Home / Romansa / Tuan, Jangan Sakiti Aku! / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Tuan, Jangan Sakiti Aku!: Chapter 11 - Chapter 20

40 Chapters

Cornelia Aksita Chandini Minara

"Anak?" Tuan Mahawira mendekat sambil mengerutkan dahi. "Maaf, siapakah gerangan yang Nyonya maksud anak?" tanya pria itu kepada wanita paruh baya."Dia! Cornelia Aksita Chandini Minara! Anakku. Oh, Tuhan. Anakku, Cornelia. Kau sudah sebesar ini dan ... kau cantik sekali."Ekpresi wanita itu kegirangan, tetapi bercampur dengan rasa haru yang terpancar dari bola matanya. Aku sungguh tidak mengerti. Paduka Raja pernah mengatakan bahwa orang tuaku hanyalah orang-orang biasa dan mereka sudah lama mati saat terjadi perang besar.Aku bergeming, kubiarkan wanita itu meraih kedua pipi, serta mengelus-elus kepalaku. Jika diperhatikan lagi, wanita itu memang cukup mirip dengan diriku. Ya, tepatnya diriku yang dulu."Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa Nyonya mengatakan aku adalah anak Nyonya? Bagaimana bisa aku percaya kalau Nyonya benar-benar ibuku?""Ayo, ikutlah bersamaku," katanya sambi
Read more

Gelisah

"Ibu, siapa namamu? Aku bahkan belum mengetahui namamu sama sekali.""Nama ibu adalah Chandini Himeka. Jadi, nama Chandini dalam namamu ibu ambil dari nama ibu sendiri yang berarti cahaya bulan. Lihatlah, betapa cantik dirimu, Nak. Seperti indahnya cahaya rembulan. Kau akan selalu siap menerangi siapa saja," jelas Ibu sambil menyisir rambutku.Aku mengangguk-anggukkan kepala. Aku baru saja mengetahui namaku yang sebenarnya. Jika nama Cornelia itu bukan pemberian dari Paduka Raja, berarti beliau punya keterkaitan dengan keluargaku. Hal ini memang sangat ganjil. Setahuku, Paduka Raja yang memberikan nama Cornelia padaku. Bahkan, beliau sendirilah yang mengatakannya."Apa benar ibu tidak tahu sama sekali mengenai Kerajaan Rosalia?""Tidak. Ibu tidak tahu. Memangnya kenapa, Nak?" Ibu memelukku dari belakang."Setahuku ... Paduka Rajalah yang memberikan nama Cornelia padaku. Tapi, jika namaku yang sebenarnya adalah Cornelia, berarti
Read more

Kemesraan Sesaat

"Tuan Mahawira?" tukasku."Kau selalu mengetahuiku lebih dari siapa pun," jawabnya sambil melepaskan tangan yang tadinya menutupi kedua mataku."Kau ini seperti anak kecil saja." Aku melenguh setelah berbalik badan."Ya, sebaiknya kita kembali ke masa kanak-kanak. Karena banyak hal yang bisa kulakukan denganmu.""Kenapa harus kembali ke masa kanak-kanak? Bukankah lebih baik kita jalani hari-hari ini dan melakukan hal seperti yang kita lakukan dulu?""Ide yang bagus!"Begitu lugas Tuan Mahawira menarik tanganku, lalu ia membawa diriku berkeliling ke beberapa sudut negeri ini."Kau mau bunga? Akan kubelikan untukmu."Tanpa menunggu persetujuanku, pria itu langsung ke penjual bunga yang beberapa waktu menawarkan bunga-bunga dagangannya padaku."Hei, Pak Tua. Aku beli bunga yang paling cantik di tokomu," ucap Tuan Mahawira sambil menyunggingkan senyum.Aneh sekali. Pria itu sama
Read more

Dua Konflik Berbeda

"Aku mohon, hentikan! Siapa kalian sebenarnya?! Kenapa kalian tiba-tiba menyerang kami?!"Dengan bersimbah air mata, kupangku kepala Tuan Mahawira. Pria itu tersengal lelah menahan rasa sakit pada luka-lukanya."Kau pergilah, C-Cornelia!" pintanya dengan napas tertahan."Tidak! Mana mungkin aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini! Aku mencintaimu, Tuan! Aku sungguh mencintaimu!" ucapku sambil mengelus pipi sang pangeran."Jadi, begitu. Seorang pelayan rendahan sepertimu dengan lancang jatuh cinta pada seorang pangeran seperti Mahawira?"Seseorang kudengar melangkah. Setelah menolehkan pandangan ke sebelah kanan, ternyata Putri Camelia. Ya, seorang tuan putri yang dijodohkan dengan Tuan Mahawira. Ialah Putri Camelia dari Istana Simaseba."T-Tuan Putri ...." Aku tidak menyangka ternyata penyerangan dadakan ini merupakan perbuatan perempuan itu.Tuan Putri Camelia terdiam beberapa meter dari tempatku bera
Read more

Apa yang Terjadi?

Berjam-jam aku merengkuh diri, tak juga suasana hati kembali seperti sedia kala. Hancur, puing-puingnya beterbangan. Tak lama kemudian, terdengar guntur menggelegar. Udara dingin mulai menyapa. Aku semakin dirundung bisu atas segala yang terjadi.Ibu ..., Tuan Mahawira.Kuciumi mantel tebal yang merupakan milik tuanku. Hadirnya selalu nyata kala aroma tubuhnya masih melekat di mantel ini. Kuciumi lebih dalam, mata menerawang, ingatan menyatu dengan khayal."Untuk apa kau bersedih? Ini bukan saatnya membuang waktu dengan kesedihan."Tak dapat kubedakan kini, mana suara dari dunia nyata, mana yang khayal. Namun, deru napas itu terdengar jelas, artinya bukan imaji belaka. Aku beranjak dari ranjang, lalu membuka pintu rumah."Tuan Birendra ...." Aku tertunduk sendu di hadapan pria itu. Aku berani bertaruh, pria itu pasti sudah tahu bahwa Tuan Mahawira dibawa ke Kerajaan Simaseba."Bukan saatnya untuk bersedih, Cornelia. I
Read more

Mutiara

"S-sebenarnya apa yang terjadi di sini?"Pria paruh baya yang mengenakan jubah terdiam. Ibuku juga diam. Kuarahkan tatapan pada pria berpakaian putih yang berdiri beberapa meter dari tempatku berada. Senyumnya aneh, terkesan licik dan jahat. Aku sama sekali tidak mengerti."Menjauh!" tegas Pangeran Kalandra sembari bersiap-siap untuk menerima serangan yang mungkin saja akan dilancarkan pria itu. Akan tetapi, sang pria berambut ikal malah tertawa sambil bertepuk tangan."Lucu sekali," katanya.Kulihat ke arah sang pria dengan mantel, ekspresinya sendu, bahkan ibuku tidak sanggup berkata-kata. Ia selalu saja memalingkan wajahnya."PRAJURIT! BERESKAN KEDUA BOCAH INI DAN TANGKAP PUTRI PEMBAWA SIAL INI!" titah pria berpakaian putih dengan baritonnya yang menggema di seluruh pekarangan istana.Para prajurit pun berbondong-bondong keluar, berkumpul dan membentuk barisan untuk melawan Tuan Birendra serta Pangeran Kalandra.
Read more

Kebenaran

Aku terbangun oleh terik mentari yang semakin menyengat. Kulihat diriku berada di tepi sungai dengan pakaian basah kuyup. Segera aku bangkit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.Aku ... di mana?Kepala masih terasa begitu pusing sehingga untuk melangkahkan kaki saja aku tidak cukup mampu. Oleh itu, aku memutuskan kembali duduk. Beberapa saat kemudian, kuambil air dengan kedua tangan dan membasuh wajah. Tenggorokanku kering, sekalian kuminum air sungai.Jika sungai di Negeri Angin hanya berjumlah satu, maka seharusnya aku berada di aliran sungai menuju danau di hutan itu. Benar sekali, tetapi aku sama sekali tidak mengenali tempatku berada.Tak berselang lama, aku putuskan melangkah. Entah akan ke mana kaki-kaki ini membawaku. Yang pasti, jika tinggal diam saja, aku tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sambil melangkah pelan, aku begitu ingat dengan kejadian di Kerajaan Batalia.Ayah, ibuku, Tuan Birendra, Pangeran Kalandra.
Read more

Perjalanan ke Batalia

Mimpiku semalam sangat buruk. Bagaimana mungkin Tuan Mahawira tidak ingin tinggal denganku dan memilih untuk melupakan cinta kami? Aku sangat takut jika saja hal itu terjadi."Putri, bangunlah. Kau sudah aku buatkan teh. Keluarlah," kata sang kakek.Aku menguap dan meregangkan tangan untuk mengawali aktivitas pagi ini. Setelah itu, aku pun keluar dari kamar berukuran kecil yang sebenarnya merupakan milik sang kakek. Aku sangat bersyukur bisa bertemu kakek itu. Jika tidak, aku tak tahu nasibku akan seperti apa.Segera kuangkat gelas bambu yang berisi teh hangat enak buatan si kakek. Kuseruput beberapa kali. Ia juga sudah menyiapkan Ubi Rebus untukku. Lumayanlah. Dengan cepat kulahap."Hari ini, aku akan mulai melatihmu.""Kenapa aku harus belajar bela diri? Aku sungguh merasa tidak cocok mempelajarinya, Kek.""Itu sudah menjadi janji yang harus kutepati pada ayahmu. Aku sudah berjanji akan melatihmu kelak jika bertemu.
Read more

Kedatangan yang Dirindu

Aku berdiri beberapa meter dari pintu raksasa Kerajaan Batalia bersama sang kakek sambil mengawasi para prajurit yang masuk ke istana dengan membawa para perempuan muda. Ini mirip seperti perbudakan. Sepertinya pamanku yang licik itu merencanakan sesuatu seperti perbudakan dan memanfaatkan para rakyat untuk bekerja secara paksa."Tetaplah waspada," bisik sang kakek. Aku mengangguk. "Kau tunggulah di sini, aku akan masuk ke istana itu. Jika aku tidak keluar dalam beberapa menit, kau boleh menyusulku."Sang kakek melangkah masuk ke istana sambil tetap awas. Kebetulan pintu istana dibiarkan terbuka dan tak satu pun prajurit berjaga.Aku menunggu cukup lama di luar istana. Saat memutuskan untuk masuk, sang kakek terlihat berjalan keluar."Gawat. Baltra ternyata punya rencana untuk mengeksekusi masal para rakyat yang menurutnya tidak mematuhi kebijakan istana. Aku melihat ibu dan ayahmu baik-baik saja, tapi mereka dibelenggu serta dipertontonka
Read more

Bukan Sebuah Akhir

"HEI! LEPASKAN CORNELIA!"Tuan Mahawira meraih tangan kiriku, lalu membuat sang raja terhenti."Bocah keparat! Berani-beraninya kau!"Sang pangeran melompat, lalu berdiri di hadapan Raja Baltra. Pria itu mengayunkan pedangnya hingga sang raja melepaskan tanganku. Ia fokus pada serangan yang dilakukan oleh Tuan Mahawira."Cornelia! Menjauh dari sini! Bebaskan orang tuamu!"Sesuai yang diperintahkan oleh Tuan Mahawira, aku segera menyelinap melewati para prajurit. Sesekali kulawan beberapa dari mereka yang coba menghalangi jalanku. Sementara itu, kulihat sang kakek juga sedang fokus pada pertarungan.Setelah menghantam mundur beberapa prajurit, kembali kulanjutkan langkah demi sampai di tempat ibu dan ayahku berada."Ayah! Ibu!" teriakku yang seketika membuat mereka menatap ke arahku dengan ekspresi sendu.Tiba di tempat mereka sedang disalib, kutatap keduanya dengan pilu. "Sebentar. Aku akan membe
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status