Beranda / Fiksi Sejarah / LORO / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab LORO: Bab 21 - Bab 30

65 Bab

20. Tekanan

Hidup itu terbagi dua. Abadi dan fana. Namun, entah yang mana Zahra berada diantara dua golongan hidup. Bahkan saat ia dihujani dengan rasa sakit pun ia masih terjebak di dalam kecemasan. Seakan tabir itu begitu kokohnya mengukung Zahra dalam dimensi waktu yang tidak masuk akal."Zahra?"Wajah lelaki tirus dengan kulit putih susu menyapa pagi Zahra. Dia duduk membawa segelas air putih dan sepiring nasi. Zahra terdiam beberapa detik. Ia mengumpulkan kesadaran penuh setelah beberapa hari terkecamuk peristiwa sehari yang lalu."Kenapa kamu kembali?" Bibir Zahra yang kering pucat teratup. "Kamu makan dulu, ya." Lelaki itu membantu Zahra duduk, tetapi tangan Zahra lebih dulu menampik tangannya. "Zahra.""Jinbun!" Zahra mendorong piring yang dibawa Raden Patah hingga nasinya jatuh berserakan. "Kamu harusnya malu! Meninggalkan aku dan menyelamatkan aku tanpa membawa serta ayahku!""Jadi, kamu masih tidak percaya jika a
Baca selengkapnya

21. Pulih

Zahra terdiam untuk beberapa saat. Ia menyingkirkan tangan Raden Patah agar menjauh dari wajahnya. "Setidaknya, hari ini kamu bercerita mengenai kabar ayahku."Entah bagaimana nasib Kapten itu sekarang. Jika pun selamat sudah dipastikan ia dibawa para prajurit Majapahit ke Istana. Apa yang ditakuti Kapten itu akan terjadi. Tentang Zahra yang akan pergi menemui Brawijaya dan membalaskan dendam pada Raja tersebut."Kita berdoa agar ayahmu senantiasa dalam lindungan Allah.""Allah?" Zahra mencebikkan bibirnya. "Dimana Allah ketika ketidakadilan terus terjadi padaku?!""Kamu tau? Tanda-tanda Allah menyayangi hambanya adalah dengan mengirimkan ujian kepada mereka. Dan ketika mereka melaluinya dengan sabar dan bertawakal, Allah akan mengangkat derajat hambanya."Angin bertiup lambat--menyisir helai perhelai rambut Zahra. "Omong kosong!" Wajah Zahra menatap depan dengan pandangan yang kosong. "Aku ... bukan hamba yang
Baca selengkapnya

22. Canggung

Menjelang tengah hari Raden Patah mengajak Zahra untuk pulang. Gadis itu diminta berjalan di belakang, sedang ia menuntun di depan. Melewati jalan setapak Zahra tidak hanya memperhatikan langkahnya. Namun, juga seorang lelaki semampai bersurai panjang yang sekarang menoleh ke belakang. Terlalu mendadak baginya. Zahra lekas membuang wajah ke samping menghindari senyum usil Raden Patah."Kamu lucu.""Ha?! Apa?""Enggak, tadi ada serangga lewat." Raden Patah kembali pada posisinya. Ia tahu jika Zahra tengah salah tingkah di belakang sana."Kita--maksud aku ... eng ... kenapa harus kayak gini?""Gini gimana?"Zahra mengakat kepalanya. Memperhatikan Raden Patah yang sibuk mengangkat beberapa ranting untuk dilewati."Deket. Kamu kan tau, aku ... pernah--""Suka sama aku?""Hah?" Mengedipkan mata tiga kali Zahra hampir dibuat limbung dengan tatapan Raden Patah.Sumber: Pinterest"Tuh, ka
Baca selengkapnya

23. Kenapa?

 Raja Brawijaya duduk di atas singasana megah. Ia sedang mengikuti jalannya pertemuan dengan salah satu Laksamana terkenal yang sudah berjasa membawa Tan Eng Kian ke Majapahit puluhan tahun yang silam. Laksaman Cheng Ho namanya. Ia membawa armada besar di era Dinasti Ming. Saat ini Cheng Ho datang berkunjung sekaligus menemui Brawijaya."Kudengar daratan Melayu mengalami penyerangan oleh pasukanmu. Apakah itu benar?""Darimana kau mendapat berita itu? Aku bahkan masih sibuk dengan pengelolaan pasar beras yang kudistribusikan ke wilayah Nusantara.""Aku mendengarnya dari para pedagang yang mengambil kain dari penyuplai asal Cina. Yang paling membuatku terkejut adalah kabar penumpasan pekerja saudagar asal Cina itu. Dan kau tau? Dia pernah satu pelayaran denganku."Menyeruput teh sejenak Brawijaya menatap Cheng Ho dengan lekat. Kabar yang dibawa laksama itu tentu saja cukup mengejutkan baginya. Selama ini, tidak sekali pun ia menyentuh keris ma
Baca selengkapnya

24. Secuil Kebenaran

Mulanya semua terlihat normal. Makanan terhidang di atas meja. Minuman segar sudah diracik di dalam teko. Harusnya semua yang ada disana sudah dapat menikmati sarapan pagi. Namun, kekacauan baru bermula ketika Zahra datang membawa serta seekor kuda."Kudaku belum makan seharian ini. Apakah kalian tidak memiliki rumput yang bagus untuknya?"Mereka minus Raden Patah menganga lebar melihat kuda putih itu masuk ke dalam rumah. Zahra nampak tenang tanpa rasa bersalah telah mengotori lantai di rumah. Tan berdiri--merangkul Zahra membawa serta Hans--kudanya untuk keluar."Bibi, kudaku butuh makan.""Ibu, panggil aku Ibu!" Tan tersenyum mengelus rambut Zahra. "Aku tau dimana rumput bermutu ditanam.""Kasihan Hans. Dia terlihat tidak baik setelah memakan rumput perkarangan rumah kalian."Tan melirik Arya yang hampir menyemburkan minum ke depan. Pasti ulah suaminya yang telah memberikan obat racun agar rumput liar lekas mati dan mudah untuk dibersihka
Baca selengkapnya

25. Berlabuh

Dedaunan kering berguguran. Angin berembus lembut membawa dedaunan rapuh menyentuh tanah yang lembab. Sinar mentari menyembul dari balik pepohonan di hutan. Koloni hewan keluar dari sangkar mencari makanan. Begitu pula dengan para penduduk warga Palembang yang sudah mulai beraktivitas.Ada lelaki tua yang membopong cangkul di atas pundak. Ia membawa serta anak istrinya yang menenteng teko dan keranjang kecil berisi makanan. Terlihatlah mereka berbelok ke kiri menuju sawah. Kerbau yang di bawa si anak berbunyi lembut menunjukkan semangatnya bekerja.Di tempat lain seorang lelaki berkelompok membawa jaring dan pelita kecil dari arah laut. Orang di belakang mereka membawa beberapa keranjang berisi ikan segar. Nampaknya, petang malam tadi baru saja mereka melaut. Di rumah Arya Damar lha kini beberapa pejabat Palembang berkumpul. Mereka sengaja datang untuk bertemu Raden Patah murid dari Sunan Ampel yang merupakan keturunan langsung Raja Brawijaya V dari keraja
Baca selengkapnya

26. Anomali

Menikah? Bahkan kata itu terdengar begitu nyata sekarang. Mengenai dua orang asing yang nantinya disandingkan untuk menjalani hidup bersama. Ingatkan Zahra jika saat ini usianya bahkan masih belum menginjak usia 18 tahun. Ia memang hidup lebih lama dari usia itu, namun mau bagaimana pun raga yang ia tempati tidak benar-benar ia miliki. Dimensi Zahra dan Raden Patah begitu berbeda jauh. Tidak seharusnya Zahra merebut kehidupan Kinara. Waktu wanita itu kini seakan berhenti karena dirinya.Kini, hanya suara angin yang membantu selayar kapal berlayar. Zahra memalingkan wajahnya--memandang hamparan ombak laut yang bergelung lembut. Ia tidak pernah segugup dan seragu ini sebelumnya. Ia tidak memiliki tujuan apa pun selain mati dan berharap kembali ke dunianya. Namun, untuk sekali lagi. Raden Patah memberikan energi baik yang mencegah keinginan itu membucah. Lelaki itu seakan membawa tiap napas Zahra berembus pelan pada tiap tutur kata dan perilakunya."Aku sangat terkejut ka
Baca selengkapnya

26. Anomali

Menikah? Bahkan kata itu terdengar begitu nyata sekarang. Mengenai dua orang asing yang nantinya disandingkan untuk menjalani hidup bersama. Ingatkan Zahra jika saat ini usianya bahkan masih belum menginjak usia 18 tahun. Ia memang hidup lebih lama dari usia itu, namun mau bagaimana pun raga yang ia tempati tidak benar-benar ia miliki. Dimensi Zahra dan Raden Patah begitu berbeda jauh. Tidak seharusnya Zahra merebut kehidupan Kinara. Waktu wanita itu kini seakan berhenti karena dirinya.Kini, hanya suara angin yang membantu selayar kapal berlayar. Zahra memalingkan wajahnya--memandang hamparan ombak laut yang bergelung lembut. Ia tidak pernah segugup dan seragu ini sebelumnya. Ia tidak memiliki tujuan apa pun selain mati dan berharap kembali ke dunianya. Namun, untuk sekali lagi. Raden Patah memberikan energi baik yang mencegah keinginan itu membucah. Lelaki itu seakan membawa tiap napas Zahra berembus pelan pada tiap tutur kata dan perilakunya."Aku sangat terkejut ka
Baca selengkapnya

27. Dikucilkan

Jika aku mati, aku ingin kembali dimana seharusnya aku berada, Tuhan. Ini bukan tempatku. Aku tidak sanggup menahan penderitaan yang seharusnya bukan tanggunganku. Ini lebih sulit ketika semuanya masih di atas putih abu-abu. Aku tidak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar.Perasaanku sudah rapuh. Sudah sepatutnya perasaan ini berlabuh sampai disini. Aku tidak dapat menahan rasa sakit itu. Aku jatuh cinta kepada orang yang salah, Tuhan. Dia bukan milikku, namun kuingin memilikinya. Aku tak kuasa bila harus melepasnya dengan mata yang sekarang aku lihat. Aku tidak sanggup! Aku ingin semua ini selesai ketika aku tidak lagi bernapas di dunia ini.Tapi kenapa?! Sekalipun dadaku sudah sesesak ini aku masih ingin menangisinya? Airmataku sudah bersatu dengan lautmu, tapi mengapa engkau masih menghidupiku dengan perasaan ini?! Kapten, Bibi Galih, pelayan, semuanya pergi meninggalkan Zahra. Harus bagaimana aku menahan rasa yang sama untuk orang yang aku cintai?Tuhan, b
Baca selengkapnya

28. Angan

Senja menanti malam. Langit Jingga pun perlahan menghilang. Raja Brawijaya menutup pintu akses pintu balkon menuju kamarnya. Ia menghidangkan senyum kepada Amarawati yang sedang duduk di pinggiran ranjang."Dinda sudah pulang?" Amarawati mengangguk khidmat. Dua bulan ini ia memang sengaja pergi ke salah satu pulau Sumatra untuk meninjau komoditi gula pasir dan rempah-rempahan. "Saya mendengar jika Kanda baru saja tiba ke Istana tadi pagi. Ada urusan apa yang membuat Kanda pulang selambat itu?""Penting." Brawijaya tidak menanggapi secara panjang lebar. Ia bahkan duduk di atas kursi dan dilanjutkan dengan pergantian busana oleh beberapa dayang yang datang."Boleh saya tau sepenting apa urusan Kanda?"Brawijaya mengangkat tangannya setengah tiang. Para dayang lekas pergi dari dalam kamar Raja setelah mendapatkan isyarat tersebut."Kanda menelusuri jejak pemberantasan keluarga Kapten Bumyen yang rumornya dihabisi oleh prajuri
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status