"Anak?" Tuan Mahawira mendekat sambil mengerutkan dahi. "Maaf, siapakah gerangan yang Nyonya maksud anak?" tanya pria itu kepada wanita paruh baya.
"Dia! Cornelia Aksita Chandini Minara! Anakku. Oh, Tuhan. Anakku, Cornelia. Kau sudah sebesar ini dan ... kau cantik sekali."Ekpresi wanita itu kegirangan, tetapi bercampur dengan rasa haru yang terpancar dari bola matanya. Aku sungguh tidak mengerti. Paduka Raja pernah mengatakan bahwa orang tuaku hanyalah orang-orang biasa dan mereka sudah lama mati saat terjadi perang besar.Aku bergeming, kubiarkan wanita itu meraih kedua pipi, serta mengelus-elus kepalaku. Jika diperhatikan lagi, wanita itu memang cukup mirip dengan diriku. Ya, tepatnya diriku yang dulu."Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa Nyonya mengatakan aku adalah anak Nyonya? Bagaimana bisa aku percaya kalau Nyonya benar-benar ibuku?""Ayo, ikutlah bersamaku," katanya sambi"Ibu, siapa namamu? Aku bahkan belum mengetahui namamu sama sekali.""Nama ibu adalah Chandini Himeka. Jadi, nama Chandini dalam namamu ibu ambil dari nama ibu sendiri yang berarti cahaya bulan. Lihatlah, betapa cantik dirimu, Nak. Seperti indahnya cahaya rembulan. Kau akan selalu siap menerangi siapa saja," jelas Ibu sambil menyisir rambutku.Aku mengangguk-anggukkan kepala. Aku baru saja mengetahui namaku yang sebenarnya. Jika nama Cornelia itu bukan pemberian dari Paduka Raja, berarti beliau punya keterkaitan dengan keluargaku. Hal ini memang sangat ganjil. Setahuku, Paduka Raja yang memberikan nama Cornelia padaku. Bahkan, beliau sendirilah yang mengatakannya."Apa benar ibu tidak tahu sama sekali mengenai Kerajaan Rosalia?""Tidak. Ibu tidak tahu. Memangnya kenapa, Nak?" Ibu memelukku dari belakang."Setahuku ... Paduka Rajalah yang memberikan nama Cornelia padaku. Tapi, jika namaku yang sebenarnya adalah Cornelia, berarti
"Tuan Mahawira?" tukasku."Kau selalu mengetahuiku lebih dari siapa pun," jawabnya sambil melepaskan tangan yang tadinya menutupi kedua mataku."Kau ini seperti anak kecil saja." Aku melenguh setelah berbalik badan."Ya, sebaiknya kita kembali ke masa kanak-kanak. Karena banyak hal yang bisa kulakukan denganmu.""Kenapa harus kembali ke masa kanak-kanak? Bukankah lebih baik kita jalani hari-hari ini dan melakukan hal seperti yang kita lakukan dulu?""Ide yang bagus!"Begitu lugas Tuan Mahawira menarik tanganku, lalu ia membawa diriku berkeliling ke beberapa sudut negeri ini."Kau mau bunga? Akan kubelikan untukmu."Tanpa menunggu persetujuanku, pria itu langsung ke penjual bunga yang beberapa waktu menawarkan bunga-bunga dagangannya padaku."Hei, Pak Tua. Aku beli bunga yang paling cantik di tokomu," ucap Tuan Mahawira sambil menyunggingkan senyum.Aneh sekali. Pria itu sama
"Aku mohon, hentikan! Siapa kalian sebenarnya?! Kenapa kalian tiba-tiba menyerang kami?!"Dengan bersimbah air mata, kupangku kepala Tuan Mahawira. Pria itu tersengal lelah menahan rasa sakit pada luka-lukanya."Kau pergilah, C-Cornelia!" pintanya dengan napas tertahan."Tidak! Mana mungkin aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini! Aku mencintaimu, Tuan! Aku sungguh mencintaimu!" ucapku sambil mengelus pipi sang pangeran."Jadi, begitu. Seorang pelayan rendahan sepertimu dengan lancang jatuh cinta pada seorang pangeran seperti Mahawira?"Seseorang kudengar melangkah. Setelah menolehkan pandangan ke sebelah kanan, ternyata Putri Camelia. Ya, seorang tuan putri yang dijodohkan dengan Tuan Mahawira. Ialah Putri Camelia dari Istana Simaseba."T-Tuan Putri ...." Aku tidak menyangka ternyata penyerangan dadakan ini merupakan perbuatan perempuan itu.Tuan Putri Camelia terdiam beberapa meter dari tempatku bera
Berjam-jam aku merengkuh diri, tak juga suasana hati kembali seperti sedia kala. Hancur, puing-puingnya beterbangan. Tak lama kemudian, terdengar guntur menggelegar. Udara dingin mulai menyapa. Aku semakin dirundung bisu atas segala yang terjadi.Ibu ..., Tuan Mahawira.Kuciumi mantel tebal yang merupakan milik tuanku. Hadirnya selalu nyata kala aroma tubuhnya masih melekat di mantel ini. Kuciumi lebih dalam, mata menerawang, ingatan menyatu dengan khayal."Untuk apa kau bersedih? Ini bukan saatnya membuang waktu dengan kesedihan."Tak dapat kubedakan kini, mana suara dari dunia nyata, mana yang khayal. Namun, deru napas itu terdengar jelas, artinya bukan imaji belaka. Aku beranjak dari ranjang, lalu membuka pintu rumah."Tuan Birendra ...." Aku tertunduk sendu di hadapan pria itu. Aku berani bertaruh, pria itu pasti sudah tahu bahwa Tuan Mahawira dibawa ke Kerajaan Simaseba."Bukan saatnya untuk bersedih, Cornelia. I
"S-sebenarnya apa yang terjadi di sini?"Pria paruh baya yang mengenakan jubah terdiam. Ibuku juga diam. Kuarahkan tatapan pada pria berpakaian putih yang berdiri beberapa meter dari tempatku berada. Senyumnya aneh, terkesan licik dan jahat. Aku sama sekali tidak mengerti."Menjauh!" tegas Pangeran Kalandra sembari bersiap-siap untuk menerima serangan yang mungkin saja akan dilancarkan pria itu. Akan tetapi, sang pria berambut ikal malah tertawa sambil bertepuk tangan."Lucu sekali," katanya.Kulihat ke arah sang pria dengan mantel, ekspresinya sendu, bahkan ibuku tidak sanggup berkata-kata. Ia selalu saja memalingkan wajahnya."PRAJURIT! BERESKAN KEDUA BOCAH INI DAN TANGKAP PUTRI PEMBAWA SIAL INI!" titah pria berpakaian putih dengan baritonnya yang menggema di seluruh pekarangan istana.Para prajurit pun berbondong-bondong keluar, berkumpul dan membentuk barisan untuk melawan Tuan Birendra serta Pangeran Kalandra.
Aku terbangun oleh terik mentari yang semakin menyengat. Kulihat diriku berada di tepi sungai dengan pakaian basah kuyup. Segera aku bangkit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.Aku ... di mana?Kepala masih terasa begitu pusing sehingga untuk melangkahkan kaki saja aku tidak cukup mampu. Oleh itu, aku memutuskan kembali duduk. Beberapa saat kemudian, kuambil air dengan kedua tangan dan membasuh wajah. Tenggorokanku kering, sekalian kuminum air sungai.Jika sungai di Negeri Angin hanya berjumlah satu, maka seharusnya aku berada di aliran sungai menuju danau di hutan itu. Benar sekali, tetapi aku sama sekali tidak mengenali tempatku berada.Tak berselang lama, aku putuskan melangkah. Entah akan ke mana kaki-kaki ini membawaku. Yang pasti, jika tinggal diam saja, aku tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sambil melangkah pelan, aku begitu ingat dengan kejadian di Kerajaan Batalia.Ayah, ibuku, Tuan Birendra, Pangeran Kalandra.
Mimpiku semalam sangat buruk. Bagaimana mungkin Tuan Mahawira tidak ingin tinggal denganku dan memilih untuk melupakan cinta kami? Aku sangat takut jika saja hal itu terjadi."Putri, bangunlah. Kau sudah aku buatkan teh. Keluarlah," kata sang kakek.Aku menguap dan meregangkan tangan untuk mengawali aktivitas pagi ini. Setelah itu, aku pun keluar dari kamar berukuran kecil yang sebenarnya merupakan milik sang kakek. Aku sangat bersyukur bisa bertemu kakek itu. Jika tidak, aku tak tahu nasibku akan seperti apa.Segera kuangkat gelas bambu yang berisi teh hangat enak buatan si kakek. Kuseruput beberapa kali. Ia juga sudah menyiapkan Ubi Rebus untukku. Lumayanlah. Dengan cepat kulahap."Hari ini, aku akan mulai melatihmu.""Kenapa aku harus belajar bela diri? Aku sungguh merasa tidak cocok mempelajarinya, Kek.""Itu sudah menjadi janji yang harus kutepati pada ayahmu. Aku sudah berjanji akan melatihmu kelak jika bertemu.
Aku berdiri beberapa meter dari pintu raksasa Kerajaan Batalia bersama sang kakek sambil mengawasi para prajurit yang masuk ke istana dengan membawa para perempuan muda. Ini mirip seperti perbudakan. Sepertinya pamanku yang licik itu merencanakan sesuatu seperti perbudakan dan memanfaatkan para rakyat untuk bekerja secara paksa."Tetaplah waspada," bisik sang kakek. Aku mengangguk. "Kau tunggulah di sini, aku akan masuk ke istana itu. Jika aku tidak keluar dalam beberapa menit, kau boleh menyusulku."Sang kakek melangkah masuk ke istana sambil tetap awas. Kebetulan pintu istana dibiarkan terbuka dan tak satu pun prajurit berjaga.Aku menunggu cukup lama di luar istana. Saat memutuskan untuk masuk, sang kakek terlihat berjalan keluar."Gawat. Baltra ternyata punya rencana untuk mengeksekusi masal para rakyat yang menurutnya tidak mematuhi kebijakan istana. Aku melihat ibu dan ayahmu baik-baik saja, tapi mereka dibelenggu serta dipertontonka
Ini adalah sebuah cerita tentang pertemuan, perjuangan, pengorbanan, cinta yang sejati, dan ikatan kemanusiaan. Di sebuah kerajaan bernama Rosalia, pada abad pertengahan (1063 M) di belahan bumi selatan—Balmatra—hidup seorang raja dengan satu putra pangeran bernama Mahawira.Pangeran Mahawira dijodohkan dengan seorang putri dari kerajaan aliansi, yaitu Kerajaan Simaseba. Namun, Mahawira tidak menerima perjodohan yang diatur untuk kepentingan politik. Ia menolak keras permintaan sang ayah, lalu memilih seorang pelayan yang hidup sebatang kara dan selalu menemaninya sejak berusia 8 tahun.Mahawira mengajak pelayan bernama Cornelia melarikan diri dan dikejar-kejar prajurit istana saat hari pernikahannya dengan Camelia dari Istana Simaseba. Pelarian itu akhirnya membawa Cornelia dan Mahawira pada sebuah fakta yang tak terelakkan. Seiring berlalunya waktu dalam perjalanan menuju Negeri Angin, Mahawira jatuh cinta dengan Cornelia sehingga memutuskan untuk
Setelah mendapatkan serangan tak terduga dari musuh, aku memuntahkan darah yang cukup banyak. Saat terbaring lemah, terdengar pekikan dari Tuan Mahawira dan apa yang kulihat menjadi hitam pekat.Selama ini, aku tak pernah mendapatkan pukulan sekeras ini sampai-sampai membuatku memuntahkan darah. Pria mana yang tega menyakiti seorang perempuan sepertiku, tak berbelas kasihan bahkan tidak menahan kekuatan untuk dikeluarkan.Aku paham kami adalah musuh bagi mereka yang masing-masing punya alasan untuk bertarung."Cornelia! Cornelia! Bertahanlah! Cornelia!"Itu suara tuanku yang tampan. Di mana dia? Aku tak dapat melihat apa pun. Hanya gelap yang menyelimuti di sekeliling."T-Tuan ...." Napasku terasa berat. Degup jantung tak beraturan. Ini menandakan aku sudah menyentuh batas kemampuan. Aku tak akan bisa lagi untuk berdiri, lalu bertarung dan membantu teman-teman.Aku tak tahu bagaimana posisiku saat ini, yang jelas aku
"Akhirnya, kita tiba di desa pertama setelah melewati hutan," ujar Aksa saat kami berhasil keluar dari hutan."Bukankah perkataanmu sangat aneh, Aksa. Benarkah ini sebuah desa?" tanyaku sambil mengernyit."Benar. Ini sebuah desa yang bernama Desa Kaswari. Namun, sayangnya pihak kerajaan sudah merenggut semuanya sehingga desa yang dulunya ramai ini menjadi desa yang sangat sepi."Mata kami mengedar ke sekeliling melihat keadaan desa yang porak-poranda."Putri Camelia sudah merenggut segalanya dari rakyat. Tempat tinggal kami, sumber daya kami, semuanya." Aksa tiba-tiba berwajah sedih."Mungkin kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Aku ingat yang kau bilang, Aksa. Semua wilayah di tanah ini sudah menjadi milik kerajaan, artinya prajurit kerajaan mengawasi setiap desa dan lahan-lahan bercocok tanam.""Ya, benar. Kita harus berhati-hati.""Ada yang datang!" ujar Pangeran Kalandra.Untung saja
Dadaku berdentum-dentum tak keruan melihat dua pria saling tatap dengan Tuan Mahawira. Ketiganya adalah pria yang sama-sama aku hormati, juga sama-sama berjasa dalam hidupku. Aku tidak ingin melihat mereka saling menyakiti. Meski begitu, mereka telah memutuskan untuk menyelesaikan konflik dengan tradisi pertarungan sampai mati.Pertarungan sampai mati merupakan tradisi yang biasa digunakan di sebuah kerajaan untuk memutus konflik antara dua orang atau lebih jika pembicaraan tidak menemukan solusi yang tepat. Sayangnya, hari ini salah satu dari mereka harus mati dalam pertarungan ini.Tatapan Tuan Mahawira tajam seperti biasa kala memandang musuh-musuh yang tak bisa diremehkan kemampuannya. Tentu saja, Tuan Birendra maupun Pangeran Kalandra juga berapi-api."Hiyaaaaattt!"Ketiga pria itu berteriak. Tuan Mahawira tak menunggu serangan dua pangeran, tetapi ia yang menjemput serangan mereka. Namun, perbedaan kekuatan telah terjadi.
Pedang milik Tuan Mahawira patah oleh tebasan pedang pria bertopeng yang baru saja datang entah dari mana. Kami bertiga membelalak, bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa pedang yang sudah ditunjang oleh energi artefak naga itu bisa patah.Tuan Mahawira segera menjauh dari dua pria bertopeng. Aku melihat kekesalan yang memuncak di wajah sang pangeran."Keparat."Waktunya sudah tiba. Aura di sekeliling tiba-tiba berubah drastis. Suhu udara yang semula dingin seketika menjadi panas. Ini adalah tanda-tanda saat kekuatan Tuan Mahawira akan mulai hilang kendali.Tak lama kemudian, api mengelilingi tubuh Tuan Mahawira. Tangannya mengepal keras. Tatapannya menajam tersirat sebuah makna ada dendam yang harus dibalas.Dua pria bertopeng menyadari suhu di sekeliling tiba-tiba panas. Mereka meningkatkan kewaspadaan dengan bersiap kembali menyerang.Akan tetapi, sebelum mereka mulai bergerak, Tuan Mahawira secepat kila
"Sudah kuputuskan. Aku akan ikut dengan kalian dan menyelamatkan Hana," kata Aksa dengan semangat membara sembari mengepal tangan kanan."Kau serius?!" tanyaku memastikan."Iya, aku sangat serius. Terima kasih karena sudah mengajariku arti penting dari sebuah pengorbanan."Tuan Mahawira kulihat menyunggingkan senyum. "Bagus. Begitulah seharusnya. Mari, kita berangkat."Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Istana Simaseba. Tentu saja, kali ini bertambah satu orang yang ikut dengan kami. Aksa, pria yang bertujuan menyelamatkan kekasihnya dari perbudakan."Aku tidak percaya kalian adalah rakyat biasa." Aksa tiba-tiba membuka percakapan sambil terus berjalan."Kenapa kau tak percaya? Apa penampilan kami tidak seperti rakyat biasa?" Tuan Mahawira menanggapi."Tidak hanya itu, tapi tak ada rakyat biasa yang sangat hebat dan berani seperti kalian. Aku merasa sangat lemah di antara kalian berdua."
"Kampung kami dirampas oleh Kerajaan Simaseba dan dijadikan sebagai wilayah untuk memperluas istana. Para rakyat ditangkap, lalu dipekerjakan tanpa imbalan untuk sebuah pembangunan. Anak-anak dijual, dijadikan bisnis dan budak. Sedangkan para lelaki yang masih remaja dipaksa untuk bekerja sebagai prajurit yang mengabdi kepada istana."Aksa seorang pria yang beberapa waktu lalu menyerang kami ternyata ialah warga dari sebuah desa yang dirampas oleh Kerajaan Simaseba. Jadi, itulah alasannya menggunakan lahan di samping sungai ini sebagai tempat peristirahatan."Maaf, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk menyerang kalian. Aku hanya berwaspada. Aku pun berpikir kalau kalian adalah orang jahat dari Simaseba," ucapnya dengan wajah sendu dan tertunduk.Aku dan Tuan Mahawira fokus mendengarkan cerita dari Aksa. Bagiku sendiri, apa yang dilakukan oleh Putri Camelia dan para menterinya adalah hal yang tidak berprikemanusiaan. Bagaimana bisa ia melakukan hal sa
Perjalanan menuju Kerajaan Simaseba tidak akan mudah. Ki Cakra berkata bahwa di perjalanan nanti kami akan menemui musuh-musuh yang tentunya merupakan utusan Putri Camelia. Ki Cakra juga memberikan sebuah kalung permata berwarna hijau yang berfungsi untuk memanggilnya jika saja Tuan Mahawira kehilangan kendali sewaktu-waktu.Masih ada potensi pria itu kehilangan kendali karena proses penyatuan energinya di dalam tabir jiwanya dengan artefak naga.Aku membawa perbekalan secukupnya dari istana. Sisanya, jika kekurangan nanti, aku kami bisa berburu di hutan. Apa gunanya kemampuan Tuan Mahawira yang ahli dalam memanah jika tidak digunakan? Tentu, aku sudah membawa busur dan puluhan anak panah milik Tuan Mahawira yang selalu ia gunakan saat berburu.Sudah cukup lama berjalan, kami berhenti sejenak untuk mengembalikan energi di tepi sebuah sungai."Wah, airnya jernih dan segar," kata Tuan Mahawira yang sedang mencuci wajahnya di sungai itu. "Cor
"Hah?! Apa yang terjadi?"Saat terbangun dari tidur, yang pertama kali kulihat ialah Tuan Mahawira. Aku membelalak seolah-olah lupa apa yang sebenarnya telah aku lakukan dengannya."Hmm ... Cornelia ... aku ingin menikmatimu sekali lagi ... hmm ...."Tuan Mahawira sepertinya sedang mengigau. Jangan-jangan aku sudah melakukan hal yang senonoh dengannya.Oh, tidak! Ya, Tuhan! Aku tidak p-p-perawan lagi."Tidak!"Tuan Mahawira langsung terbangun karena teriakanku yang kencang. Pria itu mengusap-usap kedua matanya dengan tangan. Rambutnya kacau sehabis bangun tidur."Kau kenapa, Cornelia?" tanyanya seolah tidak tahu apa-apa."Apa yang kau lakukan padaku, Tuan?!" tanyaku dengan nada tinggi sambil melotot tajam.Tak lama kemudian, Tuan Mahawira menampilkan ekspresi licik, ia menyeringai."Sudahlah, Cornelia. Semalam kau sudah memberikan aku kenikmatan yang tiada tara. Terima kasih