Home / CEO / Pesona Bos Tampan / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Pesona Bos Tampan: Chapter 21 - Chapter 30

48 Chapters

Surprise

"Reza?""Anita?" Dua anak manusia itu saling menatap tak percaya. Si wanita bersorak kegirangan dalam hatinya. Sedangkan si lelaki hanya terdiam. Pertemuan mereka kali ini sudah direncanakan matang.Ada teman dekat mamanya yang akan datang berkunjung karena sudah lama tidak bertemu. Mereka datang bersama anak gadisnya yang masih single. Reza sudah tahu, pasti perjodohan lagi. Sudah terlalu sering ini terjadi, dan dia selalu menolaknya. "Wah anak-anak udah saling kenal ya, Ce." Seorang wanita paruh baya tersenyum senang. Tidak sia-sia kedatangan mereka. Sepertinya kali ini akan sukses."Iya, Lin. Jadi kita enggak usah capek-capek ngedeketin mereka berdua." Wanita yang satunya juga ikut tersenyum senang.Lelaki itu tersentak. Jadi, dokter cantik yang mau dijodohkan dengannya ternyata wanita ini. "Kalian kenal di mana?" tanya Linda, ibu dari Anita saat menatap Reza. Pandangan matanya penuh selidik, ingin tahu lebih dala
Read more

Jangan Pergi

Lelaki itu mengemasi barang-barang, memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper juga juga laptop dan peralatan kerja. Hani hanya terdiam menyaksikan suaminya yang sibuk sendirian. Biasanya jika Ardi ke luar kota dia yang akan direpotkan. Kali ini, dia memilih untuk tidak ambil peduli, toh Ardi akan pergi menemui wanita lain."Mas cuti satu minggu, ya. Cecil mau lahiran. Ini sudah dekat HPL." Ardi menatap wajah istrinya dengan lekat. Ada rasa bersalah dalam hatinya saat harus meninggalkan mereka. Apalagi alasannya karena wanita lain yang sebentar lagi akan melahirkan anaknya. "Iya, Mas." Hanya itu yang bisa Hani ucapkan. Hatinya telah mati dan beku, dihantam dengan berbagai macam kekecewaan. Kepada takdir hidup, kepada orang lain, juga kepada dirinya sendiri. "Maafkan aku." Ardi hendak memeluknya, tetapi tangannya ditepiskan. Lelaki itu pasrah, lalu mendorong koper ke luar kamar.  "Ayah mau ke mana?" Suara mungil itu tib
Read more

Hancur

"KATAKAN SIAPA PELAKUNYA!" Suara Ardi menggelegar di ruang perawatan itu. Amarahnya memuncak sampai ke ubun-ubun. Cobaan apa lagi ini?Hani meringkih ketakutan dan memeluk Agnes erat. "Maaf, Mas. Saya bukannya mau ikut campur. Apa bisa nunggu sampai pulih nanti, baru dibicarakan baik-baik." Gadis itu mencoba menengahi, tidak bermaksud untuk ikut campur. Melihat kondisi Hani yang masih lemah, dia takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.Ardi mengusap wajahnya, lalu berkata. "Saya mau bicara dengan istri saya." Dia menarik napas, berusaha melegakan sedikit emosinya."Tapi tolong jangan kasari Mbak Hani," Agnes memohon, sejurus kemudian keluar meninggalkan mereka.Ardi mengangguk, duduk di sebelah istrinya, lalu melingkarkan lengan di bahu Hani. Dia mencoba memeluk tapi ditolak halus. Hani merasa dirinya kotor, tak pantas disentuh suaminya sendiri. "Bilang, siapa orang yang bikin kamu jadi begini."  Hani hanya b
Read more

Bangkit

Hani memandang pembeli yang keluar masuk toko kuenya. Hari ini pembeli ramai. Ibu tampak kewalahan walaupun ada dua karyawan yang membantu mereka. Tiga tahun sudah berlalu. Dia tersenyum saat mengingat semuanya, masa indah sekaligus pahit dalam hidupnya. Semua akan baik-baik saja Hani.Seorang wanita masuk ke dalam toko dan melihat-lihat kue. Hani memperhatikannya dari kejauhan. Dia cantik juga berkelas, itu terlihat dari barang branded yang dipakainya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Seleranya bagus, kue yang dipilih memang rekomendasi di toko ini."Mommy!" Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil berlari menghampiri wanita itu. Umurnya sekitar lima atau enam tahun."Hi, sweet heart. Which one do you want?" Wanita itu menunjukkan beberapa jenis kue kepada anaknya. Suaranya terdengar aneh saat berbahasa indonesia. Sepertinya mereka datang dari luar negeri."I wanna this cake." Anak itu menunjuk kue dengan krim stroberi.Dugaan Hani b
Read more

Matamu Indah

Hani menatap kanvas putih yang penuh dengan coretan tinta. Sebuah siluet wanita yang walaupun masih belum rapi tercetak di atasnya. Di sudut bagian bawah tertulis kata 'Bunda'."Liat, Bun. Keren kan lukisan abang." Si ganteng itu memamerkan hasil karyanya. Hani tersenyum menganggung, tangannya mengusap kepala sang putra dengan penuh kasih sayang. "Iya, bagus. Anak bunda udah pinter gambar, ya.""Iya, dong. Kan udah SD." Anak itu menepuk dada. Hani tertawa melihat keluguan itu. "Ayo makan. Bunda suapin mau?" Di meja sofa sudah tersedia sepiring nasi beserta lauk. Dia menunggu dengan sabar hingga sang putra menyelesaikan lukisannya. "Ayam goreng!" Abang berteriak senang saat matanya menangkap beberapa potong menu itu di dalam piring. Makanan kesukaannya sama persis dengan kesukaan sang bunda."Sini." Hani menariknya duduk di sofa, lalu dengan telaten menyuapi sesendok demi sesendok hingga habis tak bersisa. "Bund
Read more

Jujurlah

Hani mengaduk kopi yang sudah dingin, sama sekali tidak berselera untuk menyentuhnya. Suara batuk seseorang mengagetkannya. Dia tersentak hingga sendok di tangan terlepas. Ketika hendak meraih benda itu, sebuah lengan menahannya. Si cantik ini menunduk malu, tak berani menatap wajah lelaki tampan yang duduk di depan."Kenapa diam?" Suara itu membuat Hani gemetaran. "Enggak apa-apa. Kenapa kamu masih di sini? Flight kamu udah take-off," jawabnya.Lelaki itu tersenyum. Gemas melihat kelakuan sang pujaan hati. "Ada yang lebih penting di sini," jawab Reza santai."Apa?""Kamu!" Reza mengangkat wajah wanita cantik itu, lalu menatapnya dalam-dalam. Mata Hani terpejam dengan wajah bersemu merah. Rasa bahagia membuncah di dada, tapi dia malu untuk mengatakannya. Tawa Reza pecah. Sengaja dia mencubit pipi yang merona itu, karena semakin gemas melihat tingkahnya. "Kenapa kamu ketawa?" Wanita itu memasang wajah cemberut saat ke
Read more

Restu

"Maaf, Nak. Tapi papa enggak setuju kamu menikahi wanita itu." Dingin, keras. Tatapan papanya itu serasa menusuk jantung Reza. Lelaki itu menarik napas panjang dan sudah menduga bahwa ini tidak akan mudah.Papa biasanya tidak terlalu kaku untuk beberapa hal. "Tapi ini beda, Za. Kamu akan membawa calon menantunya." Suara hatinya berbisik. Papa tidak mau sembarang orang menjadi bagian dari keluarga mereka. Ini menyangkut harkat dan martabat keluarga, sekalipun karena cinta. Cinta yang penuh dengan perbedaan, keyakinan, tradisi dan status sosial kami yang membuat semuanya rumit."Aku akan memperjuangkannya demi kamu, Sayang. Kamu yang pernah mengandung benihku, tapi aku sia-siakan karena nafsu." Tekadnya dalam hati. Hani yang dia sayangi. Cintanya. Hidup matinya. ***"Hei!" Hani terkejut saat sebuah lengan besar merengkuh tubuh kecilnya dari belakang. Dia sedang asyik mengaduk adonan kue di dapur. Men
Read more

Berkenalan

Happy Birthday, happy birthday, happy birthday to you." Semua orang bertepuk tangan dengan meriah saat lilin ditiup. Si gadis kecil cantik bermata biru itu tersenyum bahagia. Sepasang suami istri membantunya memotong kue untuk kemudian dibagikan. Ada sekitar lima puluh orang memenuhi ruangan restoran terkenal itu. Mereka berkumpul merayakan hari bahagia yang diperingati setiap tahunnya. Untuk itulah kuenya pun dibuat raksasa tapi dengan tema kesukaan yang punya acara, Maleficent. "Selamat ulang tahun sayang. Mommy sama daddy sayang kamu." Krista mencium pipi gadis kecilnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Hans, si bule Amerika yang tampak berbeda sendiri diantara puluhan orang yang bermata sipit di ruangan itu. Lelaki berambut pirang dan bermata biru tampak paling menonjol di sana. Patricia, putri mereka satu-satunya sedang merayakan ulang tahunnya disini. Di Indonesia karena kebetulan mereka sedang berlibur. Biasany
Read more

Perjalanan

Bunyi ponsel membangunkan tidur lelapnya. Hani menggeliat tanda masih mengantuk. Semalaman dia bergadang sampai jam tiga pagi membuat pesanan kue untuk sebuah acara pernikahan anak pejabat daerah setempat. Entah mimpi apa dia, sampai mendapatkan orderan sebesar itu. Snack sajian untuk para tamu yang jumlahnya ribuan cup harus dipersiapkan. Pastry, cake, dan aneka jajanan pasar. Hani seperti ketiban durian runtuh. Si bapak pejabat itu bahkan mentransfer lunas setelah dia menyebutkan nominal harga yang harus di bayar untuk pemesanan sebanyak itu.Supaya tidak keteteran dia mengambil beberapa mahasiswa SMK jurusan tata boga untuk membantu menyelesaikan bersama dua karyawannya.Pukul tiga pagi itu semua kue sudah jadi. Hanya tinggal menghias dan menambahkan topping karena acaranya sendiri masih pukul sepuluh pagi.Dia memilih tidur sebentar dan meminta mereka bergantian menjaganya. Ponselnya kembali bergetar. Hani mengambil ben
Read more

Pertemuan

"Bundaaaa ..." Hani memeluk tubuh mungil di hadapannya. Benar, badannya panas sekali.Tangisan abang membuat hatinya luluh. "Kok demam? Minum es ya?" Dia bertanya dengan senyuman, padahal hatinya perih, ingin ikut menangis juga."Abang main ujan," jawab anak itu polos.Hani tergelak mendengarnya. Lucu sekali jawaban putranya ini."Abang ngambek, Bunda. Dilarang main hujan malah nekat ikutan temen-temennya." Ardi ikut masuk ke kamar putranya. Wanita itu menoleh dan mendapati kenyataan bahwa Ardi tak banyak berubah, tetap memanjakan anaknya. Buktinya kamar ini penuh dengan mainan yang jika ditotal jumlahnya cukup banyak mengahabiskan uang."Itu dengerin kata ayah. Kalau sakit kan siapa juga yang susah?""Tapi abang mau main," jawabnya sambil sesegukan membela diri.Boleh, tapi perutnya jangan kosong. Makan dulu nanti masuk angin. Itu penyebabnya jadi demam," jelas Hani. Memberikan pengertian kepada anak-anak memang harus sa
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status