Kate hanya diam mematung melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Bukan visi indah, melainkan adegan yang tak sepantasnya dilakukan di ruang kerja.
Dua orang itu saling berciuman. Satu tangan sang pria memegang tengkuk si wanita, sementara tangan lainnya berlabuh di pinggang ramping itu dan membawanya semakin erat ke tubuhnya. Terlihat sekali pria itu mendominasi dengan kelihaian bibirnya yang membuat si wanita semakin menikmati permainannya.
Suara peraduan bibir mereka memenuhi seluruh ruangan. Mereka saling mencecap rasa masing-masing dengan lidah yang bertautan untuk saling menggoda. Sebuah ciuman yang dalam dan panas hingga desahan sesekali lolos, meski teredam oleh gairah panas mereka.
Kate menelan ludahnya dengan susah payah. Pemandangan itu menghadirkan sensasi aneh di tubuhnya. Perutnya serasa diaduk dan bibirnya ikut mendambakan ciuman panas itu. Sialan! Dan lebih sial lagi, kenapa ingatannya kembali pada kejadian malam itu--detik-detik saat Liam menempelkan bibirnya di atas miliknya?
Dia mendengus. Mendadak, rasa kecewa merambati hatinya. Tunggu. Kecewa? Tidak mungkin. Dia cuma merasa kesal. Ya, ini pasti hanya kekesalannya karena Liam tak melakukan hal serupa padanya.
Eh?
Tidak. Ini salah.
Kate menggelengkan kepalanya cukup keras untuk menghapus pemikiran aneh yang merasuki otaknya. Liam dan ciuman panasnya. Bagaimana mungkin dia juga menginginkannya?
Reaksi Kate agaknya berhasil menarik perhatian dua orang yang kini telah melepaskan tautan bibir mereka. Kedua tubuh dewasa itu menjauh dan salah satunya tampak menunjukkan keterkejutannya melihat Kate berdiri di ambang pintu dan tentu saja, menyaksikan perilaku mereka.
“Mi-Miss Whitelaw,” sang wanita yang merupakan sekretaris Liam memanggil nama Kate dengan sedikit terbata.
Mendengar panggilan itu, Kate kembali menguasai diri dan memasang raut tenangnya seolah-olah ciuman mereka tak sempat mempengaruhinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Dia bertanya dengan nada angkuhnya.
“Well, technically ini adalah kantorku,” Liam mulai menjawab.
“Not you,” potong Kate cepat. Dia menatap Liam tajam sebelum beralih pada sekretaris pria itu yang berdiri canggung di dekatnya. “Maksudku kau.” Dia menunjuk sang sekretaris dengan sorot tajamnya.
“Kate,” panggil Liam pelan.
“Keluar! Sekarang juga!”
Dan sekretaris Liam pun bergegas keluar dari ruangan tersebut. Kate menanti hingga wanita itu hilang dari pandangannya dan pintu di belakangnya kembali menutup.
“Sikapmu tadi bisa menimbulkan asumsi yang salah tentang kita,” tukas Liam seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Gaya santai yang membuat Kate mendecih muak.
“Apa kamu lupa bahwa ini adalah kantor, Mr. Ortiz? Dan kamu pasti ingat peraturannya.” Kate mencibir kelakuan Liam. Lelaki itu memang tidak tahu malu. Berani-beraninya dia berbuat mesum di area kantor dan di jam kerja pula.
“Mungkin kamu sedang berkhayal. Jelas-jelas tadi aku sedang berdiskusi dengan sekretarisku saat kamu masuk tanpa pemberitahuan.”
See? Bisa-bisanya dia mengarang alasan absurd itu. Hanya Liam dan cuma dia satu-satunya yang berani melakukannya. Sekali lagi, karena dia berbakat. Perusahaannya masih membutuhkan kemampuan Liam. Oleh sebab itulah, mereka menutup mata pada keburukan Liam selama pria itu masih menghasilkan keuntungan bagi Whitelaw Corp.
Kate benci mengakuinya, tapi semua itu memang benar.
“Harusnya kamu mengetuk pintu sebelum masuk.”
Kate memutar bola matanya malas. “Sekretarismu pasti terburu-buru untuk segera berdiskusi denganmu sampai-sampai lupa menutup pintu dengan benar. Aku bahkan bisa mengintip dari luar betapa sibuknya kalian berdiskusi.” Dia berkata dengan nada sarkastisnya.
“Wah, wah. Aku nggak tahu kamu sebegitu perhatiannya pada diriku. Aku sangat tersanjung.”
Fix! Lelaki itu memang sakit.
“Perlu aku ingatkan, Mr. Ortiz. Aku bisa memecatmu kapan saja,” ancam Kate, mengingatkan Liam akan siapa dirinya.
Liam mengendikkan bahunya santai. “Silakan saja. Aku yakin Whitelaw Corporation akan mengalami kerugian besar dengan memecat talent terbaiknya,” balasnya acuh tak acuh. “Lagi pula, hanya ayahmu yang bisa memecatku.”
Kate mengepalkan kedua tangannya, geram. Pria itu selalu tahu bagaimana membangkitkan emosinya. Ah, cuma mendengar namanya saja sudah memunculkan rasa muak.
Liam bergerak untuk mengambil jasnya yang sengaja dia sampirkan pada sandaran kursi kerjanya. Dengan cekatan, dia mengenakan jas hitam tersebut sembari melangkahkan kaki ke arah Kate. “Ayo,” ujarnya tepat di hadapan wanita itu.
Bak orang bodoh, Kate membalas, “Hah?”
Sebuah kerutan tercetak di dahi Liam. “Kita mempunyai janji makan siang dengan CEO Darts Group. Kamu kemari untuk alasan itu, bukan?” Dia mempertanyakan reaksi Kate yang menurutnya janggal itu.
“Ayo, atau kita akan terlambat,” ajaknya lagi. Kali ini, dia mulai begerak mendahului Kate dengan membuka pintu kantornya dan sengaja membiarkannya terbuka sambil berucap, “Ladies first.”
Kate setengah tak percaya melihat perubahan sikap Liam yang mendadak tersebut. Dari yang awalnya terpergok tengah berdiskusi mesra dengan sekretarisnya, respon santai menghadapi ancamannya, dan kini beralih menjadi COO profesional yang tidak ingin terlambat menghadiri pertemuan bisnis. Padahal, jika dia tak menginjakkan kakinya di kantor pria itu, Kate yakin mereka akan benar-benar terlambat.
Namun, Kate sudah malas untuk mendebat Liam. Lebih cepat mereka pergi, lebih baik. Pertemuan mereka segera terlaksana, dan dia dapat secepatnya lepas dari Liam. Ralat. Bebas.
Kate berjalan melewati Liam tanpa ada niatan untuk menoleh ke arahnya, apalagi mengatakan terima kasih. Dia terus mengayunkan kakinya menuju lift, tak peduli rekan kerjanya masih tertinggal di belakang. Dan tentu saja, dia mengabaikan sekretaris Lima ketika mereka berpapasan.
“Kamu benar-benar terlihat seperti wanita yang sedang cemburu,” komentar Liam usai pintu lift yang mereka tumpangi menutup dengan sempurna.
Melalui pantulan dinding-dinding lift, Liam bisa melihat Kate meliriknya tajam. Tapi, dia mana peduli. Atau justru dia suka menyaksikan wanita itu bereaksi demikian. “Apa kamu nggak melihat ekpresi ketakutan Anna saat berpapasan denganmu tadi? Dia pasti menyangka kamu sedang cemburu padanya.”
“Yang benar saja?!” Kate nyaris frustasi karena Liam tak hentinya membuat emosinya naik.
“Maka dari itu, aku ingin menanyakan langsung padamu. Apa kamu sedang cemburu?”
“Never!” tukas Kate cepat.
Liam menghela napas seolah-olah jawaban Kate memberikan kelegaan untuknya. “Syukurlah. Aku takut kamu benar-benar cemburu. Terlebih setelah insiden ciuman itu, aku sangat takut kamu jatuh cinta padaku.”
Dan Kate sungguh ingin menenggelamkan Liam ke dasar samudra terdalam agar pria itu tak pernah lagi muncul ke permukaan. Atau mungkin, dia akan meminta NASA membuang manusia memuakkan itu ke luar angkasa dan memutus kemungkinan untuk kembali ke bumi tempatnya berpijak.
Apa pun itu, asalkan Liam bisa lenyap selamanya, dia akan melakukannya. Ini juga demi ketenangan kehidupan di bumi. Kehilangan satu sosok pria seperti Liam, walaupun pengaruhnya sangat kecil, tetapi cukup membantu menciptakan kedamaian. Setidaknya, bagi Kate dan ketenangan hidup yang dia dambakan.
Setuju?
Liam selalu tahu apa yang diinginkannya. Wanita dan kebebasan.Dia tidak ingat kapan semua itu dimulai. Namun, memorinya dengan jelas merekam masa lalunya yang menyedihkan. Dan semuanya bermula dari wanita.Liam muda merupakan pria lugu yang bahkan tak pernah terpikir untuk memainkan hati perempuan. Dia begitu setia pada satu wanita dan bertekad untuk menyerahkan seluruh hatinya pada sang pujaan hati. Namun ternyata, kenyataan pahit menghantamnya. Dia dikhianati. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali hingga sempat membuatnya mempertanyakan nilai dirinya sendiri. Sebegitu tak berhargakah dia?Dia berhasil bangkit, tentu saja. Meski terseok-seok dan penuh luka, dia berhasil menemukan kembali jati dirinya. Atau bisa dibilang, dia menemukan versi baru dari dirinya.Liam tahu bahwa dia cerdas. Dia adalah tipe pembelajar cepat. Jadi, dia menggunakan seluruh kemampuan dan tekadnya untuk menapaki karir. Dia memulai dari posisi bawah; menjadi karyawan yang tak d
“Kapan kamu akan mengenalkan seseorang pada Ayah?” tanya Howard di suatu makan siang bersama putrinya. Akhir pekan ini, dia sengaja mengajak Kate makan siang di luar bersama. Sudah lebih dari seminggu dirinya tak berada di rumah karena harus melakukan beberapa perjalanan bisnis. Dan selama itu pula dia tak bersua dengan putri semata wayangnya itu. Jadi, makan siang bersama di restoran keluarga favorit mereka merupakan pilihan yang tepat. Dan tentunya, dengan tujuan lain, yakni membahas kesepakatan mereka tempo hari.“Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kamu menyetujui persyaratan Ayah.” Howard melanjutkan, yang secara tidak langsung mengingatkan Kate akan tenggat waktu dalam perjanjian tak tertulis mereka. “Kalau kamu belum menemukan calon suami, Ayah bisa membantu,” imbuhnya, tak henti memberikan saran mengingat sifat putrinya yang antipati pada pria.Mendengar perkataan sang Ayah, Kate ingin sekali memprotesnya. Lagi-lagi soal pe
“Maaf sudah mengganggu akhir pekanmu.” Howard berujar usai mempersilakan Liam duduk dan bergabung bersama mereka—dirinya dan sang putri.“Tenang saja, Howard. Aku sedang sibuk dengan buku bacaanku saat kamu meneleponku tadi,” balas Liam yang memilih duduk di kursi kosong di sebelah Howard. Sebuah jawaban yang nyaris membuat Kate tersedak oleh minumannya sendiri.“Kamu nggak apa-apa, Kate?” Liam menyelipkan nada khawatir dalam suaranya kala dilihatnya Kate mulai terbatuk-batuk sembari menutupi mulut dengan salah satu tangannya. Dia bahkan akan berdiri untuk membantu Kate yang langsung dicegah oleh wanita itu.“I’m okay,” tolak Kate, masih terbatuk, meski dengan intensitas yang berkurang. Dan setelah tak ada yang menyumbat jalur pernapasannya, dia menghirup napas panjang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyuplai kebutuhannya yang sempat tersendat.“
“Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. “Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. “Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate meno
“Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu
Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat
“Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar
Kate menatap tidak percaya pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Sesosok wanita dengan gaun kebesarannya tengah memandang balik dengan kerutan di kening. Benarkah itu dirinya?Bukan. Bukan karena figur itu terlihat amat berbeda dari Kate yang biasanya—nyatanya memang berbeda—atau fakta bahwa dirinya sedang mencoba gaun pengantin—dia sudah cukup sering melakukannya. Namun kenyataan bahwa dia akan mengenakan gaun pengantinlah yang membuat kewarasannya sedikit terganggu. Kate akan mengadakan pesta pernikahan dengan dia yang menjadi bintang utama. Sungguh sulit dipercaya.“Ini bukan seleramu, Kate.” Joanna berkomentar usai membantu Kate mengepaskan baju yang sedang dicoba wanita itu ke tubuh semampainya. Sesekali dia memiringkan kepalanya karena merasa gaun tersebut sangat-sangat tidak cocok untuk Kate.“Aku cuma mencoba. Siapa tahu ini merupakan selera Liam?” jawab Kate sekenanya.“Lalu, kalau Liam suka, ka
Bernegosiasi dengan sang ayah, Kate bukannya tidak mencoba. Segala cara sudah dia lakukan untuk merayu Howard agar memikirkan kembali keputusannya, serta memuluskan permintaannya; tidak ada pesta pernikahan. Hasilnya? Nihil. Ayahnya cukup pandai untuk segera menyela dan menghentikannya bahkan sebelum apa yang akan dikatakannya terlontar dari bibirnya. Yah, tidah heran mengingat sifat itu pun dimiliki olehnya. Keras kepala dan teguh.Dia bisa saja marah. Semua rencana yang telah tersusun apik terpaksa buyar. Tidak seluruhnya, memang. Namun, tetap saja pesta pernikahan akan memberi perbedaan pada kehidupannya kelak. Dia ingin semuanya tenang dan tersembunyi. Tapi, agaknya, Howard tidak sependapat dengannya. Pesta pernikahannya harus terlaksana. Titik.Maka, dengan berat hati dia menuruti keinginan sang Ayah. Dan dengan rasa yang sama pula dia mendatangi butik yang tempo hari Howard beritahukan lewat pesan. Bersama Liam, tentu saja. Siapa lagi?&l
“Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar
Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat
Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
“Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu
“Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. “Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. “Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate meno
“Maaf sudah mengganggu akhir pekanmu.” Howard berujar usai mempersilakan Liam duduk dan bergabung bersama mereka—dirinya dan sang putri.“Tenang saja, Howard. Aku sedang sibuk dengan buku bacaanku saat kamu meneleponku tadi,” balas Liam yang memilih duduk di kursi kosong di sebelah Howard. Sebuah jawaban yang nyaris membuat Kate tersedak oleh minumannya sendiri.“Kamu nggak apa-apa, Kate?” Liam menyelipkan nada khawatir dalam suaranya kala dilihatnya Kate mulai terbatuk-batuk sembari menutupi mulut dengan salah satu tangannya. Dia bahkan akan berdiri untuk membantu Kate yang langsung dicegah oleh wanita itu.“I’m okay,” tolak Kate, masih terbatuk, meski dengan intensitas yang berkurang. Dan setelah tak ada yang menyumbat jalur pernapasannya, dia menghirup napas panjang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyuplai kebutuhannya yang sempat tersendat.“
“Kapan kamu akan mengenalkan seseorang pada Ayah?” tanya Howard di suatu makan siang bersama putrinya. Akhir pekan ini, dia sengaja mengajak Kate makan siang di luar bersama. Sudah lebih dari seminggu dirinya tak berada di rumah karena harus melakukan beberapa perjalanan bisnis. Dan selama itu pula dia tak bersua dengan putri semata wayangnya itu. Jadi, makan siang bersama di restoran keluarga favorit mereka merupakan pilihan yang tepat. Dan tentunya, dengan tujuan lain, yakni membahas kesepakatan mereka tempo hari.“Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kamu menyetujui persyaratan Ayah.” Howard melanjutkan, yang secara tidak langsung mengingatkan Kate akan tenggat waktu dalam perjanjian tak tertulis mereka. “Kalau kamu belum menemukan calon suami, Ayah bisa membantu,” imbuhnya, tak henti memberikan saran mengingat sifat putrinya yang antipati pada pria.Mendengar perkataan sang Ayah, Kate ingin sekali memprotesnya. Lagi-lagi soal pe