Tidak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat, kini sedang ada waktu luang. Lebih tepatnya, sedang libur sekolah. Setelah melaksanakan ujian kenaikan kelas, si kembar hanya menghabiskan waktu liburan sekolah di rumah. Berbeda sekali dengan yang lain, pastinya jalan bersama keluarga entah ke mana.
Sayangnya, si kembar dan keluarganya tidak pergi ke manapun. Kalau diperhatikan lebih jelas, hanya Refan yang terlihat diam di rumah. Terkadang, jalan sebentar keluar rumah sebagai penghilang bosan dan itu—sendirian.
Karena, selama liburan sisi liarnya semakin menjadi. Setiap pagi buta, keberadaan Rafan sudah hilang dari rumah. Rafan pergi ke hutan. Hingga siang tiba, masih betah di alam liar. Memang dasarnya, malas untuk pulang. Kalau Refan bosan, pasti jalan sendiri entah ke mana. Lain halnya dengan Rafan, ketika bosan melanda memilih melatih kemampuannya. Sekaligus, berkeliaran secara bebas.
Kini Rafan, terlihat berbaring tanpa peduli tanah atau kotoran lain m
Menjelang berakhirnya liburan sekolah, Asya terlihat berada di kediaman Alexander. Bisa dibilang, sejak dua hari yang lalu. Karena orang tua mereka sedang keluar kota, keluarga Alexander menawarkan agar Asya dan Aksa menginap. Takut terjadi sesuatu lagi, itu sebabnya keluarga Alexander menawarkan mereka untuk menginap, selama ditinggal keluar kota beberapa hari.Di ruang tengah, Asya duduk diam di sofa. Matanya, amat fokus ke novel yang sedari tadi dibacanya. Di sebelah sofa yang diduduki Asya, ada Rafan sedang asik berbaring. Sebenarnya, hanya mereka berdua saja. Para pelayan selama libur sekolah, Diberi cuti semua, jadi hanya ada si kembar dan kedua anak keluarga Adriano.Sekarang, hanya Rafan dan Asya saja. Refan keluar rumah, katanya mau jalan dengan Vio. Aksa, entahlah sejak pagi sudah lebih dulu pergi."Biasanya, kau diam-diam kabur ke hutan gitu?" Asya mendelik heran ke arah Rafan, yang asik berbaring di sofa panjang."Hm, lagi malas saja." Rafan b
Kegelapan adalah hidupnya, bahkan sangat menyedihkan dan juga menyakitkan. Hal itu, membuatnya terlihat ingin menyerah. Namun, itu semua tertutup oleh sisi mengerikannya.Bermandikan darah adalah kesehariannya. Itu pun, bila ada yang mengusik kehidupannya. Bahkan, sudah menjadi prinsip yang terus ditanam dalam dirinya.Memiliki tatapan dingin, kejam dan tak terbantahkan. Banyak orang yang menjauhinya, dan dia menjadi buronan polisi.Keluarga? Entahlah, dia bahkan tidak tahu kehangatan keluarga itu seperti apa. Lagi pula, selama dia hidup ... tidak pernah merasakannya.Menyedihkan bukan?Keinginan? Sepertinya ada. Akan tetapi, dalam sekejap musnah. Bahkan, sudah tidak diharapkannya lagi.“I cannot stop this sickness taking over. It takes control and drags me into nowhere.”Anehnya, keinginan yang sudah lama musnah, muncul kembali di dalam benaknya. Yaitu, dia ingin ada yang bisa menyelamatkannya. D
Malam hari, di dalam sebuah gedung tua. Terlihat seorang pemuda, sedang diserang oleh beberapa orang penjahat. Pemuda itu dipukuli hingga babak belur, bahkan di tubuhnya terdapat beberapa luka tusuk dan sayatan dari benda tajam.Saat ini, para penjahat itu telah mengelilingi pemuda itu dan di belakangnya juga terdapat dinding, membuat pemuda itu mati langkah.“Oy! Kenapa diam saja baj*ng*n!” bentak salah satu dari penjahat, ketika melihat pemuda itu diam tak bergerak.“Apanya kejam? Ternyata cuma omong kosong, dasar pecundang! Haha!” ejek penjahat lainnya, sambil menatap remeh pemuda itu.Keenam penjahat mulai tertawa, tanpa menyadari sesuatu. Kalau pemuda itu, mulai mengamati dengan tatapan yang sulit diartikan, bahkan sudut bibirnya sedikit terangkat, lebih tepatnya tersenyum.Itu bukanlah senyum ketika seseorang menemukan secercah harapan saat situasi sulit, senyumnya lebih seperti hewan buas yang senang karena mangsanya
Sampai di tempat biasa, langsung bersiap. Sebelum itu, Rafan mengelus sebentar musang kecil. Lalu menurunkannya, musang itu pun berlari menjauh dan Rafan masih menatapnya hingga tidak terlihat. Setelahnya, Rafan melepas jaket yang dipakainya. Tersisa hanya kaus berwarna abu tanpa lengan, kembali meregangkan ototnya sebentar.Kemudian mulai berlari mengelilingi sebagian hutan, lalu melompat dan melakukan pakour ke setiap atas batang pohon yang cukup tinggi ataupun bebatuan besar, sekalian untuk melatih pijakan kakinya agar tidak terpeleset. Semakin lincah, menghindar dari orang asing yang mengejarnya dan polisi juga.Rafan melakukan hal itu, selama seharian penuh dan secara secara berulang-ulang—sendirian. Menurutnya, sangat menyenangkan dan juga bisa menghilangkan rasa bosan. Lalu berhenti sejenak untuk beristirahat, Rafan memilih duduk di atas bukit, yang di bawahnya terdapat jurang yang amat curam, membiarkan embusan angin di sore hari menerpa tubuhnya.
“I cannot stop this sickness taking over. It takes control and drags me into nowhere.”‘My demons by Starset’•••Rafan berdecih, tetapi masih melirik dingin kelima penjahat yang mulai menjauh darinya—hingga tidak terlihat.Membuang-buang waktu saja!Rafan kembali melangkah santai, biasanya akan menyerang karena terusik. Entah kenapa, sekarang tidak ada niat mengejar kelima penjahat tadi. Kebetulan mood-nya sedang malas untuk membuat teror.“Hm, hm, hm,” gumam Rafan, terus berjalan santai menuju ujung kota.Rafan masih berjalan dengan tenang, hingga melewati daerah gang sempit. Namun, dalam sekejap ketenangannya lenyap. Saat ada yang menabraknya lumayan keras, anehnya s
“I need a savior to heal my pain.”‘My demons by Starset’•••Rafan terus berguling ke dalam jurang, tubuhnya tidak luput tergores ranting, ataupun bebatuan kecil dan besar, hingga berhasil berpegangan pada batang pohon.Hampir saja.Rafan masih berpegangan pada dahan pohon, dan mulai memanjat ke atas dahan pohon yang paling tinggi. Kemudian duduk terdiam di atas dahan pohon, menunggu rasa sakit di tubuhnya hilang. Akibat melompat dan berguling ke dalam jurang, untung saja tidak menghantam bebatuan besar.“Mereka mulai familiar denganku kah?”Rafan membiarkan kedua kakinya menjuntai ke bawah, sesekali menggerakkannya.“Hm, hm, hm,” gumam Rafan sambil terpejam, berusaha untuk tenang. Karena b
12 tahun yang lalu ...Alexander, menurut banyak orang adalah keluarga harmonis. Juga keluarga terpandang, karena terkenal dalam dunia bisnis. Keluarga Alexander pemilik perusahaan Xander Corp, yang begitu diminati para pebisnis lain, untuk melakukan kontrak kerja sama.Saat itu Risa sedang mengandung. Dokter melakukan USG awalnya satu anak laki-laki, tapi saat kehamilannya menginjak usia sembilan bulan, di mana anaknya akan lahir, ternyata terlahir kembar.Mereka hanya menginginkan anak tunggal sebagai penerusnya, karena terlahir kembar mereka tetap menerimanya, lalu diberi nama Rafan dan Refan. Akan tetapi, mereka mulai dibutakan oleh keinginannya. Terbukti, mereka lebih memilih merawat dan diperkenalkan pada publik hanya anak bungsu saja yaitu Refan Alexander.Sedangkan Rafan Alexander sebagai anak sulung tidak, sejak lahir pun langsung diasuh oleh pembantunya. Hingga, Rafan baru menginjak umur empat tahun. Tidak lama kemudian, kabar b
Bram sejak awal bergabung dengan Xander Corp, memiliki niat licik ingin merebut secara perlahan perusahaan Xander Corp, tetapi selalu gagal. Akan tetapi, keesokan harinya Bram kembali berkunjung ke rumah keluarga Alexander, mulai mencoba menjalankan rencana liciknya lagi, Bram berjalan mengendap-endap menuju ruang kerja milik Rivo, langsung mendekati tempat penyimpanan, berkas penting.Bersamaan dengan Rafan baru, yang saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa ingin pergi ke halaman belakang rumah.Lagi pula tidak ada rapat?Rafan mulai melangkah di setiap anak tangga, hingga sampai dipijakan terakhir. Kemudian, berjalan menuju pintu keluar, tetapi langkahnya terhenti saat melewati ruang kerja Rivo. Rafan melihat Bram sedang mencari sesuatu, awalnya mengabaikan dan berniat pergi menuju halaman belakang, tapi terhenti lagi ketika Bram menyadari kehadirannya.“Ini dia berk—” ucap Bram terhenti saat melihat Rafan,
Menjelang berakhirnya liburan sekolah, Asya terlihat berada di kediaman Alexander. Bisa dibilang, sejak dua hari yang lalu. Karena orang tua mereka sedang keluar kota, keluarga Alexander menawarkan agar Asya dan Aksa menginap. Takut terjadi sesuatu lagi, itu sebabnya keluarga Alexander menawarkan mereka untuk menginap, selama ditinggal keluar kota beberapa hari.Di ruang tengah, Asya duduk diam di sofa. Matanya, amat fokus ke novel yang sedari tadi dibacanya. Di sebelah sofa yang diduduki Asya, ada Rafan sedang asik berbaring. Sebenarnya, hanya mereka berdua saja. Para pelayan selama libur sekolah, Diberi cuti semua, jadi hanya ada si kembar dan kedua anak keluarga Adriano.Sekarang, hanya Rafan dan Asya saja. Refan keluar rumah, katanya mau jalan dengan Vio. Aksa, entahlah sejak pagi sudah lebih dulu pergi."Biasanya, kau diam-diam kabur ke hutan gitu?" Asya mendelik heran ke arah Rafan, yang asik berbaring di sofa panjang."Hm, lagi malas saja." Rafan b
Tidak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat, kini sedang ada waktu luang. Lebih tepatnya, sedang libur sekolah. Setelah melaksanakan ujian kenaikan kelas, si kembar hanya menghabiskan waktu liburan sekolah di rumah. Berbeda sekali dengan yang lain, pastinya jalan bersama keluarga entah ke mana.Sayangnya, si kembar dan keluarganya tidak pergi ke manapun. Kalau diperhatikan lebih jelas, hanya Refan yang terlihat diam di rumah. Terkadang, jalan sebentar keluar rumah sebagai penghilang bosan dan itu—sendirian.Karena, selama liburan sisi liarnya semakin menjadi. Setiap pagi buta, keberadaan Rafan sudah hilang dari rumah. Rafan pergi ke hutan. Hingga siang tiba, masih betah di alam liar. Memang dasarnya, malas untuk pulang. Kalau Refan bosan, pasti jalan sendiri entah ke mana. Lain halnya dengan Rafan, ketika bosan melanda memilih melatih kemampuannya. Sekaligus, berkeliaran secara bebas.Kini Rafan, terlihat berbaring tanpa peduli tanah atau kotoran lain m
Semenjak kejadian itu, keluarga Alexander hanya bisa pasrah dan menunggu. Karena Rafan pergi dan sama sekali belum kembali, meskipun rasa khawatir terus menghampiri mereka. Ditambah rasa takut, kalau Rafan melakukan self injury lagi.Refan terdiam, senang karena masalah selesai. Tetapi, takut Rafan tidak kembali. Lagi-lagi, Refan hanya bisa menunggu, seperti dulu yang dilakukannya."Kakak," ucap Refan lirih, ingin sekali melihat Rafan pulang.Selama sekolah, Refan benar-benar tidak fokus karena memikirkan Rafan. Begitu juga, dengan Asya yang sudah mulai sekolah lagi. Asya sempat takut keluar rumah, hingga memutuskan izin tidak sekolah untuk beberapa waktu. Di satu sisi, Asya khawatir saat dapat kabar dari Aksa. Kalau Rafan tidak pulang.Arvian, tidak menyangka kalau ada satu anak didiknya lagi yang melakukan hal kejam. Bahkan, yang lebih parah. Arion anak dari Orion mafia yang dulu meneror keluarga Alexander, sekaligus hampir membuat Rafan sekara
Sejak Raskal memberitahu, kalau anak Orion yang mengawasi dan menculik Asya. Rafan langsung pergi ke markas lama milik Orion dulu, saat dirinya dijadikan kelinci percobaan. Sebenarnya, Rafan sudah menebak kalau anak Orion yang mengintai. Tidak lain, adalah Arion.Saat berusaha mendekati Asya. Rafan awalnya biasa, tetapi mulai familier dengan wajah Arion. Namun, Rafan sengaja mendiamkannya dan pergi. Walau sebenarnya, Rafan terus waspada dengan rencana Arion terhadapnya.Rafan mulai menyerang brutal anak buah Arion, juga membantainya satu persatu. Meskipun, dengan tangan kosong. Mulai dari menangkis serangan, menangkap dan mematahkan anggota tubuh mereka, dengan menariknya amat kuat hingga terputus dari tubuh mereka.Rafan mengabaikan teriakan kesakitan mereka, terus menyerang brutal atau lebih tepatnya kembali melakukan pembantaian. Buktinya, perlahan anak buah Arion yang disuruh berjaga, terkapar di mana-mana. Bahkan, darah juga ikutan berceceran. Rafan kembali
Di kediaman Alexander, Rafan masih terdiam di ruang tengah. Pikirannya yang tadi kacau sekarang sudah agak tenang, tetapi firasat itu kembali dirasakannya. Rafan memegangi kepalanya dan bergumam pelan."Mereka sudah memulainya ya?"Refan yang mendengar gumaman Rafan, kembali bingung dan khawatir. "Mulai apa, Kak?" Dengan spontan, Refan bertanya. Namun, Rafan tidak menjawab, malah semakin memegangi kepalanya. Hal itu, membuat Refan dilanda kepanikan lagi. Rafan terpejam dan berusaha tenang lagi.Mereka benar-benar membawanya.Rafan membuka matanya, terlihat sekali tatapannya begitu kosong. Refan benar-benar dilanda kepanikan amat besar, terlebih lagi melihat Rafan beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu. Refan langsung mengekor dan bertanya."Mau ke mana?" Refan semakin khawatir.Rafan tidak menjawab, terus berjalan keluar dari rumah."Kakak!" panggil Refan lagi."Ada apa? Kakakmu mau ke mana?" Rivo dan Risa, i
Sudah terhitung 30 menit berlalu kegiatan sekolah usai. Kali ini, semua siswa tumben masih betah berada di sekolah. Termasuk, Rafan. Entah kenapa, masih ingin berada di sekolah. Buktinya, terlihat duduk sembari melamun di kelas. Tatapan Rafan yang sejak tadi tertuju pada luar jendela, kini beralih pada Aksa yang baru ingin pulang.Aksa merasa diperhatikan, langsung mendelik aneh Rafan. Hingga kembali teringat sesuatu, sekarang ingin memastikan lagi dengan benar. "Kau sedang bermasalah ya?" Aksa spontan berkata begitu, tetapi matanya menatap amat serius."Ya, sejak kemarin.” Pada akhirnya Rafan menjawab. “Kau merasa aneh denganku, ‘kan? Bisa dibilang, sedang waspada dengan sekitar. Untuk mencari tau, siapa orang itu dan antek-anteknya terus mengikutiku sejak kemarin." Rafan menjelaskannya sesuai fakta, pada Aksa.Rafan sengaja membeberkannya, biasanya selalu disembunyikan. Namun, merasa ada sesuatu yang direncanakan oleh orang yang mengikutinya.
Tengah malam Rafan masih terjaga, masih memikirkan siapa yang mengikutinya. Yakin, tidak pernah membuat masalah, kalau dulu itu karena ada yang mengusiknya. Baru Rafan akan bertindak.Rafan merebahkan diri, berusaha menepis dan tidur. Tetap saja tidak bisa, pikirannya masih melayang pada sekelompok orang yang mengikutinya."Siapa dan mau apa mereka?" Rafan benar-benar bingung. "Ketenangku hanya sebentar saja kah?" ucap Rafan amat lirih, telapak tangannya terus memegangi kepalanya.Mencoba berubah, tetapi banyak sekali masalah yang menghampirinya. Rumit sekali, menurutnya. Rafan mencoba untuk tidur lagi dan berusaha untuk menenangkan pikirannya sebentar, sebelum masalah baru benar-benar mendatanginya.****Keesokan harinya, saat sarapan Rafan hanya terdiam dan langsung pergi duluan. Refan berhasil mengikutinya, tetapi Rafan semakin diam. Sepertinya, kebiasaan dulu mulai terlihat lagi. Rafan kembali tampang datar dan terkesan dingin,
Saat jam istirahat, seperti biasa Rafan memilih duduk di halaman belakang sekolah. Yang dilakukan hanya terpejam untuk menenangkan pikirannya, terkadang orang lain pikir amat membosankan. Sedangkan bagi Rafan tidak.Selama menjadi siswa SMA, Rafan paling anti diajak ke kantin sekolah. Sekalinya ke kantin, itu pun dipaksa Refan.Tidak lama kemudian, Asya datang dan ikut duduk di sebelah Rafan. Semenjak menjalin hubungan, Asya selalu mendekatinya. Jujur, masih aneh. Meskipun sudah berusaha untuk membiasakan diri.Asya heran dengan Rafan, jarang sekali ke kantin. "Kau tidak lapar atau haus gitu?""Tidak." Rafan dengan santainya berkata begitu.Asya semakin heran, memilih memakan roti sosis yang dibelinya tadi.Rafan melirik Asya sibuk makan roti sosisnya, sedangkan yang dilirik menoleh. Benar saja, kembali mengernyit heran.Asya menyodorkan satu roti sosis, kebetulan membeli dua. “Mau?”"Tidak.""Bener?" E
Aksa terdiam sejenak, setelah mendengar penuturan Rafan. Hingga rasa khawatir dan posesif mulai menguasainya. Aksa menghela napas sejenak, lambat laun mulai menatap serius. Rafan sendiri hanya melirik heran, saat sorot mata Aksa berubah serius terhadapnya.Hingga, berhasil menduga sesuatu hal. "Kau tidak percaya?"Aksa berdeham pelan. “Percaya, hanya saja ...."Walau Aksa tidak melanjutkan perkataannya, Rafan langsung memahaminya. Itu, terlihat jelas dari raut wajah Aksa, sepertinya khawatir—sangat posesif dengan Asya."Aku tau kau mencemaskan Asya karena dekat denganku, ‘kan?" tebak Rafan.Aksa agak tersentak, karena tebakan Rafan benar sekali. "Ya, tapi sudah tidak. Karena, tidak mungkin juga melarang atau memaksanya menjauh darimu." Yang ada, Aksa yang akan dijauhi. Meskipun, niat baik. Tetapi, kalau soal kebahagiaan Asya. Aksa tidak bisa ikut campur."Ehm, baguslah. Tapi, terserah kau kalau masih belum bisa mempercayaik