Share

Bab 3

Belum genap tujuh hari setelah kematian Felix, ibu mertua datang ke kantorku.

Sama seperti kehidupan sebelumnya, dia ingin memaksaku menyerahkan perusahaan dengan alasan yang sama.

“Anakku mati karenamu, bukankah seharusnya kamu memberi kompensasi padaku?!”

“Kompensasi apa yang kamu mau?”

Tanyaku sambil mengangkat alisku, memperhatikan sandiwaranya.

Raut wajah ibu mertua langsung melunak, seolah-olah sudah memberiku pengampunan besar. Dia berkata, “Berikan mobil dan rumahmu untuk Stella! Dia kehilangan kakaknya, dia kehilangan tempat bergantung ke depannya.”

“Lalu apa lagi?”

“Serahkan perusahaan ini padaku.”

“Kamu sudah membunuh Felix, sudah nggak ada lagi yang mau merawat masa tuaku. Serahkan perusahaan ini, biar aku punya harapan ke depannya.”

Aku tak bisa menahan diri dan tertawa, itu membuat marah ibu mertuaku.

“Anakku baru meninggal, bisa-bisanya kamu begitu senang?! Apa kamu sengaja membunuhnya agar bisa kabur dengan pria lain?!”

Aku mengabaikan ocehannya, lalu menaruh sebuah kartu bank di depannya.

“Mobil, rumah, perusahaan, jangan harap bisa mengambil semua itu.”

“Ini adalah semua harta atas nama Felix. Kalau nggak ada masalah, tanda tangan saja.”

Aku meletakkan dokumen itu di depannya dan begitu meliriknya, dia langsung panik.

Harta atas nama Felix sebenarnya hampir tak ada. Dia hanyalah karyawan biasa yang bergaji bulanan.

Karena gengsinya yang tinggi, dia sering mengirimkan uang secara diam-diam untuk ibu mertua dan adik ipar. Sekarang, yang tersisa di rekeningnya hanyalah dua ratus juta.

“Dasar wanita jalang! Kamu membunuh anakku bersama selingkuhanmu dan mencoba mengambil hartanya?! Astaga, betapa malangnya nasibku harus menguburkan anakku sendiri!”

Setelah beberapa kali menyebut bahwa akulah yang menyebabkan kematian Felix, kebencian yang telah lama terpendam akhirnya meledak.

“Kamu terus mengatakan aku yang menyebabkan kematiannya. Kalau begitu, biar polisi menyelidiki kasus kematiannya, berani nggak?”

“Sopir yang menabrak, petugas rumah duka, serta kamera CCTV di sekitar tempat kejadian. Semuanya perlu diselidiki!”

“Kita lihat apakah benar aku yang membunuhnya atau … “

Sambil berbicara, aku mengambil ponsel, bersiap menghubungi polisi. Ibu mertuaku langsung menahan tanganku dengan panik dan berkata, “Baik! Aku tanda tangan!”

Dengan enggan, dia menandatanganinya. Sebelum pergi, dia tak lupa melototiku.

Wajahku memuram, menyadari bahwa tak bisa lagi hanya bertahan, aku harus bergerak.

Dari foto yang diberikannya di kehidupan sebelumnya, Felix dan Luna tampak hidup berkecukupan.

Ibu mertua mengambil alih perusahaanku tentu untuk memberikannya kepada Felix.

Berpikir demikian, aku segera turun dan mengikutinya secara diam-diam.

Tak lama kemudian, aku melihat Luna, pujaan hati suamiku datang bersama seorang pria berjanggut lebat yang memakai kacamata dan topi.

Khawatir mereka akan melihatku, aku hanya mengamati mereka dari kejauhan.

Entah apa yang dikatakan ibu mertua, wajah Luna dan pria itu tampak kecewa.

Hari itu aku terus mengikuti mereka sampai pulang, hingga aku melihat mereka masuk ke sebuah apartemen di pusat kota. Aku pun mencatat nomor unitnya.

Begitu sampai di kantor, aku memanggil asistenku.

“Tolong hubungi pemilik apartemen ini.”

Asistenku bergerak cepat dan sore itu juga data pemiliknya sudah ada di meja kerjaku.

Kemudian aku menghubungi pemilik apartemen itu.

Begitu mendengar aku akan membelinya dengan harga tinggi dan membayarnya tunai, dia langsung menyetujuinya.

Dalam sehari, proses pemindahan kepemilikan apartemen itu selesai.

“Masih ada penyewa di dalam apartemen itu, perlukah meminta mereka untuk pindah keluar?”

Aku menggeleng dan menjawab, “Nggak perlu, aku akan datang sendiri untuk meminta maaf pada mereka.”

Keesokan harinya, aku datang dengan membawa petugas pindahan.

Tak disangka yang membuka pintu adalah ibu mertuaku sendiri.

Begitu melihatku, wajahnya pucat dan segera menghalangiku masuk.

“Rora? Kenapa kamu di sini?!”

“Aku datang mengambil apartemenku!”

Aku mendorongnya dan melangkah masuk dengan percaya diri.

Aku berjalan-jalan mengelilingi apartemen, membuatnya semakin panik. Dia berteriak ke arah sebuah kamar di ujung lorong, “Rora, kamu menerobos rumah orang tanpa izin! Aku akan melaporkanmu ke polisi!”

“Cepat datang tangkap pembunuh ini!”

Melihat itu, aku langsung berjalan cepat ke arah kamar tersebut.

Baru saja tanganku memegang gagang pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka perlahan.

Dan pujaan hati suamiku, Luna berdiri di sana.

“Aku sering dengar Felix menceritakanmu. Akhirnya kita bertemu juga, hanya saja … “

Dia berpura-pura menyeka sudut matanya, tapi aku tak tertarik dengan sandiwaranya, langsung melewati tangannya dan masuk.

Itu adalah sebuah ruang kerja. Di tengahnya ada meja, sementara di sampingnya ada sebuah lemari besar, cukup untuk menyembunyikan tubuh orang dewasa.

Aku berdiri di depan lemari itu, melihat ekspresi Luna yang semakin tegang, aku tersenyum tipis.

Saat aku hendak membuka lemari itu, Luna tak bisa lagi berpura-pura.
Komen (1)
goodnovel comment avatar
DINO MERAH
koinnya bnyk amat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status