Beranda / Fiksi Sejarah / LORO / Bab 41 - Bab 50

Semua Bab LORO: Bab 41 - Bab 50

65 Bab

39. Terkuak sirna

Sejak mimpi aneh yang dialaminya beberapa belakangan membuat Raden Patah seakan tengah dilanda teka-teki yang harus ia kuak segera. Untuk mengawali itu Raden Patah kini harus berhadapan dengan Ayahandanya. Namun mereka bukan berbicara mengenai politik dan keadaan ekonomi Kerajaan Majapahit. Melainkan sesuatu yang mengarah pada hal yang tidak selayaknya Raden ajukan. "Ayahanda tidak pernah bercerita mengenai keadaan istana secara terbuka. Selalu saja kata baik, aman, damai, dan lancar saja. Saat ini aku menginginkan cerita istana dari mulut Ayahanda."Brawijaya yang sudah tiba beberapa jam lalu tersenyum simpul. Ia tahu jika anaknya saat ini mengalami kebimbangan yang berada di ambang batasnya. Dengan tenang Brawijaya mengiyakan permintaan Raden Patah.Keduanya menepi dari rombongan menuju ruang privasi milik Raden Patah. Di depan hanya dibatasi pagar yang dililit tanaman sulur hingga kesan hijau jelas memanjakan mata. Di sisi kiri terdapat kendi yang menampun
Baca selengkapnya

40. Gaung

Meraih anganku, mengapa sesulit itu? Kusentuh saja dia menjauh. Apa yang buruk dari diriku? Bahkan aku tidak pernah meminta untuk diberikan karunia langka. Letih dan jenuh itu menggerayangi jiwaku. Aku lelah akan kesedihan tanpa ujung. Keputus asaan menggulat dalam pikiranku. Kenapa? Hanya aku yang sadar, kah? Atau memang dia sengaja menutup mata? Tuhan, kenapa tidak engkau izinkan saja aku pergi dari lembah ini? Beri aku tali untuk kupanjat dan kudaki tebing yang menyimpan jiwaku disini. Agar aku dapat pergi. Tidak akan ada lagi jiwa yang mati karenaku. ***"Putri Zahra?" Zahra beranjak berdiri. Ia memandang ratusan prajurit yang mengelilinginya bak melihat bidadari surga turun ke dunia nyata. "Aku lega dapat menjemputmu. Syukurlah, Khertabumi tidak menyakitimu sedikit pun." Prajurit yang sedang berbicara itu memasukkan pedangnya kembali ke tempat. Ia menghampiri Zahra--lalu menunduk khidmat diikuti para prajurit lainnya. Zahra tercenga
Baca selengkapnya

41. Ungkap

"Chan?" Brawijaya turun dari atas kudanya. Seorang lelaki bersurai panjang dengan mata sipit menahan dadanya yang mengucurkan cairan kental berwarna merah. "Apa yang sudah terjadi?""Zahra telah berkongsi dengan Prabu Girindra, Gusti!" "Tidak mungkin!" Mendengar nama itu saja mampu membuat kepala Brawijaya V mendidih. "Kau pasti sudah mengada-ada!""Gusti!" Sunan Kalijaga duduk bersimpuh untuk membantu Chan. "Kita obati luka kisana ini terlebih dahulu.""Akh, baiklah!" Dengan sangat terpaksa Brawijaya harus menunda kepulanganny menuju kerajaan. Ia dan para prajurit membantu Chan masuk ke dalam pesantren untuk mengobati luka orang kepercayaannya itu."Saya tidak mengerti hubungan antara Gusti dengan kisana itu. Namun saya mohon agar Gusti tidak lagi menyembunyikan semua rahasia yang berkaitan dengan Zahra. Terlebih, saya sempat mendengar nama Prabu Girindra disebut. Ini bukan kabar baik yang Gusti simpan sendiri," kata Sunan, memberikan
Baca selengkapnya

42. Go Away

Perlu waktu berhari-hari agar rombongan yang dibawa oleh Patih  udara sampai ke kerajaan Daha di Kediri. Di sepanjang perjalanan para prajurit asyik bercerita mengenai lika-liku perjalanan mereka sewaktu dilantik menjadi prajurit di sana. Namun, tidak demikian dengan Patih udara  yang tengah fokus menuntun kuda yang dinaiki Zahra. Ia sendiri merupakan satunya wanita di antara rombongan tersebut. Jauh didalam lubuk hati yang terdalam ia merindukan sosok orang-orang yang telah membuatnya berakhir hingga seperti ini. Pikirannya mengelana pada seorang lelaki bersurai panjang dengan mata sipit dan bibir merah ranum yang selalu tersenyum ramah kepadanya. Bahkan saat ia menawarkan untuk mengajarkan tentang kehidupan, agama, dan rasa sakit akan masa lalu ia belajar untuk menjadi sosok wanita yang lebih baik, pikiran itu masih membekas begitu jelas di dalam kepalanya."Putri Zahra apa yang sedang Anda pikirkan? Nampaknya guratan kebingungan itu terlihat sangat j
Baca selengkapnya

Bab 43 :. Ilusi

Dewi amarawati berjalan tergopoh-gopoh menghampiri kereta kencana yang baru saja tiba di istananya. Perasaannya membuncah tatkala ia melihat suaminya turun dari dalam kereta megah tersebut. Kebahagiaannya bertambah kala sorot matanya melihat wajah Raden Patah yang ikut turun setelah Brawijaya. "Patah! Masya Allah Ibunda tidak menyangka jika kau akan datang ke istana. Mengapa tidak menitipkan pesan? Kan ibunda dapat menyiapkan jamuan terbaik untukmu!""Ohhh, jadi kedatanganku tidak kau sambut dengan jamuan terbaik, begitu?" Brawijaya melirik Dewi amarawati yang hanya tersenyum-senyum karena sindiran suaminya."Bukan begitu suamiku, mengenai seleramu dengan Patah, walaupun kalian adalah Bapak dan anak kandung, namun tetap saja kalian memiliki perbedaan. Iya, kan?""Terima kasih atas perhatian Ibunda. Patah akan makan apapun yang telah Ibunda siapkan. Lagi pula, maksud kedatangan Patah ke istana bukan bermaksud untuk menjelajahi kuliner terbaru d
Baca selengkapnya

Bab 44 : I There In You

"Perkembangannya sangat mencengangkan. Nampaknya, dia sudah bisa kita gunakan untuk bergabung dengan para pasukan.""Anda benar, Prabu. Kerajaan Majapahit sudah waktunya untuk kita ratakan! Lagipula, Putra sulung Gusti Brawijaya tidak akan meneruskan kekuasaan ayahnya. Dia lebih memilih untuk mengajarkan ajaran Islam di pulau ini ketimbang membantu ayahnya melindungi kerajaan."Prabu Girindra menenteng selendangnya. Senyumnya yang tipis mengisyaratkan sebuah tanda setuju dengan perkataan patihnya. Ia memandang lurus seorang wanita yang tengah berlatih pedang. Nampak kumal namun tetap anggun di matanya."Malang sekali wanita itu. Ditelantarkan Brawijaya setelah mendapatkan kurungan dan pengasingan." Prabu Girindra berdecak sembari menyunggingkan senyum. "Panggil Zahra setelah ia menyiap
Baca selengkapnya

Bab 45 : Huru-Hara

Ribuan prajurit berkumpul di padang lapang. Bersiap dengan kuda dan persenjataan yang telah disiapkan. Begitu pula dengan strategi terbaik yang mereka gunakan. Pasukan pemanah bersembunyi di balik perbukitan. Bersiap menyerang musuh dari kejauhan. Mereka menajamkan pandangan. Berusaha sebaik mungkin untuk meraih kemenangan. Pasukan pedang berjaga di tengah dan di sayap kiri-kanan. Sedang pasukan tombak menghadang dari depan. Lautan manusia tampak memadati lapangan terbuka di tengah hutan."Kau sudah bersiap?""Bahkan aku tidak dapat tidur nyenyak karena menunggu kesempatan ini!""Ya, lelaki yang menjadikanmu kain lap istana akan segera berakhir dengan tragis.""Aku bersumpah untuk membalas perbuatannya!"
Baca selengkapnya

Bab 46 : Now I Know

Seluruh tubuh Zahra bergetar hebat. Ia seakan tengah berada di ambang pencabutan jiwa. Kepalanya berdenyut nyeri, hingga ia menunduk bertumpu dengan tubuh Brawijaya yang hampir sekarat. Pandangan kabur dan beberapa kali ia sempat melihat para prajurit Daha yang datang secara bergerombol menerobos masuk ke dalam istana.***Aku dimana? Mengapa tidak ada darah, lagi?! Dimana si kurang ajar Raja itu?! Tanganku sudah geram ingin menusuk perutnya dan menghamburkan isi di dalam sana! Tetapi, apa yang sudah terjadi? Ini tidak seperti apa yang baru saja aku alami."Kinara!!!"Seorang anak lelaki keturunan bangsawan keraj
Baca selengkapnya

Bab 47 : The Dream

Jika hati memiliki mulut, mungkin saat ini sudah jutaan kata yang yang keluar darinya--melarangku untuk bersikap bodoh. Mengambil keputusan yang begitu aku anggap benar. Jika saja hati memiliki mata yang yang sama dengan milik wajah, mungkin sudah jutaan liter airmata mengalir. Membanjiri tiap lantai yang dipijak. Membuat tanah yang kering menjadi sedikit berair. Tuhan tidak menciptakanku seperti itu. Aku tidak tahu pasti alasannya mengapa. Namun, aku percaya jika ia tidak ingin membuatku remuk dalam satu waktu. Membiarkan yang ia ciptakan di dalam raga ini membantu yang lain untuk bertahan.Sama seperti kata dan wajahnya yang tidak lepas dari pandanganku. Mungkin saat ini aku tidak dapat menangis di hadapannya. Menge
Baca selengkapnya

Bab 48. Not Say Goodbye

Matahari terbenam diantara  ceruk awan. Melahap cahaya terang menggantikan dengan gelapnya malam. Dedaunan saling bergesek dengan suara primata yang sahut menyahut memberitahukan wilayah teritorial nya. Satu persatu cahaya mulai muncul dari jalan setapak. Api dari obor kayu yang dibawa oleh rombongan membawa mereka menuju sebuah pondok kecil di tepi sungai. Gemericik suara air mulai terdengar disambut dengan koloni kunang-kunang yang menghangatkan pandangan."Assalamualaikum, guru!" Seorang perempuan memakai selendang putih yang dililitkan ke kepalanya menunggu seseorang membuka pintu utama pondok tersebut. "Raden Patah! Ini aku, Zahra!"Para pengantar Zahra yang berasal dari pelayan Kapten Bum itu saling menatap.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status