Di parkiran, Rafan terlihat baru saja keluar dari mobil sambil berjalan lambat menuju gedung pertemuan. Namun, langkah kakinya terhenti—bisa dibilang sengaja. Karena malas sekali bagi Rafan, untuk masuk dan bergabung dengan mereka.
“Kenapa juga, harus bergabung dengan mereka?” gerutu Rafan, mulai melirik ke atas—tepatnya ke ruangan pertemuan yang berada di lantai empat. Lalu tatapan Rafan tertuju pada Refan yang bersama ketiga temannya, lalu beralih ke arah empat orang remaja yang ingin mendekat ke arah Refan.
Rafan hanya menatap sebentar, mulai melirik sekitarnya. “Bagus sudah sepi.” Langsung naik ke atas pohon dan melakukan parkour menuju gedung lain lain yang berseberangan dengan gedung pertemuan. Setelahnya, Rafan duduk di gedung tersebut. Kembali menatap Refan yang didekati empat remaja lain.
****
Refan masih terdiam, memilih berdiri di balkon ruangan dan sesekali menghela napas pelan. Lalu menoleh
Pagi hari yang cerah, seperti biasa semua orang melakukan aktivitas. Terlihat si kembar, berangkat bersama. Hanya berdua, tanpa ketiga teman Refan. Rafan dengan malasnya berjalan menuju sekolah, sedangkan Refan yang berjalan di sebelah Rafan hanya diam, meskipun agak aneh melihat Rafan badmood lagi.Warga kota yang berlalu lalang, menatap aneh Rafan. Pertama kalinya, melihat mantan buronan polisi dengan raut wajah badmood. Biasanya selalu menatap dingin dan mengerikan, kali ini badmood.Wajar bukan mereka heran?Rafan sendiri, mengabaikan tatapan aneh mereka terhadapnya.“Kakak kenapa?” Refan mulai aneh sendiri melihat Rafan badmood lagi.“Malaslah, kenapa sekolah sih!”“Sekarang bukan hari libur, ‘kan? Jadi, harus sekolah.”Rafan berdecak kesal, bahkan semakin badmood dan benar-benar malas sekolah.“Biasakan,” celetuk Refan.
Sekelompok orang masih mengintai sekolah milik Arvian, mereka sempat bingung semua siswa sudah tidak berkeliaran lagi. Pengumuman hanya sedikit terdengar oleh mereka, karena perlahan suara pengumuman itu mengecil dan hilang. Sehingga mereka tidak tahu pengumuman apa yang disampaikan kepada semua siswa.“Sepertinya Arvian sudah mengetahui kedatangan kita, dia sudah mengumumkan sesuatu. Yang membuat semua anak didiknya tidak berkeliaran di sekitar sekolah, agar tidak bisa diserang oleh kita.” Seorang yang disewa oleh Varsa, sambil mengamati keadaan sekolah yang mendadak sepi.“Cepat juga, langsung mengamankan semua anak didiknya.” Mulai memikirkan rencana lain, agar Arvian tidak bisa berkutik. “Kita masuk, sebagian dari kalian berjaga disetiap sudut pintu keluar sekolah, jangan sampai ada yang berhasil keluar,” perintah Varsa, yang bersikeras untuk menyerang sekolah milik Arvian.Varsa, berteman dekat dengan Arvian. Namun, berak
Varsa masih meringis kesakitan karena tangannya diremuk oleh Rafan. Arvian, langsung mendekati Varsa. “Tenangkan dirimu, selesaikan baik-baik. Akan kujelaskan semuanya padamu,” pinta Arvian.“Tapi dibukti itu kau!” Varsa, masih keras kepala.“Sudah kubilang itu rekayasa Tuan Arzi, dialah yang melakukannya karena iri padamu! Lalu menjadikanku kambing hitam olehnya, karena saat itu aku mendengar rencana liciknya!” bantah Arvian.“Tuan Arzi?” Tidak percaya, kalau orang yang selama ini dekat dengannya, selain Arvian. Melakukan hal licik kepadanya. Varsa mulai tenang, orang sewaan juga ikut berhenti—karena Varsa sudah tidak berkutik.****Arvian mulai menjelaskan dan memperlihatkan bukti sebenarnya yang sudah berhasil didapatkannya. Namun selalu terhambat, saat ingin memperlihatkannya pada Varsa. Di sisi lain, Rafan masih terdiam, mulai berjalan keluar dari aula. Namun langkahnya ter
Sudah seminggu setelah sekolah diliburkan, akhirnya sekolah milik Arvian kembali beraktivitas seperti biasa. Di kelas, terlihat Refan terdiam. karena Rafan belum kembali, bahkan tidak ada kabar sama sekali.“Refan!” panggil Kevan kesal, karena Refan diam terus.“Apa?” Refan menatap datar Kevan.“Tenanglah, kakakmu itu pergi untuk menenangkan diri.”“Tau kok, aku hanya takut kakak tidak pulang lagi dan tidak kembali seperti dulu.”Ketiga teman Refan terdiam dan bingung untuk menjawab ucapan Refan.****Dua minggu kemudian, saat ini di kediaman Alexander sedang ramai. Polisi datang untuk membicarakan soal Rafan dan rekan kerja juga untuk rapat. Kebetulan rapat sudah selesai, mereka beristirahat dan berbicara sesuatu.“Anak sulungmu belum kembali?” tanya Kean Adinata.“Belum, bahkan tidak ada kabar sama sekali.” Rivo menghela napas gusa
Tengah malam, Rafan duduk terdiam di balkon kamarnya. Masih memikirkan perkataan ibu panti, yang menyuruhnya untuk mengubah prinsip. “Berubah ya? Baiklah.” Rafan merebahkan diri, karena rasa kantuk mendatanginya. Setelah, mengalami insomnia lagi.Keesokan harinya, seperti biasa bersiap pergi sekolah setelah dua minggu menghilang tidak ada kabar. Kali ini agak terlihat berbeda, biasanya Rafan malas-malasan sekarang tidak lagi.Cepat juga berubahnya.Refan agak terkejut, terus menatap Rafan sudah tidak malas lagi saat berangkat sekolah.Rafan mengabaikan tatapan Refan, lalu bangkit dan keluar dari rumah. Mereka hanya sarapan berdua, karena orang tuanya pergi dalam waktu tiga hari karena urusan.“Kakak tungguin!” teriak Refan kesal, sambil mengejar Rafan—karena ditinggal terus.Rafan kembali mengabaikan, lalu melirik ke arah Refan yang berjalan di sebelahnya sambil cemberut.“Apa?&rdq
Setelah pulang dari hutan, terlihat Rafan duduk diam dengan raut wajah yang mendadak datar—bahkan terkesan dingin sekali. Sesekali menghela napas gusar, seakan mencoba untuk menenangkan diri, tetap saja agak sulit.Rafan mengumpat kesal, langsung melemparkan dirinya ke tempat tidur. Lalu mengusap wajahnya dengan kasar, sepertinya ada sesuatu yang terjadi?Rafan mulai menarik napas, dan membuangnya perlahan. Sepertinya sudah agak tenang, terbukti matanya sudah terpejam dan tertidur pulas.Pagi harinya, seperti biasa si kembar sudah siap berangkat ke sekolah. Mereka terlihat sedang sarapan, tapi ada hal aneh. Lebih tepatnya, tingkah Refan yang terus menatap aneh ke arah Rafan. Sepertinya, merasa janggal dengan sesuatu?Sedangkan Rafan, terdiam—melamunkan sesuatu dan itu yang membuat Refan janggal. Sepertinya, efek semalam terus memikirkan sesuatu hal yang membuatnya hampir emosi lagi. Meskipun, berhasil menenangkan dirinya.“Kakak!&
Refan bosan di rumah, akibat Rafan pergi. Lalu memutuskan untuk bertemu ketiga temannya yang kebetulan berada di Time Zone. Hari Sabtu dan sekolah libur, selalu dimanfaatkan ketiga teman Refan untuk mencari hiburan. Refan biasanya malas ikut, sekarang bergabung dengan mereka yang kebetulan sedang bermain basket.“Tumben tiba-tiba ingin ikut ke Time Zone,” celetuk Kevan, kembali melakukan shoot ke arah ring.“Bosan saja.” Refan membalas singkat, terus mengamati ketiga temannya.“Masih memikirkan apa yang disembunyikan Rafan ya?” sahut SeanRefan mengangguk pelan.“Tenanglah, tidak lama lagi pasti kau akan tau apa yang disembunyikan Rafan,” celetuk Vero.“Iya,” balas Refan, dengan nada malasnya.“Waktu itu tidak ada yang aneh kan?” sahut Sean lagi.“Tidak, bahkan waktu itu kakak mengajakku ke hutan.”“Masa sih?!”
Refan kesal lagi, karena Rafan masih tidak mau mengatakan apapun, mengenai masalahnya dengan mafia yang dimaksud Raskal tadi. Sedangkan Rafan, mengabaikan tatapan kesal Refan, mulai menyandarkan tubuhya di sandaran bangku dan terpejam—sesekali menghela napas pelan. Yang diinginkannya saat ini, adalah ketenangan. Sebelum hal tersebut, benar-benar terjadi.Refan semakin kesal sekaligus penasaran, memaksa Rafan untuk menjawab lagi. “Kakak!”“Apa? Jika bertanya hal itu lagi, aku belum bisa menjawabnya!” Rafan langsung membalas cepat.Refan bungkam, setelah mendengar ucapan Rafan.Tak terasa hari sudah sore, terbukti semua rekan kerja bergegas pulang. Rafan masih betah duduk di halaman belakang, sedangkan Refan memilih masuk—sudah amat kesal dengan Rafan.“Kenapa disembunyikan terus sih!” gerutu Refan kesal.Rafan melirik sekilas, meskipun masih terdengar jelas gerutu Refan terhadapnya.
Menjelang berakhirnya liburan sekolah, Asya terlihat berada di kediaman Alexander. Bisa dibilang, sejak dua hari yang lalu. Karena orang tua mereka sedang keluar kota, keluarga Alexander menawarkan agar Asya dan Aksa menginap. Takut terjadi sesuatu lagi, itu sebabnya keluarga Alexander menawarkan mereka untuk menginap, selama ditinggal keluar kota beberapa hari.Di ruang tengah, Asya duduk diam di sofa. Matanya, amat fokus ke novel yang sedari tadi dibacanya. Di sebelah sofa yang diduduki Asya, ada Rafan sedang asik berbaring. Sebenarnya, hanya mereka berdua saja. Para pelayan selama libur sekolah, Diberi cuti semua, jadi hanya ada si kembar dan kedua anak keluarga Adriano.Sekarang, hanya Rafan dan Asya saja. Refan keluar rumah, katanya mau jalan dengan Vio. Aksa, entahlah sejak pagi sudah lebih dulu pergi."Biasanya, kau diam-diam kabur ke hutan gitu?" Asya mendelik heran ke arah Rafan, yang asik berbaring di sofa panjang."Hm, lagi malas saja." Rafan b
Tidak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat, kini sedang ada waktu luang. Lebih tepatnya, sedang libur sekolah. Setelah melaksanakan ujian kenaikan kelas, si kembar hanya menghabiskan waktu liburan sekolah di rumah. Berbeda sekali dengan yang lain, pastinya jalan bersama keluarga entah ke mana.Sayangnya, si kembar dan keluarganya tidak pergi ke manapun. Kalau diperhatikan lebih jelas, hanya Refan yang terlihat diam di rumah. Terkadang, jalan sebentar keluar rumah sebagai penghilang bosan dan itu—sendirian.Karena, selama liburan sisi liarnya semakin menjadi. Setiap pagi buta, keberadaan Rafan sudah hilang dari rumah. Rafan pergi ke hutan. Hingga siang tiba, masih betah di alam liar. Memang dasarnya, malas untuk pulang. Kalau Refan bosan, pasti jalan sendiri entah ke mana. Lain halnya dengan Rafan, ketika bosan melanda memilih melatih kemampuannya. Sekaligus, berkeliaran secara bebas.Kini Rafan, terlihat berbaring tanpa peduli tanah atau kotoran lain m
Semenjak kejadian itu, keluarga Alexander hanya bisa pasrah dan menunggu. Karena Rafan pergi dan sama sekali belum kembali, meskipun rasa khawatir terus menghampiri mereka. Ditambah rasa takut, kalau Rafan melakukan self injury lagi.Refan terdiam, senang karena masalah selesai. Tetapi, takut Rafan tidak kembali. Lagi-lagi, Refan hanya bisa menunggu, seperti dulu yang dilakukannya."Kakak," ucap Refan lirih, ingin sekali melihat Rafan pulang.Selama sekolah, Refan benar-benar tidak fokus karena memikirkan Rafan. Begitu juga, dengan Asya yang sudah mulai sekolah lagi. Asya sempat takut keluar rumah, hingga memutuskan izin tidak sekolah untuk beberapa waktu. Di satu sisi, Asya khawatir saat dapat kabar dari Aksa. Kalau Rafan tidak pulang.Arvian, tidak menyangka kalau ada satu anak didiknya lagi yang melakukan hal kejam. Bahkan, yang lebih parah. Arion anak dari Orion mafia yang dulu meneror keluarga Alexander, sekaligus hampir membuat Rafan sekara
Sejak Raskal memberitahu, kalau anak Orion yang mengawasi dan menculik Asya. Rafan langsung pergi ke markas lama milik Orion dulu, saat dirinya dijadikan kelinci percobaan. Sebenarnya, Rafan sudah menebak kalau anak Orion yang mengintai. Tidak lain, adalah Arion.Saat berusaha mendekati Asya. Rafan awalnya biasa, tetapi mulai familier dengan wajah Arion. Namun, Rafan sengaja mendiamkannya dan pergi. Walau sebenarnya, Rafan terus waspada dengan rencana Arion terhadapnya.Rafan mulai menyerang brutal anak buah Arion, juga membantainya satu persatu. Meskipun, dengan tangan kosong. Mulai dari menangkis serangan, menangkap dan mematahkan anggota tubuh mereka, dengan menariknya amat kuat hingga terputus dari tubuh mereka.Rafan mengabaikan teriakan kesakitan mereka, terus menyerang brutal atau lebih tepatnya kembali melakukan pembantaian. Buktinya, perlahan anak buah Arion yang disuruh berjaga, terkapar di mana-mana. Bahkan, darah juga ikutan berceceran. Rafan kembali
Di kediaman Alexander, Rafan masih terdiam di ruang tengah. Pikirannya yang tadi kacau sekarang sudah agak tenang, tetapi firasat itu kembali dirasakannya. Rafan memegangi kepalanya dan bergumam pelan."Mereka sudah memulainya ya?"Refan yang mendengar gumaman Rafan, kembali bingung dan khawatir. "Mulai apa, Kak?" Dengan spontan, Refan bertanya. Namun, Rafan tidak menjawab, malah semakin memegangi kepalanya. Hal itu, membuat Refan dilanda kepanikan lagi. Rafan terpejam dan berusaha tenang lagi.Mereka benar-benar membawanya.Rafan membuka matanya, terlihat sekali tatapannya begitu kosong. Refan benar-benar dilanda kepanikan amat besar, terlebih lagi melihat Rafan beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu. Refan langsung mengekor dan bertanya."Mau ke mana?" Refan semakin khawatir.Rafan tidak menjawab, terus berjalan keluar dari rumah."Kakak!" panggil Refan lagi."Ada apa? Kakakmu mau ke mana?" Rivo dan Risa, i
Sudah terhitung 30 menit berlalu kegiatan sekolah usai. Kali ini, semua siswa tumben masih betah berada di sekolah. Termasuk, Rafan. Entah kenapa, masih ingin berada di sekolah. Buktinya, terlihat duduk sembari melamun di kelas. Tatapan Rafan yang sejak tadi tertuju pada luar jendela, kini beralih pada Aksa yang baru ingin pulang.Aksa merasa diperhatikan, langsung mendelik aneh Rafan. Hingga kembali teringat sesuatu, sekarang ingin memastikan lagi dengan benar. "Kau sedang bermasalah ya?" Aksa spontan berkata begitu, tetapi matanya menatap amat serius."Ya, sejak kemarin.” Pada akhirnya Rafan menjawab. “Kau merasa aneh denganku, ‘kan? Bisa dibilang, sedang waspada dengan sekitar. Untuk mencari tau, siapa orang itu dan antek-anteknya terus mengikutiku sejak kemarin." Rafan menjelaskannya sesuai fakta, pada Aksa.Rafan sengaja membeberkannya, biasanya selalu disembunyikan. Namun, merasa ada sesuatu yang direncanakan oleh orang yang mengikutinya.
Tengah malam Rafan masih terjaga, masih memikirkan siapa yang mengikutinya. Yakin, tidak pernah membuat masalah, kalau dulu itu karena ada yang mengusiknya. Baru Rafan akan bertindak.Rafan merebahkan diri, berusaha menepis dan tidur. Tetap saja tidak bisa, pikirannya masih melayang pada sekelompok orang yang mengikutinya."Siapa dan mau apa mereka?" Rafan benar-benar bingung. "Ketenangku hanya sebentar saja kah?" ucap Rafan amat lirih, telapak tangannya terus memegangi kepalanya.Mencoba berubah, tetapi banyak sekali masalah yang menghampirinya. Rumit sekali, menurutnya. Rafan mencoba untuk tidur lagi dan berusaha untuk menenangkan pikirannya sebentar, sebelum masalah baru benar-benar mendatanginya.****Keesokan harinya, saat sarapan Rafan hanya terdiam dan langsung pergi duluan. Refan berhasil mengikutinya, tetapi Rafan semakin diam. Sepertinya, kebiasaan dulu mulai terlihat lagi. Rafan kembali tampang datar dan terkesan dingin,
Saat jam istirahat, seperti biasa Rafan memilih duduk di halaman belakang sekolah. Yang dilakukan hanya terpejam untuk menenangkan pikirannya, terkadang orang lain pikir amat membosankan. Sedangkan bagi Rafan tidak.Selama menjadi siswa SMA, Rafan paling anti diajak ke kantin sekolah. Sekalinya ke kantin, itu pun dipaksa Refan.Tidak lama kemudian, Asya datang dan ikut duduk di sebelah Rafan. Semenjak menjalin hubungan, Asya selalu mendekatinya. Jujur, masih aneh. Meskipun sudah berusaha untuk membiasakan diri.Asya heran dengan Rafan, jarang sekali ke kantin. "Kau tidak lapar atau haus gitu?""Tidak." Rafan dengan santainya berkata begitu.Asya semakin heran, memilih memakan roti sosis yang dibelinya tadi.Rafan melirik Asya sibuk makan roti sosisnya, sedangkan yang dilirik menoleh. Benar saja, kembali mengernyit heran.Asya menyodorkan satu roti sosis, kebetulan membeli dua. “Mau?”"Tidak.""Bener?" E
Aksa terdiam sejenak, setelah mendengar penuturan Rafan. Hingga rasa khawatir dan posesif mulai menguasainya. Aksa menghela napas sejenak, lambat laun mulai menatap serius. Rafan sendiri hanya melirik heran, saat sorot mata Aksa berubah serius terhadapnya.Hingga, berhasil menduga sesuatu hal. "Kau tidak percaya?"Aksa berdeham pelan. “Percaya, hanya saja ...."Walau Aksa tidak melanjutkan perkataannya, Rafan langsung memahaminya. Itu, terlihat jelas dari raut wajah Aksa, sepertinya khawatir—sangat posesif dengan Asya."Aku tau kau mencemaskan Asya karena dekat denganku, ‘kan?" tebak Rafan.Aksa agak tersentak, karena tebakan Rafan benar sekali. "Ya, tapi sudah tidak. Karena, tidak mungkin juga melarang atau memaksanya menjauh darimu." Yang ada, Aksa yang akan dijauhi. Meskipun, niat baik. Tetapi, kalau soal kebahagiaan Asya. Aksa tidak bisa ikut campur."Ehm, baguslah. Tapi, terserah kau kalau masih belum bisa mempercayaik