Pagi hari di kediaman Alexander, suasana begitu hening tanpa ada percakapan. Refan memutuskan berangkat lebih awal, bahkan pergi begitu saja tidak mau menyapa orang tuanya. Karena masih kesal. Orang tuanya hanya menghela napas pasrah, dan membiarkan Refan, lalu kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa.
Sampai di sekolah, Refan tidak peduli dengan tatapan semua siswa ke arahnya, bahkan ketiga temannya juga diabaikan. Lalu terhenti, saat mendengar pertanyaan tiba-tiba terlontar dari siswa lain.
“Kau benar Refan Alexander, ‘kan?” tanya salah satu siswa, masih penasaran apakah benar yang dilihatnya Refan atau bukan.
“Ya,” balas Refan cuek, setelah itu masuk kelas.
Setelah kejadian Rafan bertukar tempat dengan Refan, semua siswa atau guru sulit membedakan Refan dengan Rafan. Jadi, wajar kalau mereka terus menatapnya dan bertanya. Tentang Arya Victory, sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Ada yang bilang, kalau Arya me
Di kamar, terlihat Refan merebahkan diri sambil mengingat sesuatu. Setelah tadi, sempat menatap kamar Rafan yang berada di sebelahnya. “Kalau dipikir-pikir, dulu setiap kali meminta ditemani atau bahkan bermain. Kakak selalu mengajak duduk di halaman belakang, tidak pernah di kamar kakak. Padahal aku ingin sekali masuk ke kamar kakak.”Refan beranjak dari tempat tidurnya, lalu duduk di balkon kamar. Mulai mengingat sesuatu lagi.“Kamar kakak selalu tertutup, bahkan tidak ada yang pernah masuk termasuk para pelayan.” Lalu terdiam sebentar, kemudian merebahkan diri di lantai balkon, sambil menatap langit sore. Hingga terbesit sebuah ide. Refan langsung bangkit dan keluar dari kamar, sambil melirik ke setiap ruangan.Mereka ke mana?Refan terus mencari keberadaan orang tuanya.Hingga satu pelayan datang, menatap bingung ke arah anak majikannya. “Mencari sesuatu?”Refan langsung menatap pelayan itu. &
Sudah dua minggu, mereka mencoba membuat Rafan terbiasa. Usaha mereka berhasil walaupun masih canggung dan Rafan bahkan sudah diperbolehkan pulang. Rafan sedari tadi melamun ke luar jendela kamar inap, bisa dikatakan menunggu orang tuanya berbincang dengan dokter juga polisi lagi.“Ayo pulang,” ajak orang tuanya.Rafan menoleh, dan tidak menjawab ajakan mereka.Refan mendelik heran. “Kakak kenapa?”Rafan hanya menggelengkan kepala.“Ayo,” ajak Risa, sambil menarik tangan anak sulungnya.Rafan mulai mengikuti mereka masuk ke mobil, selama perjalanan Rafan hanya terdiam canggung. Sampai di rumah, para pelayan senang melihat anak sulung majikannya pulang.“Dia pulang,” tutur mereka, melihat kehadiran Rafan lagi.Keanehan kembali dirasakan Rafan, kala menapakkan kakinya di dalam rumah ini lagi.Mencoba terbiasa kah?Rafan mulai membiasakan diri sekaligus menerim
Di ruang makan, Refan sedang memaksa Rafan karena makannya sedikit. Sedangkan Rafan selalu menolak, sejak awal memang tidak lapar atau tepatnya sih malas makan. Lambat laun, perasaan jengkel menghampirinya, karena Refan masih bersikeras menyuruhnya makan.“Kakak.”“Apa?” Tanpa ada niat untuk menoleh ke arah Refan.“Makan.”“Kau saja, aku tidak lapar.” Rafan mulai memainkan sendok di genggamannya.“Kakak, baru sedikit loh.”“Biarin! Lebih baik kau diam dan makan saja sendiri!” Rafan semakin jengkel, dan terus memainkan sendok.Refan hanya menghela napas pasrah, dan lanjut makan. Sesekali menoleh ke arah Rafan, sedari tadi asik memainkan sendok tanpa melirik ke arah makanan sedikit pun.Risa datang, dan mengernyit heran ke arah Rafan. "Ayo makan, kenapa diam saja. Malah memainkan send—”Sendok yang Rafan pegang patah. Sukses membuat R
Refan kini sedang singgah sebentar ke kelas Vero dan Sean—untuk mencari keberadaan Rafan. Namun, tetap saja tidak melihat keberadaannya. “Kakak ke mana lagi?” Jujur masih takut, kalau Rafan kabur dan melakukan kebiasaannya lagi.“Mungkin, mencari tempat tenang,” celetuk Kevan.“Bener juga.” Refan mencoba berpikiran positif, yakin kalau rafan tidak kabur. “Sudahlah ayo ke kelas,” ajak Refan, sedangkan Kevan langsung mengikutinya.****Rafan tidak jadi ke halaman belakang, memilih duduk di atap sekolah. Seketika badmood setelah diganggu empat siswa, yang menurutnya kurang kerjaan. Terbukti, sekarang sedang asik duduk terpejam—membiarkan embusan angin menerpa wajahnya yang tidak tertutup oleh penutup kepala dari jaket yang dipakainya.“Pengganggu!" gerutu Rafan lagi, matanya mulai melirik ke bawah, banyak sekali siswa yang masih berkeliaran.Tidak ada ni
Di parkiran, Rafan terlihat baru saja keluar dari mobil sambil berjalan lambat menuju gedung pertemuan. Namun, langkah kakinya terhenti—bisa dibilang sengaja. Karena malas sekali bagi Rafan, untuk masuk dan bergabung dengan mereka.“Kenapa juga, harus bergabung dengan mereka?” gerutu Rafan, mulai melirik ke atas—tepatnya ke ruangan pertemuan yang berada di lantai empat. Lalu tatapan Rafan tertuju pada Refan yang bersama ketiga temannya, lalu beralih ke arah empat orang remaja yang ingin mendekat ke arah Refan.Rafan hanya menatap sebentar, mulai melirik sekitarnya. “Bagus sudah sepi.” Langsung naik ke atas pohon dan melakukan parkour menuju gedung lain lain yang berseberangan dengan gedung pertemuan. Setelahnya, Rafan duduk di gedung tersebut. Kembali menatap Refan yang didekati empat remaja lain.****Refan masih terdiam, memilih berdiri di balkon ruangan dan sesekali menghela napas pelan. Lalu menoleh
Pagi hari yang cerah, seperti biasa semua orang melakukan aktivitas. Terlihat si kembar, berangkat bersama. Hanya berdua, tanpa ketiga teman Refan. Rafan dengan malasnya berjalan menuju sekolah, sedangkan Refan yang berjalan di sebelah Rafan hanya diam, meskipun agak aneh melihat Rafan badmood lagi.Warga kota yang berlalu lalang, menatap aneh Rafan. Pertama kalinya, melihat mantan buronan polisi dengan raut wajah badmood. Biasanya selalu menatap dingin dan mengerikan, kali ini badmood.Wajar bukan mereka heran?Rafan sendiri, mengabaikan tatapan aneh mereka terhadapnya.“Kakak kenapa?” Refan mulai aneh sendiri melihat Rafan badmood lagi.“Malaslah, kenapa sekolah sih!”“Sekarang bukan hari libur, ‘kan? Jadi, harus sekolah.”Rafan berdecak kesal, bahkan semakin badmood dan benar-benar malas sekolah.“Biasakan,” celetuk Refan.
Sekelompok orang masih mengintai sekolah milik Arvian, mereka sempat bingung semua siswa sudah tidak berkeliaran lagi. Pengumuman hanya sedikit terdengar oleh mereka, karena perlahan suara pengumuman itu mengecil dan hilang. Sehingga mereka tidak tahu pengumuman apa yang disampaikan kepada semua siswa.“Sepertinya Arvian sudah mengetahui kedatangan kita, dia sudah mengumumkan sesuatu. Yang membuat semua anak didiknya tidak berkeliaran di sekitar sekolah, agar tidak bisa diserang oleh kita.” Seorang yang disewa oleh Varsa, sambil mengamati keadaan sekolah yang mendadak sepi.“Cepat juga, langsung mengamankan semua anak didiknya.” Mulai memikirkan rencana lain, agar Arvian tidak bisa berkutik. “Kita masuk, sebagian dari kalian berjaga disetiap sudut pintu keluar sekolah, jangan sampai ada yang berhasil keluar,” perintah Varsa, yang bersikeras untuk menyerang sekolah milik Arvian.Varsa, berteman dekat dengan Arvian. Namun, berak
Varsa masih meringis kesakitan karena tangannya diremuk oleh Rafan. Arvian, langsung mendekati Varsa. “Tenangkan dirimu, selesaikan baik-baik. Akan kujelaskan semuanya padamu,” pinta Arvian.“Tapi dibukti itu kau!” Varsa, masih keras kepala.“Sudah kubilang itu rekayasa Tuan Arzi, dialah yang melakukannya karena iri padamu! Lalu menjadikanku kambing hitam olehnya, karena saat itu aku mendengar rencana liciknya!” bantah Arvian.“Tuan Arzi?” Tidak percaya, kalau orang yang selama ini dekat dengannya, selain Arvian. Melakukan hal licik kepadanya. Varsa mulai tenang, orang sewaan juga ikut berhenti—karena Varsa sudah tidak berkutik.****Arvian mulai menjelaskan dan memperlihatkan bukti sebenarnya yang sudah berhasil didapatkannya. Namun selalu terhambat, saat ingin memperlihatkannya pada Varsa. Di sisi lain, Rafan masih terdiam, mulai berjalan keluar dari aula. Namun langkahnya ter
Menjelang berakhirnya liburan sekolah, Asya terlihat berada di kediaman Alexander. Bisa dibilang, sejak dua hari yang lalu. Karena orang tua mereka sedang keluar kota, keluarga Alexander menawarkan agar Asya dan Aksa menginap. Takut terjadi sesuatu lagi, itu sebabnya keluarga Alexander menawarkan mereka untuk menginap, selama ditinggal keluar kota beberapa hari.Di ruang tengah, Asya duduk diam di sofa. Matanya, amat fokus ke novel yang sedari tadi dibacanya. Di sebelah sofa yang diduduki Asya, ada Rafan sedang asik berbaring. Sebenarnya, hanya mereka berdua saja. Para pelayan selama libur sekolah, Diberi cuti semua, jadi hanya ada si kembar dan kedua anak keluarga Adriano.Sekarang, hanya Rafan dan Asya saja. Refan keluar rumah, katanya mau jalan dengan Vio. Aksa, entahlah sejak pagi sudah lebih dulu pergi."Biasanya, kau diam-diam kabur ke hutan gitu?" Asya mendelik heran ke arah Rafan, yang asik berbaring di sofa panjang."Hm, lagi malas saja." Rafan b
Tidak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat, kini sedang ada waktu luang. Lebih tepatnya, sedang libur sekolah. Setelah melaksanakan ujian kenaikan kelas, si kembar hanya menghabiskan waktu liburan sekolah di rumah. Berbeda sekali dengan yang lain, pastinya jalan bersama keluarga entah ke mana.Sayangnya, si kembar dan keluarganya tidak pergi ke manapun. Kalau diperhatikan lebih jelas, hanya Refan yang terlihat diam di rumah. Terkadang, jalan sebentar keluar rumah sebagai penghilang bosan dan itu—sendirian.Karena, selama liburan sisi liarnya semakin menjadi. Setiap pagi buta, keberadaan Rafan sudah hilang dari rumah. Rafan pergi ke hutan. Hingga siang tiba, masih betah di alam liar. Memang dasarnya, malas untuk pulang. Kalau Refan bosan, pasti jalan sendiri entah ke mana. Lain halnya dengan Rafan, ketika bosan melanda memilih melatih kemampuannya. Sekaligus, berkeliaran secara bebas.Kini Rafan, terlihat berbaring tanpa peduli tanah atau kotoran lain m
Semenjak kejadian itu, keluarga Alexander hanya bisa pasrah dan menunggu. Karena Rafan pergi dan sama sekali belum kembali, meskipun rasa khawatir terus menghampiri mereka. Ditambah rasa takut, kalau Rafan melakukan self injury lagi.Refan terdiam, senang karena masalah selesai. Tetapi, takut Rafan tidak kembali. Lagi-lagi, Refan hanya bisa menunggu, seperti dulu yang dilakukannya."Kakak," ucap Refan lirih, ingin sekali melihat Rafan pulang.Selama sekolah, Refan benar-benar tidak fokus karena memikirkan Rafan. Begitu juga, dengan Asya yang sudah mulai sekolah lagi. Asya sempat takut keluar rumah, hingga memutuskan izin tidak sekolah untuk beberapa waktu. Di satu sisi, Asya khawatir saat dapat kabar dari Aksa. Kalau Rafan tidak pulang.Arvian, tidak menyangka kalau ada satu anak didiknya lagi yang melakukan hal kejam. Bahkan, yang lebih parah. Arion anak dari Orion mafia yang dulu meneror keluarga Alexander, sekaligus hampir membuat Rafan sekara
Sejak Raskal memberitahu, kalau anak Orion yang mengawasi dan menculik Asya. Rafan langsung pergi ke markas lama milik Orion dulu, saat dirinya dijadikan kelinci percobaan. Sebenarnya, Rafan sudah menebak kalau anak Orion yang mengintai. Tidak lain, adalah Arion.Saat berusaha mendekati Asya. Rafan awalnya biasa, tetapi mulai familier dengan wajah Arion. Namun, Rafan sengaja mendiamkannya dan pergi. Walau sebenarnya, Rafan terus waspada dengan rencana Arion terhadapnya.Rafan mulai menyerang brutal anak buah Arion, juga membantainya satu persatu. Meskipun, dengan tangan kosong. Mulai dari menangkis serangan, menangkap dan mematahkan anggota tubuh mereka, dengan menariknya amat kuat hingga terputus dari tubuh mereka.Rafan mengabaikan teriakan kesakitan mereka, terus menyerang brutal atau lebih tepatnya kembali melakukan pembantaian. Buktinya, perlahan anak buah Arion yang disuruh berjaga, terkapar di mana-mana. Bahkan, darah juga ikutan berceceran. Rafan kembali
Di kediaman Alexander, Rafan masih terdiam di ruang tengah. Pikirannya yang tadi kacau sekarang sudah agak tenang, tetapi firasat itu kembali dirasakannya. Rafan memegangi kepalanya dan bergumam pelan."Mereka sudah memulainya ya?"Refan yang mendengar gumaman Rafan, kembali bingung dan khawatir. "Mulai apa, Kak?" Dengan spontan, Refan bertanya. Namun, Rafan tidak menjawab, malah semakin memegangi kepalanya. Hal itu, membuat Refan dilanda kepanikan lagi. Rafan terpejam dan berusaha tenang lagi.Mereka benar-benar membawanya.Rafan membuka matanya, terlihat sekali tatapannya begitu kosong. Refan benar-benar dilanda kepanikan amat besar, terlebih lagi melihat Rafan beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu. Refan langsung mengekor dan bertanya."Mau ke mana?" Refan semakin khawatir.Rafan tidak menjawab, terus berjalan keluar dari rumah."Kakak!" panggil Refan lagi."Ada apa? Kakakmu mau ke mana?" Rivo dan Risa, i
Sudah terhitung 30 menit berlalu kegiatan sekolah usai. Kali ini, semua siswa tumben masih betah berada di sekolah. Termasuk, Rafan. Entah kenapa, masih ingin berada di sekolah. Buktinya, terlihat duduk sembari melamun di kelas. Tatapan Rafan yang sejak tadi tertuju pada luar jendela, kini beralih pada Aksa yang baru ingin pulang.Aksa merasa diperhatikan, langsung mendelik aneh Rafan. Hingga kembali teringat sesuatu, sekarang ingin memastikan lagi dengan benar. "Kau sedang bermasalah ya?" Aksa spontan berkata begitu, tetapi matanya menatap amat serius."Ya, sejak kemarin.” Pada akhirnya Rafan menjawab. “Kau merasa aneh denganku, ‘kan? Bisa dibilang, sedang waspada dengan sekitar. Untuk mencari tau, siapa orang itu dan antek-anteknya terus mengikutiku sejak kemarin." Rafan menjelaskannya sesuai fakta, pada Aksa.Rafan sengaja membeberkannya, biasanya selalu disembunyikan. Namun, merasa ada sesuatu yang direncanakan oleh orang yang mengikutinya.
Tengah malam Rafan masih terjaga, masih memikirkan siapa yang mengikutinya. Yakin, tidak pernah membuat masalah, kalau dulu itu karena ada yang mengusiknya. Baru Rafan akan bertindak.Rafan merebahkan diri, berusaha menepis dan tidur. Tetap saja tidak bisa, pikirannya masih melayang pada sekelompok orang yang mengikutinya."Siapa dan mau apa mereka?" Rafan benar-benar bingung. "Ketenangku hanya sebentar saja kah?" ucap Rafan amat lirih, telapak tangannya terus memegangi kepalanya.Mencoba berubah, tetapi banyak sekali masalah yang menghampirinya. Rumit sekali, menurutnya. Rafan mencoba untuk tidur lagi dan berusaha untuk menenangkan pikirannya sebentar, sebelum masalah baru benar-benar mendatanginya.****Keesokan harinya, saat sarapan Rafan hanya terdiam dan langsung pergi duluan. Refan berhasil mengikutinya, tetapi Rafan semakin diam. Sepertinya, kebiasaan dulu mulai terlihat lagi. Rafan kembali tampang datar dan terkesan dingin,
Saat jam istirahat, seperti biasa Rafan memilih duduk di halaman belakang sekolah. Yang dilakukan hanya terpejam untuk menenangkan pikirannya, terkadang orang lain pikir amat membosankan. Sedangkan bagi Rafan tidak.Selama menjadi siswa SMA, Rafan paling anti diajak ke kantin sekolah. Sekalinya ke kantin, itu pun dipaksa Refan.Tidak lama kemudian, Asya datang dan ikut duduk di sebelah Rafan. Semenjak menjalin hubungan, Asya selalu mendekatinya. Jujur, masih aneh. Meskipun sudah berusaha untuk membiasakan diri.Asya heran dengan Rafan, jarang sekali ke kantin. "Kau tidak lapar atau haus gitu?""Tidak." Rafan dengan santainya berkata begitu.Asya semakin heran, memilih memakan roti sosis yang dibelinya tadi.Rafan melirik Asya sibuk makan roti sosisnya, sedangkan yang dilirik menoleh. Benar saja, kembali mengernyit heran.Asya menyodorkan satu roti sosis, kebetulan membeli dua. “Mau?”"Tidak.""Bener?" E
Aksa terdiam sejenak, setelah mendengar penuturan Rafan. Hingga rasa khawatir dan posesif mulai menguasainya. Aksa menghela napas sejenak, lambat laun mulai menatap serius. Rafan sendiri hanya melirik heran, saat sorot mata Aksa berubah serius terhadapnya.Hingga, berhasil menduga sesuatu hal. "Kau tidak percaya?"Aksa berdeham pelan. “Percaya, hanya saja ...."Walau Aksa tidak melanjutkan perkataannya, Rafan langsung memahaminya. Itu, terlihat jelas dari raut wajah Aksa, sepertinya khawatir—sangat posesif dengan Asya."Aku tau kau mencemaskan Asya karena dekat denganku, ‘kan?" tebak Rafan.Aksa agak tersentak, karena tebakan Rafan benar sekali. "Ya, tapi sudah tidak. Karena, tidak mungkin juga melarang atau memaksanya menjauh darimu." Yang ada, Aksa yang akan dijauhi. Meskipun, niat baik. Tetapi, kalau soal kebahagiaan Asya. Aksa tidak bisa ikut campur."Ehm, baguslah. Tapi, terserah kau kalau masih belum bisa mempercayaik