam, tertidur saat menerima telepon bukan hal aneh. Apalagi jika telepon yang dilakukan juga menguras energi psikis hingga berakhir dengan tangisan. Namun, Ibu Alisha tak mau menerima argumen tersebut. Beliau tetap mendesakku untuk mengecek kondisi anak semata wayangnya. Sebenarnya, tanpa disuruh pun, aku pasti akan meneleponnya untuk mengajak sarapan. Demi menenangkan Ibu Alisha, aku berjanji akan menelepon putrinya segera setelah menutup pang
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung
Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"
Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m
Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,
Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."