“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?
“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.
Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu
Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat
“Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar
Bernegosiasi dengan sang ayah, Kate bukannya tidak mencoba. Segala cara sudah dia lakukan untuk merayu Howard agar memikirkan kembali keputusannya, serta memuluskan permintaannya; tidak ada pesta pernikahan. Hasilnya? Nihil. Ayahnya cukup pandai untuk segera menyela dan menghentikannya bahkan sebelum apa yang akan dikatakannya terlontar dari bibirnya. Yah, tidah heran mengingat sifat itu pun dimiliki olehnya. Keras kepala dan teguh.Dia bisa saja marah. Semua rencana yang telah tersusun apik terpaksa buyar. Tidak seluruhnya, memang. Namun, tetap saja pesta pernikahan akan memberi perbedaan pada kehidupannya kelak. Dia ingin semuanya tenang dan tersembunyi. Tapi, agaknya, Howard tidak sependapat dengannya. Pesta pernikahannya harus terlaksana. Titik.Maka, dengan berat hati dia menuruti keinginan sang Ayah. Dan dengan rasa yang sama pula dia mendatangi butik yang tempo hari Howard beritahukan lewat pesan. Bersama Liam, tentu saja. Siapa lagi?&l
Kate menatap tidak percaya pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Sesosok wanita dengan gaun kebesarannya tengah memandang balik dengan kerutan di kening. Benarkah itu dirinya?Bukan. Bukan karena figur itu terlihat amat berbeda dari Kate yang biasanya—nyatanya memang berbeda—atau fakta bahwa dirinya sedang mencoba gaun pengantin—dia sudah cukup sering melakukannya. Namun kenyataan bahwa dia akan mengenakan gaun pengantinlah yang membuat kewarasannya sedikit terganggu. Kate akan mengadakan pesta pernikahan dengan dia yang menjadi bintang utama. Sungguh sulit dipercaya.“Ini bukan seleramu, Kate.” Joanna berkomentar usai membantu Kate mengepaskan baju yang sedang dicoba wanita itu ke tubuh semampainya. Sesekali dia memiringkan kepalanya karena merasa gaun tersebut sangat-sangat tidak cocok untuk Kate.“Aku cuma mencoba. Siapa tahu ini merupakan selera Liam?” jawab Kate sekenanya.“Lalu, kalau Liam suka, ka
"Aku tidak tertarik untuk menikah, apalagi dengan cara seperti ini. Maafkan ayahku sudah membuang waktumu dengan gagasan tentang perjodohan kita."Kalimat singkat penuh penolakan itu mengalun indah dari bibir Kate. Wanita itu bahkan tak perlu repot-repot mendudukkan diri di hadapan lawan bicaranya karena untaian kata tersebut keluar begitu saja sesaat setelah kakinya berhenti di depan sang pria yang hendak berdiri untuk menyambut kedatangannya. Kini, pria di hadapannya hanya terdiam dengan ekspresi yang kentara sekali menunjukkan kebingungannya."Maksudmu, kamu menolak perjodohan ini?" tanya pria itu usai detik-detik keheningan yang singkat mengembalikan kesadarannya."Tentu saja," jawab Kate tegas. Kedua sorot matanya memperlihatkan tekad serupa. Tajam, tegas, dan tak tergoyahkan. "Dan kurasa, makan malam ini sudah nggak ada artinya lagi. Begitu pula dengan keberadaanku di sini. Jadi, aku permisi." Tak ada basa-basi dalam lanjutan kalimatnya.Dia mulai melan
“Ayah baru tahu ternyata kamu mempunyai hubungan istimewa dengan Liam.”Kate nyaris tersedak minumannya ketika ayahnya menuturkan kalimat tersebut. Kunjungannya ke kantor Howard Whitelaw, sang CEO, tak lain adalah untuk membicarakan tentang ide perjodohan yang tak lelah digagas ayahnya. Dia ingin ayahnya menghentikannya. Kali ini sungguh-sungguh berhenti.Kate tak menduga ayahnya telah mendengar insiden memalukannya semalam. Agaknya, mulut pria mantan ‘calon suami’-nya tak bisa dijaga. Dia pasti sudah membocorkan informasi itu. Dari mana ayahnya tahu jika bukan saksi peristiwa itu yang berbicara? Hanya ada dia, pria itu, dan Liam yang berkepentingan dan memiliki akses langsung dengan ayahnya. Liam tidak mungkin melakukannya. Jadi, pasti pria itu pelakunya.“No, Dad. Hubunganku dengan Liam nggak lebih dari rekan kerja. Semalam Liam mabuk dan aku hanya membantunya,” kilah Kate, berharap ayahnya percaya akan kebohonganny
Kate hanya diam mematung melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Bukan visi indah, melainkan adegan yang tak sepantasnya dilakukan di ruang kerja. Dua orang itu saling berciuman. Satu tangan sang pria memegang tengkuk si wanita, sementara tangan lainnya berlabuh di pinggang ramping itu dan membawanya semakin erat ke tubuhnya. Terlihat sekali pria itu mendominasi dengan kelihaian bibirnya yang membuat si wanita semakin menikmati permainannya. Suara peraduan bibir mereka memenuhi seluruh ruangan. Mereka saling mencecap rasa masing-masing dengan lidah yang bertautan untuk saling menggoda. Sebuah ciuman yang dalam dan panas hingga desahan sesekali lolos, meski teredam oleh gairah panas mereka. Kate menelan ludahnya dengan susah payah. Pemandangan itu menghadirkan sensasi aneh di tubuhnya. Perutnya serasa diaduk dan bibirnya ikut mendambakan ciuman panas itu. Sialan! Dan lebih sial lagi, kenapa ingatannya kembali pada kejadian malam itu--detik-detik saat L
Kate menatap tidak percaya pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Sesosok wanita dengan gaun kebesarannya tengah memandang balik dengan kerutan di kening. Benarkah itu dirinya?Bukan. Bukan karena figur itu terlihat amat berbeda dari Kate yang biasanya—nyatanya memang berbeda—atau fakta bahwa dirinya sedang mencoba gaun pengantin—dia sudah cukup sering melakukannya. Namun kenyataan bahwa dia akan mengenakan gaun pengantinlah yang membuat kewarasannya sedikit terganggu. Kate akan mengadakan pesta pernikahan dengan dia yang menjadi bintang utama. Sungguh sulit dipercaya.“Ini bukan seleramu, Kate.” Joanna berkomentar usai membantu Kate mengepaskan baju yang sedang dicoba wanita itu ke tubuh semampainya. Sesekali dia memiringkan kepalanya karena merasa gaun tersebut sangat-sangat tidak cocok untuk Kate.“Aku cuma mencoba. Siapa tahu ini merupakan selera Liam?” jawab Kate sekenanya.“Lalu, kalau Liam suka, ka
Bernegosiasi dengan sang ayah, Kate bukannya tidak mencoba. Segala cara sudah dia lakukan untuk merayu Howard agar memikirkan kembali keputusannya, serta memuluskan permintaannya; tidak ada pesta pernikahan. Hasilnya? Nihil. Ayahnya cukup pandai untuk segera menyela dan menghentikannya bahkan sebelum apa yang akan dikatakannya terlontar dari bibirnya. Yah, tidah heran mengingat sifat itu pun dimiliki olehnya. Keras kepala dan teguh.Dia bisa saja marah. Semua rencana yang telah tersusun apik terpaksa buyar. Tidak seluruhnya, memang. Namun, tetap saja pesta pernikahan akan memberi perbedaan pada kehidupannya kelak. Dia ingin semuanya tenang dan tersembunyi. Tapi, agaknya, Howard tidak sependapat dengannya. Pesta pernikahannya harus terlaksana. Titik.Maka, dengan berat hati dia menuruti keinginan sang Ayah. Dan dengan rasa yang sama pula dia mendatangi butik yang tempo hari Howard beritahukan lewat pesan. Bersama Liam, tentu saja. Siapa lagi?&l
“Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar
Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat
Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
“Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu
“Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. “Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. “Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate meno
“Maaf sudah mengganggu akhir pekanmu.” Howard berujar usai mempersilakan Liam duduk dan bergabung bersama mereka—dirinya dan sang putri.“Tenang saja, Howard. Aku sedang sibuk dengan buku bacaanku saat kamu meneleponku tadi,” balas Liam yang memilih duduk di kursi kosong di sebelah Howard. Sebuah jawaban yang nyaris membuat Kate tersedak oleh minumannya sendiri.“Kamu nggak apa-apa, Kate?” Liam menyelipkan nada khawatir dalam suaranya kala dilihatnya Kate mulai terbatuk-batuk sembari menutupi mulut dengan salah satu tangannya. Dia bahkan akan berdiri untuk membantu Kate yang langsung dicegah oleh wanita itu.“I’m okay,” tolak Kate, masih terbatuk, meski dengan intensitas yang berkurang. Dan setelah tak ada yang menyumbat jalur pernapasannya, dia menghirup napas panjang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyuplai kebutuhannya yang sempat tersendat.“
“Kapan kamu akan mengenalkan seseorang pada Ayah?” tanya Howard di suatu makan siang bersama putrinya. Akhir pekan ini, dia sengaja mengajak Kate makan siang di luar bersama. Sudah lebih dari seminggu dirinya tak berada di rumah karena harus melakukan beberapa perjalanan bisnis. Dan selama itu pula dia tak bersua dengan putri semata wayangnya itu. Jadi, makan siang bersama di restoran keluarga favorit mereka merupakan pilihan yang tepat. Dan tentunya, dengan tujuan lain, yakni membahas kesepakatan mereka tempo hari.“Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kamu menyetujui persyaratan Ayah.” Howard melanjutkan, yang secara tidak langsung mengingatkan Kate akan tenggat waktu dalam perjanjian tak tertulis mereka. “Kalau kamu belum menemukan calon suami, Ayah bisa membantu,” imbuhnya, tak henti memberikan saran mengingat sifat putrinya yang antipati pada pria.Mendengar perkataan sang Ayah, Kate ingin sekali memprotesnya. Lagi-lagi soal pe