Berjam-jam aku merengkuh diri, tak juga suasana hati kembali seperti sedia kala. Hancur, puing-puingnya beterbangan. Tak lama kemudian, terdengar guntur menggelegar. Udara dingin mulai menyapa. Aku semakin dirundung bisu atas segala yang terjadi.
Ibu ..., Tuan Mahawira.Kuciumi mantel tebal yang merupakan milik tuanku. Hadirnya selalu nyata kala aroma tubuhnya masih melekat di mantel ini. Kuciumi lebih dalam, mata menerawang, ingatan menyatu dengan khayal."Untuk apa kau bersedih? Ini bukan saatnya membuang waktu dengan kesedihan."Tak dapat kubedakan kini, mana suara dari dunia nyata, mana yang khayal. Namun, deru napas itu terdengar jelas, artinya bukan imaji belaka. Aku beranjak dari ranjang, lalu membuka pintu rumah."Tuan Birendra ...." Aku tertunduk sendu di hadapan pria itu. Aku berani bertaruh, pria itu pasti sudah tahu bahwa Tuan Mahawira dibawa ke Kerajaan Simaseba."Bukan saatnya untuk bersedih, Cornelia. I"S-sebenarnya apa yang terjadi di sini?"Pria paruh baya yang mengenakan jubah terdiam. Ibuku juga diam. Kuarahkan tatapan pada pria berpakaian putih yang berdiri beberapa meter dari tempatku berada. Senyumnya aneh, terkesan licik dan jahat. Aku sama sekali tidak mengerti."Menjauh!" tegas Pangeran Kalandra sembari bersiap-siap untuk menerima serangan yang mungkin saja akan dilancarkan pria itu. Akan tetapi, sang pria berambut ikal malah tertawa sambil bertepuk tangan."Lucu sekali," katanya.Kulihat ke arah sang pria dengan mantel, ekspresinya sendu, bahkan ibuku tidak sanggup berkata-kata. Ia selalu saja memalingkan wajahnya."PRAJURIT! BERESKAN KEDUA BOCAH INI DAN TANGKAP PUTRI PEMBAWA SIAL INI!" titah pria berpakaian putih dengan baritonnya yang menggema di seluruh pekarangan istana.Para prajurit pun berbondong-bondong keluar, berkumpul dan membentuk barisan untuk melawan Tuan Birendra serta Pangeran Kalandra.
Aku terbangun oleh terik mentari yang semakin menyengat. Kulihat diriku berada di tepi sungai dengan pakaian basah kuyup. Segera aku bangkit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.Aku ... di mana?Kepala masih terasa begitu pusing sehingga untuk melangkahkan kaki saja aku tidak cukup mampu. Oleh itu, aku memutuskan kembali duduk. Beberapa saat kemudian, kuambil air dengan kedua tangan dan membasuh wajah. Tenggorokanku kering, sekalian kuminum air sungai.Jika sungai di Negeri Angin hanya berjumlah satu, maka seharusnya aku berada di aliran sungai menuju danau di hutan itu. Benar sekali, tetapi aku sama sekali tidak mengenali tempatku berada.Tak berselang lama, aku putuskan melangkah. Entah akan ke mana kaki-kaki ini membawaku. Yang pasti, jika tinggal diam saja, aku tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sambil melangkah pelan, aku begitu ingat dengan kejadian di Kerajaan Batalia.Ayah, ibuku, Tuan Birendra, Pangeran Kalandra.
Mimpiku semalam sangat buruk. Bagaimana mungkin Tuan Mahawira tidak ingin tinggal denganku dan memilih untuk melupakan cinta kami? Aku sangat takut jika saja hal itu terjadi."Putri, bangunlah. Kau sudah aku buatkan teh. Keluarlah," kata sang kakek.Aku menguap dan meregangkan tangan untuk mengawali aktivitas pagi ini. Setelah itu, aku pun keluar dari kamar berukuran kecil yang sebenarnya merupakan milik sang kakek. Aku sangat bersyukur bisa bertemu kakek itu. Jika tidak, aku tak tahu nasibku akan seperti apa.Segera kuangkat gelas bambu yang berisi teh hangat enak buatan si kakek. Kuseruput beberapa kali. Ia juga sudah menyiapkan Ubi Rebus untukku. Lumayanlah. Dengan cepat kulahap."Hari ini, aku akan mulai melatihmu.""Kenapa aku harus belajar bela diri? Aku sungguh merasa tidak cocok mempelajarinya, Kek.""Itu sudah menjadi janji yang harus kutepati pada ayahmu. Aku sudah berjanji akan melatihmu kelak jika bertemu.
Aku berdiri beberapa meter dari pintu raksasa Kerajaan Batalia bersama sang kakek sambil mengawasi para prajurit yang masuk ke istana dengan membawa para perempuan muda. Ini mirip seperti perbudakan. Sepertinya pamanku yang licik itu merencanakan sesuatu seperti perbudakan dan memanfaatkan para rakyat untuk bekerja secara paksa."Tetaplah waspada," bisik sang kakek. Aku mengangguk. "Kau tunggulah di sini, aku akan masuk ke istana itu. Jika aku tidak keluar dalam beberapa menit, kau boleh menyusulku."Sang kakek melangkah masuk ke istana sambil tetap awas. Kebetulan pintu istana dibiarkan terbuka dan tak satu pun prajurit berjaga.Aku menunggu cukup lama di luar istana. Saat memutuskan untuk masuk, sang kakek terlihat berjalan keluar."Gawat. Baltra ternyata punya rencana untuk mengeksekusi masal para rakyat yang menurutnya tidak mematuhi kebijakan istana. Aku melihat ibu dan ayahmu baik-baik saja, tapi mereka dibelenggu serta dipertontonka
"HEI! LEPASKAN CORNELIA!"Tuan Mahawira meraih tangan kiriku, lalu membuat sang raja terhenti."Bocah keparat! Berani-beraninya kau!"Sang pangeran melompat, lalu berdiri di hadapan Raja Baltra. Pria itu mengayunkan pedangnya hingga sang raja melepaskan tanganku. Ia fokus pada serangan yang dilakukan oleh Tuan Mahawira."Cornelia! Menjauh dari sini! Bebaskan orang tuamu!"Sesuai yang diperintahkan oleh Tuan Mahawira, aku segera menyelinap melewati para prajurit. Sesekali kulawan beberapa dari mereka yang coba menghalangi jalanku. Sementara itu, kulihat sang kakek juga sedang fokus pada pertarungan.Setelah menghantam mundur beberapa prajurit, kembali kulanjutkan langkah demi sampai di tempat ibu dan ayahku berada."Ayah! Ibu!" teriakku yang seketika membuat mereka menatap ke arahku dengan ekspresi sendu.Tiba di tempat mereka sedang disalib, kutatap keduanya dengan pilu. "Sebentar. Aku akan membe
Kami memutuskan untuk tinggal sementara waktu di salah satu rumah warga tak berpenghuni. Kebetulan rumah itu dilengkapi dengan tempat dua tempat tidur serta alat-alat untuk memasak.Tuan Birendra dan Pangeran Kalandra telah kembali ke istana. Keduanya mengatakan akan kembali setelah berbicara beberapa hal dengan ayah mereka. Sepertinya, dua pangeran itu benar-benar berniat untuk membawa para prajurit kerajaannya dan melawan Raja Baltra.Menurutku, bagus juga. Karena dengan begitu, kesempatan kami untuk bisa menggulingkan Raja Baltra akan meningkatkan.Aku seharian ini telah selesai mengobati luka-luka di tubuh ayah dan ibuku. Tentu saja, aku menggunakan tanaman obat yang banyak sekali tumbuh di dekat-dekat pohon. Jadi, tidak terlalu susah untuk mencarinya karena banyak pohon dan kebun di sekitar tempatku berada.Ayah dan ibuku belum sadar. Mereka sangat kelelahan. Padahal, aku sudah menyiapkan bubur untuk mereka hidangkan.Tuan
"Maafkan ayah, Nak. Maafkan ayah karena sudah membuatmu menderita sampai detik ini."Pria paruh baya itu mengemis maaf dengan air mata yang bersimbah di wajah. Sedangkan, diriku masih belum bisa menerima apa-apa yang ia lakukan padaku di masa lalu. Meskipun tidak mengingat bagaimana kejadian itu berlangsung, tetapi aku merasa sakit dan tidak berharga bagi mereka."Apakah aku tidak cukup berharga bagi Ayah sehingga Ayah dengan tega membuangku?" Aku bahkan tidak melihat ke arah pria itu. Posisiku membelakanginya."Kau sangat berharga bagi ayah. Oleh karena itulah ayah melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin ayah lakukan. Jika ada pilihan lain, ayah pasti tidak akan membuangmu, lalu membuatmu menderita, Nak."Tangis semakin pilu terdengar. Aku pun tak dapat menahan bulir-bulir bening yang memaksa keluar dari netra. Padahal, aku sudah berniat untuk memaafkan pria itu. Namun, di dalam hati kecilku, ada sesuatu yang tidak bisa dihentikan. Rasa
"Tuan! Apa yang terjadi denganmu?!" tanyaku dengan khawatir sambil memapah tubuhnya hingga teras.Kembali pria itu tersungkur."Tuan!""Kau ... masuklah! Jangan berada di sini," katanya dengan napas menderu."M-memangnya apa yang terjadi?!""Kau tidak perlu tahu. Cepatlah masuk!""Kalau begitu, kau juga harus masuk."Dengan segera kupapah kembali tubuh tuanku yang tidak berdaya itu. Kedua matanya sayu, napasnya tersengal lelah. Darah berceceran di sekitar tubuhnya. Apalagi suhu tubuhnya meningkat drastis.Dalam keadaan panik, aku mengambil air hangat yang tersisa pada ceret, lalu menuangkannya di sebuah bejana tanah liat.Kubersihkan darah yang menempel di tubuh tuan tampanku itu menggunakan kain yang sudah dicelup pada air hangat."Ya, Tuhan. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku terus-menerus. Namun, Tuan Mahawira terus bungkam tak berkata-kata."Apa yang terjad
Ini adalah sebuah cerita tentang pertemuan, perjuangan, pengorbanan, cinta yang sejati, dan ikatan kemanusiaan. Di sebuah kerajaan bernama Rosalia, pada abad pertengahan (1063 M) di belahan bumi selatan—Balmatra—hidup seorang raja dengan satu putra pangeran bernama Mahawira.Pangeran Mahawira dijodohkan dengan seorang putri dari kerajaan aliansi, yaitu Kerajaan Simaseba. Namun, Mahawira tidak menerima perjodohan yang diatur untuk kepentingan politik. Ia menolak keras permintaan sang ayah, lalu memilih seorang pelayan yang hidup sebatang kara dan selalu menemaninya sejak berusia 8 tahun.Mahawira mengajak pelayan bernama Cornelia melarikan diri dan dikejar-kejar prajurit istana saat hari pernikahannya dengan Camelia dari Istana Simaseba. Pelarian itu akhirnya membawa Cornelia dan Mahawira pada sebuah fakta yang tak terelakkan. Seiring berlalunya waktu dalam perjalanan menuju Negeri Angin, Mahawira jatuh cinta dengan Cornelia sehingga memutuskan untuk
Setelah mendapatkan serangan tak terduga dari musuh, aku memuntahkan darah yang cukup banyak. Saat terbaring lemah, terdengar pekikan dari Tuan Mahawira dan apa yang kulihat menjadi hitam pekat.Selama ini, aku tak pernah mendapatkan pukulan sekeras ini sampai-sampai membuatku memuntahkan darah. Pria mana yang tega menyakiti seorang perempuan sepertiku, tak berbelas kasihan bahkan tidak menahan kekuatan untuk dikeluarkan.Aku paham kami adalah musuh bagi mereka yang masing-masing punya alasan untuk bertarung."Cornelia! Cornelia! Bertahanlah! Cornelia!"Itu suara tuanku yang tampan. Di mana dia? Aku tak dapat melihat apa pun. Hanya gelap yang menyelimuti di sekeliling."T-Tuan ...." Napasku terasa berat. Degup jantung tak beraturan. Ini menandakan aku sudah menyentuh batas kemampuan. Aku tak akan bisa lagi untuk berdiri, lalu bertarung dan membantu teman-teman.Aku tak tahu bagaimana posisiku saat ini, yang jelas aku
"Akhirnya, kita tiba di desa pertama setelah melewati hutan," ujar Aksa saat kami berhasil keluar dari hutan."Bukankah perkataanmu sangat aneh, Aksa. Benarkah ini sebuah desa?" tanyaku sambil mengernyit."Benar. Ini sebuah desa yang bernama Desa Kaswari. Namun, sayangnya pihak kerajaan sudah merenggut semuanya sehingga desa yang dulunya ramai ini menjadi desa yang sangat sepi."Mata kami mengedar ke sekeliling melihat keadaan desa yang porak-poranda."Putri Camelia sudah merenggut segalanya dari rakyat. Tempat tinggal kami, sumber daya kami, semuanya." Aksa tiba-tiba berwajah sedih."Mungkin kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Aku ingat yang kau bilang, Aksa. Semua wilayah di tanah ini sudah menjadi milik kerajaan, artinya prajurit kerajaan mengawasi setiap desa dan lahan-lahan bercocok tanam.""Ya, benar. Kita harus berhati-hati.""Ada yang datang!" ujar Pangeran Kalandra.Untung saja
Dadaku berdentum-dentum tak keruan melihat dua pria saling tatap dengan Tuan Mahawira. Ketiganya adalah pria yang sama-sama aku hormati, juga sama-sama berjasa dalam hidupku. Aku tidak ingin melihat mereka saling menyakiti. Meski begitu, mereka telah memutuskan untuk menyelesaikan konflik dengan tradisi pertarungan sampai mati.Pertarungan sampai mati merupakan tradisi yang biasa digunakan di sebuah kerajaan untuk memutus konflik antara dua orang atau lebih jika pembicaraan tidak menemukan solusi yang tepat. Sayangnya, hari ini salah satu dari mereka harus mati dalam pertarungan ini.Tatapan Tuan Mahawira tajam seperti biasa kala memandang musuh-musuh yang tak bisa diremehkan kemampuannya. Tentu saja, Tuan Birendra maupun Pangeran Kalandra juga berapi-api."Hiyaaaaattt!"Ketiga pria itu berteriak. Tuan Mahawira tak menunggu serangan dua pangeran, tetapi ia yang menjemput serangan mereka. Namun, perbedaan kekuatan telah terjadi.
Pedang milik Tuan Mahawira patah oleh tebasan pedang pria bertopeng yang baru saja datang entah dari mana. Kami bertiga membelalak, bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa pedang yang sudah ditunjang oleh energi artefak naga itu bisa patah.Tuan Mahawira segera menjauh dari dua pria bertopeng. Aku melihat kekesalan yang memuncak di wajah sang pangeran."Keparat."Waktunya sudah tiba. Aura di sekeliling tiba-tiba berubah drastis. Suhu udara yang semula dingin seketika menjadi panas. Ini adalah tanda-tanda saat kekuatan Tuan Mahawira akan mulai hilang kendali.Tak lama kemudian, api mengelilingi tubuh Tuan Mahawira. Tangannya mengepal keras. Tatapannya menajam tersirat sebuah makna ada dendam yang harus dibalas.Dua pria bertopeng menyadari suhu di sekeliling tiba-tiba panas. Mereka meningkatkan kewaspadaan dengan bersiap kembali menyerang.Akan tetapi, sebelum mereka mulai bergerak, Tuan Mahawira secepat kila
"Sudah kuputuskan. Aku akan ikut dengan kalian dan menyelamatkan Hana," kata Aksa dengan semangat membara sembari mengepal tangan kanan."Kau serius?!" tanyaku memastikan."Iya, aku sangat serius. Terima kasih karena sudah mengajariku arti penting dari sebuah pengorbanan."Tuan Mahawira kulihat menyunggingkan senyum. "Bagus. Begitulah seharusnya. Mari, kita berangkat."Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Istana Simaseba. Tentu saja, kali ini bertambah satu orang yang ikut dengan kami. Aksa, pria yang bertujuan menyelamatkan kekasihnya dari perbudakan."Aku tidak percaya kalian adalah rakyat biasa." Aksa tiba-tiba membuka percakapan sambil terus berjalan."Kenapa kau tak percaya? Apa penampilan kami tidak seperti rakyat biasa?" Tuan Mahawira menanggapi."Tidak hanya itu, tapi tak ada rakyat biasa yang sangat hebat dan berani seperti kalian. Aku merasa sangat lemah di antara kalian berdua."
"Kampung kami dirampas oleh Kerajaan Simaseba dan dijadikan sebagai wilayah untuk memperluas istana. Para rakyat ditangkap, lalu dipekerjakan tanpa imbalan untuk sebuah pembangunan. Anak-anak dijual, dijadikan bisnis dan budak. Sedangkan para lelaki yang masih remaja dipaksa untuk bekerja sebagai prajurit yang mengabdi kepada istana."Aksa seorang pria yang beberapa waktu lalu menyerang kami ternyata ialah warga dari sebuah desa yang dirampas oleh Kerajaan Simaseba. Jadi, itulah alasannya menggunakan lahan di samping sungai ini sebagai tempat peristirahatan."Maaf, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk menyerang kalian. Aku hanya berwaspada. Aku pun berpikir kalau kalian adalah orang jahat dari Simaseba," ucapnya dengan wajah sendu dan tertunduk.Aku dan Tuan Mahawira fokus mendengarkan cerita dari Aksa. Bagiku sendiri, apa yang dilakukan oleh Putri Camelia dan para menterinya adalah hal yang tidak berprikemanusiaan. Bagaimana bisa ia melakukan hal sa
Perjalanan menuju Kerajaan Simaseba tidak akan mudah. Ki Cakra berkata bahwa di perjalanan nanti kami akan menemui musuh-musuh yang tentunya merupakan utusan Putri Camelia. Ki Cakra juga memberikan sebuah kalung permata berwarna hijau yang berfungsi untuk memanggilnya jika saja Tuan Mahawira kehilangan kendali sewaktu-waktu.Masih ada potensi pria itu kehilangan kendali karena proses penyatuan energinya di dalam tabir jiwanya dengan artefak naga.Aku membawa perbekalan secukupnya dari istana. Sisanya, jika kekurangan nanti, aku kami bisa berburu di hutan. Apa gunanya kemampuan Tuan Mahawira yang ahli dalam memanah jika tidak digunakan? Tentu, aku sudah membawa busur dan puluhan anak panah milik Tuan Mahawira yang selalu ia gunakan saat berburu.Sudah cukup lama berjalan, kami berhenti sejenak untuk mengembalikan energi di tepi sebuah sungai."Wah, airnya jernih dan segar," kata Tuan Mahawira yang sedang mencuci wajahnya di sungai itu. "Cor
"Hah?! Apa yang terjadi?"Saat terbangun dari tidur, yang pertama kali kulihat ialah Tuan Mahawira. Aku membelalak seolah-olah lupa apa yang sebenarnya telah aku lakukan dengannya."Hmm ... Cornelia ... aku ingin menikmatimu sekali lagi ... hmm ...."Tuan Mahawira sepertinya sedang mengigau. Jangan-jangan aku sudah melakukan hal yang senonoh dengannya.Oh, tidak! Ya, Tuhan! Aku tidak p-p-perawan lagi."Tidak!"Tuan Mahawira langsung terbangun karena teriakanku yang kencang. Pria itu mengusap-usap kedua matanya dengan tangan. Rambutnya kacau sehabis bangun tidur."Kau kenapa, Cornelia?" tanyanya seolah tidak tahu apa-apa."Apa yang kau lakukan padaku, Tuan?!" tanyaku dengan nada tinggi sambil melotot tajam.Tak lama kemudian, Tuan Mahawira menampilkan ekspresi licik, ia menyeringai."Sudahlah, Cornelia. Semalam kau sudah memberikan aku kenikmatan yang tiada tara. Terima kasih