Home / Thriller / Cruel Boy / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Cruel Boy: Chapter 41 - Chapter 50

65 Chapters

40. Menjauh

Di kediaman Adriano, seperti biasa Asya selalu terbangun tengah malam. Bahkan, kini tengah melangkah keluar dari kamarnya. Melirik sejenak ke ruang tengah, lagi-lagi melihat adiknya tertidur pulas di sofa.“Aksa bangun! Pindah ke kamar sana!” Asya langsung menguncang-guncang tubuh adiknya.“Diamlah!” Aksa menepis pelan tangan Asya, dan tidur lagi.Asya menghela napas pasrah, karena Aksa terus saja keluar rumah. Pulang-pulang, berakhir tidur di sofa. Seketika badmood, karena sifat Aksa amat keras kepala sekali. Asya kembali ke tujuan awal, yaitu pergi ke dapur.Untuk mengambil botol air mineral. Kemudian, kembali ke ruang tengah dan mendudukan diri di sebelah Aksa. Ternyata, Aksa bangun. Terbukti, tengah duduk bersandar. Mendadak mulai menatap aneh Aksa, karena terus mengamati dirinya—entah apa itu?“Apa?” tanya Asya, sembari meminum habis air dalam botol, dan itu membuat rasa hausnya menghilang.
Read more

41. Membingungkan

Di salah satu restoran, Asya terlihat berkumpul dengan keluarganya sesuai ajakan Arina untuk makan malam bersama di luar. Sudah lama mereka tidak jalan-jalan, meskipun sekadar makan makan malam di luar. Efek kesibukan dunia bisnis, membuat Asya tinggal berdua dengan Aksa. Sedangkan orang tuanya sibuk ke luar kota. Mereka sudah menghabiskan makanan yang dipesan, memutuskan memulai obrolan kecil.“Seneng?” tanya Arina, sambil menatap kedua anaknya.“Iya dong.” Asya membalas cepat, hingga teringat akan sesuatu hal. “Kalian tidak keluar kota lagi, ‘kan?”“Tidak kok.” Azdi membalas pertanyaan Asya, kemudian melirik ke arah Aksa sedari tadi diam terus. “Kenapa?”“Nggak!” balas Aksa dengan nada amat ketus.Azdi menghela napas pasrah. “Masih keluar tengah malam kah?”Aksa terdiam, hal itu membuat orang tuanya menghela napas gusar.“Bisa kau hentika
Read more

42. Flashback (Setelah Tragedi Berdarah)

Setelah tragedi berdarah terjadi, di rumah sakit terlihat keluarga Alexander baru saja dilanda kepanikan. Seketika terpaku, setelah mendengar perkataan dokter. Dokter menghela napas sejenak, melihat keluarga Alexander terdiam. Pada akhirnya, mengulang ucapan yang baru saja dikatakannya, kali ini berhasil membuat keluarga Alexander dilanda keterkejutan.“Tenanglah,” ucap Dokter.“Bagaimana bisa tenang! Anak saya me—” ucap Rivo terpotong.“Anak anda selamat!” potong Dokter.“Tunggu! Bukannya tadi ....” Rivo kembali menghentikan ucapannya, karena bingung dengan maksud Dokter yang menangani anak sulungnya.“Kalian sibuk bertanya, tanpa sadar memotong ucapan saya. Saya memilih diam, karena sulit menjelaskannya.”“Jadi, bagaimana keadaannya?” tanya Risa lagi.“Anak anda memang hampir tidak tertolong, karena detak jantungnya sempat berhenti. Namun, keajaiban
Read more

43. Peringatan

Keheningan mulai menyelimuti semua orang—rekan bisnis, yang diundang Rivo. Maklum, baru saja mendengar yang sebenarnya terjadi pada Rafan. Nyatanya hampir tidak tertolong, tetapi keberuntungan kembali didapatkannya. Berhasil, terbangun dan seperti biasa lagi. Suasana kembali cair, saat Azdi kembali berbicara sesuatu."Aku tidak menyangka anak sulungmu yang menolong putriku." Azdi masih tidak percaya, di satu sisi lega karena Asya selamat dari kejadian malam itu.Rivo mengangguk, kemudian berdeham sejenak. "Sebenarnya, aku juga tidak percaya dengan anak sulungku. Ternyata, keluar diam-diam. Padahal baru saja pulih.”Lambat laun, helaan napas pasrah pun terdengar, Rivo heran dengan Rafan—baru pulih dan selesai menjalani terapi. Mendadak pusing, pastinya Rafan akan semakin berkeliaran lagi. Apa lagi, bila sudah pulih benar. Pasti semakin sulit untuk diam!"Anakmu liar jadi wajar, baru saja pulih sudah mulai berkeliaran lagi," celetuk Raskal
Read more

44. Panik Lagi

Rafan terus melangkah lambat, melewati setiap koridor sekolah. Raut wajahnya mendadak masam, benar-benar dilanda badmood. Pertama, efek dari orang yang menguntitnya—tidak lain Aksa. Yang kedua, terusik karena ditatap oleh saudara si penguntit tadi—tidak lain adalah Asya.Sampai di kelas, Rafan terdiam sejenak di ambang pintu. Alasannya? Bertemu dengan si penguntit tadi—Aksa. Teringat, kalau dirinya satu kelas. Jadi, akan bertemu terus! Lain halnya dengan Aksa, kembali melirik datar Rafan. Mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.Hah, menyebalkan sekali!Rafan duduk diam, lambat laun menelungkupkan kepalanya di atas meja. Berharap sekolah cepat usai, tetapi hanya bisa pasrah. Sembari menunggu bel pelajaran terakhir berbunyi. Lagi-lagi ketenangannya terusik. Pasalnya, Aksa sejak tadi masih belum berhenti menatap ke arahnya.Mau apa sih?Rafan kesal, tetapi malas meladeni Aksa. Sempat terbesit ide,
Read more

45. Berduaan

Rafan dengan sorot mata malas tetapi terkesan dingin, melirik perempuan yang pernah ditolongnya pada kejadian malam itu. Sedangkan perempuan tidak lain Asya, masih sibuk dengan novelnya. Sepertinya, memang tidak sadar kalau ada Rafan di sebelahnya.Rafan kembali terpejam, membiarkan Asya duduk di sebelahnya.  Lagi pula dia tidak mengusikku.Kembali ke prinsip yang Rafan tanam pada dirinya sendiri, hanya menyerang bila diusik saja. Sedangkan perempuan di sebelahnya—Asya, memang tidak menyadari keberadaannya.Rafan terpejam, tetapi pikirannya terus berjalan. Tepatnya, kembali menerka sesuatu hal—tidak lain pembicaraan bersama polisi tadi.****Di kediaman Azkara, Refan terlihat duduk di teras rumah bersama Vio yang asik bersandar di punggungnya. Bahkan, fokus memainkan game online meski ada Refan. Namun, sesekali melirik dan heran karena yang diliriknya terus cemberut.
Read more

46. Berita Lagi

Kediaman Alexander seperti biasa ramai, Rivo seringkali mengadakan rapat kecil ataupun besar di rumahnya, dan sekarang sedang istirahat sejenak sesekali berbincang sesuatu. Namun, terusik kala jengkel melihat anak bungsunya sedari tadi duduk terdiam di sebelahnya."Kenapa?" tanya Rivo.Refan menoleh sebentar, kemudian diam lagi. "Nggak!" Sepertinya sedang badmood.Rivo menghela napas pasrah, melihat tingkah Refan membuatnya teringat kalau anak sulungnya kabur lagi. "Nanti juga pulang.""Nanti kapan? Kabur dari tengah malam hingga siang belum balik juga!" desis Refan.Rivo membenarkan ucapan anak bungsunya, tetapi memilih mengabaikan Refan yang terus saja menggerutu kesal di sebelahnya. Lagi pula, agak bimbang ingin memberi saran apa. Pada akhirnya, anak sulungnya tidak diketahui akan pulang kapan."Siapa yang kabur?" celetuk Azdi, mendadak penasaran."Biasa anak sulungku," balas Rivo."Hm, gitu."Refan semakin d
Read more

47. Sebuah Pertanyaan

Asya mendadak kikuk, lambat laun paham kalau kemunculannya ini amat mengganggu. Sebenarnya tidak berniat menemui Rafan, tetapi karena rasa penasaran. Membuatnya, terpaksa mengganggu ketenangan Rafan.Kini tengah berusaha bersikap biasa, kala tanpa sengaja melakukan kontak mata langsung dengan manik hitam legam yang terus menyorot amat datar. Bahkan, mulai terkesan dingin sekali. Nyatanya, Rafan benar-benar terusik!Tanpa pikir panjang, langsung duduk di sebelah Rafan. Memberi senyuman lebar sebentar, mengira bisa mencairkan suasana yang mendadak jadi tegang—seolah mau dirinya yang akan diinterogasi. Padahal sebaliknya!"Boleh?" tanya Asya lagi.Rafan masih enggan menjawab. "Tentangku?" Pada akhirnya, menjawab dan mencoba tenang lagi. Meski, terganggu dengan Asya."Eh-h iya, tidak apa-apa ‘kan?" Asya sengaja mengulang pertanyaannya lagi."Apa?" Rafan melirik malas Asya."Kau selalu dibilang liar ‘kan?""Terus?"
Read more

48. Teror Kembali (Balas Dendam)

Refan kini dilanda jengkel. Satu karena Rafan belum datang. Dua, sedang malas berbincang dengan siapa pun—alias—badmood. Benar saja, kakinya mulai bergerak menjauh dari mereka berdua. Memutuskan mengitari gedung, selagi menunggu si kakak yang sama sekali belum menampakkan wujudnya!"Kakak mana sih! Katanya menyusul!" gerutu Refan.Mendadak langkah kakinya terhenti, menoleh cepat ke belakang dan sekitarnya. Jujur, di sepanjang pekarangan ataupun lorong perusahaan yang dilintasinya. Seakan banyak sekali pasang mata yang menatap intens ke arahnya, hanya saja tidak menemukan siapa pun di sana."Siapa sih?"Refan berdecak kesal, kembali melangkahkan kakinya untuk mengitari perusahaan lagi. Meskipun, mencoba mengabaikan siapa mereka? Kenapa terus mengamatinya dari jauh? Bahkan, selalu bersembunyi cepat kala menyadari dirinya akan menoleh!Meresahkan!Benar saja, rasa takut dan kepanikan mulai melandanya. Sudah mencoba
Read more

49. Depresi Lagi

Setelah meninggalkan area perusahaan, kini terlihat berada di tikungan curam sebuah jalan raya besar. Duduk sejenak, pada pembatas jalan. Manik hitamnya menyorot hampa, dan wajahnya pun agak tertunduk.Sesekali matanya bergulir ke arah satu tangannya, yang sedikit berlumur darah. Kemudian kembali ke objek fokus utamanya, yaitu jurang curam dan dalam yang berada tepat di bawahnya.Di satu sisi sadar, beberapa polisi menguntit untuk mencari tahu apa yang akan dilakukannya saat ini. Mungkin saja, beberapa dari mereka yang pastinya berpecah menjadi dua kelompok sudah lebih dulu berada di dalam hutan? Seakan tidak ingin ada yang terlewat dari pengawasan mereka terhadapnya?Rafan enggan mempedulikan, terbukti langsung beranjak dan melompat. Benar saja, polisi yang sedari mengawasi. Langsung memberitahu, rekannya yang nyatanya sudah ada di dalam hutan.****Sementara itu, polisi mulai mengamankan jasad anak buah Alano yang menjadi korban
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status