Beranda / Thriller / Cruel Boy / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Cruel Boy: Bab 11 - Bab 20

65 Bab

10. Emosi

Sore hari di tengah kota mendadak hening, biasanya banyak orang yang berlalu lalang. Kali ini tidak, karena mereka bersembunyi sambil menatap seorang pemuda dari jauh. Jadi, hanya kendaraan saja yang melintas di jalan besar.Pemuda itu adalah Rafan, wajar mereka takut. Penampilan Rafan sedikit kotor, di kedua telapak tangannya dan pisau lipat yang dia genggam penuh darah. Bahkan di pakaiannya ada sedikit bercak darah, karena baru saja membunuh Bram Revaldo. Rafan berjalan di tengah kota, sambil menatap kosong ke depan.Sejak berita pembantaian yang tadi dia lakukan sudah tersebar, semua orang di kota terkejut. Keluarga Alexander sebenarnya memiliki anak kembar, dan masih tidak percaya bila pemuda kejam itu anak sulungnya. Setelah Rafan tidak terlihat di tengah kota, semua orang kembali berlalu lalang.****Sampai di ujung kota, Rafan tidak ke rumah kecilnya. Melainkan masuk kedalam hutan, menuju bukit tempat biasa duduk. Lalu merebahkan d
Baca selengkapnya

11. Licik

Di rumah kecil, ujung kota terlihat Rafan sedang duduk terdiam. Lalu beranjak menuju hutan lagi. Mulai berjalan santai mengelilingi luasnya hutan, semenjak kematian Bram. Rafan tidak mood membuat teror, dia hanya melakukannya bila ada yang mengusiknya saja.Masih berkeliling, lalu duduk di atas bebatuan besar, sambil melihat hewan liar berkeliaran di dalam hutan. Tanpa takut diserang, lagi pula Rafan tidak mengganggu hewan liar hanya melihat saja.“Lebih tenang, dibandingkan bersama orang-orang di kota,” gumam Rafan, terus memperhatikan berbagai hewan liar yang mulai berkeliaran di sekitarnya. Lalu ada anjing liar yang mendekat, tetapi tidak menyerang Rafan. Hanya mengendusnya sebentar, lalu duduk di sebelah Rafan.Rafan mencoba menyentuh kepala anjing itu, awalnya terganggu dan berniat menyerang. Rafan terus mencoba, akhirnya berhasil lalu mengelus kepala anjing liar itu, menjadi tenang dan jinak. Perlahan anjing liar lain mendekat, bahkan
Baca selengkapnya

12. Terbongkar

Pagi hari, saat sarapan Refan masih terdiam. Ketika hendak berangkat, orang tuanya langsung menarik tangannya dan mengajak berangkat bersama, kebetulan ada rapat orang tua di sekolah. Refan hanya diam, mengikuti mereka masuk ke mobil. Selama di perjalanan menuju sekolah, suasana begitu hening. Refan terus menatap ke arah jendela mobil, hingga sampai di sekolah.“Ayo,” ajak orang tuanya.Refan hanya menatap orang tuanya sebentar, tidak menjawab, dan memilih diam di dalam mobil. Orang tuanya hanya menghela napas pasrah, lalu masuk ke aula untuk rapat. Setelah orangtuanya masuk, Refan masih di dalam mobil, kebetulan rapat jadi free class. Tidak lama kemudian, ketiga temannya datang menghampirinya.“Tidak mau keluar?” tanya Kevan.Lagi-lagi Refan hanya diam, sambil menatap kosong ke arah mereka. Ketiga temannya bingung harus melakukan apa lagi, supaya Refan mau bicara. Kevan menarik tangan Refan, lalu mengajaknya keluar dari m
Baca selengkapnya

13. Flashback

Rafan keluar dari hutan, berjalan menuju jalan besar. Langkahnya terhenti, saat melihat Refan berlari dikejar lima orang asing.“Jadi sudah dimulai kah? Dasar licik.” Rafan langsung mengikuti mereka.Sementara itu, Refan terus meracau. “Pergi! Pergi! Pergi!” Beringsut menjauh dari mereka, melihat ada celah Refan langsung lari keluar dari gang. Akan tetapi gagal, karena mereka berhasil menangkapnya lagi.“Lepas! Lepas!” racau Refan, berusaha melepaskan diri dari mereka.“Tidak, sebelum tugas kami selesai. Mambuatmu tertekan dan gila. Mati kau!” seru mereka, sambil menakuti Refan dengan pisau lipatnya lagi seolah-olah ingin membunuh.“Haaaa! Pergi! Pergi!” teriak Refan histeris, sambil menutup mata dan kedua tangannya menutup telinga.Mereka berhasil membuat Refan tertekan, ditambah Refan sudah kacau semakin mempermudah tugas mereka.“Sepertinya seru, bila melukainya sedi
Baca selengkapnya

14. Bertemu

Setelah mengingat hal itu, Rafan langsung menatap dingin ke arah Arta lagi.“Tidak mungkin!” seru Arta tidak percaya. Jika, lima anak buahnya yang ditugaskan untuk membuat Refan tertekan sudah mati.Rafan mengabaikannya perkataan Arta, lalu menjatuhkan pisau lipat milik Arya dan berniat pergi dari sekolah. Sedangkan Arta mulai emosi, tanpa pikir panjang langsung mengambil pisau lipat milik Arya yang tadi dijatuhkan dan menyerang Rafan yang hendak pergi.Sayangnya gagal, sebelum Arta menusuk pisau lipat itu ke punggung belakangnya, Rafan refleks berbalik, lalu menangkap dan mematahkan tangan Arta membuat pisau yang ada di genggamannya terjatuh.“Ayah!" teriak Arya panik, melihat tangan Arta dipatahkan.“L-le-pas aaarrgghhh!” teriaknya lagi, karena lengannya dipelintir paksa oleh Rafan.“Kau duluan yang menyerang, ‘kan? Jadi, jangan salahkan aku kalau kau mati,” tutur Rafan, sambil menat
Baca selengkapnya

15. Refan Pulih

Besoknya ketiga teman Refan datang menjenguk, Rafan masih ada di sana hanya untuk memenuhi permintaan Refan. Rafan memilih duduk di balkon mengabaikan mereka semua, yang datang menjenguk Rafan.“Kau sudah tidak apa-apa?” tanya ketiga temannya.“Y-ya,” balas Refan, masih sedikit takut bila ada yang mendekatinya.Kevan melirik ke arah Rafan, yang sedang duduk di balkon kamar inap Refan.Selama tiga minggu di sekolah bukan Refan. Melainkan kakak kembarnya. Hah, kenapa aku baru sadar, dengan keanehannya?Kevan, mencoba mengingat lagi.****Sejak Refan bolos, besoknya jadi pendiam sekali. Bahkan pertama kali Arya mulai mengganggu Refan, Kevan pernah melihat kejanggalan, selalu diabaikan karena tidak yakin. Tapi, setelah kedua kalinya melihat hal aneh dari Refan, Kevan mulai merasa bodoh sendiri. Bisa-bisanya mengabaikan hal janggal itu.Aku benar-benar bodoh!
Baca selengkapnya

16. Emosi Rafan

“Save me if I become, My demons.”‘My demons by Starset’•••Di rumah sakit, setelah Rafan pergi. Mereka bertiga terdiam, ingin mengejar tetapi Rafan sudah pergi cepat sekali.“Baru sadar sekarang! Dulu ke mana saja!” teriak Refan, tidak terima Rafan pergi lagi.“Maaf,” ucap pelan orang tuanya.“Kenapa minta maaf kepadaku? Harusnya kepada kakak, kalian yang membuat kakak seperti itu!” teriak Refan muak.Dokter yang merawat Refan datang, mencoba menenangkan dan menjelaskan sesuatu.“Tolong tenang, ini rumah sakit!” sahut Dokter, membuat mereka terdiam. “Saya ingin memberitahu sesuatu.”“Tentang apa? Apa Refan masih belum pulih?”“Bukan, Refan sudah pulih. Yang saya maksud kakak kembarnya.”“Kenapa dengan Rafan?”
Baca selengkapnya

17. Tersebar

Pagi hari di kediaman Alexander, suasana begitu hening tanpa ada percakapan. Refan memutuskan berangkat lebih awal, bahkan pergi begitu saja tidak mau menyapa orang tuanya. Karena masih kesal. Orang tuanya hanya menghela napas pasrah, dan membiarkan Refan, lalu kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa.Sampai di sekolah, Refan tidak peduli dengan tatapan semua siswa ke arahnya, bahkan ketiga temannya juga diabaikan. Lalu terhenti, saat mendengar pertanyaan tiba-tiba terlontar dari siswa lain.“Kau benar Refan Alexander, ‘kan?” tanya salah satu siswa, masih penasaran apakah benar yang dilihatnya Refan atau bukan.“Ya,” balas Refan cuek, setelah itu masuk kelas.Setelah kejadian Rafan bertukar tempat dengan Refan, semua siswa atau guru sulit membedakan Refan dengan Rafan. Jadi, wajar kalau mereka terus menatapnya dan bertanya. Tentang Arya Victory, sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Ada yang bilang, kalau Arya me
Baca selengkapnya

18. Perasaan

Di kamar, terlihat Refan merebahkan diri sambil mengingat sesuatu. Setelah tadi, sempat menatap kamar Rafan yang berada di sebelahnya. “Kalau dipikir-pikir, dulu setiap kali meminta ditemani atau bahkan bermain. Kakak selalu mengajak duduk di halaman belakang, tidak pernah di kamar kakak. Padahal aku ingin sekali masuk ke kamar kakak.”Refan beranjak dari tempat tidurnya, lalu duduk di balkon kamar. Mulai mengingat sesuatu lagi.“Kamar kakak selalu tertutup, bahkan tidak ada yang pernah masuk termasuk para pelayan.” Lalu terdiam sebentar, kemudian merebahkan diri di lantai balkon, sambil menatap langit sore. Hingga terbesit sebuah ide. Refan langsung bangkit dan keluar dari kamar, sambil melirik ke setiap ruangan.Mereka ke mana?Refan terus mencari keberadaan orang tuanya.Hingga satu pelayan datang, menatap bingung ke arah anak majikannya. “Mencari sesuatu?”Refan langsung menatap pelayan itu. &
Baca selengkapnya

19. Lembaran Baru

Sudah dua minggu, mereka mencoba membuat Rafan terbiasa. Usaha mereka berhasil walaupun masih canggung dan Rafan bahkan sudah diperbolehkan pulang. Rafan sedari tadi melamun ke luar jendela kamar inap, bisa dikatakan menunggu orang tuanya berbincang dengan dokter juga polisi lagi.“Ayo pulang,” ajak orang tuanya.Rafan menoleh, dan tidak menjawab ajakan mereka.Refan mendelik heran. “Kakak kenapa?”Rafan hanya menggelengkan kepala.“Ayo,” ajak Risa, sambil menarik tangan anak sulungnya.Rafan mulai mengikuti mereka masuk ke mobil, selama perjalanan Rafan hanya terdiam canggung. Sampai di rumah, para pelayan senang melihat anak sulung majikannya pulang.“Dia pulang,” tutur mereka, melihat kehadiran Rafan lagi.Keanehan kembali dirasakan Rafan, kala menapakkan kakinya di dalam rumah ini lagi.Mencoba terbiasa kah?Rafan mulai membiasakan diri sekaligus menerim
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status