Share

Bab 2

“Aku belum pernah melihat orang yang berharap anak kandung dan kakaknya sendiri mati!”

Ekspresi malu terlintas sejenak di wajah ibu mertua dan adik ipar.

Aku pun berkata pada petugas rumah duka, “Kalau identitasnya sudah dipastikan, langsung dikremasi saja hari ini.”

Begitu jasad dikremasi, ibu mertuaku tampak sedikit lega.

Tanpa jasad, sekalipun polisi datang untuk menyelidiki lagi, tak akan ada bukti.

Namun, aku tidak akan menyerah begitu saja.

Petugas menyerahkan kotak abu padaku. Begitu keluar dari rumah duka, aku langsung menaburnya di depan mereka berdua.

“Kamu … kamu!”

Ibu mertua menunjukku dengan penuh amarah hingga tak bisa berkata apa-apa.

Adik iparku segera menenangkan ibunya dan memarahiku, “Rora, berani-beraninya kamu memperlakukan kakakku seperti ini! Aku nggak akan memaafkanmu!”

“Dia bahkan sudah mati, nggak ada yang peduli lagi kotak ini berisi abu atau tanah. Jadi kubuang saja!”

Usai bicara, aku meninggalkan mereka dan langsung pergi ke kantor polisi.

Aku membawa surat kematian itu dan bertanya pada petugas yang berjaga.

Setelah diperiksa dengan teliti, polisi memberitahuku bahwa itu surat yang asli.

Aku agak kecewa.

Namun, aku pun sadar ini ada untungnya juga.

Surat itu tertulis nama Felix beserta nomor KTPnya, bukti yang cukup untuk memastikan bahwa Felix sudah benar-benar mati.

Aku kemudian menemui polisi yang menangani kasus itu, yang lalu menceritakan kejadian saat itu.

“Tak lama setelah tim kami tiba, ibu dan adik korban langsung menyusul.”

“Memang ada ponsel dan kartu identitas di jasad tersebut, tapi untuk memastikannya, ibunya melihat tanda lahir di tubuhnya dan mengatakan itu adalah jasad Felix.”

Aku menahan tawa dingin dalam hati.

Sebagai istrinya, aku tahu jelas.

Tidak ada tanda lahir di tubuh Felix!

Ibu mertua sengaja tidak memberitahuku agar bisa memakai jasad tanpa identitas untuk menipu.

“Pak polisi, pengemudi yang menabrak itu sudah mendapatkan surat damai dari ibu mertuaku?”

Setelah melihat polisi itu mengangguk, aku melanjutkan, “Aku nggak akan mengeluarkan surat damai. Sebagai istrinya, aku ingin pelaku dihukum seberat mungkin!”

Polisi itu memberitahu bahwa nama pelaku adalah Dadang Salim, seorang pria desa dari Samarang.

Aku mengingat nama itu dalam hati.

Hari itu juga aku menghapus Felix dari kartu keluarga, mengembalikan statusku menjadi belum menikah.

Hal yang membuatku lega, tak ada harta atas nama Felix.

Rumah dan mobil yang kami pakai adalah hartaku sebelum menikah.

Sekarang, aku malah berterima kasih pada kepalsuan cintanya.

Saat aku mengenalnya, dia sedang berada di titik terendah dalam karir dan asmaranya.

Usahanya bangkrut, bukan hanya kehilangan semua uangnya, tetapi juga berhutang banyak.

Bahkan Luna, pujaan hatinya meninggalkannya untuk pergi ke luar negeri.

Aku bekerja dua pekerjaan setiap hari, berhidup hemat demi membantunya melunasi hutangnya. Dengan sisa uangku, aku membuka sebuah restoran kecil.

Aku bekerja keras dari pagi hingga malam. Tubuhku bahkan tak pernah lepas dari bau minyak.

Untung saja masakanku enak dan harganya terjangkau, hingga dua tahun kemudian aku berhasil membuka cabang.

Kini, lima tahun telah berlalu, restoran kecil berukuran sepuluh meter persegi itu telah menjadi jaringan usaha terkenal di Samarang.

Saat melamarku, Felix memberikan cincin berlian dan menyatakan cintanya.

Dia bilang, dia bisa sampai di titik ini semua karenaku. Tanpaku, dia tak lebih dari sekedar pecundang.

Aku adalah penyelamat sekaligus harapan hidupnya.

Dia bersedia memberikan semua miliknya padaku.

Tapi apa arti semua itu? Pada akhirnya, dia tetap mengkhianatiku.

Dia bahkan tak punya keberanian untuk menceraikanku, malah memilih berpura-pura mati untuk menipuku.

Dia bisa saja mencari berbagai alasan, tapi dia justru membuatku seolah menjadi penyebab kematiannya.

Syukurlah, Tuhan memberiku kesempatan kedua. Kali ini, aku akan pastikan mereka menuai buah dari perbuatan mereka sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status