Malam hari, di dalam sebuah gedung tua. Terlihat seorang pemuda, sedang diserang oleh beberapa orang penjahat. Pemuda itu dipukuli hingga babak belur, bahkan di tubuhnya terdapat beberapa luka tusuk dan sayatan dari benda tajam.
Saat ini, para penjahat itu telah mengelilingi pemuda itu dan di belakangnya juga terdapat dinding, membuat pemuda itu mati langkah.
“Oy! Kenapa diam saja baj*ng*n!” bentak salah satu dari penjahat, ketika melihat pemuda itu diam tak bergerak.
“Apanya kejam? Ternyata cuma omong kosong, dasar pecundang! Haha!” ejek penjahat lainnya, sambil menatap remeh pemuda itu.
Keenam penjahat mulai tertawa, tanpa menyadari sesuatu. Kalau pemuda itu, mulai mengamati dengan tatapan yang sulit diartikan, bahkan sudut bibirnya sedikit terangkat, lebih tepatnya tersenyum.
Itu bukanlah senyum ketika seseorang menemukan secercah harapan saat situasi sulit, senyumnya lebih seperti hewan buas yang senang karena mangsanya sudah masuk ke dalam jebakan.
Keenam penjahat mulai mengernyit heran, ketika melihat pemuda itu tersenyum, salah satu penjahat mencoba menusuknya lagi.
“Kenapa kau senyum-senyum? Mati sana!” ucapnya sambil mengarahkan pisau.
Namun, tepat sebelum pisau itu menusuk perut pemuda itu lagi. Pisau itu, lebih dulu ditangkap oleh pemuda itu dan dengan mudah mematahkannya. Pemuda itu langsung memberi perlawanan. Dengan cara mematahkan kedua tangan dan kaki penjahat tadi, yang hendak menyerangnya dengan pisau lagi.
Tidak sampai di sana, pemuda itu mengambil bagian pisau yang dia patahkan tadi, dan menikamnya ke perut penjahat, sebelumnya pemuda itu menusukkan jarinya pada kedua mata penjahat itu. Kejadiannya begitu cepat, sampai tidak ada suara yang keluar dari mulut penjahat itu. Karena penjahat itu, telah mati.
“A-apa yang terjadi? Bagaimana bisa!” teriak penjahat lainnya, terkejut melihat salah satu rekan mereka mati.
Pemuda itu dengan tatapan dinginnya, mendekat ke arah lima penjahat yang tersisa.
“Jaa, giliran kalian!” ucapnya dingin, sambil menodongkan bagian pisau yang dipatahkannya tadi, ke arah lima penjahat yang masih hidup.
“Hiii!”
Kelima penjahat mulai bergidik ngeri, karena melihat tangan pemuda itu yang mencengkeram pisau berlumuran darah, ditambah tatapan dingin yang membius dan hawa mengerikan dari pemuda itu. Lalu beringsut menjauh, dan mencoba melarikan diri. Namun, itu sudah terlambat.
****
Satu persatu dari lima penjahat, mulai dilumpuhkan hampir semua berteriak kesakitan dan meminta pertolongan. Namun, tidak ada yang menolong karena tempat mereka berada sangat jauh dari keramaian.
“Ini semua terjadi, karena kalian mengusikku! Jadi, jangan salahkan aku kalau kalian mati tersiksa!” ucapnya dingin, terus melakukan hal yang sama seperti tadi.
Pemuda itu kembali mematahkan kedua tangan dan kaki penjahat itu, lalu menusuk perut bahkan mengoyaknya, kemudian menusuk kedua mata dari masing-masing kelima penjahat itu. Terus-menerus menusuk, menyayat, dan mematahkan tulang penjahat itu. Ini bukan lagi pembelaan diri, ini adalah pembantaian.
Semua penjahat mati, dalam keadaan yang mengenaskan, bahkan hampir semua bagian tubuh mereka tidak tersambung lagi. Darah, daging, tulang, bahkan organ dalam mereka berserakan di mana-mana.
Benar-benar pemandangan yang sangat mengerikan, tetapi pemuda itu hanya menatapnya datar, dan dengan kejamnya meninggalkan kumpulan tubuh manusia yang berceceran di dalam gedung tua.
Saat keluar dari gedung, pemuda itu tidak sengaja berpapasan dengan seorang laki-laki paruh baya sepertinya baru pulang kerja. Laki-laki paruh baya itu mengernyit heran, saat melihat pemuda dalam keadaan kotor dan penuh luka, laki-laki paruh baya itu mencoba bertanya.
“Kau tidak apa-apa?”
Pemuda itu hanya diam, dan terus berjalan melewati laki-laki paruh baya.
“Hei aku bertany—” ucapnya terpotong.
Pemuda itu, berlari cepat sekali ke arah gang yang ada di samping gedung tua, kemudian menghilang tanpa jejak.
“Siapa pemuda itu? Aneh sekali.” Laki-laki paruh baya mulai merasa keanehan, tetapi langsung menepisnya dan memilih pergi dari sana. Meskipun, rasa aneh dan penasaran terus menghantuinya.
****
Pagi harinya warga yang tinggal di sekitar gedung tua itu, mulai mencium bau busuk, dan mereka langsung mencarinya. Saat mengecek gedung tua, mereka langsung bergidik ngeri, bahkan menutup hidung dan mulut akibat bau busuk yang semakin menyengat. Ketika melihat secara langsung, banyak potongan kecil dari tubuh manusia, dan salah satu warga pergi untuk melaporkannya pada polisi.
Lalu laki-laki paruh baya mulai menduga sesuatu, langsung menceritakan dugaannya kepada polisi, kalau semalam bertemu pemuda penuh luka keluar dari gedung tua itu.
“Apa kau yakin seorang pemuda yang melakukannya?” tanya Polisi, kembali memastikan.
“Ya, karena di tubuhnya penuh luka, dan saat ingin bertanya pemuda itu pergi begitu saja. Bahkan cepat sekali hilangnya,” jelas laki-laki paruh baya itu.
“Baiklah terima kasih,” balas Polisi lalu pergi, setelah mengamankan jasad dari korban pembantaian yang dilakukan oleh pemuda yang belum diketahui identitasnya.
Polisi mulai menyusun rencana untuk menangkap pemuda itu, dengan cara berpencar ke seluruh penjuru kota untuk mencari keberadaan pemuda itu.
Semakin banyak korban pembantaian dari serangan pemuda itu. Hingga polisi kerepotan ketika ingin menangkapnya, karena pemuda itu cepat sekali menghilang tanpa jejak. Karena belum berhasil mengetahui identitasnya. Demi keamanan warga, polisi menyebarkan beritanya. Hal itu, membuat warga resah dan takut akan jadi korban bila tidak sengaja bertemu pemuda itu.
Polisi kembali menyebar ke setiap penjuru kota, untuk mencari keberadaan pemuda itu dan menangkapnya.
****
Di suatu tempat, terlihat pemuda yang tidak lain adalah buronan polisi. Hanya tersenyum saja, setelah membaca berita mengenai pembantaian yang dilakukannya.
“Hee, sudah tersebarkah?” gumam pemuda itu, lalu menatap berita lagi dari ponselnya. Setelahnya, pemuda itu langsung menonaktifkan ponselnya dan menyimpannya.
Nama pemuda itu adalah Rafan, tidak ada nama keluarga. Selain tatapannya yang dingin, dan kejam dalan membunuh mangsanya, Rafan memiliki kelebihan. Yaitu kecepatan berlarinya di atas rata-rata. Hal itu, membuatnya mampu menghilang tanpa jejak, dari kejaran polisi yang mencoba menangkapnya.
Rafan tinggal di sebuah rumah kecil, lokasinya berada di ujung kota yang berdekatan sekali dengan hutan, dan sangat jauh dari tempat ramai. Tidak ada satu orang pun yang tahu, Rafan tinggal di sana.
Karena tidak pernah didatangi orang kota, kecuali pemburu liar yang ingin ke hutan. Akan tetapi, pemburu liar itu tidak pernah menyadari. Jika, rumah kecil itu dihuni oleh seseorang, yang tidak lain adalah buronan polisi.
Menurut orang-orang, ujung kota yang berdekatan dengan hutan itu tempat yang sangat mengerikan, tetapi bagi Rafan tidak. Tempatnya begitu tenang, karena jauh dari warga kota, menurutnya beberapa dari mereka munafik.
Hal yang paling dibenci Rafan. Jika, ada orang yang tiba-tiba mengusik kehidupannya. Jika, mereka melakukan hal yang dibencinya, tanpa ada alasan yang jelas. Maka, yang terjadi selanjutnya adalah kematian.
Rafan sudah tinggal di sana sekitar 10 tahun. Meskipun banyak hewan liar, yang berkeliaran keluar dari hutan sekalipun, dia tetap akan tinggal di sana. Karena berdekatan dengan hutan, Rafan selalu menjadikannya sebagai tempat berlatih kemampuan bela diri dan kecepatan.
Latihan itu pun dilakukan setiap hari dan secara otodidak, tanpa bantuan siapa pun. Kalau sisi gelapnya, alias psikopat. Rafan sudah memilikinya sejak umur empat tahun.
Rafan juga sudah bisa menahan hasrat haus akan darah, tetapi bila ada yang mengusiknya. Hasrat haus akan darahnya, terpancing keluar dan langsung memburu mangsa yang telah menjadi targetnya.
****
Rafan berjalan keluar dari rumah kecilnya, lalu berdiri terdiam sesekali meregangkan ototnya agar tidak kaku. Setelah tahu, teror yang dibuatnya sudah disebarkan oleh polisi. Reaksinya tetap sama, hanya tersenyum atau lebih tepatnya seringai mengerikan. Seakan tidak peduli, dengan yang polisi lakukan. Lalu mulai berjalan tenang, ke arah hutan alias tempat biasa untuk berlatih kemampuannya, dan juga tempat untuk menenangkan dirinya setelah melakukan pembantaian.
“Hm, hm, hm,” gumam Rafan, terus berjalan dengan santainya di dalam hutan. Sambil memasukan kedua telapak tangannya, ke dalam kantung jaket hitam yang melekat di tubuhnya.
Mengabaikan hewan liar yang mulai muncul di sekitarnya, seperti anjing dan musang liar. Lagi pula, dia tidak akan mengganggu hewan tersebut. Jadi, tidak mungkin akan diserang oleh hewan liar.
Rafan berhenti melangkah, saat ada musang kecil melompat ke bahunya. Memang tidak diserang, lebih tepatnya dari semua hewan liar yang ada di hutan. Ada satu musang kecil, yang akrab dengannya.
“Kau suka sekali muncul tiba-tiba ya?” Rafan mulai menggendong musang kecil itu, bahkan mengelus lembut bulu musang.
Reaksi musang itu langsung terlihat, bahkan mulai bertingkah pada Rafan. Terbukti, musang itu semakin menempel pada Rafan. Rafan sendiri, semakin mengelus lembut bulu musang itu. Lalu berjalan lagi menuju tempat untuk berlatih, dan membiarkan musang tadi duduk di bahunya lagi. Bahkan, ekornya mulai melingkar di lehernya.
“Waktunya berlatih lagi.”
Sampai di tempat biasa, langsung bersiap. Sebelum itu, Rafan mengelus sebentar musang kecil. Lalu menurunkannya, musang itu pun berlari menjauh dan Rafan masih menatapnya hingga tidak terlihat. Setelahnya, Rafan melepas jaket yang dipakainya. Tersisa hanya kaus berwarna abu tanpa lengan, kembali meregangkan ototnya sebentar.Kemudian mulai berlari mengelilingi sebagian hutan, lalu melompat dan melakukan pakour ke setiap atas batang pohon yang cukup tinggi ataupun bebatuan besar, sekalian untuk melatih pijakan kakinya agar tidak terpeleset. Semakin lincah, menghindar dari orang asing yang mengejarnya dan polisi juga.Rafan melakukan hal itu, selama seharian penuh dan secara secara berulang-ulang—sendirian. Menurutnya, sangat menyenangkan dan juga bisa menghilangkan rasa bosan. Lalu berhenti sejenak untuk beristirahat, Rafan memilih duduk di atas bukit, yang di bawahnya terdapat jurang yang amat curam, membiarkan embusan angin di sore hari menerpa tubuhnya.
“I cannot stop this sickness taking over. It takes control and drags me into nowhere.”‘My demons by Starset’•••Rafan berdecih, tetapi masih melirik dingin kelima penjahat yang mulai menjauh darinya—hingga tidak terlihat.Membuang-buang waktu saja!Rafan kembali melangkah santai, biasanya akan menyerang karena terusik. Entah kenapa, sekarang tidak ada niat mengejar kelima penjahat tadi. Kebetulan mood-nya sedang malas untuk membuat teror.“Hm, hm, hm,” gumam Rafan, terus berjalan santai menuju ujung kota.Rafan masih berjalan dengan tenang, hingga melewati daerah gang sempit. Namun, dalam sekejap ketenangannya lenyap. Saat ada yang menabraknya lumayan keras, anehnya s
“I need a savior to heal my pain.”‘My demons by Starset’•••Rafan terus berguling ke dalam jurang, tubuhnya tidak luput tergores ranting, ataupun bebatuan kecil dan besar, hingga berhasil berpegangan pada batang pohon.Hampir saja.Rafan masih berpegangan pada dahan pohon, dan mulai memanjat ke atas dahan pohon yang paling tinggi. Kemudian duduk terdiam di atas dahan pohon, menunggu rasa sakit di tubuhnya hilang. Akibat melompat dan berguling ke dalam jurang, untung saja tidak menghantam bebatuan besar.“Mereka mulai familiar denganku kah?”Rafan membiarkan kedua kakinya menjuntai ke bawah, sesekali menggerakkannya.“Hm, hm, hm,” gumam Rafan sambil terpejam, berusaha untuk tenang. Karena b
12 tahun yang lalu ...Alexander, menurut banyak orang adalah keluarga harmonis. Juga keluarga terpandang, karena terkenal dalam dunia bisnis. Keluarga Alexander pemilik perusahaan Xander Corp, yang begitu diminati para pebisnis lain, untuk melakukan kontrak kerja sama.Saat itu Risa sedang mengandung. Dokter melakukan USG awalnya satu anak laki-laki, tapi saat kehamilannya menginjak usia sembilan bulan, di mana anaknya akan lahir, ternyata terlahir kembar.Mereka hanya menginginkan anak tunggal sebagai penerusnya, karena terlahir kembar mereka tetap menerimanya, lalu diberi nama Rafan dan Refan. Akan tetapi, mereka mulai dibutakan oleh keinginannya. Terbukti, mereka lebih memilih merawat dan diperkenalkan pada publik hanya anak bungsu saja yaitu Refan Alexander.Sedangkan Rafan Alexander sebagai anak sulung tidak, sejak lahir pun langsung diasuh oleh pembantunya. Hingga, Rafan baru menginjak umur empat tahun. Tidak lama kemudian, kabar b
Bram sejak awal bergabung dengan Xander Corp, memiliki niat licik ingin merebut secara perlahan perusahaan Xander Corp, tetapi selalu gagal. Akan tetapi, keesokan harinya Bram kembali berkunjung ke rumah keluarga Alexander, mulai mencoba menjalankan rencana liciknya lagi, Bram berjalan mengendap-endap menuju ruang kerja milik Rivo, langsung mendekati tempat penyimpanan, berkas penting.Bersamaan dengan Rafan baru, yang saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa ingin pergi ke halaman belakang rumah.Lagi pula tidak ada rapat?Rafan mulai melangkah di setiap anak tangga, hingga sampai dipijakan terakhir. Kemudian, berjalan menuju pintu keluar, tetapi langkahnya terhenti saat melewati ruang kerja Rivo. Rafan melihat Bram sedang mencari sesuatu, awalnya mengabaikan dan berniat pergi menuju halaman belakang, tapi terhenti lagi ketika Bram menyadari kehadirannya.“Ini dia berk—” ucap Bram terhenti saat melihat Rafan,
Satu bulan terlah berlalu, paginya polisi datang dan bertanya lagi, tetapi Rafan masih tidak mau menjawab. Kondisi Rafan sudah pulih kembali, meskipun wajahnya masih ada memar biru, bahkan sudah diperbolehkan pulang. Polisi ingin mengantarnya pulang, tetapi Rafan menolak.“Kami antar ke rumah ya, kau ingat tinggal di mana?” tanya Polisi.“Tidak,” balas Rafan bohong lagi.Lagi pula aku kan sudah diusir dari rumah. Lebih baik pura-pura tidak ingat.Rafan, mulai berjalan keluar dari rumah sakit.“Ayo, kau tinggal di panti asuhan saja.” Polisi menggenggam tangan Rafan, lalu menariknya untuk masuk ke mobil dan pergi.Sampai di panti asuhan, polisi langsung menemui ibu panti dan akhirnya menerima Rafan untuk tinggal di sana.Lebih baik aku tinggal di sini dulu, sambil mencari tempat untuk tinggal sendiri.Rafan ikut masuk, saat tanganny
Rafan masih duduk di atap gedung, setelah mengingat kembali masa lalunya yang kelam dan begitu pahit baginya.“Sudah 12 tahun berlalu, sepertinya Bram Revaldo menikmati sekali kehidupannya, setelah berhasil membuatku diusir dan hampir mati," gumam Rafan.Kebetulan Rafan duduk di atap gedung, yang bersebelahan dengan SMA 01 Golden. Sekolah yang memiliki tingkat reputasi sangat tinggi, karena banyak sekali murid berprestasi. Lalu tidak sengaja melihat gerak-gerik aneh dari empat orang, yang semenjak pagi sudah ada di depan gedung sekolah itu.“Hee, polisi menyamar jadi warga biasa kah? Mudah sekali tertebak, pasti polisi itu sedang mengintai Refan Alexander!” gumam Rafan.Refan Alexander, salah satu siswa di SMA 01 Golden. Lebih tepatnya adalah adik kembar Rafan. Rafan terus memperhatikan beberapa polisi yang menyamar.****Di ruang makan sebuah keluarga sarapan bersama, tanpa merasa kurang atau cemas. Jika,
Polisi dan ketiga teman Refan terdiam, setelah mendengar penjelasan Refan, ternyata memiliki kakak kembar.“Tunggu sebentar, kakak? Bukankah kau anak tunggal?” tanya Polisi bingung.“Sebenarnya aku memiliki kakak kembar,” jelas Refan.Jadi Refan terlahir kembar!Ketiga temannya, terkejut.“Bisa dijelaskan Tuan Rivo?” tegas Polisi.“Oke! Memang benar anakku kembar. Tapi dia per—” ucap Rivo terhenti.“Kakak tidak pergi! Tapi diusir!” potong Refan kesal, mendengar penuturan Rivo.“Refan diam!” balas Rivo kesal.“Tidak! Selama ini aku bingung. Sebenarnya apa salah kakak? Sampai ayah ataupun ibu tidak pernah ada untuknya. Bahkan kehadirannya tidak dianggap!" ucap Refan lirih.“Kau tidak perlu ta—”“Aku ingin tau! Karena dia kakak kembarku!” teriak Refan kesal.“Sudah kubilang di
Menjelang berakhirnya liburan sekolah, Asya terlihat berada di kediaman Alexander. Bisa dibilang, sejak dua hari yang lalu. Karena orang tua mereka sedang keluar kota, keluarga Alexander menawarkan agar Asya dan Aksa menginap. Takut terjadi sesuatu lagi, itu sebabnya keluarga Alexander menawarkan mereka untuk menginap, selama ditinggal keluar kota beberapa hari.Di ruang tengah, Asya duduk diam di sofa. Matanya, amat fokus ke novel yang sedari tadi dibacanya. Di sebelah sofa yang diduduki Asya, ada Rafan sedang asik berbaring. Sebenarnya, hanya mereka berdua saja. Para pelayan selama libur sekolah, Diberi cuti semua, jadi hanya ada si kembar dan kedua anak keluarga Adriano.Sekarang, hanya Rafan dan Asya saja. Refan keluar rumah, katanya mau jalan dengan Vio. Aksa, entahlah sejak pagi sudah lebih dulu pergi."Biasanya, kau diam-diam kabur ke hutan gitu?" Asya mendelik heran ke arah Rafan, yang asik berbaring di sofa panjang."Hm, lagi malas saja." Rafan b
Tidak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat, kini sedang ada waktu luang. Lebih tepatnya, sedang libur sekolah. Setelah melaksanakan ujian kenaikan kelas, si kembar hanya menghabiskan waktu liburan sekolah di rumah. Berbeda sekali dengan yang lain, pastinya jalan bersama keluarga entah ke mana.Sayangnya, si kembar dan keluarganya tidak pergi ke manapun. Kalau diperhatikan lebih jelas, hanya Refan yang terlihat diam di rumah. Terkadang, jalan sebentar keluar rumah sebagai penghilang bosan dan itu—sendirian.Karena, selama liburan sisi liarnya semakin menjadi. Setiap pagi buta, keberadaan Rafan sudah hilang dari rumah. Rafan pergi ke hutan. Hingga siang tiba, masih betah di alam liar. Memang dasarnya, malas untuk pulang. Kalau Refan bosan, pasti jalan sendiri entah ke mana. Lain halnya dengan Rafan, ketika bosan melanda memilih melatih kemampuannya. Sekaligus, berkeliaran secara bebas.Kini Rafan, terlihat berbaring tanpa peduli tanah atau kotoran lain m
Semenjak kejadian itu, keluarga Alexander hanya bisa pasrah dan menunggu. Karena Rafan pergi dan sama sekali belum kembali, meskipun rasa khawatir terus menghampiri mereka. Ditambah rasa takut, kalau Rafan melakukan self injury lagi.Refan terdiam, senang karena masalah selesai. Tetapi, takut Rafan tidak kembali. Lagi-lagi, Refan hanya bisa menunggu, seperti dulu yang dilakukannya."Kakak," ucap Refan lirih, ingin sekali melihat Rafan pulang.Selama sekolah, Refan benar-benar tidak fokus karena memikirkan Rafan. Begitu juga, dengan Asya yang sudah mulai sekolah lagi. Asya sempat takut keluar rumah, hingga memutuskan izin tidak sekolah untuk beberapa waktu. Di satu sisi, Asya khawatir saat dapat kabar dari Aksa. Kalau Rafan tidak pulang.Arvian, tidak menyangka kalau ada satu anak didiknya lagi yang melakukan hal kejam. Bahkan, yang lebih parah. Arion anak dari Orion mafia yang dulu meneror keluarga Alexander, sekaligus hampir membuat Rafan sekara
Sejak Raskal memberitahu, kalau anak Orion yang mengawasi dan menculik Asya. Rafan langsung pergi ke markas lama milik Orion dulu, saat dirinya dijadikan kelinci percobaan. Sebenarnya, Rafan sudah menebak kalau anak Orion yang mengintai. Tidak lain, adalah Arion.Saat berusaha mendekati Asya. Rafan awalnya biasa, tetapi mulai familier dengan wajah Arion. Namun, Rafan sengaja mendiamkannya dan pergi. Walau sebenarnya, Rafan terus waspada dengan rencana Arion terhadapnya.Rafan mulai menyerang brutal anak buah Arion, juga membantainya satu persatu. Meskipun, dengan tangan kosong. Mulai dari menangkis serangan, menangkap dan mematahkan anggota tubuh mereka, dengan menariknya amat kuat hingga terputus dari tubuh mereka.Rafan mengabaikan teriakan kesakitan mereka, terus menyerang brutal atau lebih tepatnya kembali melakukan pembantaian. Buktinya, perlahan anak buah Arion yang disuruh berjaga, terkapar di mana-mana. Bahkan, darah juga ikutan berceceran. Rafan kembali
Di kediaman Alexander, Rafan masih terdiam di ruang tengah. Pikirannya yang tadi kacau sekarang sudah agak tenang, tetapi firasat itu kembali dirasakannya. Rafan memegangi kepalanya dan bergumam pelan."Mereka sudah memulainya ya?"Refan yang mendengar gumaman Rafan, kembali bingung dan khawatir. "Mulai apa, Kak?" Dengan spontan, Refan bertanya. Namun, Rafan tidak menjawab, malah semakin memegangi kepalanya. Hal itu, membuat Refan dilanda kepanikan lagi. Rafan terpejam dan berusaha tenang lagi.Mereka benar-benar membawanya.Rafan membuka matanya, terlihat sekali tatapannya begitu kosong. Refan benar-benar dilanda kepanikan amat besar, terlebih lagi melihat Rafan beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu. Refan langsung mengekor dan bertanya."Mau ke mana?" Refan semakin khawatir.Rafan tidak menjawab, terus berjalan keluar dari rumah."Kakak!" panggil Refan lagi."Ada apa? Kakakmu mau ke mana?" Rivo dan Risa, i
Sudah terhitung 30 menit berlalu kegiatan sekolah usai. Kali ini, semua siswa tumben masih betah berada di sekolah. Termasuk, Rafan. Entah kenapa, masih ingin berada di sekolah. Buktinya, terlihat duduk sembari melamun di kelas. Tatapan Rafan yang sejak tadi tertuju pada luar jendela, kini beralih pada Aksa yang baru ingin pulang.Aksa merasa diperhatikan, langsung mendelik aneh Rafan. Hingga kembali teringat sesuatu, sekarang ingin memastikan lagi dengan benar. "Kau sedang bermasalah ya?" Aksa spontan berkata begitu, tetapi matanya menatap amat serius."Ya, sejak kemarin.” Pada akhirnya Rafan menjawab. “Kau merasa aneh denganku, ‘kan? Bisa dibilang, sedang waspada dengan sekitar. Untuk mencari tau, siapa orang itu dan antek-anteknya terus mengikutiku sejak kemarin." Rafan menjelaskannya sesuai fakta, pada Aksa.Rafan sengaja membeberkannya, biasanya selalu disembunyikan. Namun, merasa ada sesuatu yang direncanakan oleh orang yang mengikutinya.
Tengah malam Rafan masih terjaga, masih memikirkan siapa yang mengikutinya. Yakin, tidak pernah membuat masalah, kalau dulu itu karena ada yang mengusiknya. Baru Rafan akan bertindak.Rafan merebahkan diri, berusaha menepis dan tidur. Tetap saja tidak bisa, pikirannya masih melayang pada sekelompok orang yang mengikutinya."Siapa dan mau apa mereka?" Rafan benar-benar bingung. "Ketenangku hanya sebentar saja kah?" ucap Rafan amat lirih, telapak tangannya terus memegangi kepalanya.Mencoba berubah, tetapi banyak sekali masalah yang menghampirinya. Rumit sekali, menurutnya. Rafan mencoba untuk tidur lagi dan berusaha untuk menenangkan pikirannya sebentar, sebelum masalah baru benar-benar mendatanginya.****Keesokan harinya, saat sarapan Rafan hanya terdiam dan langsung pergi duluan. Refan berhasil mengikutinya, tetapi Rafan semakin diam. Sepertinya, kebiasaan dulu mulai terlihat lagi. Rafan kembali tampang datar dan terkesan dingin,
Saat jam istirahat, seperti biasa Rafan memilih duduk di halaman belakang sekolah. Yang dilakukan hanya terpejam untuk menenangkan pikirannya, terkadang orang lain pikir amat membosankan. Sedangkan bagi Rafan tidak.Selama menjadi siswa SMA, Rafan paling anti diajak ke kantin sekolah. Sekalinya ke kantin, itu pun dipaksa Refan.Tidak lama kemudian, Asya datang dan ikut duduk di sebelah Rafan. Semenjak menjalin hubungan, Asya selalu mendekatinya. Jujur, masih aneh. Meskipun sudah berusaha untuk membiasakan diri.Asya heran dengan Rafan, jarang sekali ke kantin. "Kau tidak lapar atau haus gitu?""Tidak." Rafan dengan santainya berkata begitu.Asya semakin heran, memilih memakan roti sosis yang dibelinya tadi.Rafan melirik Asya sibuk makan roti sosisnya, sedangkan yang dilirik menoleh. Benar saja, kembali mengernyit heran.Asya menyodorkan satu roti sosis, kebetulan membeli dua. “Mau?”"Tidak.""Bener?" E
Aksa terdiam sejenak, setelah mendengar penuturan Rafan. Hingga rasa khawatir dan posesif mulai menguasainya. Aksa menghela napas sejenak, lambat laun mulai menatap serius. Rafan sendiri hanya melirik heran, saat sorot mata Aksa berubah serius terhadapnya.Hingga, berhasil menduga sesuatu hal. "Kau tidak percaya?"Aksa berdeham pelan. “Percaya, hanya saja ...."Walau Aksa tidak melanjutkan perkataannya, Rafan langsung memahaminya. Itu, terlihat jelas dari raut wajah Aksa, sepertinya khawatir—sangat posesif dengan Asya."Aku tau kau mencemaskan Asya karena dekat denganku, ‘kan?" tebak Rafan.Aksa agak tersentak, karena tebakan Rafan benar sekali. "Ya, tapi sudah tidak. Karena, tidak mungkin juga melarang atau memaksanya menjauh darimu." Yang ada, Aksa yang akan dijauhi. Meskipun, niat baik. Tetapi, kalau soal kebahagiaan Asya. Aksa tidak bisa ikut campur."Ehm, baguslah. Tapi, terserah kau kalau masih belum bisa mempercayaik