Beranda / Romansa / SHANIA / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab SHANIA: Bab 11 - Bab 20

56 Bab

Chapter 11

Tiga hari berlalu dari sejak pernikahan Tuan Edward dan Shania dilangsungkan. Mereka, tak merasa membutuhkan bulan madu seperti kebanyakan pasangan lainnya, hingga mereka pun dengan cepat kembali ke aktifitas dan kesibukan mereka tanpa penundaan. Mereka, hanya mengukuhkan status mereka sebagai suami istri dengan mulai tinggal bersama di rumah Edward Ananta, sebagai Tuan dan Nyonya Ananta—sebuah kewajaran yang niscaya, tidak aneh, dan sangat biasa. Shania menerima dengan lapang dada, ekspresi sinis Bianca di dalam rumah itu, yang merupakan konsekuensi dari jabatan barunya sebagai seorang Nyonya Muda, yang merangkap ibu tiri di rumah itu.Bahkan Shania yakin—berbekal semua pengetahuannya tentang Bianca—bahwa putri tiri kesayangannya itu dimungkinkan telah menambahi embel-embel istimewa di belakang namanya, menjadi ibu tiri tak tahu diri. Shania menerima semua itu tanpa merasa ciut. Ia menyebut dirinya batu karang, hingga praktis menguasai keadaa
Baca selengkapnya

Chapter 12

Dengan gerakan sigap, Shania dan si bocah remaja, Ardi, masuk ke dalam mobil yang tak diketahui pemiliknya itu, lalu Shania menutup pintunya seketika. Deru nafas ketakutan terdengar jelas dari dua orang tak beruntung itu. Mereka menyandarkan tubuh mereka ke kursi mobil sambil memejamkan mata, mengusap peluh, dan mencoba menata nafas, serta hati mereka. Selama beberapa detik, sang pemilik mobil yang duduk dengan tenang di kursi depan membiarkan aksi mereka, dan memberi waktu bagi mereka untuk bernafas. Mungkin sesuatu yang besar baru saja terjadi pada dua orang asing itu, dan untuk itu ia bersimpati. Hanya sesaat setelah ia merasa kedua tamunya itu telah membaik, dia mencoba mengejutkan keduanya dengan dengan suara tenangnya, "Siapa kalian?""Ah, ya Tuhan!" seru Ardi terkejut. "Kakak benar!" lanjutnya. "A-ada pe-pemilik mobilnya di dalam."Shania seketika menegakkan posisi duduknya. Ia yang sejak awal memang tidak yakin bahwa m
Baca selengkapnya

Chapter 13

Dentang jam berlalu. Matahari tidak lama lagi akan tenggelam, dan warna jingga mulai mewarnai pancaran cahayanya. Waktu ini, hingga saat sang mentari masuk kembali ke peraduannya, biasanya dijadikan para pengagum 'matahari terbenam' sebagai waktu favorit mereka untuk membiarkan diri mereka terbius pesona alam. Semua anggota keluarga Ananta—kecuali Alex—saat ini tengah menunjukkan eksistensi mereka sebagai pemilik rumah. Begitulah Shania menyebutnya. Mereka secara kebetulan berada di rumah dalam waktu bersamaan, dan Shania senang akan hal itu. Tanpa kehadiran para pemilik yang sesungguhnya, rumah itu tak lebih seperti hotel, dengan para pelayan sebagai resepsionisnya. Shania tengah dengan saksama memperhatikan karib kerabat barunya dari lantai atas, sore itu. Sang suami—yang selalu menyebut dirinya sibuk, bahkan di waktu sore—tengah membetulkan letak jam tangannya, dan ujung lengan kemejanya. Sementara sang putri tiri kesayangan tengah as
Baca selengkapnya

Chapter 14

Shania merasa lega karena mendapati fakta bahwa kedatangan Alan nampaknya tidak akan menambah masalah bagi dirinya di keluarga Ananta. Sang paman idola itu kini bahkan menginap di rumah Ananta—atas permintaan Bianca—dan Shania yang matanya awas dalam mengenali seseorang itu, tak mendapati sedikitpun masalah yang perlu membuatnya khawatir. Shania terus merasa tenang seolah tidak ada yang mampu mengusik kedamaiannya, sampai kemudian ia mendapati sesuatu miliknya hilang. Gelang kesayangan Shania, yang merupakan hadiah dari ibunya, yang tadi siang ia pakai, kini hilang dari tangannya. Shania dengan saksama mencoba mengingat-ingat dimana gelang itu melepaskan diri darinya. Mungkin terjatuh saat ia bawa berlari bersama Ardi, atau jatuh di tempat lain. Shania melakukan pencariannya di seluruh penjuru kamar, di semua ruang di rumah itu, hingga masuk ke garasi, dan ke dalam mobil yang ia bawa pergi, hari ini. Upayanya tidak membuahkan hasil. Ia t
Baca selengkapnya

Chapter 15

Dugaan bijak Shania tak salah. Tepat sasaran tanpa sedikit pun meleset. Bianca memang mengajak Alan keluar dari rumah, dengan alasan mengajaknya makan malam, meski motif yang sebenarnya tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menjauhkan dirinya dan paman kesayangannya itu dari sang ibu tiri. Alan, yang kemampuan empatinya sangat bisa diandalkan, memahami kondisi hati sang keponakan yang sedang tidak stabil, dan alhasil mengabulkan permintaan itu demi menghibur hatinya."Bianca," ucap Alan di dalam mobil, di tengah perjalanan mereka, "jika Om Alan tidak ada di rumah saat ini, apakah kamu akan pergi jalan-jalan keluar bersama teman-temanmu?" "Tentu saja!" jawab Bianca tersenyum simpul. "Itu akan lebih menyenangkan daripada berada di rumah bersama ibu tiri itu."Alan melirikkan matanya sekejap pada sang keponakan, yang tampak menikmati ekspresi kebenciannya dengan sepenuh hati. "Kamu sudah sering melakukannya sejak kepergian ibumu, Sayang. Om rasa ibu tirimu t
Baca selengkapnya

Chapter 16

Malam yang dinanti tiba. Alan menyebutnya malam pertaruhan. Pertaruhan akan kredibilitasnya sebagai seorang paman bagi Bianca, dan sekutu tunggal bagi Shania. Sebagai seorang paman, ia berkewajiban menjaga—baik fisik maupun perasaan—sang keponakan, dan sebagai sekutu Shania, ia merasa berkewajiban memastikan Shania aman dari serangan-serangan tajam sang keponakan yang nampaknya akan menjadi sebuah keniscayaan. Sementara Shania sendiri, menyebut malam ini adalah malam pembuktian. Ia harus membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia masih seorang wanita tangguh bak batu karang, yang sanggup menghadapi tantangan apapun di depannya—karena ia merasa ragu identitasnya agak sedikit berubah setelah beberapa hari bertahan hidup di tengah keluarga Ananta yang aneh. Selain itu, Shania juga harus membuktikan pada sang putri tiri, bahwa dirinya adalah seorang ibu tiri yang baik dan sama sekali tak pantas di anggap sebagai tokoh antagonis dal
Baca selengkapnya

Chapter 17

Alan telah memenuhi janjinya. Makan malam telah dilaksanakan. Meski sedikit bercampur ketegangan, berbumbu insiden menyedihkan, sedikit memilukan, namun juga cukup mengharukan. Shania bersyukur sepenuh hati karena keinginannya terpenuhi. Akan selalu ada yang disebut pengalaman pertama, dan baginya tidak semua hal harus selalu sempurna."Puaskah dirimu Nyonya?" tanya Alan dengan sedikit senyum di wajahnya. Ia datang dengan membawa segelas minuman untuk Shania yang tengah berada di salah satu balkon di lantai atas, kembali menikmati pemandangan hamparan bintang seperti malam sebelumnya."Ya," jawab Shania tertawa kecil. Sesaat kemudian ia tampak berpikir. "Aku tidak tahu apa yang kini ada di pikiran gadis itu. Entah kesan baik atau kesan buruk yang tersimpan di hatinya. Kehadiranku adalah sesuatu yang nyata, dan aku hanya ingin membuatnya sadar akan hal itu." Shania mendesah pelan sembari berujar, "Tapi aku cenderung yakin, dia menganggapku egois, saat ini, Alan.""A
Baca selengkapnya

Chapter 18

Alan masih termenung di malam itu meski Shania telah larut dalam tidurnya. Pria itu mau tak mau terus terusik dengan cerita Shania, yang kurang lebih menunjukkan kekagumannya yang tak tanggung-tanggung terhadap Brenda, dan kepeduliannya yang begitu besar pada Alex dan Bianca. Dari kaca mata Alan, fokus Shania terlihat terus tertuju pada Alex dan Bianca, seolah dia tidak memikirkan dirinya sendiri dan hubungan romansanya dengan Edward. Dugaan Alan mau tak mau mengarah pada kemungkinan bahwa Shania memang menjadikan anak-anak sebagai tujuan utama kedatangannya ke tengah keluarga Ananta. Mungkin Shania berusaha memenuhi keinginan Brenda, dengan menjaga anak-anaknya. Tapi Alan masih ragu, karena jika itu benar, maka pengorbanan Shania terlalu besar. Wanita itu masih muda. Jika dia mendedikasikan hidupnya ke dalam sebuah pernikahan, hanya demi menjaga anak-anak yang bukan merupakan darah dagingnya sendiri, dan sebenarnya telah mulai beranjak dewasa, maka itu adala
Baca selengkapnya

Chapter 19

Bianca masih termenung memikirkan makan malamnya dengan Shania. Hari ini gadis itu memilih bertahan di rumah, dan membolos dari kuliahnya, karena hatinya yang bimbang membisikinya untuk bertahan di rumah, memalas-malaskan diri, memanjakan kebingungannya, hingga akhirnya kebingungan itu benar-benar terasa semakin menggelisahkan. Bianca sedang merasa terkhianati.  Pamannya yang ia gadang-gadang akan membenarkan semua yang ia katakan, nyata-nyata telah memilih berada di samping ibu tirinya untuk membelanya. Baru kali ini ia mendapati pamannya menyakitinya separah itu. Namun karena rasa sayangnya yang begitu besar pada sang paman, sulit bagi Bianca untuk marah padanya. Ia, yang kali ini mendapatkan kesempatan untuk sendiri dalam merenungi kegelisahan hatinya—karena sang ibu tiri pergi untuk bekerja, dan pamannya pergi untuk suatu keperluan—tergoda untuk berpikir tentang alasan yang membuat pamannya yang ia kenal cerdas dan awas, memilih berada di samping Sha
Baca selengkapnya

Chapter 20

Alan telah secara resmi mengukuhkan pijakan bisnisnya di Indonesia dengan membeli lima puluh persen saham perusahaan Delta Gemilang. Ia memang sengaja membangun bisnis di Indonesia, dan meninggalkan perusahaan lamanya yang ia rintis bersama salah seorang sahabatnya di Australia—ia meninggalkan sejumlah saham miliknya di perusahaan itu, dan mempercayakan kepengurusannya pada sang sahabat.Kini, fokusnya ia tujukan pada perusahaan barunya, Delta Gemilang, yang merupakan salah satu perusahaan properti cukup besar, dengan popularitas sedikit di bawah Lukita Group. Perusahaan ini, di bawah nama besarnya yang ternyata diraih dengan banyak skandal tersembunyi, nyata-nyata menyisakan beban pekerjaan rumah yang tidak mudah. Itulah yang disampaikan oleh Indra, teman Alan yang merupakan pemilik lama dari saham yang kemudian dibeli Alan."Aku awalnya tidak bermaksud menjual saham ini padamu, Alan," ucap Indra serius. "Kamu tahu aku hanya mengeluhkan beratnya hari-hariku yang kutangg
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status