"Aku tidak tertarik untuk menikah, apalagi dengan cara seperti ini. Maafkan ayahku sudah membuang waktumu dengan gagasan tentang perjodohan kita."
Kalimat singkat penuh penolakan itu mengalun indah dari bibir Kate. Wanita itu bahkan tak perlu repot-repot mendudukkan diri di hadapan lawan bicaranya karena untaian kata tersebut keluar begitu saja sesaat setelah kakinya berhenti di depan sang pria yang hendak berdiri untuk menyambut kedatangannya. Kini, pria di hadapannya hanya terdiam dengan ekspresi yang kentara sekali menunjukkan kebingungannya.
"Maksudmu, kamu menolak perjodohan ini?" tanya pria itu usai detik-detik keheningan yang singkat mengembalikan kesadarannya.
"Tentu saja," jawab Kate tegas. Kedua sorot matanya memperlihatkan tekad serupa. Tajam, tegas, dan tak tergoyahkan. "Dan kurasa, makan malam ini sudah nggak ada artinya lagi. Begitu pula dengan keberadaanku di sini. Jadi, aku permisi." Tak ada basa-basi dalam lanjutan kalimatnya.
Dia mulai melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Dalam benaknya, Kate harus pergi sesegera mungkin. Secepat dia mengutarakan penolakannya, secepat itu pula dia harus pergi dari sana. Dia tak mau menunggu lebih lama dan berakhir membuang waktunya dengan mendengarkan rengekan mereka yang telah dia pecundangi.
Kate tidak lagi menoleh dan terus mengayunkan kakinya ke depan. Memang seperti itulah dirinya. Tak ada kesempatan kedua pada lembaran yang telah dia tutup. Kisah itu sudah berakhir untuk selamanya.
"Menolak perjodohan lagi, huh?"
Pertanyaan itu seketika menghentikan langkah Kate dan membuatnya diam di tempat. Oh, dia jelas mengenal siapa orang itu. Suara berat miliknya terlalu familier untuk Kate. Terlebih, hanya orang itu satu-satunya yang berani mengejek tindakannya secara terang-terangan. Dan saat dia menengok ke belakang, ternyata benar dugaannya. Liam di sana, tengah duduk sembari menyuapkan potongan steak ke dalam mulutnya.
"Bukan urusanmu," jawab Kate ketus. Dia menggerutu dalam hati. Dari semua tempat, kenapa lelaki itu harus makan malam di sini?
"Ini sudah yang ke-" Liam menghentikan sejenak kegiatan mengambil gelas wine-nya "-sebelas kali, bukan? Kenapa kamu keras kepala sekali?"
"Sudah kubilang bukan urusanmu." Kate mendesis tajam. Dia melemparkan tatapan sinisnya pada pria yang, rupanya, tak sedang melihat ke arahnya. Mata lelaki itu terpejam, sibuk menikmati anggur merahnya. "Sebaiknya kamu urus saja wanita yang sedang bersamamu," ujarnya usai mendapati Liam tidak sendiri di sana. Sebuah tas tangan--yang jelas-jelas milik wanita--tergeletak manis di kursi di seberang Liam, meski pemiliknya entah berada di mana.
"Aku nggak keberatan kalau kamu ingin bergabung. Makan malam bertiga... Kedengarannya cukup menyenangkan." Ajakan itu terlontar dengan nada santai seolah-olah makan malamnya dengan sang wanita pemilik tas tak berarti dan tak ubahnya seperti malam-malam lainnya. Tapi, memang begitulah adanya. Liam Ortiz tak akan kekurangan wanita untuk sekadar menemaninya menyantap makan malam.
"Jangan bercanda!" Kate menyerukan penolakannya. Tentu saja. Siapa yang mau menghabiskan waktu dengan don juan payah seperti dirinya? Kewarasannya jelas tak pernah menginginkannya.
Kate memutuskan untuk segera menjauh dari Liam. Lebih tepatnya, dia ingin menghilangkan lelaki itu dari pandangannya. Dan satu-satunya cara adalah dengan pergi dari tempat itu.
Namun, baru selangkah dia berjalan, sebuah tangan mencekalnya sehingga mau tak mau Kate berbalik dan kembali menatap urna biru milik lelaki itu.
"Lepaskan."
Liam berdecak. Dan bukannya menuruti ucapan Kate, dia justru beranjak dari kursinya dan mulai memotong jarak di antara mereka. "Sebaiknya kamu mulai mengubah sikapmu ini. Atau kamu benar-benar akan melajang selamanya." Dia berkomentar, masih dengan gaya santainya yang lama-kelamaan membuat Kate muak.
Kate mendengus sebal. Setengah bagian dari dirinya ingin menertawakan Liam dan ucapannya yang tak masuk akal. Bagaimana bisa playboy seperti dirinya menasihatinya dengan petuah tak penting yang harusnya berlaku untuk dirinya sendiri? Sungguh munafik. "Aku nggak butuh pria."
"Oh ya?" Tampak sekali keterkejutan itu sengaja dibuat-buat oleh Liam.
"Terutama pria-pria sepertimu," tandas Kate, sarat akan sindiran pada lawan bicaranya.
Tapi, tentu saja, Liam tidak terpengaruh. Dia justru terkekeh melihat kebencian dalam sorot mata Kate. "Aku tersanjung mendengarnya." Nada geli itu terselip dalam suaranya.
Itu bukan pujian! Demi Tuhan! Pria itu pasti tidak waras karena menganggap kebencian Kate lucu. "Kamu sudah gila." Sungguh, dia tak mengerti dan tak mau mengerti jalan pikiran Liam.
Liam kembali tertawa. Kali ini, dia membawa satu tangan Kate yang masih dalam genggamannya kemudian mendaratkan kecupan ringan di sana. "Kata orang, benci dan cinta itu bedanya sangat tipis."
See? Lelaki itu memang aneh, bukan? Bisa-bisanya di situasi begini, Liam melancarkan rayuan sia-sianya pada Kate. Rasanya, Liam butuh tamparan keras darinya supaya tersadar. Dia bukan wanita yang sanggup Liam taklukkan.
Kate berusaha menarik tangannya yang cukup erat Liam genggam. Tapi kemudian, sudut matanya menangkap pergerakan pria 'mantan calon suami'-nya tengah berjalan ke arah mereka. Seketika, kepanikan melanda Kate. Raut wajah sang pria jelas menunjukkan kekecewaan dan kekesalan, lengkap dengan protes yang siap diajukannya atas keputusan sepihak Kate.
Liam melihat itu. Dia menangkap pergerakan gelisah dari kedua bola mata Kate yang otomatis membuatnya mengikuti arah pandang wanita itu. Dia tersenyum setelah menyadari satu hal. Wanita itu ternyata bisa juga merasa takut.
Tanpa pikir panjang, Liam menarik dagu Kate dan dalam sekejap, bibirnya telah mendarat di atas bibir merah wanita itu.
Butuh waktu beberapa detik bagi otak Kate untuk memproses segalanya. Gerakan Liam terlalu tiba-tiba hingga dia bingung harus bereaksi apa. Terkejut atau...
Kate mendorong keras tubuh Liam hingga membuat tautan bibir mereka terpisah. Begitu pun dengan genggaman lelaki itu di tangannya.
"Apa yang kamu lakukan?!" Dia berusaha meredam teriakannya begitu teringat area publik tempatnya berada. Sialan memang Liam!
Liam menoleh sekilas pada pria yang sekarang telah mengubah haluannya dan tak lagi berminat menghampiri mereka. Tentu, semua itu akibat suguhan adegan darinya.
Dia mengangkat bahunya tak acuh. "Menyelamatkanmu," balasnya singkat.
Baiklah. Kate tahu pria yang sempat membuatnya gugup sudah pergi. Dan dia juga tahu semua itu berkat Liam. Tapi, haruskah dengan cara seperti itu? Dia sangat ingat memberikan penolakannya karena sama sekali tak berminat pada pernikahan--alasan sama yang selalu dia berikan pada pria-pria yang dijodohkan oleh ayahnya. Lalu, dia berciuman tepat setelah mengatakan hal tersebut? Pasti pria itu menganggap alasannya hanyalah bualan semata.
Kedua tangan Kate mengepal menahan kekesalannya. Ingin marah, tetapi sumber kekesalan Kate bahkan tak menunjukkan rasa bersalahnya. Lagi pula, keadaan sekeliling tak mendukung untuk berteriak kesetanan pada pria itu. Jadi, dia memutuskan untuk pergi—lagi.
Namun, lagi-lagi Liam mencegahnya. Dengan entengnya, dia berkata, "Pria itu baru saja pergi. Kamu masih bisa menemuinya kalau pergi dari sini sekarang."
Dan Kate pun terpaksa balik badan dan mengurungkan niatnya. Jika harus memilih antara Liam atau pria itu, maka berada lebih lama di restoran ini adalah jawabannya. Tentu, dengan mengambil tempat duduk yang berjarak cukup jauh dari Liam.
Liam tersenyum geli melihat perubahan sikap Kate. Wanita dengan harga diri selangitnya itu seperti tak lagi mengenakan topeng angkuhnya. Kate yang gugup dan takut. Baru sekali ini dia melihatnya.
Dia tak sanggup lagi menahan tawanya. Liam terbahak lumayan keras, yang kembali menyedot perhatian pengunjung restoran yang memang sudah terarah padanya sejak adegan ciuman mereka tadi. Drama kecil yang membuat malamnya terasa berbeda dan menyenangkan.
Pasangan makan malam Liam pun akhirnya muncul, persis setelah ketenangan kembali menguasai. Dan perempuan itu tak lain adalah sekretaris Liam. Dasar perayu ulung!
“Ayah baru tahu ternyata kamu mempunyai hubungan istimewa dengan Liam.”Kate nyaris tersedak minumannya ketika ayahnya menuturkan kalimat tersebut. Kunjungannya ke kantor Howard Whitelaw, sang CEO, tak lain adalah untuk membicarakan tentang ide perjodohan yang tak lelah digagas ayahnya. Dia ingin ayahnya menghentikannya. Kali ini sungguh-sungguh berhenti.Kate tak menduga ayahnya telah mendengar insiden memalukannya semalam. Agaknya, mulut pria mantan ‘calon suami’-nya tak bisa dijaga. Dia pasti sudah membocorkan informasi itu. Dari mana ayahnya tahu jika bukan saksi peristiwa itu yang berbicara? Hanya ada dia, pria itu, dan Liam yang berkepentingan dan memiliki akses langsung dengan ayahnya. Liam tidak mungkin melakukannya. Jadi, pasti pria itu pelakunya.“No, Dad. Hubunganku dengan Liam nggak lebih dari rekan kerja. Semalam Liam mabuk dan aku hanya membantunya,” kilah Kate, berharap ayahnya percaya akan kebohonganny
Kate hanya diam mematung melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Bukan visi indah, melainkan adegan yang tak sepantasnya dilakukan di ruang kerja. Dua orang itu saling berciuman. Satu tangan sang pria memegang tengkuk si wanita, sementara tangan lainnya berlabuh di pinggang ramping itu dan membawanya semakin erat ke tubuhnya. Terlihat sekali pria itu mendominasi dengan kelihaian bibirnya yang membuat si wanita semakin menikmati permainannya. Suara peraduan bibir mereka memenuhi seluruh ruangan. Mereka saling mencecap rasa masing-masing dengan lidah yang bertautan untuk saling menggoda. Sebuah ciuman yang dalam dan panas hingga desahan sesekali lolos, meski teredam oleh gairah panas mereka. Kate menelan ludahnya dengan susah payah. Pemandangan itu menghadirkan sensasi aneh di tubuhnya. Perutnya serasa diaduk dan bibirnya ikut mendambakan ciuman panas itu. Sialan! Dan lebih sial lagi, kenapa ingatannya kembali pada kejadian malam itu--detik-detik saat L
Liam selalu tahu apa yang diinginkannya. Wanita dan kebebasan.Dia tidak ingat kapan semua itu dimulai. Namun, memorinya dengan jelas merekam masa lalunya yang menyedihkan. Dan semuanya bermula dari wanita.Liam muda merupakan pria lugu yang bahkan tak pernah terpikir untuk memainkan hati perempuan. Dia begitu setia pada satu wanita dan bertekad untuk menyerahkan seluruh hatinya pada sang pujaan hati. Namun ternyata, kenyataan pahit menghantamnya. Dia dikhianati. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali hingga sempat membuatnya mempertanyakan nilai dirinya sendiri. Sebegitu tak berhargakah dia?Dia berhasil bangkit, tentu saja. Meski terseok-seok dan penuh luka, dia berhasil menemukan kembali jati dirinya. Atau bisa dibilang, dia menemukan versi baru dari dirinya.Liam tahu bahwa dia cerdas. Dia adalah tipe pembelajar cepat. Jadi, dia menggunakan seluruh kemampuan dan tekadnya untuk menapaki karir. Dia memulai dari posisi bawah; menjadi karyawan yang tak d
“Kapan kamu akan mengenalkan seseorang pada Ayah?” tanya Howard di suatu makan siang bersama putrinya. Akhir pekan ini, dia sengaja mengajak Kate makan siang di luar bersama. Sudah lebih dari seminggu dirinya tak berada di rumah karena harus melakukan beberapa perjalanan bisnis. Dan selama itu pula dia tak bersua dengan putri semata wayangnya itu. Jadi, makan siang bersama di restoran keluarga favorit mereka merupakan pilihan yang tepat. Dan tentunya, dengan tujuan lain, yakni membahas kesepakatan mereka tempo hari.“Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kamu menyetujui persyaratan Ayah.” Howard melanjutkan, yang secara tidak langsung mengingatkan Kate akan tenggat waktu dalam perjanjian tak tertulis mereka. “Kalau kamu belum menemukan calon suami, Ayah bisa membantu,” imbuhnya, tak henti memberikan saran mengingat sifat putrinya yang antipati pada pria.Mendengar perkataan sang Ayah, Kate ingin sekali memprotesnya. Lagi-lagi soal pe
“Maaf sudah mengganggu akhir pekanmu.” Howard berujar usai mempersilakan Liam duduk dan bergabung bersama mereka—dirinya dan sang putri.“Tenang saja, Howard. Aku sedang sibuk dengan buku bacaanku saat kamu meneleponku tadi,” balas Liam yang memilih duduk di kursi kosong di sebelah Howard. Sebuah jawaban yang nyaris membuat Kate tersedak oleh minumannya sendiri.“Kamu nggak apa-apa, Kate?” Liam menyelipkan nada khawatir dalam suaranya kala dilihatnya Kate mulai terbatuk-batuk sembari menutupi mulut dengan salah satu tangannya. Dia bahkan akan berdiri untuk membantu Kate yang langsung dicegah oleh wanita itu.“I’m okay,” tolak Kate, masih terbatuk, meski dengan intensitas yang berkurang. Dan setelah tak ada yang menyumbat jalur pernapasannya, dia menghirup napas panjang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyuplai kebutuhannya yang sempat tersendat.“
“Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. “Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. “Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate meno
“Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu
Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
Kate menatap tidak percaya pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Sesosok wanita dengan gaun kebesarannya tengah memandang balik dengan kerutan di kening. Benarkah itu dirinya?Bukan. Bukan karena figur itu terlihat amat berbeda dari Kate yang biasanya—nyatanya memang berbeda—atau fakta bahwa dirinya sedang mencoba gaun pengantin—dia sudah cukup sering melakukannya. Namun kenyataan bahwa dia akan mengenakan gaun pengantinlah yang membuat kewarasannya sedikit terganggu. Kate akan mengadakan pesta pernikahan dengan dia yang menjadi bintang utama. Sungguh sulit dipercaya.“Ini bukan seleramu, Kate.” Joanna berkomentar usai membantu Kate mengepaskan baju yang sedang dicoba wanita itu ke tubuh semampainya. Sesekali dia memiringkan kepalanya karena merasa gaun tersebut sangat-sangat tidak cocok untuk Kate.“Aku cuma mencoba. Siapa tahu ini merupakan selera Liam?” jawab Kate sekenanya.“Lalu, kalau Liam suka, ka
Bernegosiasi dengan sang ayah, Kate bukannya tidak mencoba. Segala cara sudah dia lakukan untuk merayu Howard agar memikirkan kembali keputusannya, serta memuluskan permintaannya; tidak ada pesta pernikahan. Hasilnya? Nihil. Ayahnya cukup pandai untuk segera menyela dan menghentikannya bahkan sebelum apa yang akan dikatakannya terlontar dari bibirnya. Yah, tidah heran mengingat sifat itu pun dimiliki olehnya. Keras kepala dan teguh.Dia bisa saja marah. Semua rencana yang telah tersusun apik terpaksa buyar. Tidak seluruhnya, memang. Namun, tetap saja pesta pernikahan akan memberi perbedaan pada kehidupannya kelak. Dia ingin semuanya tenang dan tersembunyi. Tapi, agaknya, Howard tidak sependapat dengannya. Pesta pernikahannya harus terlaksana. Titik.Maka, dengan berat hati dia menuruti keinginan sang Ayah. Dan dengan rasa yang sama pula dia mendatangi butik yang tempo hari Howard beritahukan lewat pesan. Bersama Liam, tentu saja. Siapa lagi?&l
“Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar
Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat
Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
“Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu
“Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. “Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. “Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate meno
“Maaf sudah mengganggu akhir pekanmu.” Howard berujar usai mempersilakan Liam duduk dan bergabung bersama mereka—dirinya dan sang putri.“Tenang saja, Howard. Aku sedang sibuk dengan buku bacaanku saat kamu meneleponku tadi,” balas Liam yang memilih duduk di kursi kosong di sebelah Howard. Sebuah jawaban yang nyaris membuat Kate tersedak oleh minumannya sendiri.“Kamu nggak apa-apa, Kate?” Liam menyelipkan nada khawatir dalam suaranya kala dilihatnya Kate mulai terbatuk-batuk sembari menutupi mulut dengan salah satu tangannya. Dia bahkan akan berdiri untuk membantu Kate yang langsung dicegah oleh wanita itu.“I’m okay,” tolak Kate, masih terbatuk, meski dengan intensitas yang berkurang. Dan setelah tak ada yang menyumbat jalur pernapasannya, dia menghirup napas panjang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyuplai kebutuhannya yang sempat tersendat.“
“Kapan kamu akan mengenalkan seseorang pada Ayah?” tanya Howard di suatu makan siang bersama putrinya. Akhir pekan ini, dia sengaja mengajak Kate makan siang di luar bersama. Sudah lebih dari seminggu dirinya tak berada di rumah karena harus melakukan beberapa perjalanan bisnis. Dan selama itu pula dia tak bersua dengan putri semata wayangnya itu. Jadi, makan siang bersama di restoran keluarga favorit mereka merupakan pilihan yang tepat. Dan tentunya, dengan tujuan lain, yakni membahas kesepakatan mereka tempo hari.“Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kamu menyetujui persyaratan Ayah.” Howard melanjutkan, yang secara tidak langsung mengingatkan Kate akan tenggat waktu dalam perjanjian tak tertulis mereka. “Kalau kamu belum menemukan calon suami, Ayah bisa membantu,” imbuhnya, tak henti memberikan saran mengingat sifat putrinya yang antipati pada pria.Mendengar perkataan sang Ayah, Kate ingin sekali memprotesnya. Lagi-lagi soal pe