Berjam-jam aku merengkuh diri, tak juga suasana hati kembali seperti sedia kala. Hancur, puing-puingnya beterbangan. Tak lama kemudian, terdengar guntur menggelegar. Udara dingin mulai menyapa. Aku semakin dirundung bisu atas segala yang terjadi.Ibu ..., Tuan Mahawira.Kuciumi mantel tebal yang merupakan milik tuanku. Hadirnya selalu nyata kala aroma tubuhnya masih melekat di mantel ini. Kuciumi lebih dalam, mata menerawang, ingatan menyatu dengan khayal."Untuk apa kau bersedih? Ini bukan saatnya membuang waktu dengan kesedihan."Tak dapat kubedakan kini, mana suara dari dunia nyata, mana yang khayal. Namun, deru napas itu terdengar jelas, artinya bukan imaji belaka. Aku beranjak dari ranjang, lalu membuka pintu rumah."Tuan Birendra ...." Aku tertunduk sendu di hadapan pria itu. Aku berani bertaruh, pria itu pasti sudah tahu bahwa Tuan Mahawira dibawa ke Kerajaan Simaseba."Bukan saatnya untuk bersedih, Cornelia. I
Read more