Bram sejak awal bergabung dengan Xander Corp, memiliki niat licik ingin merebut secara perlahan perusahaan Xander Corp, tetapi selalu gagal. Akan tetapi, keesokan harinya Bram kembali berkunjung ke rumah keluarga Alexander, mulai mencoba menjalankan rencana liciknya lagi, Bram berjalan mengendap-endap menuju ruang kerja milik Rivo, langsung mendekati tempat penyimpanan, berkas penting.
Bersamaan dengan Rafan baru, yang saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa ingin pergi ke halaman belakang rumah.
Lagi pula tidak ada rapat?
Rafan mulai melangkah di setiap anak tangga, hingga sampai dipijakan terakhir. Kemudian, berjalan menuju pintu keluar, tetapi langkahnya terhenti saat melewati ruang kerja Rivo. Rafan melihat Bram sedang mencari sesuatu, awalnya mengabaikan dan berniat pergi menuju halaman belakang, tapi terhenti lagi ketika Bram menyadari kehadirannya.
“Ini dia berk—” ucap Bram terhenti saat melihat Rafan, lalu mendekat ke arahnya. “Jika kau mengadu, kau akan kena akibatnya!” Bram langsung mengancam Rafan, di satu sisi panik. Karena takut perbuatannya—ketahuan.
Rafan tidak peduli dengan ancaman itu, tetapi saat melihat berkas milik Rivo diambil Bram, Rafan langsung bertindak—mencoba merebutnya.
“Itu milik ayah!” balas Rafan tidak peduli dengan ancaman, sambil menunjuk ke arah berkas yang dipegang Bram.
“Masalah!” balas Bram mulai kesal, karena rencananya terganggu oleh Rafan.
Sial pengganggu! Sepertinya aku harus melakukan sesuatu. Supaya niat licikku tidak terbongkar.
Bram tersenyum licik, lalu diam-diam mengeluarkan korek api yang tersimpan di saku celananya.
“Kembalikan!” pinta Rafan, berhasil merebutnya dari tangan Bram.
Saat ingin meletakannya kembali di tempat semula, gagal. Bram langsung merebut berkas itu lagi, lalu membakarnya di hadapan Rafan. Bersamaan Rivo masuk ke ruang kerjanya, dan melihat ada berkas yang terbakar langsung panik.
“Itu berkas hasil rapat kemarin, siapa yang membakarnya!” teriak Rivo, melihat berkasnya hangus dilalap api.
“Dia, aku melihatnya tadi!” sahut Bram, dengan liciknya langsung menuduh Rafan.
“Bukan ak—”
Rivo semakin kesal, langsung menampar keras tanpa memberikan kesempatan Rafan untuk menjelaskan.
“Diam! Beraninya kau membakar berkas itu! Pergi kau!” teriak Rivo muak.
Rafan hanya diam dan mulai menatap datar mereka, pikirannya kosong setelah dibentak dan ditampar keras, Rafan memegangi kepalanya. Lalu tersentak dan merasa tangannya dicekal, lalu ditarik paksa oleh Rivo keluar dari rumah dan mengusirnya.
Bram tersenyum licik melihatnya, lalu mengirim pesan singkat ke pembunuh bayaran yang selalu dia sewa untuk rencana liciknya. Untuk membunuh Rafan, menurutnya akan menjadi ancaman terbesar.
Haha! Ya mereka semua munafik!
Rafan pergi dari rumah, sebelum itu melirik sebentar dan melihat jelas senyum licik Bram.
Refan yang melihat Rafan diusir oleh Rivo, langsung berteriak memanggilnya, tetapi Refan ditarik paksa oleh Risa ke dalam rumah. Refan hanya bisa menatap kepergian Rafan.
****
Rafan terus berjalan, lalu menoleh ke belakang. Karena merasa diikuti seseorang, ternyata ada lima orang yang mengikuti dan langsung mendekatinya.
“Kejar dia!”
Rafan langsung lari cepat menghindar dari mereka, tapi gagal dan berhasil tertangkap.
“Lep—emphh!” teriak Rafan terpotong, mulutnya dibekap oleh mereka.
Lalu membawanya pergi, ke arah gang sempit yang jarang dilewati, Rafan berusaha melawan mereka, tapi gagal. Karena saat itu dia tidak berdaya.
“Lep—” teriakan Rafan kembali terpotong, karena mereka menendang dan menusuk perutnya.
Semakin memukul dan menendang keras tubuhnya, hingga lebam dan membiru. Bahkan dengan sengaja, menginjak keras dada kirinya.
“Mati kau!”
“Arrrghh! Lep—aargghh!”
Rafan benar-benar tidak berdaya, terus berteriak kesakitan. Akan tetapi, mereka semakin memukuli, menendang, bahkan menusuk tubuhnya.
****
Mereka masih menyiksanya dengan terus menusuk pisau ke perut Rafan dan kembali memukulinya hingga wajah bahkan seluruh tubuhnya membiru dan lebam, membuat Rafan tidak bisa bergerak.
Melihat Rafan tidak bergerak, mulai berpikir Rafan sudah mati, mereka langsung menghubungi Bram bahwa berhasil membunuhnya. Tanpa disadari oleh mereka, Rafan masih tersadar dan samar-samar mendengar percakapan mereka.
Pembunuhan berencana kah?
Rafan tetap diam, bersamaan merasa tubuhnya terangkat.
Ternyata mereka membawa tubuh Rafan ke arah jurang curam lalu melemparnya, dan pergi begitu saja. Sedangkan Rafan, terus berguling ke dalam jurang hingga menghantam batu besar dan bersimbah darah.
“Sshh sa-sakit,” ucap Rafan lirih, berhasil bangkit dan jalan terseok-seok untuk keluar dari jurang. Rafan terus berjalan, hingga berhasil sampai di jalan besar.
Ssshh, aku bisa kehabisan darah!
Rafan menahan rasa sakit, sambil memegangi kepala dan perutnya yang terus mengalir darah. Lalu ambruk karena sudah tidak kuat berjalan lagi, tubuhnya lemas dan sudah sulit digerakkan. Rafan hanya diam terbaring di jalanan sambil melihat darahnya yang terus keluar banyak.
Hee, ini darahku kah? Sshh, sakit juga ya? Padahal sering melukai tubuhku sendiri. Uhh aku kedinginan, apa aku akan mati?
Rafan, masih terbaring lemah di jalanan. Lalu merasa ada yang mendekat. Rafan melihat sebentar, ternyata ada polisi dan melihat keadaan Rafan sekarat, langsung membawanya masuk ke dalam mobil. Rafan diam saja, lalu semuanya gelap.
Sampai di rumah sakit, Rafan langsung dibawa ke ICU dan ditangani oleh dokter. Kondisinya sangat parah, dan mengalami koma.
****
Rafan masih terbaring koma, alat bantu pernapasan masih terpasang dan selang infusan juga. Bagian kepala diperban dan perutnya juga karena mengalami luka tusuk untung saja tidak terlalu dalam. Akan tetapi, Rafan kehilangan banyak darah. Apabila tidak ditangani dengan cepat nyawanya tidak akan tertolong.
“Bagaimana keadaanya?” tanya Polisi.
“Dia koma, kondisinya sangat lemah,” jelas Dokter.
Setelah itu, mereka meninggalkan ruang ICU tempat Rafan terbaring koma.
Mereka tidak sadar, anak kecil yang mereka tolong adalah anak sulung Alexander, yang disembunyikan dari publik. Karena Rafan mengalami luka lebam hingga membiru di seluruh tubuhnya, hal itu membuat polisi tidak mengenalinya.
Setiap hari polisi selalu datang, untuk bertanya tentang keadaan Rafan. Ternyata masih koma, bahkan sudah enam bulan lebih belum ada tanda-tanda Rafan akan sadar.
“Kemungkinan dia koma dalam waktu yang lama,” jelas Dokter, lalu pergi dari ruang ICU.
****
Sudah satu tahun, Rafan masih terbaring koma. Terlihat suster sedang mengecek keadaanya, kemudian pergi untuk mengecek pasien lain. Setelah suster pergi, terlihat jari Rafan bergerak dan perlahan membuka matanya, mulai melihat sekelilingnya saat ingin bangun, tubuhnya langsung sakit dan kaku.
Di rumah sakit kah?
Rafan meringis pelan, kembali berbaring.
Kebetulan ada suster lain yang masuk ke ruang ICU dan melihat Rafan sadar, langsung memanggil dokter. Dokter datang langsung memeriksa keadaannya, dan melepas alat bantu pernapasan karena sudah stabil.
“Satu tahun kau koma, lukamu sangat parah. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?” tanya Dokter pelan.
Akan tetapi Rafan, tidak menjawab dan dokter pun tidak memaksanya.
“Lebih baik kau istirahat lagi,” ucap Dokter, lalu pergi meninggalkan Rafan sendirian.
“Hee, lama juga aku tertidur. Mereka benar-benar membuatku hampir mati,” gumam Rafan, sambil mengingat kejadian yang menimpanya.
Pintu terbuka, tenyata polisi datang untuk melihat keadaannya setelah dikabari oleh pihak rumah sakit.
“Kau baik-baik saja?” tanya Polisi.
“Ya.” Rafan hanya membalas singkat.
“Apa kau ingat apa yang terjadi padamu?” tanya Polisi, mencoba memastikan.
“Tidak, aku lupa.” Rafan menggeleng dan sengaja bohong pada polisi.
Sebaiknya tidak aku beritahu, karena aku ingin membalasnya sendiri perbuatan mereka!
Rafan mulai melirik datar polisi.
“Hm, baiklah kau istirahat saja. Kami akan datang lagi.” Setelahnya, polisi pergi untuk patroli lagi.
Rafan masih harus dirawat di rumah sakit, untuk pemulihan agar tubuhnya tidak kaku setelah mengalami koma. Perlahan, kondisi tubuhnya mulai membaik. Terbukti sesekali terlihat, keluar dari kamar inapnya—guna menghilangkan rasa bosan akibat terus-menerus berada di kamar inap.
Satu bulan terlah berlalu, paginya polisi datang dan bertanya lagi, tetapi Rafan masih tidak mau menjawab. Kondisi Rafan sudah pulih kembali, meskipun wajahnya masih ada memar biru, bahkan sudah diperbolehkan pulang. Polisi ingin mengantarnya pulang, tetapi Rafan menolak.“Kami antar ke rumah ya, kau ingat tinggal di mana?” tanya Polisi.“Tidak,” balas Rafan bohong lagi.Lagi pula aku kan sudah diusir dari rumah. Lebih baik pura-pura tidak ingat.Rafan, mulai berjalan keluar dari rumah sakit.“Ayo, kau tinggal di panti asuhan saja.” Polisi menggenggam tangan Rafan, lalu menariknya untuk masuk ke mobil dan pergi.Sampai di panti asuhan, polisi langsung menemui ibu panti dan akhirnya menerima Rafan untuk tinggal di sana.Lebih baik aku tinggal di sini dulu, sambil mencari tempat untuk tinggal sendiri.Rafan ikut masuk, saat tanganny
Rafan masih duduk di atap gedung, setelah mengingat kembali masa lalunya yang kelam dan begitu pahit baginya.“Sudah 12 tahun berlalu, sepertinya Bram Revaldo menikmati sekali kehidupannya, setelah berhasil membuatku diusir dan hampir mati," gumam Rafan.Kebetulan Rafan duduk di atap gedung, yang bersebelahan dengan SMA 01 Golden. Sekolah yang memiliki tingkat reputasi sangat tinggi, karena banyak sekali murid berprestasi. Lalu tidak sengaja melihat gerak-gerik aneh dari empat orang, yang semenjak pagi sudah ada di depan gedung sekolah itu.“Hee, polisi menyamar jadi warga biasa kah? Mudah sekali tertebak, pasti polisi itu sedang mengintai Refan Alexander!” gumam Rafan.Refan Alexander, salah satu siswa di SMA 01 Golden. Lebih tepatnya adalah adik kembar Rafan. Rafan terus memperhatikan beberapa polisi yang menyamar.****Di ruang makan sebuah keluarga sarapan bersama, tanpa merasa kurang atau cemas. Jika,
Polisi dan ketiga teman Refan terdiam, setelah mendengar penjelasan Refan, ternyata memiliki kakak kembar.“Tunggu sebentar, kakak? Bukankah kau anak tunggal?” tanya Polisi bingung.“Sebenarnya aku memiliki kakak kembar,” jelas Refan.Jadi Refan terlahir kembar!Ketiga temannya, terkejut.“Bisa dijelaskan Tuan Rivo?” tegas Polisi.“Oke! Memang benar anakku kembar. Tapi dia per—” ucap Rivo terhenti.“Kakak tidak pergi! Tapi diusir!” potong Refan kesal, mendengar penuturan Rivo.“Refan diam!” balas Rivo kesal.“Tidak! Selama ini aku bingung. Sebenarnya apa salah kakak? Sampai ayah ataupun ibu tidak pernah ada untuknya. Bahkan kehadirannya tidak dianggap!" ucap Refan lirih.“Kau tidak perlu ta—”“Aku ingin tau! Karena dia kakak kembarku!” teriak Refan kesal.“Sudah kubilang di
Sore hari di tengah kota mendadak hening, biasanya banyak orang yang berlalu lalang. Kali ini tidak, karena mereka bersembunyi sambil menatap seorang pemuda dari jauh. Jadi, hanya kendaraan saja yang melintas di jalan besar.Pemuda itu adalah Rafan, wajar mereka takut. Penampilan Rafan sedikit kotor, di kedua telapak tangannya dan pisau lipat yang dia genggam penuh darah. Bahkan di pakaiannya ada sedikit bercak darah, karena baru saja membunuh Bram Revaldo. Rafan berjalan di tengah kota, sambil menatap kosong ke depan.Sejak berita pembantaian yang tadi dia lakukan sudah tersebar, semua orang di kota terkejut. Keluarga Alexander sebenarnya memiliki anak kembar, dan masih tidak percaya bila pemuda kejam itu anak sulungnya. Setelah Rafan tidak terlihat di tengah kota, semua orang kembali berlalu lalang.****Sampai di ujung kota, Rafan tidak ke rumah kecilnya. Melainkan masuk kedalam hutan, menuju bukit tempat biasa duduk. Lalu merebahkan d
Di rumah kecil, ujung kota terlihat Rafan sedang duduk terdiam. Lalu beranjak menuju hutan lagi. Mulai berjalan santai mengelilingi luasnya hutan, semenjak kematian Bram. Rafan tidak mood membuat teror, dia hanya melakukannya bila ada yang mengusiknya saja.Masih berkeliling, lalu duduk di atas bebatuan besar, sambil melihat hewan liar berkeliaran di dalam hutan. Tanpa takut diserang, lagi pula Rafan tidak mengganggu hewan liar hanya melihat saja.“Lebih tenang, dibandingkan bersama orang-orang di kota,” gumam Rafan, terus memperhatikan berbagai hewan liar yang mulai berkeliaran di sekitarnya. Lalu ada anjing liar yang mendekat, tetapi tidak menyerang Rafan. Hanya mengendusnya sebentar, lalu duduk di sebelah Rafan.Rafan mencoba menyentuh kepala anjing itu, awalnya terganggu dan berniat menyerang. Rafan terus mencoba, akhirnya berhasil lalu mengelus kepala anjing liar itu, menjadi tenang dan jinak. Perlahan anjing liar lain mendekat, bahkan
Pagi hari, saat sarapan Refan masih terdiam. Ketika hendak berangkat, orang tuanya langsung menarik tangannya dan mengajak berangkat bersama, kebetulan ada rapat orang tua di sekolah. Refan hanya diam, mengikuti mereka masuk ke mobil. Selama di perjalanan menuju sekolah, suasana begitu hening. Refan terus menatap ke arah jendela mobil, hingga sampai di sekolah.“Ayo,” ajak orang tuanya.Refan hanya menatap orang tuanya sebentar, tidak menjawab, dan memilih diam di dalam mobil. Orang tuanya hanya menghela napas pasrah, lalu masuk ke aula untuk rapat. Setelah orangtuanya masuk, Refan masih di dalam mobil, kebetulan rapat jadi free class. Tidak lama kemudian, ketiga temannya datang menghampirinya.“Tidak mau keluar?” tanya Kevan.Lagi-lagi Refan hanya diam, sambil menatap kosong ke arah mereka. Ketiga temannya bingung harus melakukan apa lagi, supaya Refan mau bicara. Kevan menarik tangan Refan, lalu mengajaknya keluar dari m
Rafan keluar dari hutan, berjalan menuju jalan besar. Langkahnya terhenti, saat melihat Refan berlari dikejar lima orang asing.“Jadi sudah dimulai kah? Dasar licik.” Rafan langsung mengikuti mereka.Sementara itu, Refan terus meracau. “Pergi! Pergi! Pergi!” Beringsut menjauh dari mereka, melihat ada celah Refan langsung lari keluar dari gang. Akan tetapi gagal, karena mereka berhasil menangkapnya lagi.“Lepas! Lepas!” racau Refan, berusaha melepaskan diri dari mereka.“Tidak, sebelum tugas kami selesai. Mambuatmu tertekan dan gila. Mati kau!” seru mereka, sambil menakuti Refan dengan pisau lipatnya lagi seolah-olah ingin membunuh.“Haaaa! Pergi! Pergi!” teriak Refan histeris, sambil menutup mata dan kedua tangannya menutup telinga.Mereka berhasil membuat Refan tertekan, ditambah Refan sudah kacau semakin mempermudah tugas mereka.“Sepertinya seru, bila melukainya sedi
Setelah mengingat hal itu, Rafan langsung menatap dingin ke arah Arta lagi.“Tidak mungkin!” seru Arta tidak percaya. Jika, lima anak buahnya yang ditugaskan untuk membuat Refan tertekan sudah mati.Rafan mengabaikannya perkataan Arta, lalu menjatuhkan pisau lipat milik Arya dan berniat pergi dari sekolah. Sedangkan Arta mulai emosi, tanpa pikir panjang langsung mengambil pisau lipat milik Arya yang tadi dijatuhkan dan menyerang Rafan yang hendak pergi.Sayangnya gagal, sebelum Arta menusuk pisau lipat itu ke punggung belakangnya, Rafan refleks berbalik, lalu menangkap dan mematahkan tangan Arta membuat pisau yang ada di genggamannya terjatuh.“Ayah!" teriak Arya panik, melihat tangan Arta dipatahkan.“L-le-pas aaarrgghhh!” teriaknya lagi, karena lengannya dipelintir paksa oleh Rafan.“Kau duluan yang menyerang, ‘kan? Jadi, jangan salahkan aku kalau kau mati,” tutur Rafan, sambil menat
Menjelang berakhirnya liburan sekolah, Asya terlihat berada di kediaman Alexander. Bisa dibilang, sejak dua hari yang lalu. Karena orang tua mereka sedang keluar kota, keluarga Alexander menawarkan agar Asya dan Aksa menginap. Takut terjadi sesuatu lagi, itu sebabnya keluarga Alexander menawarkan mereka untuk menginap, selama ditinggal keluar kota beberapa hari.Di ruang tengah, Asya duduk diam di sofa. Matanya, amat fokus ke novel yang sedari tadi dibacanya. Di sebelah sofa yang diduduki Asya, ada Rafan sedang asik berbaring. Sebenarnya, hanya mereka berdua saja. Para pelayan selama libur sekolah, Diberi cuti semua, jadi hanya ada si kembar dan kedua anak keluarga Adriano.Sekarang, hanya Rafan dan Asya saja. Refan keluar rumah, katanya mau jalan dengan Vio. Aksa, entahlah sejak pagi sudah lebih dulu pergi."Biasanya, kau diam-diam kabur ke hutan gitu?" Asya mendelik heran ke arah Rafan, yang asik berbaring di sofa panjang."Hm, lagi malas saja." Rafan b
Tidak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat, kini sedang ada waktu luang. Lebih tepatnya, sedang libur sekolah. Setelah melaksanakan ujian kenaikan kelas, si kembar hanya menghabiskan waktu liburan sekolah di rumah. Berbeda sekali dengan yang lain, pastinya jalan bersama keluarga entah ke mana.Sayangnya, si kembar dan keluarganya tidak pergi ke manapun. Kalau diperhatikan lebih jelas, hanya Refan yang terlihat diam di rumah. Terkadang, jalan sebentar keluar rumah sebagai penghilang bosan dan itu—sendirian.Karena, selama liburan sisi liarnya semakin menjadi. Setiap pagi buta, keberadaan Rafan sudah hilang dari rumah. Rafan pergi ke hutan. Hingga siang tiba, masih betah di alam liar. Memang dasarnya, malas untuk pulang. Kalau Refan bosan, pasti jalan sendiri entah ke mana. Lain halnya dengan Rafan, ketika bosan melanda memilih melatih kemampuannya. Sekaligus, berkeliaran secara bebas.Kini Rafan, terlihat berbaring tanpa peduli tanah atau kotoran lain m
Semenjak kejadian itu, keluarga Alexander hanya bisa pasrah dan menunggu. Karena Rafan pergi dan sama sekali belum kembali, meskipun rasa khawatir terus menghampiri mereka. Ditambah rasa takut, kalau Rafan melakukan self injury lagi.Refan terdiam, senang karena masalah selesai. Tetapi, takut Rafan tidak kembali. Lagi-lagi, Refan hanya bisa menunggu, seperti dulu yang dilakukannya."Kakak," ucap Refan lirih, ingin sekali melihat Rafan pulang.Selama sekolah, Refan benar-benar tidak fokus karena memikirkan Rafan. Begitu juga, dengan Asya yang sudah mulai sekolah lagi. Asya sempat takut keluar rumah, hingga memutuskan izin tidak sekolah untuk beberapa waktu. Di satu sisi, Asya khawatir saat dapat kabar dari Aksa. Kalau Rafan tidak pulang.Arvian, tidak menyangka kalau ada satu anak didiknya lagi yang melakukan hal kejam. Bahkan, yang lebih parah. Arion anak dari Orion mafia yang dulu meneror keluarga Alexander, sekaligus hampir membuat Rafan sekara
Sejak Raskal memberitahu, kalau anak Orion yang mengawasi dan menculik Asya. Rafan langsung pergi ke markas lama milik Orion dulu, saat dirinya dijadikan kelinci percobaan. Sebenarnya, Rafan sudah menebak kalau anak Orion yang mengintai. Tidak lain, adalah Arion.Saat berusaha mendekati Asya. Rafan awalnya biasa, tetapi mulai familier dengan wajah Arion. Namun, Rafan sengaja mendiamkannya dan pergi. Walau sebenarnya, Rafan terus waspada dengan rencana Arion terhadapnya.Rafan mulai menyerang brutal anak buah Arion, juga membantainya satu persatu. Meskipun, dengan tangan kosong. Mulai dari menangkis serangan, menangkap dan mematahkan anggota tubuh mereka, dengan menariknya amat kuat hingga terputus dari tubuh mereka.Rafan mengabaikan teriakan kesakitan mereka, terus menyerang brutal atau lebih tepatnya kembali melakukan pembantaian. Buktinya, perlahan anak buah Arion yang disuruh berjaga, terkapar di mana-mana. Bahkan, darah juga ikutan berceceran. Rafan kembali
Di kediaman Alexander, Rafan masih terdiam di ruang tengah. Pikirannya yang tadi kacau sekarang sudah agak tenang, tetapi firasat itu kembali dirasakannya. Rafan memegangi kepalanya dan bergumam pelan."Mereka sudah memulainya ya?"Refan yang mendengar gumaman Rafan, kembali bingung dan khawatir. "Mulai apa, Kak?" Dengan spontan, Refan bertanya. Namun, Rafan tidak menjawab, malah semakin memegangi kepalanya. Hal itu, membuat Refan dilanda kepanikan lagi. Rafan terpejam dan berusaha tenang lagi.Mereka benar-benar membawanya.Rafan membuka matanya, terlihat sekali tatapannya begitu kosong. Refan benar-benar dilanda kepanikan amat besar, terlebih lagi melihat Rafan beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu. Refan langsung mengekor dan bertanya."Mau ke mana?" Refan semakin khawatir.Rafan tidak menjawab, terus berjalan keluar dari rumah."Kakak!" panggil Refan lagi."Ada apa? Kakakmu mau ke mana?" Rivo dan Risa, i
Sudah terhitung 30 menit berlalu kegiatan sekolah usai. Kali ini, semua siswa tumben masih betah berada di sekolah. Termasuk, Rafan. Entah kenapa, masih ingin berada di sekolah. Buktinya, terlihat duduk sembari melamun di kelas. Tatapan Rafan yang sejak tadi tertuju pada luar jendela, kini beralih pada Aksa yang baru ingin pulang.Aksa merasa diperhatikan, langsung mendelik aneh Rafan. Hingga kembali teringat sesuatu, sekarang ingin memastikan lagi dengan benar. "Kau sedang bermasalah ya?" Aksa spontan berkata begitu, tetapi matanya menatap amat serius."Ya, sejak kemarin.” Pada akhirnya Rafan menjawab. “Kau merasa aneh denganku, ‘kan? Bisa dibilang, sedang waspada dengan sekitar. Untuk mencari tau, siapa orang itu dan antek-anteknya terus mengikutiku sejak kemarin." Rafan menjelaskannya sesuai fakta, pada Aksa.Rafan sengaja membeberkannya, biasanya selalu disembunyikan. Namun, merasa ada sesuatu yang direncanakan oleh orang yang mengikutinya.
Tengah malam Rafan masih terjaga, masih memikirkan siapa yang mengikutinya. Yakin, tidak pernah membuat masalah, kalau dulu itu karena ada yang mengusiknya. Baru Rafan akan bertindak.Rafan merebahkan diri, berusaha menepis dan tidur. Tetap saja tidak bisa, pikirannya masih melayang pada sekelompok orang yang mengikutinya."Siapa dan mau apa mereka?" Rafan benar-benar bingung. "Ketenangku hanya sebentar saja kah?" ucap Rafan amat lirih, telapak tangannya terus memegangi kepalanya.Mencoba berubah, tetapi banyak sekali masalah yang menghampirinya. Rumit sekali, menurutnya. Rafan mencoba untuk tidur lagi dan berusaha untuk menenangkan pikirannya sebentar, sebelum masalah baru benar-benar mendatanginya.****Keesokan harinya, saat sarapan Rafan hanya terdiam dan langsung pergi duluan. Refan berhasil mengikutinya, tetapi Rafan semakin diam. Sepertinya, kebiasaan dulu mulai terlihat lagi. Rafan kembali tampang datar dan terkesan dingin,
Saat jam istirahat, seperti biasa Rafan memilih duduk di halaman belakang sekolah. Yang dilakukan hanya terpejam untuk menenangkan pikirannya, terkadang orang lain pikir amat membosankan. Sedangkan bagi Rafan tidak.Selama menjadi siswa SMA, Rafan paling anti diajak ke kantin sekolah. Sekalinya ke kantin, itu pun dipaksa Refan.Tidak lama kemudian, Asya datang dan ikut duduk di sebelah Rafan. Semenjak menjalin hubungan, Asya selalu mendekatinya. Jujur, masih aneh. Meskipun sudah berusaha untuk membiasakan diri.Asya heran dengan Rafan, jarang sekali ke kantin. "Kau tidak lapar atau haus gitu?""Tidak." Rafan dengan santainya berkata begitu.Asya semakin heran, memilih memakan roti sosis yang dibelinya tadi.Rafan melirik Asya sibuk makan roti sosisnya, sedangkan yang dilirik menoleh. Benar saja, kembali mengernyit heran.Asya menyodorkan satu roti sosis, kebetulan membeli dua. “Mau?”"Tidak.""Bener?" E
Aksa terdiam sejenak, setelah mendengar penuturan Rafan. Hingga rasa khawatir dan posesif mulai menguasainya. Aksa menghela napas sejenak, lambat laun mulai menatap serius. Rafan sendiri hanya melirik heran, saat sorot mata Aksa berubah serius terhadapnya.Hingga, berhasil menduga sesuatu hal. "Kau tidak percaya?"Aksa berdeham pelan. “Percaya, hanya saja ...."Walau Aksa tidak melanjutkan perkataannya, Rafan langsung memahaminya. Itu, terlihat jelas dari raut wajah Aksa, sepertinya khawatir—sangat posesif dengan Asya."Aku tau kau mencemaskan Asya karena dekat denganku, ‘kan?" tebak Rafan.Aksa agak tersentak, karena tebakan Rafan benar sekali. "Ya, tapi sudah tidak. Karena, tidak mungkin juga melarang atau memaksanya menjauh darimu." Yang ada, Aksa yang akan dijauhi. Meskipun, niat baik. Tetapi, kalau soal kebahagiaan Asya. Aksa tidak bisa ikut campur."Ehm, baguslah. Tapi, terserah kau kalau masih belum bisa mempercayaik