Perlu waktu berhari-hari agar rombongan yang dibawa oleh Patih udara sampai ke kerajaan Daha di Kediri. Di sepanjang perjalanan para prajurit asyik bercerita mengenai lika-liku perjalanan mereka sewaktu dilantik menjadi prajurit di sana. Namun, tidak demikian dengan Patih udara yang tengah fokus menuntun kuda yang dinaiki Zahra. Ia sendiri merupakan satunya wanita di antara rombongan tersebut.
Jauh didalam lubuk hati yang terdalam ia merindukan sosok orang-orang yang telah membuatnya berakhir hingga seperti ini. Pikirannya mengelana pada seorang lelaki bersurai panjang dengan mata sipit dan bibir merah ranum yang selalu tersenyum ramah kepadanya. Bahkan saat ia menawarkan untuk mengajarkan tentang kehidupan, agama, dan rasa sakit akan masa lalu ia belajar untuk menjadi sosok wanita yang lebih baik, pikiran itu masih membekas begitu jelas di dalam kepalanya.
"Putri Zahra apa yang sedang Anda pikirkan? Nampaknya guratan kebingungan itu terlihat sangat j
Dewi amarawati berjalan tergopoh-gopoh menghampiri kereta kencana yang baru saja tiba di istananya. Perasaannya membuncah tatkala ia melihat suaminya turun dari dalam kereta megah tersebut. Kebahagiaannya bertambah kala sorot matanya melihat wajah Raden Patah yang ikut turun setelah Brawijaya."Patah! Masya Allah Ibunda tidak menyangka jika kau akan datang ke istana. Mengapa tidak menitipkan pesan? Kan ibunda dapat menyiapkan jamuan terbaik untukmu!""Ohhh, jadi kedatanganku tidak kau sambut dengan jamuan terbaik, begitu?" Brawijaya melirik Dewi amarawati yang hanya tersenyum-senyum karena sindiran suaminya."Bukan begitu suamiku, mengenai seleramu dengan Patah, walaupun kalian adalah Bapak dan anak kandung, namun tetap saja kalian memiliki perbedaan. Iya, kan?""Terima kasih atas perhatian Ibunda. Patah akan makan apapun yang telah Ibunda siapkan. Lagi pula, maksud kedatangan Patah ke istana bukan bermaksud untuk menjelajahi kuliner terbaru d
"Perkembangannya sangat mencengangkan. Nampaknya, dia sudah bisa kita gunakan untuk bergabung dengan para pasukan.""Anda benar, Prabu. Kerajaan Majapahit sudah waktunya untuk kita ratakan! Lagipula, Putra sulung Gusti Brawijaya tidak akan meneruskan kekuasaan ayahnya. Dia lebih memilih untuk mengajarkan ajaran Islam di pulau ini ketimbang membantu ayahnya melindungi kerajaan."Prabu Girindra menenteng selendangnya. Senyumnya yang tipis mengisyaratkan sebuah tanda setuju dengan perkataan patihnya. Ia memandang lurus seorang wanita yang tengah berlatih pedang. Nampak kumal namun tetap anggun di matanya."Malang sekali wanita itu. Ditelantarkan Brawijaya setelah mendapatkan kurungan dan pengasingan." Prabu Girindra berdecak sembari menyunggingkan senyum. "Panggil Zahra setelah ia menyiap
Ribuan prajurit berkumpul di padang lapang. Bersiap dengan kuda dan persenjataan yang telah disiapkan. Begitu pula dengan strategi terbaik yang mereka gunakan. Pasukan pemanah bersembunyi di balik perbukitan. Bersiap menyerang musuh dari kejauhan. Mereka menajamkan pandangan. Berusaha sebaik mungkin untuk meraih kemenangan. Pasukan pedang berjaga di tengah dan di sayap kiri-kanan. Sedang pasukan tombak menghadang dari depan. Lautan manusia tampak memadati lapangan terbuka di tengah hutan."Kau sudah bersiap?""Bahkan aku tidak dapat tidur nyenyak karena menunggu kesempatan ini!""Ya, lelaki yang menjadikanmu kain lap istana akan segera berakhir dengan tragis.""Aku bersumpah untuk membalas perbuatannya!"
Seluruh tubuh Zahra bergetar hebat. Ia seakan tengah berada di ambang pencabutan jiwa. Kepalanya berdenyut nyeri, hingga ia menunduk bertumpu dengan tubuh Brawijaya yang hampir sekarat. Pandangan kabur dan beberapa kali ia sempat melihat para prajurit Daha yang datang secara bergerombol menerobos masuk ke dalam istana.***Aku dimana? Mengapa tidak ada darah, lagi?! Dimana si kurang ajar Raja itu?! Tanganku sudah geram ingin menusuk perutnya dan menghamburkan isi di dalam sana! Tetapi, apa yang sudah terjadi? Ini tidak seperti apa yang baru saja aku alami."Kinara!!!"Seorang anak lelaki keturunan bangsawan keraj
Jika hati memiliki mulut, mungkin saat ini sudah jutaan kata yang yang keluar darinya--melarangku untuk bersikap bodoh. Mengambil keputusan yang begitu aku anggap benar. Jika saja hati memiliki mata yang yang sama dengan milik wajah, mungkin sudah jutaan liter airmata mengalir. Membanjiri tiap lantai yang dipijak. Membuat tanah yang kering menjadi sedikit berair. Tuhan tidak menciptakanku seperti itu. Aku tidak tahu pasti alasannya mengapa. Namun, aku percaya jika ia tidak ingin membuatku remuk dalam satu waktu. Membiarkan yang ia ciptakan di dalam raga ini membantu yang lain untuk bertahan.Sama seperti kata dan wajahnya yang tidak lepas dari pandanganku. Mungkin saat ini aku tidak dapat menangis di hadapannya. Menge
Matahari terbenam diantara ceruk awan. Melahap cahaya terang menggantikan dengan gelapnya malam. Dedaunan saling bergesek dengan suara primata yang sahut menyahut memberitahukan wilayah teritorial nya. Satu persatu cahaya mulai muncul dari jalan setapak. Api dari obor kayu yang dibawa oleh rombongan membawa mereka menuju sebuah pondok kecil di tepi sungai. Gemericik suara air mulai terdengar disambut dengan koloni kunang-kunang yang menghangatkan pandangan."Assalamualaikum, guru!" Seorang perempuan memakai selendang putih yang dililitkan ke kepalanya menunggu seseorang membuka pintu utama pondok tersebut. "Raden Patah! Ini aku, Zahra!"Para pengantar Zahra yang berasal dari pelayan Kapten Bum itu saling menatap.
"Tidak, Zahra!"Seorang lelaki berkulit putih datang dengan beberapa bekas luka hantaman. Ia berusaha mendesak masuk. Matanya tak lepas dari tubuh Zahra yang tergantung di atas penyangga kayu. Suara dengung terdengar meriuhkan hari berkabung itu. Tanpa alas kaki, lelaki yang nampak lebih kurus itu histeris meminta masuk."Biarkan aku menyelamatkan anakku! Dia tidak bersalah! Kalian lah yang telah membunuh negeri ini!"Bumyen--seorang Kapten yang tidak lagi memiliki kuasanya. Keluarga nya telah banyak dihabisi oleh pihak kerajaan yang menginginkan sebuah kekuasaan. Ia dikurung, diminta menutup mulut, dan menghapus segala kenangan dengan tawa dan bahagia.Matanya berembun, perlahan-lahan mulai menitihkan air mata. Kini bola matanya berg
Angin berembus. Awan nampak mulai menghitam. Berkumpul dan mengelilingi langit-langit. Suara gemuruh belum terdengar, mungkin nanti. Biar cuaca sedang tidak cerah Raden Patah tetap berdiri di luar. Menghabiskan separuh waktu sorenya di taman dengan beberapa kumpulan para burung. Ia ingat, bagaimana dulu seekor burung membuatnya bertanya. Apakah saat ini burung itu masih hidup? Pertanyaan kecil itu bersarang di hatinya."Kanda," panggil Sayyidah. Datang dengan perutnya yang sudah besar. Kata dukun bayi beberapa minggu lagi ia akan melahirkan. "Apa masih memikirkan Zahra?""Maafkan Kanda, Dinda." Raden Patah menunduk. Sayyidah mengambil tempat di sebelah suaminya. Ia meletakkan kepalanya di bahu Raden Patah. Berusaha memberikan suaminya kekuatan dari kasih dan sayang. "Kanda sudah sangat berdosa padamu. Mencintai perempuan lain, sedang is
Ant turun dari mobil. Berjalan ke samping dan membukakan pintu untuk Zahra. Keduanya berjalan masuk ke palataran Masjid. Ant sedikit ragu dengan tatapan Zahra yang nampak menyedihkan. Bahkan gadis itu kini menitihkan air mata tanpa sebab. Ant pun membiarkan Zahra berkeliling seorang diri. Gadis itu seperti orang yang baru saja ditinggalkan kekasih.Zahra terdiam beberapa menit. Ia menyapu wajahnya dengan tangan. Namun, perlahan bayangan seseorang hadir di kepalanya. Dia seorang pria, tersenyum dengan bajunya yang berkibar di terpa angin.Zahra mengirup napas sesak. Ia kembali melihat pria yang sama. Ia menarik tangan seorang wanita ke atas kuda. Saat melihat wanita itu Zahra terhenyak. Itu dirinya! Napas Zahra semakin terdengar lirih. Ia terjatuh dan membuat Ant terkejut hebat."Zahra!
Angin menyisir dedaunan dengan lembut. Membawa sehelai daun kering ke arah jendela yang terbuka. Meniupnya ke atas tubuh yang terbaring lemah di atas ranjang putih. Suara mesin peralatan medis berbunyi lembut. Menghantarkan suasana hening sesaat sebelum seorang lelaki sampai membuka pintu. Ia menutup pintu kembali. Membawa sebuah buku dan duduk di sebelah perempuan yang sedang terbaring itu."Ra, aku bawa komik kesukaan kamu lagi, nih. Edisi terbaru dari komik kemarin yang aku bacain." Lelaki itu terdiam beberapa saat. Ia mengambil sehelai daun kering yang menempel di atas selimut. "Bahkan kamu masih enggak mau buka mata walaupun udah aku bawain semua yang kamu suka."Ant, sahabat Zahra yang selalu setia menjenguk Zahra setiap minggunya di rumah sakit. Ia tidak tau apa yang terjadi dengan gadis itu setelah kejadian tiga bulan yang lalu.
Siang itu matahari bersinar dengan terik. Entah ia sedang labil atau kah bumi yang sedang bimbang? Baru saja ia menurunkan air bah yang datang dengan derasnya. Kini ia menghujani permukaan dengan sengatan yang terasa panas. Bahkan tanah yang basah pun kering dengan cepat. Sulit menemukan jejak jika barusan di tempat itu hujan turun beberapa jam yang lalu.Bahkan tubuh Zahra kini sudah mengering. Ia merasa normal kembali ketika sengatan matahari menyentuh kulit. Ia terjatuh di antara dedaunan kering. Bibirnya sangat pucat dan pecah di beberapa tempat. Ia kehausan, tak dapat berjalan, hingga akhirnya menutup mata sembari terbaring di bakar sinar matahari."Apakah kau ingin pulang?" Zahra membuka matanya perlahan. Ia menyipit, namun masih dapat melihat dengan jelas siapa o
Orang lain sering berkata jika hidup ini tak pernah pasti. Namun mereka lupa jika ada Dzat yang sudah menentukan garis takdir di hidup tiap insan. Kita lalai, tak acuh, menganggap segalanya dapat kita kendalikan. Lantas, apa yang dapat kita buat untuk bangkit dari kenyataan yang tak diinginkan? ~ZAHRA~Hujan turun dengan deras. Membelah dedaunan lebat. Menepis angin yang bertiup kencang. Zahra duduk di bawah pohon besar. Ia tidak sedang berteduh. Hanya lelah untuk melangkah. Pandangannya kosong, ia tak dapat mengeluarkan air mata lagi.Zahra menatap tangannya , melihat bayangan putih di sana. Tepat dua jam yang lalu setelah ia memutuskan pergi dari kawasan Demak satu-persatu bagaian tubuhnya mengalami perubahan. Ia tak dapat merasakan sakit ketika terjatu
Aku berkaca pada dunia. Tentang kenangan yang ia bawa. Menyimpan cerita di balik luka. Menghapus luka pada rintik hujan yang ia tinggalkan. Mengajarkanku tersenyum dengan menengadah ke atas langit. Dunia yang luar biasa dengan segala isinya. Allah menuntunku dalam dunia ini. Mengajarkan ku banyak hal tentang arti mencintai. Juga melepaskan serta mengikhlaskan. Allah tahu apa yang ada di balik senyumku. Mendekapku yang diam ketakutan pada ketidakmampuan.Kini aku mencoba berdiri. Berlari ke tempat yang ku mau. Jika aku butuh, aku takkan berlari ke muara hatinya lagi. Cukup Allah yang menjagaku. Tiada tempat yang paling aman selain disisinya.Jujur, jika aku tak percaya pada Allah, sudah sejak dulu aku tak mampu. Aku lemah, hidup dalam am
Sang singa membawa Zahra mendaki bukit. Ia berlari sangat kencang. Bahkan hewan yang sedang melintas bergegas menyingkir. Rambut Zahra berkibar mengikuti arah angin. Ia tidak tahu kemana singa itu membawanya. Namun ia telah terlanjur memberikan kepercayaan kepada singa tersebut.Perlahan singa itu mulai bergerak lebih lambat. Zahra mengerutkan kening, perasaan was-was hinggap di hatinya."Aku mencium aromanya," kata singa. Zahra turun dari atas tubuh sang Singa. Ia mengelus rambut singa itu dengan lembut. "Jangan perlakukan aku seperti hewan lainnya. Kau tidak ingin menyesal, bukan?"Zahra mencebik. Namun ia terperangah ketika melihat tangannya berubah tembus pandang. Zahra meraih tangan kanannya, kemudian tangan itu mulai kembali ke bentuk semula.
Langkah derap kaki pasukan berkuda memecah keheningan di malam hari. pasukan Demak bertambah setelah Sunan Kalijaga sengaja mengirimkan tambahan pasukan untuk menjaga Raja mereka. kini kuda yang tadinya diletakkan di tengah lapangan di depan kawasan hutan dibawa masuk oleh pasukan yang menyusul.Walaupun sedikit kesal namun Raden patah terpaksa menaiki kuda itu. Sebab iya tahu sunan Kalijaga sangat mengerti apa yang terbaik untuk dirinya. Raden tahu jika Sunan pun menyimpan rasa terhadap Zahra, namun ia tidak dapat merestui hubungan itu. Zahra adalah wanita di masa lalu ayahnya, lalu jiwanya bersemayam di sana. Entahlah, namun hati Raden mentoleransi persepsi itu.Belum sampai masalah selesai, Raden dikejutkan dengan kehadiran Sunan Kalijaga. Lelaki itu dengan gagah berani menunggangi kudanya. Raden terpana, juga prajurit yang lain. Bah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Gimana uts kalian, guys? Semoga dapat hasil yang maksimal ya, aamiin.Happy reading ❤️❤️❤️....Ratusan anak panah beterbangan di langit. Bak pasukan burung yang siap bermigrasi. Kali ini panah itu mengincar seorang perempuan saja. Sayangnya, ratusan panah itu seakan tak mampu untuk menjangkau target mereka. Perempuan itu berlari tanpa peduli lelah, ia mengangkat gaunnya, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan jika jaraknya sudah sangat jauh dari para pengejar."Hei, mau kemana kau?!" Salah seorang lelaki tiba-tiba menghadang. Ia tersenyum licik ketika melihat wajah perempu
Manusia seringkali lupa jika apa yang terjadi saat ini akan menjadi masa lalu di esok hari. Bahkan ketika ia sadar jika waktu tidak pernah diam ia masih memilih untuk mengabaikan hal-hal yang begitu penting untuk saat-saat di penghujung hari nanti. Lantas ia mengeluhkan waktu yang begitu sempit ketika ingin menuntaskan pekerjaan yang padat. Tugas menumpuk, sedangkan waktu hanya melambai saja menantinya. Ada penyesalan di saat seperti itu, namun entah mengapa kita sering mengulangi hal yang sama. Apakah kesalahan itu sengaja dilakukan karena bujuk rayu setan yang begitu kuat? Ataukah, diri kita sendiri yang dengan sengaja melalaikan waktu?Pertanyaan semacam ini seharusnya dipikirkan Zahra sejak dulu. Mungkin alasan ia tersesat di lorong waktu karena sikapnya yang acuh pada kehidupan. Mengabaikan semua hal demi kepentingan pribadi yang sudah cukup membuatnya senang. Katakan saja ia egois,