Home / Romansa / (un) Conditional Marriage / Kesepakatan yang Saling Menguntungkan

Share

Kesepakatan yang Saling Menguntungkan

Author: shimizudani
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. 

“Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. 

Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? 

Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. 

“Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? 

Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate menolak pria yang dijodohkan dengannya. Lalu, sekarang dia menggebu-gebu untuk menikah? Liam sungguh-sungguh tak mengerti jalan pikiran wanita itu. 

Liam menghempaskan tubuhnya sedikit kasar ke kursi kerjanya. “Kamu pikir gampang mengambil keputusan untuk menikah?” gerutunya sebal. Bagi orang awam saja susah, apalagi dirinya? Terbayang masa depannya yang monoton hanya dengan satu wanita, yakni Kate. 

“Kita nggak perlu mengadakan pesta. Cukup melegalkannya saja—kalau itu yang menjadi pikiranmu.” 

Liam memijat pelan pangkal hidungnya yang berdenyut mendengar betapa keras kepalanya Kate. “Bukan masalah itu,” sanggahnya. Ya, bukan hal tersebut yang menjadi pusat kegelisahannya—dia bahkan tak mempermasalahkannya. Mau diadakan pesta atau tidak, intinya tetap satu. Mereka menikah. Benar, bukan? “Aku memikirkan kehidupan pernikahan kita nanti, kalau benar-benar terjadi.” 

Kemudian, sunyi. Mereka berdua tenggelam dalam pemikiran masing-masing. 

“Aku baru tahu playboy sepertimu bisa juga merasa takut.” Kalimat itu bernada menuduh sekaligus menyindir sang lawan bicara. 

“Justru karena itu,” kilah Liam cepat. “Hal yang paling kami, para playboy, takutkan adalah pernikahan. Kami nggak bisa membayangkan harus hidup selamanya bersama satu wanita saja. Dalam kasusku, wanita itu adalah kamu, Kate.” Dia menjelaskan alasan paling masuk akal versinya kepada Kate. “Kesetiaan merupakan sesuatu yang sulit kami lakukan,” imbuhnya di akhir penjelasannya. 

Hening. Lagi. Kali ini, Liam berharap Kate sadar bahwa menikah itu tidak bisa dipaksakan.

“Sepuluh persen.”

Huh?” Bak orang bingung, Liam merespon ucapan singkat Kate. 

“Aku akan memberikan sepuluh persen saham milikku kepadamu setelah anak kita lahir.” Kate mengulang perkataannya dengan menambahkan keterangan tambahan untuk memperjelas maksudnya. 

Dahi Liam berkerut. Anak? Dia tidak menerima informasi apa pun mengenai hal itu. “Aku nggak mengerti, Kate. Anak?” Dia mengutarakan kebingungannya. 

Helaan napas panjang keluar dari bibir Kate. Ya, ayahnya memang tidak mengatakan perihal anak dalam tawaran pernikahan yang disodorkannya pada Liam tempo hari. Jadi, yang Liam tahu hanya mereka menikah. Itu saja. Padahal, tujuan utamanya bukanlah itu. 

Kate menarik napas dalam. Sepertinya, bagian itu memang harus dilakukannya—menjelaskan tentang perjanjian antara dirinya dan sang ayah. Toh, suatu saat nanti Liam pasti akan tahu. Lagi pula, semua itu demi kelancaran rencananya. Ingat motonya; lebih cepat lebih baik. 

“Aku dan Ayah membuat perjanjian. Dalam satu tahun, aku harus menikah, lalu hamil agar ayah mau memberikan saham miliknya padaku.” Singkat dan jelas, Kate berujar. 

“Dengan kata lain, kamu akan menggantikan Howard memimpin perusahaan ini?” 

Yes, Liam.” 

Liam memajukan tubuhnya, kemudian menyatukan kedua tangannya ke atas meja. “Menarik,” komentarnya singkat. 

“Jadi, bagaimana? Kamu setuju?” Kate mulai tak sabaran menanti reaksi Liam. 

Liam menumpukan dagunya ke atas kedua tangannya. Otaknya masih mencerna informasi yang baru saja diperolehnya, sekaligus memikirkan tawaran wanita itu. Ternyata, inilah alasan di balik penerimaan Kate atas pernikahan. Kate yang sebelumnya kekeh menolak untuk menikah, lantas berubah antusias, bahkan memaksa untuk segera menikah. Rupanya memang, ada udang di balik batu. 

“Dua puluh persen.” Dia menawar usulan Kate. 

“Sepuluh persen. Nggak ada kompromi, Liam.”

“Dua puluh persen.” Liam tetap gigih pada pendiriannya. “Aku harus melakukan tugas besar, Kate, dalam pernikahan kita.” 

Kate terdiam. Dia memikirkan perkataan Liam. “Baiklah. Lima belas persen, atau aku akan mencari orang lain,” tuturnya, akhirnya, meski tetap tak menyetujui permintaan Liam. “Jangan menguji keberuntunganmu, Liam.” Peringatan bernada ancaman itu dia lontarkan. 

Liam mengusap-usap bagian bawah dagunya. Benaknya bekerja, menimbang-nimbang penawaran yang Kate berikan. Menggiurkan, memang. Lima belas persen bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat Whitelaw Corp merupakan perusahaan keluarga yang hanya melepas sepuluh persen dari keseluruhan sahamnya ke publik. Selebihnya? Tentu saja, berada di tangan keluarga Whitelaw dengan Howard berada di posisi puncak. 

Baiklah. Kali ini, dia harus memilih. Melepaskan kesempatan emas ini atau tetap teguh pada gaya hidupnya yang jika dipikirkan kembali, lama-kelamaan terasa membosankan juga. Dan oh, jangan lupakan penyesalan yang muncul akibat menolak niat baik Kate ini. 

“Kapan kita akan menikah?” Pertanyaan itu secara tidak langsung menjadi persetujuannya atas rencana dan tawaran Kate.

Kate tersenyum puas. Satu masalah telah berhasil dia selesaikan. “Secepatnya,” balasnya dengan kelegaan memenuhi hatinya. 

Otak Liam kembali berpikir. Memang, dia sudah memutuskan untuk mengikuti rencana Kate. Tetapi, tetap saja, dia membutuhkan waktu untuk benar-benar meresapi semuanya. Dan mempersiapkan diri dan hati, pastinya. “Beri aku waktu satu bulan.” Tak lelah, dia menawar keputusan Kate. Maklum, dia adalah seorang pebisnis. Jadi, dia harus memastikan bahwa dirinya tak dirugikan dalam kesepakatan mereka. 

Kate mengernyitkan keningnya. “Kenapa harus menunggu satu bulan?” Kate mulai dongkol dibuatnya. Liam terlalu berbelit-belit. Kenapa tidak langsung saja? Menikah, lalu menghasilkan keturunan. Bukankah pria itu sudah setuju? 

Well-“ Liam sengaja memberi jeda pada kalimatnya “-aku membutuhkan waktu untuk menikmati kebebasanku, sebelum terjebak selamanya bersamamu.”  

Sudah Liam bilang, bukan, kesetiaan merupakan sesuatu yang sulit dilakukannya? Namun, bukan berarti dia tak bisa melakukannya. Dia mampu. Sangat mampu. Hanya, dirinya saja yang memilih untuk tidak mengambil jalan tersebut. Setelah bertahun-tahun melupakannya, sekarang dia dipaksa untuk kembali lagi. Jiwanya yang terlanjur bebas harus kembali pulang. 

“Tenang saja. Kita akan bercerai setelah anak kita lahir dan aku mendapatkan saham bagianku.” 

Liam tersenyum miris. Kalimat terakhir Kate, entah kenapa, membuat hatinya serasa teriris. Walaupun dia adalah playboy yang gemar bermain-main dengan perempuan, tapi dia tidak pernah menganggap remeh sebuah jalinan pernikahan. Ikatan itu harusnya dijaga semaksimal mungkin dan tak sepantasnya dipermainkan. Dan sikap Kate jelas-jelas telah menyepelekannya. 

“Begitu.” Kata bernada ambigu itu dia ungkapkan seiring dengan bercampur aduknya isi pikirannya. Haruskah dia senang mendengar pernyataan Kate bahwa kebebasannya tak terenggut selamanya dan akan kembali? Ataukah dia kecewa karena prinsip mereka—tentang pernikahan—saling berseberangan?

Related chapters

  • (un) Conditional Marriage    Pesta Pernikahan

    “Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu

  • (un) Conditional Marriage    Lamaran

    Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa

  • (un) Conditional Marriage    Sulit Tidur

    Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat

  • (un) Conditional Marriage    Seafood

    “Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar

  • (un) Conditional Marriage    Permintaan

    Bernegosiasi dengan sang ayah, Kate bukannya tidak mencoba. Segala cara sudah dia lakukan untuk merayu Howard agar memikirkan kembali keputusannya, serta memuluskan permintaannya; tidak ada pesta pernikahan. Hasilnya? Nihil. Ayahnya cukup pandai untuk segera menyela dan menghentikannya bahkan sebelum apa yang akan dikatakannya terlontar dari bibirnya. Yah, tidah heran mengingat sifat itu pun dimiliki olehnya. Keras kepala dan teguh.Dia bisa saja marah. Semua rencana yang telah tersusun apik terpaksa buyar. Tidak seluruhnya, memang. Namun, tetap saja pesta pernikahan akan memberi perbedaan pada kehidupannya kelak. Dia ingin semuanya tenang dan tersembunyi. Tapi, agaknya, Howard tidak sependapat dengannya. Pesta pernikahannya harus terlaksana. Titik.Maka, dengan berat hati dia menuruti keinginan sang Ayah. Dan dengan rasa yang sama pula dia mendatangi butik yang tempo hari Howard beritahukan lewat pesan. Bersama Liam, tentu saja. Siapa lagi?&l

  • (un) Conditional Marriage    Fitting Gaun Pengantin

    Kate menatap tidak percaya pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Sesosok wanita dengan gaun kebesarannya tengah memandang balik dengan kerutan di kening. Benarkah itu dirinya?Bukan. Bukan karena figur itu terlihat amat berbeda dari Kate yang biasanya—nyatanya memang berbeda—atau fakta bahwa dirinya sedang mencoba gaun pengantin—dia sudah cukup sering melakukannya. Namun kenyataan bahwa dia akan mengenakan gaun pengantinlah yang membuat kewarasannya sedikit terganggu. Kate akan mengadakan pesta pernikahan dengan dia yang menjadi bintang utama. Sungguh sulit dipercaya.“Ini bukan seleramu, Kate.” Joanna berkomentar usai membantu Kate mengepaskan baju yang sedang dicoba wanita itu ke tubuh semampainya. Sesekali dia memiringkan kepalanya karena merasa gaun tersebut sangat-sangat tidak cocok untuk Kate.“Aku cuma mencoba. Siapa tahu ini merupakan selera Liam?” jawab Kate sekenanya.“Lalu, kalau Liam suka, ka

  • (un) Conditional Marriage    Ciuman Kurang Ajar

    "Aku tidak tertarik untuk menikah, apalagi dengan cara seperti ini. Maafkan ayahku sudah membuang waktumu dengan gagasan tentang perjodohan kita."Kalimat singkat penuh penolakan itu mengalun indah dari bibir Kate. Wanita itu bahkan tak perlu repot-repot mendudukkan diri di hadapan lawan bicaranya karena untaian kata tersebut keluar begitu saja sesaat setelah kakinya berhenti di depan sang pria yang hendak berdiri untuk menyambut kedatangannya. Kini, pria di hadapannya hanya terdiam dengan ekspresi yang kentara sekali menunjukkan kebingungannya."Maksudmu, kamu menolak perjodohan ini?" tanya pria itu usai detik-detik keheningan yang singkat mengembalikan kesadarannya."Tentu saja," jawab Kate tegas. Kedua sorot matanya memperlihatkan tekad serupa. Tajam, tegas, dan tak tergoyahkan. "Dan kurasa, makan malam ini sudah nggak ada artinya lagi. Begitu pula dengan keberadaanku di sini. Jadi, aku permisi." Tak ada basa-basi dalam lanjutan kalimatnya.Dia mulai melan

  • (un) Conditional Marriage    Ancaman dan Pernikahan

    “Ayah baru tahu ternyata kamu mempunyai hubungan istimewa dengan Liam.”Kate nyaris tersedak minumannya ketika ayahnya menuturkan kalimat tersebut. Kunjungannya ke kantor Howard Whitelaw, sang CEO, tak lain adalah untuk membicarakan tentang ide perjodohan yang tak lelah digagas ayahnya. Dia ingin ayahnya menghentikannya. Kali ini sungguh-sungguh berhenti.Kate tak menduga ayahnya telah mendengar insiden memalukannya semalam. Agaknya, mulut pria mantan ‘calon suami’-nya tak bisa dijaga. Dia pasti sudah membocorkan informasi itu. Dari mana ayahnya tahu jika bukan saksi peristiwa itu yang berbicara? Hanya ada dia, pria itu, dan Liam yang berkepentingan dan memiliki akses langsung dengan ayahnya. Liam tidak mungkin melakukannya. Jadi, pasti pria itu pelakunya.“No, Dad. Hubunganku dengan Liam nggak lebih dari rekan kerja. Semalam Liam mabuk dan aku hanya membantunya,” kilah Kate, berharap ayahnya percaya akan kebohonganny

Latest chapter

  • (un) Conditional Marriage    Fitting Gaun Pengantin

    Kate menatap tidak percaya pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Sesosok wanita dengan gaun kebesarannya tengah memandang balik dengan kerutan di kening. Benarkah itu dirinya?Bukan. Bukan karena figur itu terlihat amat berbeda dari Kate yang biasanya—nyatanya memang berbeda—atau fakta bahwa dirinya sedang mencoba gaun pengantin—dia sudah cukup sering melakukannya. Namun kenyataan bahwa dia akan mengenakan gaun pengantinlah yang membuat kewarasannya sedikit terganggu. Kate akan mengadakan pesta pernikahan dengan dia yang menjadi bintang utama. Sungguh sulit dipercaya.“Ini bukan seleramu, Kate.” Joanna berkomentar usai membantu Kate mengepaskan baju yang sedang dicoba wanita itu ke tubuh semampainya. Sesekali dia memiringkan kepalanya karena merasa gaun tersebut sangat-sangat tidak cocok untuk Kate.“Aku cuma mencoba. Siapa tahu ini merupakan selera Liam?” jawab Kate sekenanya.“Lalu, kalau Liam suka, ka

  • (un) Conditional Marriage    Permintaan

    Bernegosiasi dengan sang ayah, Kate bukannya tidak mencoba. Segala cara sudah dia lakukan untuk merayu Howard agar memikirkan kembali keputusannya, serta memuluskan permintaannya; tidak ada pesta pernikahan. Hasilnya? Nihil. Ayahnya cukup pandai untuk segera menyela dan menghentikannya bahkan sebelum apa yang akan dikatakannya terlontar dari bibirnya. Yah, tidah heran mengingat sifat itu pun dimiliki olehnya. Keras kepala dan teguh.Dia bisa saja marah. Semua rencana yang telah tersusun apik terpaksa buyar. Tidak seluruhnya, memang. Namun, tetap saja pesta pernikahan akan memberi perbedaan pada kehidupannya kelak. Dia ingin semuanya tenang dan tersembunyi. Tapi, agaknya, Howard tidak sependapat dengannya. Pesta pernikahannya harus terlaksana. Titik.Maka, dengan berat hati dia menuruti keinginan sang Ayah. Dan dengan rasa yang sama pula dia mendatangi butik yang tempo hari Howard beritahukan lewat pesan. Bersama Liam, tentu saja. Siapa lagi?&l

  • (un) Conditional Marriage    Seafood

    “Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar

  • (un) Conditional Marriage    Sulit Tidur

    Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat

  • (un) Conditional Marriage    Lamaran

    Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa

  • (un) Conditional Marriage    Pesta Pernikahan

    “Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu

  • (un) Conditional Marriage    Kesepakatan yang Saling Menguntungkan

    “Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. “Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. “Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate meno

  • (un) Conditional Marriage    Ataukah Bukan Liam?

    “Maaf sudah mengganggu akhir pekanmu.” Howard berujar usai mempersilakan Liam duduk dan bergabung bersama mereka—dirinya dan sang putri.“Tenang saja, Howard. Aku sedang sibuk dengan buku bacaanku saat kamu meneleponku tadi,” balas Liam yang memilih duduk di kursi kosong di sebelah Howard. Sebuah jawaban yang nyaris membuat Kate tersedak oleh minumannya sendiri.“Kamu nggak apa-apa, Kate?” Liam menyelipkan nada khawatir dalam suaranya kala dilihatnya Kate mulai terbatuk-batuk sembari menutupi mulut dengan salah satu tangannya. Dia bahkan akan berdiri untuk membantu Kate yang langsung dicegah oleh wanita itu.“I’m okay,” tolak Kate, masih terbatuk, meski dengan intensitas yang berkurang. Dan setelah tak ada yang menyumbat jalur pernapasannya, dia menghirup napas panjang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyuplai kebutuhannya yang sempat tersendat.“

  • (un) Conditional Marriage    Mungkinkah Liam?

    “Kapan kamu akan mengenalkan seseorang pada Ayah?” tanya Howard di suatu makan siang bersama putrinya. Akhir pekan ini, dia sengaja mengajak Kate makan siang di luar bersama. Sudah lebih dari seminggu dirinya tak berada di rumah karena harus melakukan beberapa perjalanan bisnis. Dan selama itu pula dia tak bersua dengan putri semata wayangnya itu. Jadi, makan siang bersama di restoran keluarga favorit mereka merupakan pilihan yang tepat. Dan tentunya, dengan tujuan lain, yakni membahas kesepakatan mereka tempo hari.“Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kamu menyetujui persyaratan Ayah.” Howard melanjutkan, yang secara tidak langsung mengingatkan Kate akan tenggat waktu dalam perjanjian tak tertulis mereka. “Kalau kamu belum menemukan calon suami, Ayah bisa membantu,” imbuhnya, tak henti memberikan saran mengingat sifat putrinya yang antipati pada pria.Mendengar perkataan sang Ayah, Kate ingin sekali memprotesnya. Lagi-lagi soal pe

DMCA.com Protection Status