“Kapan kamu akan mengenalkan seseorang pada Ayah?” tanya Howard di suatu makan siang bersama putrinya. Akhir pekan ini, dia sengaja mengajak Kate makan siang di luar bersama. Sudah lebih dari seminggu dirinya tak berada di rumah karena harus melakukan beberapa perjalanan bisnis. Dan selama itu pula dia tak bersua dengan putri semata wayangnya itu. Jadi, makan siang bersama di restoran keluarga favorit mereka merupakan pilihan yang tepat. Dan tentunya, dengan tujuan lain, yakni membahas kesepakatan mereka tempo hari.
“Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kamu menyetujui persyaratan Ayah.” Howard melanjutkan, yang secara tidak langsung mengingatkan Kate akan tenggat waktu dalam perjanjian tak tertulis mereka. “Kalau kamu belum menemukan calon suami, Ayah bisa membantu,” imbuhnya, tak henti memberikan saran mengingat sifat putrinya yang antipati pada pria.
Mendengar perkataan sang Ayah, Kate ingin sekali memprotesnya. Lagi-lagi soal perjodohan. Kenapa ayahnya suka sekali mencarikan kandidat untuk calon suaminya? Apakah itu adalah hobi baru ayahnya?
Namun, semua protes itu tak dapat dia keluarkan. Tenggorokannya serasa tercekat oleh kenyataan bahwa hampir sebulan telah berlalu. Dan dia belum menemukan seseorang untuk yang tepat.
Kate bukannya tidak berusaha. Dia sudah menyeleksi pria-pria yang pernah dan yang ada di sekitarnya. Bahkan, dia juga sudah meminta teman-teman wanitanya untuk merekomendasikan seseorang yang dapat dijadikan pasangan. Tapi, nihil. Dia selalu bisa menemukan keburukan mereka. Satu cela yang tak sanggup ditoleransi olehnya.
Howard melihat kebimbangan di mata hazel Kate—warna serupa dengan milik istrinya. Seketika, rasa iba merambati hatinya. Sejujurnya, dia tak tega memaksa putrinya. Putri kecilnya—dia selalu menganggapnya demikian—terlalu berharga untuk mengikuti paksaan orang lain, termasuk dirinya.
Tetapi, Kate yang memutuskan untuk tidak menikah, memunculkan ketakutan Howard. Dia takut Kate akan sendirian kala dirinya tak ada lagi di sampingnya. Dan dia tahu betul betapa sepinya hidup sendiri.
Kematian istri yang sangat dicintainya telah membuatnya merasakan rasa itu. Dia berhasil bangkit berkat Kate di sisinya. Dia hidup demi putrinya. Baginya, kebahagiaan Kate juga adalah bahagianya. Tidak ada yang lebih penting dari hal tersebut.
Howard ingin Kate memiliki seseorang itu dalam hidupnya. Seseorang yang akan mendampinginya dan membahagiakan putrinya. Seseorang yang berharga bagi Kate sehingga dapat memotivasinya untuk terus hidup dalam kebahagian.
Lagi pula, ini adalah keinginan istrinya. Ibu Kate ingin sekali melihat Kate tumbuh dewasa, menikah, dan bahagia bersama keluarganya. Sayangnya, keinginan itu tak pernah terwujud karena istrinya lebih dulu pergi meninggalkan dunia ini saat Kate masih berusia empat belas tahun. Dan dia akan melakukannya demi memenuhi keinginan sang istri.
Oleh karena itu, dia merencanakan perjodohan untuk Kate. Tapi, memang dasar sifat Kate yang keras kepala ditambah dengan keteguhannya, putrinya itu menolak semua pria yang dikenalkan padanya. Ancaman itu merupakan pilihan terakhirnya kala dirinya tak kunjung melihat Kate berubah. Dia tahu putrinya akan tunduk karena Kate tak akan semudah itu menyerahkan kepemilikan perusahaan keluarga mereka kepada orang lain.
“Kalian nggak perlu buru-buru menikah. Kalian bisa menggunakan waktu satu atau dua bulan untuk lebih saling mengenal. Dan kalaupun tetap dirasa nggak cocok, Ayah masih punya banyak nama untuk menggantikannya.”
Kate sedikit melotot mendengar kalimat terakhir Howard, seolah-olah ayahnya sedang menawarkan baju padanya, bukan calon suami. Setelah dicoba dan dirasa cocok, dia bisa memutuskan untuk memiliki atau menolaknya. Sungguh kasihan sekali nasib mereka.
Tunggu, tunggu. Kenapa dia harus bersimpati pada mereka? Seharusnya dia-lah orang yang patut dikasihani karena mesti menerima mereka dalam hidupnya. Dia hanya jemu membayangkan berapa banyak lagi lelaki yang harus ditemuinya.
“Apa yang membuat Ayah berpikir mereka layak menjadi suamiku?” Kate terdengar menggerutu saat melontarkan pertanyaannya.
Howard terdiam sejenak memikirkan jawaban pertanyaan itu. “Satu dan banyak hal. Tapi, Kate sayang, keputusan akhir tetap berada di tanganmu. Kamu sendirilah yang paling tahu siapa yang pantas untukmu.”
“Kalau keputusan akhir di tanganku, harusnya Ayah menerima keputusanku untuk hidup melajang dan tidak menikah,” kekeh Kate.
Howard menggelengkan kepalanya dramatis. “Itu dua hal yang berbeda, Sayang. Dan ingat, kamu sudah setuju. Jangan buat Ayah mempersingkat tenggat waktunya.” Ancaman itu terucap dalam ketenangan yang memuakkan.
Kate mengetatkan genggaman pada sendok dan garpu di masing-masing tangannya. Agaknya, memang, tak ada pilihan lain baginya selain mengikuti keinginan Howard. Pria paruh baya itu sangat tahu bagaimana mengalahkannya.
Helaan napas keluar dari bibirnya. “Kali ini, siapa yang ingin Ayah kenalkan padaku?” tanyanya, memilih untuk pasrah.
“Oh, akhirnya kamu setuju dengan ide Ayah?” Raut cerah menghiasi wajah Howard begitu melihat reaksi positif Kate.
Kate meletakkan alat makannya ke atas meja. Lalu, dia memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menyentuh sandaran kursi. Kedua tangannya bersidekap, menunjukkan sisa-sisa dari sikap defensifnya. “Well, Ayah nggak memberikan pilihan lain untukku.” Nada suaranya terdengar skeptis.
Sorot mata Howard melunak menatap putrinya. “Ayah cuma ingin melihatmu bahagia,” balasnya lembut.
Ya, Kate amat tahu akan hal itu. Dia mengerti Howard menginginkan kebahagiaannya. Yah, meski kebahagiaan versinya dan sang ayah berbeda jauh. “I know.” Dia berujar lirih, hampir tanpa suara.
“Sekali lagi Ayah tegaskan, masih banyak nama lain yang siap menggantikan, kalau-kalau kamu menolak yang satu ini.” Howard mengingatkan.
Rasa-rasanya, Kate ingin tertawa mendengar ucapan Howard. Ayahnya itu terkadang lucu juga. Tidak ingin membuat Kate tertekan, namun di lain sisi tetap memaksanya mengikuti kehendaknya. “Iya, Dad. Siapa?” Dia mulai tak sabar.
Howard melirik arloji di tangannya, kemudian berkata, “Sebentar lagi dia sampai.”
Jawaban itu memunculkan kernyit di dahi Kate. Rupanya, Howard sudah merencanakan semuanya. Makan siang ini hanyalah kedok di balik tujuan sebenarnya sang ayah. Tapi, bagaimana jika Kate kekeh menolak gagasan Howard? Apa yang akan terjadi pada pertemuan terencana ini?
“Oh, itu dia!”
Spontan, Kate menoleh. Matanya menyipit tatkala medapati seseorang tak asing yang berdiri dalam arah pandang Howard. Dan saat itulah kesadaran menghantamnya.
Kate mengembalikan tatapannya pada Howard. Manik mata itu membesar seiring dengan asumsi konyol yang memasuki benaknya. “Ayah nggak serius, bukan?” Dia tak bisa menyembunyikan keterkejutan dan rasa tak percayanya dalam suaranya.
“Ayah serius, Sayang. Memang dialah orangnya.”
“Dad!” seru Kate, tak lagi memperlihatkan ketenangannya. “Kenapa harus dia? Apa Ayah nggak punya nama lain?” tanyanya, nyaris frustasi dibuatnya.
“Ayah pikir dia kandidat yang tepat. Kalian sudah saling mengenal. Dan Ayah rasa hubungan kalian berdua cukup dekat.”
Kate sungguh ingin merutuki pemikiran ayahnya. Orang itu dan dirinya dekat? Jangan main-main! Tidak ada satu pun indikasi yang mengarah pada kesimpulan Howard, kecuali…
Ya, kecuali ciuman itu.
Dasar pria berengsek!
“Apa Ayah nggak tahu reputasi dia di kantor? Dia itu-“
“Ayah tahu,” potong Howard cepat. “Tapi di balik sifat buruknya itu, dia adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab. Ingat, Sayang. Nggak ada manusia yang sempurna. Dan mungkin, dia membutuhkanmu untuk berubah.”
Kate mendengus pelan. Berubah? Perubahan seperti apa yang ayahnya harapkan?
“Kamu cuma perlu mencobanya,” bujuk Howard lagi.
Kate membuka mulutnya dan bersiap untuk membalas perkataan Howard, tepat ketika orang yang menjadi topik pembicaraan sampai di meja mereka.
“Selamat siang, Mr. dan Miss Whitelaw,” sapanya ramah dengan senyum tersungging di bibirnya.
Itu dia.
Liam Ortiz.
Siapa lagi?
“Maaf sudah mengganggu akhir pekanmu.” Howard berujar usai mempersilakan Liam duduk dan bergabung bersama mereka—dirinya dan sang putri.“Tenang saja, Howard. Aku sedang sibuk dengan buku bacaanku saat kamu meneleponku tadi,” balas Liam yang memilih duduk di kursi kosong di sebelah Howard. Sebuah jawaban yang nyaris membuat Kate tersedak oleh minumannya sendiri.“Kamu nggak apa-apa, Kate?” Liam menyelipkan nada khawatir dalam suaranya kala dilihatnya Kate mulai terbatuk-batuk sembari menutupi mulut dengan salah satu tangannya. Dia bahkan akan berdiri untuk membantu Kate yang langsung dicegah oleh wanita itu.“I’m okay,” tolak Kate, masih terbatuk, meski dengan intensitas yang berkurang. Dan setelah tak ada yang menyumbat jalur pernapasannya, dia menghirup napas panjang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyuplai kebutuhannya yang sempat tersendat.“
“Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. “Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. “Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate meno
“Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu
Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat
“Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar
Bernegosiasi dengan sang ayah, Kate bukannya tidak mencoba. Segala cara sudah dia lakukan untuk merayu Howard agar memikirkan kembali keputusannya, serta memuluskan permintaannya; tidak ada pesta pernikahan. Hasilnya? Nihil. Ayahnya cukup pandai untuk segera menyela dan menghentikannya bahkan sebelum apa yang akan dikatakannya terlontar dari bibirnya. Yah, tidah heran mengingat sifat itu pun dimiliki olehnya. Keras kepala dan teguh.Dia bisa saja marah. Semua rencana yang telah tersusun apik terpaksa buyar. Tidak seluruhnya, memang. Namun, tetap saja pesta pernikahan akan memberi perbedaan pada kehidupannya kelak. Dia ingin semuanya tenang dan tersembunyi. Tapi, agaknya, Howard tidak sependapat dengannya. Pesta pernikahannya harus terlaksana. Titik.Maka, dengan berat hati dia menuruti keinginan sang Ayah. Dan dengan rasa yang sama pula dia mendatangi butik yang tempo hari Howard beritahukan lewat pesan. Bersama Liam, tentu saja. Siapa lagi?&l
Kate menatap tidak percaya pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Sesosok wanita dengan gaun kebesarannya tengah memandang balik dengan kerutan di kening. Benarkah itu dirinya?Bukan. Bukan karena figur itu terlihat amat berbeda dari Kate yang biasanya—nyatanya memang berbeda—atau fakta bahwa dirinya sedang mencoba gaun pengantin—dia sudah cukup sering melakukannya. Namun kenyataan bahwa dia akan mengenakan gaun pengantinlah yang membuat kewarasannya sedikit terganggu. Kate akan mengadakan pesta pernikahan dengan dia yang menjadi bintang utama. Sungguh sulit dipercaya.“Ini bukan seleramu, Kate.” Joanna berkomentar usai membantu Kate mengepaskan baju yang sedang dicoba wanita itu ke tubuh semampainya. Sesekali dia memiringkan kepalanya karena merasa gaun tersebut sangat-sangat tidak cocok untuk Kate.“Aku cuma mencoba. Siapa tahu ini merupakan selera Liam?” jawab Kate sekenanya.“Lalu, kalau Liam suka, ka
Kate menatap tidak percaya pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Sesosok wanita dengan gaun kebesarannya tengah memandang balik dengan kerutan di kening. Benarkah itu dirinya?Bukan. Bukan karena figur itu terlihat amat berbeda dari Kate yang biasanya—nyatanya memang berbeda—atau fakta bahwa dirinya sedang mencoba gaun pengantin—dia sudah cukup sering melakukannya. Namun kenyataan bahwa dia akan mengenakan gaun pengantinlah yang membuat kewarasannya sedikit terganggu. Kate akan mengadakan pesta pernikahan dengan dia yang menjadi bintang utama. Sungguh sulit dipercaya.“Ini bukan seleramu, Kate.” Joanna berkomentar usai membantu Kate mengepaskan baju yang sedang dicoba wanita itu ke tubuh semampainya. Sesekali dia memiringkan kepalanya karena merasa gaun tersebut sangat-sangat tidak cocok untuk Kate.“Aku cuma mencoba. Siapa tahu ini merupakan selera Liam?” jawab Kate sekenanya.“Lalu, kalau Liam suka, ka
Bernegosiasi dengan sang ayah, Kate bukannya tidak mencoba. Segala cara sudah dia lakukan untuk merayu Howard agar memikirkan kembali keputusannya, serta memuluskan permintaannya; tidak ada pesta pernikahan. Hasilnya? Nihil. Ayahnya cukup pandai untuk segera menyela dan menghentikannya bahkan sebelum apa yang akan dikatakannya terlontar dari bibirnya. Yah, tidah heran mengingat sifat itu pun dimiliki olehnya. Keras kepala dan teguh.Dia bisa saja marah. Semua rencana yang telah tersusun apik terpaksa buyar. Tidak seluruhnya, memang. Namun, tetap saja pesta pernikahan akan memberi perbedaan pada kehidupannya kelak. Dia ingin semuanya tenang dan tersembunyi. Tapi, agaknya, Howard tidak sependapat dengannya. Pesta pernikahannya harus terlaksana. Titik.Maka, dengan berat hati dia menuruti keinginan sang Ayah. Dan dengan rasa yang sama pula dia mendatangi butik yang tempo hari Howard beritahukan lewat pesan. Bersama Liam, tentu saja. Siapa lagi?&l
“Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar
Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat
Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
“Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu
“Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. “Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. “Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate meno
“Maaf sudah mengganggu akhir pekanmu.” Howard berujar usai mempersilakan Liam duduk dan bergabung bersama mereka—dirinya dan sang putri.“Tenang saja, Howard. Aku sedang sibuk dengan buku bacaanku saat kamu meneleponku tadi,” balas Liam yang memilih duduk di kursi kosong di sebelah Howard. Sebuah jawaban yang nyaris membuat Kate tersedak oleh minumannya sendiri.“Kamu nggak apa-apa, Kate?” Liam menyelipkan nada khawatir dalam suaranya kala dilihatnya Kate mulai terbatuk-batuk sembari menutupi mulut dengan salah satu tangannya. Dia bahkan akan berdiri untuk membantu Kate yang langsung dicegah oleh wanita itu.“I’m okay,” tolak Kate, masih terbatuk, meski dengan intensitas yang berkurang. Dan setelah tak ada yang menyumbat jalur pernapasannya, dia menghirup napas panjang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyuplai kebutuhannya yang sempat tersendat.“
“Kapan kamu akan mengenalkan seseorang pada Ayah?” tanya Howard di suatu makan siang bersama putrinya. Akhir pekan ini, dia sengaja mengajak Kate makan siang di luar bersama. Sudah lebih dari seminggu dirinya tak berada di rumah karena harus melakukan beberapa perjalanan bisnis. Dan selama itu pula dia tak bersua dengan putri semata wayangnya itu. Jadi, makan siang bersama di restoran keluarga favorit mereka merupakan pilihan yang tepat. Dan tentunya, dengan tujuan lain, yakni membahas kesepakatan mereka tempo hari.“Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kamu menyetujui persyaratan Ayah.” Howard melanjutkan, yang secara tidak langsung mengingatkan Kate akan tenggat waktu dalam perjanjian tak tertulis mereka. “Kalau kamu belum menemukan calon suami, Ayah bisa membantu,” imbuhnya, tak henti memberikan saran mengingat sifat putrinya yang antipati pada pria.Mendengar perkataan sang Ayah, Kate ingin sekali memprotesnya. Lagi-lagi soal pe