Bu nyai Halimah baru saja tiba dari perjalanan ziaroh bersama suami serta jama'ah pengajian kitab Al Mukhtar Min kalamil Akhyar, kitab tasawuf yang menjelas kan ucapan ucapan positif para waliyullah.
"Bah!, Kenapa sepi sekali. Biasa nya jam jam segini Khoirul ngaji kitab di depan, naufal akan ngajar ngaji di masjid. Tapi, kenapa sepi ya, bah?" Bu nyai mengutarakan kegundahan hati nya, pada kyai Amir suami nya."Mungkin, mereka lagi ada kepentingan." Kyai Amir menjawab dengan tenang dengan tangan tak berhenti memutari tasbih, serta hati yang senantiasa berdzikir.Tak berselang lama, Gus Adnan muncul dari balik pintu samping. Gegas dia menyalami umi serta Abah nya."Dari kamar kang kholid umi! Bagaimana umi dan Abah, sehat? Ndak capek. Kan?""Alhamdulillah sehat, le!"Kyai Amir tersenyum dengan bibir yang terus merapal dzikir."Abah, istirahat saja di kamar dulu. Umik mau lihat naufal sama nur dulu ke atas. Nggak tau kenapa, perasaan umi nggak enak!"Kyai Amir menurut berlalu menuju kamar. Di umur yang sudah memasuki kepala enam, menjadi kan tubuh beliau mudah lelah. Mungkin, bila bukan agenda tahunan, ziarah dengan para jamaah, beliau lebih memilih mengajar para santri atau berdiam diri menekuri lembar demi lembar kitab kuning yang telah menemani nya bertahun tahun."Ndak enak gimana, umik?" Kejar Gus Adnan usai memastikan Abah nya bila sudah masuk kamar."Gimana ya Le, beberapa hari ini ziaroh. Jika tidur umi selalu bermimpi Zahra terus. Apa mungkin umi ini sudah jahat. Kok tega nya menikah kan suaminya Zahra pada santri nya sendiri.Gus Adnan bergeming seraya otak nya berfikir memberikan jawaban terbaik bagi wanita yang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan pesantren."Umi jangan berpikir seperti itu. Kita kan sudah meminta izin pada ayah nya mbak Zahra, dan sudah sepatutnya kita juga memikir kan kehidupan mas naufal. Tidak mungkin kita menunggu menunggu mbak Zahra bangun, sedangkan ini sudah berlangsung cukup lama. Satu tahun bukan waktu yang singkat, umik."Halimah menitikkan air mata, begitulah diri nya setiap ada masalah lebih senang mencurah kan gundah nya kepada anak bungsu, meski umur nya masih muda. Tapi dia mampu menenangkan hati ibu nya."Terimakasih telah mengatakan apa yang ingin umi dengar ya, le!"Gus Adnan berusaha memberikan senyum terbaik meski hati nya masih di Liputi rasa hawatir terhadap seseorang di masa lalu nya.Ada rasa penyesalan yang masih kuat bersarang di dalam hati pria berhidung mancung ini. Penyesalan yang terus mengusik bila usai bertemu dengan pemilik nama Zulaikha nuralifiyah sabbath.'zulaikhaku' batin hati adnan dengan menyebut panggilan khusus dirinya untuk nur. Panggilan yang hanya berani ia bubuhkan di atas kertas putih saja dan sekarang hanya berani ia simpan dalam dalam di dasar hati.*****Perempuan bernama lengkap Halimatus sa'diyah itu memandang nur dari ujung atas hingga ujung kaki dengan Mata yang hampir tak berkedip. nur merasa tak nyaman terlebih saat tak sengaja iris gelap nur beradu dengan mata teduh mertua nya."nur, Kau belum jawab umi. Kenapa kamu menangis? Lihat mata mu sembab begitu? Pasti kamu habis menangis, kan, nur?"Jantung nur seketika berdetak lebih cepat, berpacu dengan tatapan umik nya yang seolah menghunus ke dalam dasar hatinya penuh selidik."Mboten umi. Mata nur memang lagi sakit." Bohong nur. Tak mungkin juga bagi dirinya untuk mengatakan perlakuan dingin putra sulung nya. Sedangkan, dia sendiri sangat menjunjung tinggi ajaran Bu nyai untuk mikhul duwur mendhem Jero,. Apapun ia akan lakukan untuk menutupi aib suami."Habis bertengkar dengan suamimu, nduk? Apa naufal memperlakukan mu dengan kasar?"nur diam seribu bahasa. Hampir saja nur menumpah kan air mata nya, bila detik itu juga Gus naufal tak keluar kamar."nur, bisa tolong buat kan kopi? Rasa rasa nya aku kangen sama kopi buatan kamu!" Titah Gus naufal yang dibawahi anggukan nur."Nggeh, mas!" Hanya di depan umi dan Abah kyai, nur berani memanggil dengan sebutan 'mas'. Lain hal bila di kamar berdua dengan suami nya.Lalu pandangan naufal beralih pada wanita yang pernah bertaruh nyawa demi melahirkan nya kedunia."Baru datang, mik?" naufal bertanya dengan sangat sopan."Iya, baru saja.""Wajah kamu pucat sekali, Le? Kamu sakit?" Halimah menyentuh pipi naufal lalu beralih menyingkirkan beberapa untai rambut tebal dan gelap nya dari kening naufal."Alhamdulillah sudah enakan, semua berkat nur. Dia sangat jago dalam urus mengurus suami, mik! Sampai sampai mata nya sakit saja nggak mikirin umik demi naufal.""Alhamdulillah, kalo begitu."Bu nyai mengurung kan niat lebih dalam lagi dia berpikir bahwa semua baik baik saja, terbukti dari sikap naufal kepada nur."Semoga kabar baik cepat datang ya, le. Umi sudah tidak sabar nimang cucu." Tutup Halimah sambil mengelus telapak tangan putra sulung nya.*****Setelah membantu khodimah membersih kan meja makan dapur usai memakan sarapan, nur langsung beranjak ke kamar untuk bersiap siap pergi ke madrasah. Hari ini dia ada dua jam mengajar di kelas yang berbeda. Meski sudah jadi menantu keluarga kyai, Ruti nitas nya tak jauh berbeda sebelum menikah. Selain itu, hari ini adalah hari spesial bagi dirinya juga saudara kembar nya yang berada di mesir. Dimana mereka berdua di lahirkan dalam rentan waktu yang hampir berdekatan."Happy, milad nur" ucapan nur menyelemati diri nya sendiri, sebelum membuka gagang pintu kamar.Ketika pintu terbuka, nur mendapati naufal sedang bersiap siap. Dengan baju lengan pendek bergambar wayang namun outfit nya adalah sarung. Dia tampak sangat cocok dengan pakaian nya itu.naufal menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Sesaat pandangan mereka bertemu, secepatnya naufal mengalihkan pandangan, menyambar ponsel lalu keluar kamar. Tanpa berucap sepatah kata pun pada nur.nur membuang nafas kasar, lalu dia berjalan ke arah meja usai melihat ponsel nya menyala."Sudah di tunggu murid murid nya, neng!" nur tersenyum melihat pesan dari Rahma, sahabat baik nya yang juga masih nyantri di pondok."Oke" send, terkirimGegas nur menuruni anak tangga dengan tergesa gesa, karena jam pelajaran kurang lima menit lagi mulai."Mau ngajar, nduk?" Suara tanya Bu nyai, terpaksa menghentikan langkah nur."Nggeh, umik""Jangan lupa kirim fatikhah dulu pada Mbah mushonnef, biar ilmu nya berkah."Mushonnef sebutan untuk pengarang kitab. Kami sering menyebut nya seperti itu.nur hanya mengiyakan dan berterima kasih atas dawuh beliau."nur, nanti sore habis dhuhur kamu ikut umi ke kota ya. Kita cari gaun buat acara pesta nikahan dek ishna, itu loh putri nya adik ku. Minggu depan dia mau nikahan, sekalian nanti kita mampir ke rumah nya."nur mengangguk pelan "nggeh"*****"Ya ampun, nur. Makin hari makin kurusan saja!" Dia menjerit saat mendongak menatap nur yang memegangi bahu nya dari belakang. nur segera mencubit lengan nya agar segera dia mengecilkan suara nya, karena mereka sedang berada di ruangan asatidz para guru. Tak ada suara seperti itu di tempat asatidz. Dia terkekeh lalu kembali meminum minuman di hadapan nya."Neng...neng, habis nikah bukan muka tambah glowing. Ini malah tambah buram saja." Rahma berdecak sambil menggeleng geleng kan kepala.Rahma melirik sahabat nya, yang terlihat makin kurus. Sebenarnya dia tahu betul bila suami nya yang sekarang bukan lah sosok yang sebenar nya ia harap kan. namun, ia memilih untuk tak ikut campur terlalu dalam dengan masalah nur. Apalagi jika sudah menyangkut rumah tangga orang lain."Lagi tirakat, ma, aku!" Jawab nur malas.Pada hembusan nafas terakhir, Rahma mengingat akan sesuatu. Gegas dia mengambil sesuatu dari dalam tas ransel nya. Dua bingkisan dengan bentuk sama, namun dari orang yang berbeda."Kemarin Abang ku yang dari Mesir, pulang. Dia bawakan itu untuk kamu, kata nya itu titipan dari Abang mu."nur, tersenyum usai mendengar penjelasan Rahma. Tak mungkin nur lupa bagaimana badruz, saudara kembar nya menentang pernikahan antara nur dan Gus naufal, bahkan sempat dia menolak menjadi wali nikah. Namun, pelan pelan nur menjelaskan niat nya untuk mengabdi. meski melewatkan perdebatan yang cukup pelik, akhirnya badruz bersedia menjadi wali nikah, meski hanya lewat taukil saja."Oh iya, Heppy milad ya sahabat terbaik ku. Semoga tambah berkah hidup mu! Maaf, kado dari aku bulan depan ya. Kalo bisyaroh aku sudah turun." Celetuk Rahma polos, mengundang tawa lepas nur."Aamiin, terima kasih do'a nya kawan,"nur mengalihkan pandangan kedua kotak tepat di depannya."Yang satu? dari siapa, ma?"Rahma menatap sebentar, lalu mengingat nya kembali.Rahma menggigit bibir bawahnya, membayang kan respon apa yang akan di berikan nur usai mendengar bingkisan warna putih itu."Dari Gus adnan."Degup jantung nur mulai terpacu kuat, sedikit demi sedikit ia melangkah memasuki area ndalem melewati pintu samping. Meski di belakang nya sudah ber tengger tas ransel yang ia pinjam, guna menutupi dua kotak spesial itu. Namun, tetap saja dia harus waspada."nur"Suara panggilan dari belakang membuat nur terpaksa berhenti. Sambil mengatur detak jantung nya, dia berbalik ke belakang mentap perempuan yang ber- gelar mertua nya sedang berjalan mendekat ke arah nya. Wanita yang bersahaja di usia nya yang tak lagi muda, tersenyum menatap nur."Umik hanya mau kasih tau kamu, jika kita nggak jadi ke kota. Abah mu lagi kurang enak badan, lagian kamu juga sudah di belikan mas mu gaun bagus, nduk,""Nggeh, umik. Mboten nopo""Ya, sudah umik balik ke kamar dulu ya, nduk.""Nggeh, umik!"Sedetik kemudian, Bu nyai dengan langkah halus kembali masuk ke dalam kamar, sedikit pun beliau tak menaruh curiga terhadap isi ransel yang menantu nya bawa.Sepeninggal Bu nyai, nur mengernyitkan dahi, "daun da
Kedatangan Gus naufal dengan kondisi wajah babak belur mengundang tanda tanya dari nur yang ada di dalam kamar Gus naufal. Lelaki itu berjalan dengan langkah gontai seolah di pundak nya terdapat Godam besar yang menjadi beban hidup nya. Awal nya nur tak berani mendekat. Namun, saat melihat Gus naufal meringis kesakitan. Secepat kilat dia mendekat."Duduk dulu Gus, saya obati dulu." Titah nur yang di jawab penolakan halus oleh Gus Naufal "tidak perlu, terima kasih."nur menebal kan telinga nya, tak mau menuruti perkataan Gus Naufal kali ini. Dia segera keluar kamar menuju dapur bersih di dekat kamar. Sengaja ruangan sebelah ia sulap menjadi dapur, meski hanya ada satu kompor dan beberapa panci saja.Gus Naufal menatap kepergian nur ke luar kamar. Istri yang baik dan selalu perhatian. Dia bukan wanita jahat sebenarnya, tapi karena nya Gus Naufal harus menerima pukulan demi pukulan dari rayyan demi mempertahankan posisi nur."Sebaik nya kau cerai kan adik ku saja."Kata kata itu seperti
nur terkadang bertanya tanya pada diri nya sendiri, benarkah kebahagiaan itu benar benar ada di dalam hidup nya? Tidak memiliki orang tuang sedari kecil, hingga terpaksa ia berpisah dengan saudara kembar nya, yang sering ia panggil kang badruz, dan kini, setelah hati nya mulai merasa sedikit berdenyut dengan sikap Gus naufal, seolah semesta tak mengijin kan ia barang sedikit mencicip kebahagiaan lebih lama.nur menghela nafas untuk kesekian kali nya, kala pikiran buruk itu mulai menyerang. Tak sepatut nya kita seorang hamba yang lemah, mengeluh kan garis takdir sang penguasa. Bukan kah sudah puluhan kali dia mendengar pengajian kyai, bahwa semua yang terjadi dalam hidup semua ada hikmah yang tersembunyi di dalam nya. Terkadang, kita tahu akan suatu ilmu suatu perkara dan suatu hukum, tetapi akan mudah lalai kala masalah demi masalah yang menghantam."Astaghfirullahal'adzim...Astaghfirullahal'adzim.." lirih nur sambil terpejam. Tangan nya tak berhenti mencengkeram gamis nya, seolah di
Udara malam yang menusuk tulang , semakin membuat ngilu persendian nur. Awalnya, dia masih bisa sedikit menahan, namun, kediaman Hani tidak hanya menusuk tulang belaka, melain kan juga dasar hati nur yang sempat sedikit berbunga."Mbak? Jadi benar? Bukan Gus Naufal kan?" nur mengulangi nya lagi karenna lekas tak ada gerak bibir dari wanita yang bergeming itu. Perempuan itu terlihat tegang dan tangan nya tak berhenti mencengkram sarung batik nya. Wajah nya kentara sekali menyiratkan keraguan.nur rasa dia sudah tau jawaban nya. Segera ia berbalik lagi untuk merapikan pekerjaan yang sempat tertunda. Dia tak boleh terlihat marah, apalagi sampai membuat perempuan itu gemetar. "Mbak Hani, besok Abah sama umi enak nya di masakin apa?"Tergagap, perempuan santun itu menjawab."belum tahu, neng.""Soto, gimana? Biar besok aku aja yang masak. Kamu masak buat lauk santri saja.""Nggeh, neng."nur membalikkan badannya kembali. Wanita cantik berusia 23 tahun itu menatap hangat wanita di depan nya
Rayyan Abdullah hatmajaya, merasa ia sedang dalam emosi cukup tinggi, wajah nya memerah dengan nafas memburu. Dengan sekali gerakan saja, ia mendorong tubuh adik ipar nya, Gus Naufal terjerembab ke dasar tembok rumah sakit yang cukup dingin karena udara malam bercampur dengan terpaan angin.Gus Naufal sedikit meringis, kesakitan. Diam seribu bahasa, bukan karena ia tak bisa melawan, namun, dia sadar betul siapa lelaki yang ada di hadapan nya itu. Gus Naufal masih bisa kendalikan kemarahannya.Rayyan sangat keterlaluan. Tak sampai di situ, lelaki berahang tegas dengan bada tegap dan kekar itu dengan berani menjepit salah satu lengan nya ke leher Gus Naufal ."Bisakah kau cerai kan adik ku?"Gus Naufal meringis, kesakitan, jepitan lengan yang lebih mendekat cekikan. Berhasil membuat nya meraung Raung, mengemis udara."lepas!" Gus Naufal sedikit mendorong tubuh kekar itu. Meski badan lawan nya jauh lebih besar, namun untuk urusan tenaga seperti Gus Naufal sedikit unggul. Meski dia seoran
nur berkali kali mencoba memfokus kan diri ke masakan yang ada di hadapan nya, menghalau segala pernyataan Gus Naufal, agar hatinya tak terlalu sakit bila mengingat secara terus menerus. Hatinya terlalu banyak bertanya tanya, sampai ia sendiri tak menyadari, apa saja yang ada di sekitar nya."Nur, ini bau apa?" Gus Naufal tergopoh gopoh menghampiri nur, dengan bergerak cepat ia menghalau tubuh nur mengambil alih istri nya untuk mematikan kompor.nur menatap lauk di hadapan nya. Warna nya coklat kehitam hitaman, suram, tanpa ada selera menatap nya, seruram hidup nur pula. "Astaghfirullah, aduh, maaf, Gus__" nur tak melanjutkan ucapan nya, segera ia menunduk, lalu menghampiri tempe yang sudah berwarna kehitaman itu, lalu mengangkat meniris kan ke atas piring dan bersiap nur untuk membuang ke tempat sampah yang tak jauh dari nur dan Gus Naufal berdiri.Gus Naufal mencegah tangan sivna. "Mau di apain?"nur masih menunduk dengan perasaan kacau. "Di buang Gus, kan udah gosong."Gus Naufal m
Zulaikha nuralifiyah sabbath.'gus saya minta cerai, ceraikan saya saja, saya ikhlas.'nur hanya bisa menjerit di dalam hati. Ia ingin berkata lebih dari itu, lalu menuang kan segala gundah nya ke hadapan sang suami. Namun, perasaan itu menguar begitu saja, seiring dengan tatapan heran Gus Naufal ke arah kantong lusuh, berisikan beberapa potong baju yang tak nilai keindahan, bila di bandingkan potongan baju Zahra.Gus Naufal mendekat ke arah benda yang membuat nya penasaran di dekat almari, dia harus berjongkok demi melihat isi nya. "Apa ini nur?" Tanya Gus Naufal membuat jantung nur berdetak lebih kencang. "Lap-lap meja ini mau kamu bawa kemana?" Gus Naufal berniat bercanda. Bukan malah mengundang tawa, justru nur malah memanyunkan bibir nya tak suka."Hehe, maaf bercanda, ini baju baju kamu mau kamu kemanain? Kamu mau pergi dari ku?" Gus Naufal menatap nur, dengan tatapan seolah mengiba, tak ingin nur jauh dari nya.Susah payah nur menelan Saliva Nya sendiri. Harus jawab apa dia? Ju
Lelaki dengan tinggi 165 cm dengan wajah teduh dan kulit putih nya itu sedang menyodorkan sapu tangan yang baru saja ia ambil dari saku baju nya, beliau memang terbiasa membawa sapu tangan sendiri, di samping lebih terjaga kebersihan nya. Juga memang beliau tidak terlalu suka mengotori lingkungan dengan banyak nya sampah sampah tisu.nur bergeming cukup lama, memandang sapu tangan itu. Bibir nya bergerak gerak, seolah berucap tanpa suara."Bisakah kau ambi." Gus Adnan mulai mengeluhkan, tentu tanpa menatap nur yang masih berjongkok, menatap dasar lantai, seperti anak kecil yang baru saja kehilangan mainan nya. "Tangan ku capek sekali."nur hendak menerima nya, menjulurkan tangan nya malu malu. "Di liatin itu! Awas nanti kena tangan ku, kita bukan mahrom."nur mencebik. Sungguh, Gus Adnan sangat menyebal kan detik ini. Padahal, mereka sangat jarang berbicara berdua seperti ini, sekali ia bicara, sungguh Gus Adnan sangat menyebalkan."Te-terima kasih." nur menerima nya dengan sedikit gu
Memendam cinta sangat menyakitkan, namun juga mengasyikkan."Keluarga dari pasien!" Suara dari belakang seketika membuat gadis berlesung pipi itu mengalihkan pandangan.Dia urung melanjutkan niatnya, memilih berjalan berat ke arah perawat. "Saya Zulaikha nuralifiyah sabbath ." Tuturnya. "Istri pasien," tambah nya seraya menepuk nepuk dada nya lembut.Wanita berbaju hijau tua itu mengarahkan tangannya ke bagian yang tak jauh dari nurberdiri. "Silahkan kebagian administrasi, untuk mendaftarkan pasien ke ruang inap."Kening gadis berlesung pipi itu berkerut, "Ru-ruang inap?" Tanyanya dengan bibir bergetar, sebagai nurmaju ke posisi yang lebih dekat ke arah perawat muda itu. "Apa suami saya sangat parah? Dia kenapa?" nurmelirik sebentar gus Naufal yang masih terbaring kaku. "Bukankah lukanya sudah di obati?"Perawat yang masih nampak muda, mengangguk cepat. "Benar, tapi__"Belum sempat perawat menjelaskan, nursudah mengejar lagi. "Suami saya kenapa suster?"Gus adnanyang masih terpaku di
"Berhenti, Zahra!""Diam di tempat mu!""Viona, bawa dia kembali ke kamarnya!" Suara dari lelaki dibelakang hijab biru, tak menyurutkan niatnya untuk trs berjalan tertatih tatih menggunakan tongkatnya, ia trs berjalan meski berat hingga hampir sampai ke ambang pintu.Cengkraman tangan kekar terasa memanas di tangannya. "Mau kemana kamu?" Lalu lelaki bertubuh atletis itu menengok ke belakang, menghadap gadis manis nan seksi itu mematung, memegangi bahu kursi. "kenapa kamu diam saja, Vi!" Sentak nya dengan nada penuh amarah.Gadis dengan manik mata indah nya menutup bibir ranumnya rapat. "Lepasin, sakit, mas!" Rengek nya diantara buliran air mata yang merembes di pipi mulusnya."Nggak!" Sentaknya. "Kamu nggak boleh samperin lelaki brengsek itu!""Dia suamiku!" Sanggah wanita itu tak terima. "Kamu jahat! Apa yang kamu lakukan padanya?"Dia membuang muka, memiringkan kepala lalu melirik ke belakang. "Cepet ke sini! Atau ku suruh sopir pulangin kamu!"Viona menegang, tak ada pilihan lain s
Lelaki dengan berbaju wayang di dada sedang melajukan mobil melatik merahnya di antara guyuran hujan yang begitu deras. Hingga terpaksa lelaki berjambang tipis itu menepikan mobilnya diantara pepohonan yang tumbuh.Nampak, angin seolah sedang mempermainkan mereka. Meliukkan ke kanan dan ke kiri lalu merontokkan beberapa dedaunannya.Gus Naufal membuka jendela, lalu memandang langit hitam yang seolah blm selesai menuntaskan semua isinya. Lelaki dengan perawakan tegap itu menjulurkan sedikit tangannya, rasa sesak yang diberikan gadis berlesung pipi, membuat pikirannya tak fokus pada kemudi."nur, benar tentang hujan ini." Ucapnya masih dengan pandangan yang sama. Sesaat dia terdiam dengan pikiran yang terus menari nari, Lalu dengan resah lelaki itu menyandarkan kepalanya ke bahu kursi belakang, sambil matanya terpejam. "Selama ini dia menderita bersamaku. Tapi, kenapa harus Adnan yang harus menjadi tempat nya berkeluh? Tak adakah orang lain selain dia?"Matanya terpejam, inginnya mengha
Ahmad Naufal Yusuf."Astaghfirullahal'adzim." Lelaki dengan atasan batik bergambar wayang di dadanya, dan beroutfit sarung itu menepuk jidatnya perlahan, begitu melihat ponselnya yang hampir mati dan kontak mobil yang sama sekali belum ia masukkan ke dalam saku baju paling depan.Baru saja lelaki berjambang tipis itu menyelesaikan kegiatan mengajar nya, dan berniat untuk melesak ke rumah Zahra untuk berusaha menjemput wanita bermata indah itu. Namun, semua gagal karena kecerobohan nya. Dia butuh charger untuk segera mengecas ponsel tang tinggal beberapa persen itu.Lelaki berjambang tipis itu memutuskan lewat jalan pintas yang cepat terhubung, memutuskan segera masuk lewat pintu belakang rumah agar cepat sampai, dan biasanya memang jarang di kunci saat pagi hari, demi memudahkan santri ndalem yang memang biasa bertugas membersihkan rumah masuk ke dalam.Langkah lelaki itu baru saja sampai ke pintu Belakang rumah sederhana milik Zulaikha nuralifiyah sabbath. Rumah yang dahulu penuh den
Wajah yang tak begitu asing bagi Felix bramaji tercetak jelas saat dia memalingkan wajahnya ke belakang. Wajah yang dahulu ia sayangi seperti saudara nya sendiri, kali ini malah membuatnya semakin risih. Namun, dia mencoba bertahan atas nama hutang Budi.Felix menghadapkan wajahnya ke depan, lalu serta Merta dia membuang nafas jengah secara perlahan dari mulutnya."Kamu jahat banget sih!" Wanita itu memukul mukul punggung Felix dengan sekenanya. "Kenapa jarang banget hubungin aku. Di chat nggak di bales, di email juga nggak pernah ada balesan. Apalagi di telpon."Felix memejamkan mata. Mengatur emosi yang sesaat hampir saja mendominasi otaknya. "Aku sibuk Vi! Kerjaan ku banyak banget!"Gadis manis dengan tahi lalat kecil di bagian kelopak mata nya itu, nampak memanyunkan bibir, lalu ia bersedekap tak terima. "Itu kan salah satu rumah sakit, calon mertua kamu, bilang aja gitu!" Usulnya kekanakan."biar mereka nggak mempekerjakan calon mantu bos mereka seenaknya."Viona, nama gadis itu.
Jam dinding berdecak secara beraturan, seiring dengan langkah seorang gadis yang bergerak seringan kapas menghampiri sang pemilik hati.Dengan gusar gadis pemilik bibir terbelah laksana buah delima itu mensejajari lelakinya. Dalam keterbatasan nya dia berusaha menyiapkan air hangat serta kain bersih guna mengobati luka di sudut bibir manusia yang mana Allah letakkan syurga dalam Ridho nya itu.Wanita yang sudah mengganti hijabnya dengan warna maroon berusaha duduk sejajar dengan sang suami.Luka di kaki dan tangannya sudah cukup membaik, meski dia belum yakin meski dirinya bisa berjalan nyaman tak bersandar menggunakan tongkat. Beruntung, Kiya, adik pantinya, telah mengembalikan tongkat itu, tak berselang lama dengan kepergian Gus naufal.Entah keberanian dari mana, gadis sang pemilik senyum indah itu menarik dagu suaminya, perlahan ia dekatkan ke wajah, dekat dan semakin dekat hingga nafas mereka satu sama lain pun bisa mereka rasakan masing masing di kulit wajah masing masing, teras
Suara sepatu cukup tenang seirama dengan langkah sesosok lelaki bertubuh tinggi dan tegap, dengan kedua mata yang tajam, membuat siapapun yang menatapnya akan setuju bila lelaki di hadapannya cukup bisa diperhitungkan keberadaannya, sosok lelaki itu berjalan ke arah Zahra."Stop!" Wanita bernama Zahra hatmajaya mengarahkan tangannya ke depan, menolak lelaki itu mendekat, sosok tinggi itu seolah menulikan semuanya. "Aku bilang stop! Jangan Deket Deket sama aku." Zahra meraung cukup keras, air mata turun berjatuhan, hingga lengan dan bahu nya terguncang hebat.Lelaki itu berjongkok, mensejajarkan diri dengan wanita Yang sangat berantakan dengan hijabnya."kau marah padaku?" Tanyanya Dan Di jawab anggukan Zahra dengan tangisan Yang cukup menyayat hati.Lelaki itu mendengkus perlahan, "Aku nggak ngarep Kamu bakal maafin." Sosok lelaki itu menjeda ucapan nya. Dia memandang langit Dari kaca jendela Yang cahaya nya cukup bisa menerpa Indra penglihatan nya."Syukur Kamu sadar!" Ketus Zahra mem
"Anda akan kena dosa karena mengganggu rumah tangga orang!" Gus Naufal mulai meninggi dan jengah, dia melangkah tajam seraya mengacungkan jari telunjuknya ke arah depan, tepat di wajah lelaki bermata elang itu. "Jangan mengusik rumah tangga saya. Atau kau akan menyesal." Gertak nya.Lelaki bernama Felix itu tersenyum miring. Lelaki Dengan badan tegap, serta tubuh atletis, seolah sedang meremehkan ancaman lawan debat nya. "Kau sedang mengancam ku? Atau menceramahi ku?" Tanya nya dengan tatapan mengejek.Gus Naufal mendengus kesal. Dan berusaha kembali bersikap tenang, meski seolah hawa di sekeliling nya terasa memanas, terbakar oleh amarah yang tercipta oleh mereka. Nyatanya, hembusan angin yang melewati pepohonan di pinggir jalan seolah tetap tak mampu menghalau suasana mencekam itu.Zahra segera menurunkan kaca mobil, lalu memiringkan kepala ke sisi belakang, guna memfokuskan ke arah dua manusia itu.Wanita bermata indah dengan alis melengkung itu harap harap cemas. "Felix, ayo pergi
Seorang wanita cantik dengan tinggi 174 cm menatap keluar lewat Jendela mobil dengan tatapan sendu nya. Wajah yang terbiasa terhias seulas senyum, kini hanya terlihat begitu murung.Sesaat wanita itu terpaku melihat cuaca di luar yang nampak terik oleh cahaya matahari, berbeda dengan keadaan di dalam dada nya yang seolah turun hujan badai petir berkilatan saling bersahut sahutan.Gadis bermata indah dengan bulu mata lentik yang menjulang, menatap keluar jendela dengan sedih dan begitu marah. Bagaimana suami yang sangat ia cintai bisa melakukan ini pada nya? Apa pendapat orang orang yang melihat dirinya yang seorang mantan modelis harus di sandingkan dengan mantan khodimah pesantren?Zahra memejamkan mata, berusaha menahan laju air mata yang terus merengek keluar tanpa ia sendiri memintanya. Dia menaruh jari jemari nya di bawah hidung, tepat di atas bibir merah laksana ceri merah milik nya, seraya menatap cemburu pasangan yang baru saja melintas, sang wanita melingkar kan tangan nya pa