Kedua tungkai itu bergerak cepat menembus gelapnya malam. Tanpa peduli berapa kali tubuhnya harus jatuh terjerembab karena akar menyembul yang menabrak ujung kaki, gadis itu buru-buru bangkit dan kembali melanjutkan laju tungkainya yang sempat terhenti. Bunyi napas dan degup jantungnya terdengar sama keras dengan bunyi hewan malam di sekitarnya.
“Nenek! Aku pulang!”
Pekikannya menggema ketika tangan mungilnya mendorong kenop pintu reyot, menghasilkan bunyi decitan kencang. Napas berantakan dan peluh yang membanjiri wajah sangat kontras dengan senyum cerah di bibirnya. Ketika sesosok wanita bersurai putih tertangkap netra, si gadis bergegas menghampiri dan melingkarkan lengannya di tubuh wanita tua itu.
“Nenek aku berhasil! Aku berhasil, nek!”
“Ya ampun, cucuku! Apa yang terjadi? Kenapa kau kacau begini?”
Tangan keriput itu melerai pelukan si gadis. Wajahnya semakin berkerut ketika wanita itu melihat penampilan cucunya yang benar-benar berantakan; wajah lelah yang agak pucat, rambut kusut, pakaian kotor, dan lutut yang berdarah. Tunggu, darah?
“Nenek, ak--aakkhh!”
Belum rampung kabar gembira itu tersampaikan, telinga si gadis sudah dijewer kencang. Membuatnya meraung sambil berjinjit.
“Dasar anak nakal! Pergi menghilang seharian lalu pulang dengan badan luka-luka begini! Sebenarnya apa yang kau lakukan, sih? Sekarang kau duduk, nenek akan obati lukamu.”
Si gadis memanyunkan mulut, hendak protes tapi wajah galak neneknya membuat nyalinya ciut. Dengan helaan napas dalam, akhirnya gadis itu menurut dan mendaratkan bokongnya di kursi terdekat. Tak lama wanita tua itu kembali dengan baskom dan sebotol ramuan. Kedua tangannya dengan cekatan membersihkan luka di lutut si gadis dan mengolesinya ramuan obat yang ia racik sendiri.
“Aw, pelan-pelan, nek!”
“Masih berani protes ya anak nakal ini!”
“Akh, nenek!” jeritan gadis itu semakin keras seiring kain yang ditekan semakin kencang di lututnya. Setelah lutut si gadis terbalut, barulah wanita itu duduk di sampingnya dengan wajah menuntut penjelasan.
Kedua sudut bibir si gadis terangkat tinggi. Senyum lebar yang membuat si nenek keheranan.
“Nenek, aku punya kabar baik!”
“Iya, kabar baik apa? Apa kau menang lotere di kota?”
Gadis itu menggeleng cepat. “Tidak, ini jauh lebih baik, Nek. Coba tebak!”
Si nenek mengangkat alisnya. Menatap binar di kedua iris hazel cucunya sebelum menghela napas dalam. “Kalau bukan dapat uang atau makanan, apalagi yang bisa membuatmu sesenang ini?”
Dengan kekehan kecil, gadis itu merogoh sakunya dan mengeluarkan amplop berwarna emas dengan stempel yang terlihat sangat familiar di mata sang nenek. Napasnya tertahan sekejap ketika wanita tua itu menerima amplop yang diulurkan kepadanya. Jemarinya bergetar ketika ia membuka secarik surat yang terlipat rapi di dalam sana.
Selamat, Raquel Dean! Anda lulus seleksi tahap pertama dan diharapkan bisa mengikuti rangkaian ujian selanjutnya.
Air muka terkejut tidak bisa sang nenek sembunyikan. Namun, si gadis yang terlanjur gembira dengan kabar itu tidak bisa menangkap raut tegang di wajah neneknya.
***
Raquel Dean tidak pernah menyangka ia bisa selangkah lebih dekat dengan mimpinya.
Ottori adalah sekolah terbaik yang melahirkan orang-orang hebat di dunia; dari para raja sampai orang-orang yang namanya terukir dalam sejarah. Dulu sekali, dunia dilanda kekacauan akibat perang panjang selama ratusan tahun. Genangan darah, onggokan mayat, dan tangisan di antara kobaran api adalah pemandangan yang wajar dijumpai setiap hari. Bertahan hidup adalah kemewahan pada waktu itu.
Bagi para penguasa yang tamak, perang adalah cara mereka menunjukkan siapa yang berhak berkuasa dan berada di puncak piramida kehidupan. Raja dan kaisar tidak lagi peduli dengan kesejahteraan rakyat. Bagi mereka, seberapa besar wilayah kekuasaan dan seberapa banyak kekayaan yang dimiliki adalah hal yang utama.
Seberkas cahaya harapan mulai muncul ketika sesosok lelaki gagah muncul. Namanya Alphonso Loris Troutman. Tatapan matanya bisa membakar dan kepalan tangannya bisa mengundang gempa. Kekuatan luar biasa yang berhasil membalik keadaan dan membawa perdamaian.
Peperangan pun berakhir bersama lahirnya para pahlawan dunia. Sayangnya, perdamaian itu tidak bertahan lama ketika rasa serakah melahap akal dan nurani beberapa pahlawan yang tergabung dalam Aliansi Perdamaian. Orang terhormat yang seharusnya menjaga perdamaian mulai haus akan rasa hormat dan harta. Alphonso terpaksa memangkas lebih dari separuh kawan seperjuangannya untuk mempertahankan perdamaian yang merupakan mimpi terbesarnya.
Untuk itulah Ottori dibangun. Sekolah yang melahirkan generasi unggul untuk menjaga perdamaian dunia. Bagi Alphonso, doktrin sejak dini tentang pentingnya perdamaian adalah salah satu cara menjaga mimpinya.
Memiliki sertifikat lulus dari Ottori adalah hal yang mutlak bagi anggota Aliansi Perdamaian serta seluruh penguasa negara dan jajarannya. Sekolah hebat tentu memiliki persyaratan yang ketat pula. Mendapat titel siswa Ottori adalah prestasi besar yang diakui oleh negara, terlebih jika ia berhasil lulus.
Opheana Dean, nenek Raquel adalah salah satu dari sedikit orang luar biasa yang berhasil menjadi siswa di Ottori. Prestasi yang jelas membanggakan bagi negara kecil seperti Albero. Nama Opheana Dean tidak asing terdengar di telinga rakyat Albero atas prestasinya setelah puluhan tahun Albero tidak mengirimkan orang terbaiknya untuk menimba ilmu di Ottori.
Namun, semua sanjungan itu berubah menjadi makian dalam satu malam ketika Opheana dikeluarkan dari sekolah. Seluruh orang membencinya dan raja nyaris memberinya hukuman mati kalau saja ia tidak pernah melindungi Albero dengan kekuatan sihirnya dari serangan negara tetangga yang ingin mengeruk kekayaan alam Albero. Opheana muda dikucilkan oleh semua orang dan berakhir tinggal di dalam gubuk sederhana di tengah hutan.
Raquel Dean yang merupakan cucu Opheana mau tidak mau harus menerima perlakuan yang sama. Masih begitu segar dalam ingatan Raquel ketika Opheana untuk pertama kali menceritakan masa lalunya dan alasan kenapa semua orang membenci mereka.
Air mata yang berusaha Opheana tahan agar tidak tumpah di hadapan cucunya itu membuat Raquel kecil membulatkan tekadnya; ia akan lulus dari Ottori dan mengembalikan kehormatan neneknya. Raquel bersumpah pada semesta dan dirinya sendiri bahwa ia akan menunjukan pada semua orang bahwa Opheana Dean adalah wanita hebat yang tidak pantas menerima hinaan seperti ini.
Puluhan purnama gadis itu lewati dengan belajar dan berlatih. Meski dilanda keterbatasan akses ke kota, gadis itu merasa beruntung karena memiliki Lady Vanessa yang membiarkannya menyelinap ke perpustakaan tua milik wanita itu setiap malam untuk membaca satu dua buku lama di sana. Kemampuan Raquel yang cukup lamban dalam menguasai sesuatu tentu menjadi tantangan tersendiri. Opheana bahkan terus membujuk cucunya untuk menyerah ketika gadis itu gagal di seleksi masuk ketujuh yang ia ikuti. Beruntung ia mencoba kembali untuk kedelapan kalinya dan ia berhasil!
Sambil berbaring di ranjangnya yang keras, gadis itu memandang amplop emas di genggaman. Tiket masuk untuk meraih mimpinya.
“Raquel, apa kau belum tidur?”
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian gadis itu. Raquel segera berhambur membuka pintu dan melihat neneknya di balik sana, tersenyum dengan dua cangkir cokelat panas di genggaman.
“Nenek! Kenapa tahu aku belum tidur?”
“Kalau suara tawa girangmu bisa lebih kecil, mungkin nenek tidak akan terbangun.”
Gadis itu membalas dengan senyum malu. Raquel mempersilakan neneknya masuk ke kamar dan keduanya duduk bersisian di tepi ranjang. Satu cangkir berpindah ke tangan Raquel dan gadis itu menyesap cokelat panasnya setelah berterima kasih.
“Sepertinya nenek pernah dengar kau akan menyerah?” Pertanyaan itu memulai percakapan keduanya.
“Nenek pernah bilang kepadaku kalau tidak apa untuk gagal tujuh kali asalkan kita mencoba delapan kali, bukan?” ujar Raquel sambil memandang lembut Opheana, “sekali lagi, perkataan nenek benar. Aku akhirnya berhasil di kali kedelapan.”
Senyum tipis terbentuk di wajah wanita tua itu.
“Apa nenek marah karena aku tidak bilang akan ikut ujian lagi?” cicit Raquel pelan.
Opheana mendapati tatap cemas cucunya dan tersenyum lembut. “Dibanding marah, nenek merasa cemas. Apa kau akan baik-baik saja nanti? Siapa yang akan mengurusmu saat terluka? Nenek tidak bisa berhenti memikirkannya.”
Raquel bisa melihat selapis air menghalangi pandang neneknya. Gadis itu meletakkan cangkir di nakas sebelum melingkarkan lengannya di tubuh Opheana. “Aku akan baik-baik saja, nek. Sekarang aku sudah besar. Aku akan belajar dengan sangat giat dan menjadi cucu yang bisa nenek banggakan.”
Si gadis bisa merasakan tangan lembut yang mengusap kepalanya. “Raquel … jujurlah pada nenek, sebenarnya apa tujuanmu masuk ke Ottori?”
Gadis itu terdiam sebentar sebelum menjawab, “T-tentu saja karena aku ingin jadi orang hebat seperti nenek!”
Sang nenek melerai dekapan keduanya dan memaksa gadis itu bertukar tatap dengannya. Namun, iris hazel itu terus menghindar. “Raquel, lihat nenek.”
Raquel menggigit bibirnya sebelum pandangnya beradu tatap dengan sang nenek.
“Kalau kau berpikir masuk ke Ottori bisa mengembalikan kehormatan nenek, buang surat itu sekarang.”
“N-nenek ….”
“Hidupmu terlalu berharga untuk memperjuangkan kehormatan wanita tua yang sebentar lagi akan mati.”
“Nenek! Kenapa nenek bicara begitu?!” Raquel bisa merasakan matanya memanas. Kedua tangan gadis itu terkepal kuat.
“Raquel, nenek sudah merasa sangat bersalah karena membuatmu yang tidak tahu apa-apa harus dibenci orang-orang. Kau berhak untuk bahagia dengan kehidupanmu sendiri. Kalau kau masuk ke Ottori hanya karena nenek—”
“Tidak. Aku tidak masuk ke Ottori untuk nenek. Aku melakukannya untuk diriku sendiri.”
“Raquel ….” Suara wanita itu melemah seiring jatuhnya air dari pelupuk mata si gadis.
“Aku … ingin menjadi kuat dan menunjukkan ke seluruh dunia bahwa aku punya nenek hebat yang membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Aku melakukannya karena aku ingin terlihat hebat. Jadi, berhentilah bicara tentang kematian! Nenek kan sudah berjanji akan hidup lama sampai bisa melihat aku bahagia!”
Gadis muda di hadapannya ini, yang matanya memancarkan tekad yang kuat, memang sulit untuk ditentang. Pada akhirnya Opheana hanya bisa menghela napas.
“Nenek memang tidak bisa menggoyahkan tekadmu.”
Raquel menghapus sisa air yang menghalangi pandangannya sebelum tersenyum. “Terima kasih, nek—”
“Tapi, bukan berarti nenek menyerah. Nenek akan menceritakan satu kisah lagi, yang nenek harap bisa menggoyahkan tekadmu.”
-bersambung-
“Kisah … yang belum pernah nenek ceritakan?”Ragu terselip dalam tanya si gadis. Opheana menyesap cokelat panasnya pelan sebelum meletakkan cangkir di nakas. Netra wanita itu berpindah pada wajah gugup cucunya.“Nenek salah karena tidak menceritakan segalanya padamu.”“A-apa maksud nenek?”Raquel bisa merasakan ketegangan di antara keduanya. Ketegangan yang jarang sekali terjadi ketika gadis itu bersama neneknya. Di matanya, sang nenek adalah sosok wanita hebat berhati lembut yang selalu memberikan ketenangan bahkan di hari terburuknya sekali pun. Melihat Opheana yang tidak melempar senyum dan memandangnya dengan serius membuat jantung si gadis berdegup kencang.“Nenek bukan di
Megah dan mewah tidak cukup untuk menggambarkan betapa indahnya Ottori di mata Raquel. Gadis itu seperti masuk ke dalam cerita dongeng yang sering neneknya bacakan ketika ia masih kecil. Ketika melangkahkan kaki melewati gerbang, bunga indah beraneka warna menyambutnya di kanan dan kiri. Pepohonan rindang membuat sinar matahari terasa tidak begitu menyengat kulit. Terdapat satu dua bangku di dekat pohon dan gadis itu melihat beberapa siswa berseragam berlalu-lalang di sekitar gedung putih tinggi berpilar.Beberapa berjalan dengan terburu-buru, beberapa terlihat membaca buku yang tebalnya bisa dijadikan alas tidur. Ada juga siswa dengan pakaian olahraga yang membawa pedang dan busur. Manik Raquel berbinar dan ia bisa merasakan jantungnya berdebar karena rasa antusias yang tinggi.“Kepada seluruh calon siswa Ottori diharapkan segera memasuki aula.”
Letak kantin yang tidak terlalu jauh dari gedung aula membuat Raquel bisa segera mengisi perut keroncongannya. Porsi makanannya cukup banyak dan rasanya benar-benar enak! Bagian terbaiknya adalah … ada daging!Entah apa yang dilakukan koki di Ottori, tapi dagingnya terasa benar-benar enak! Tekstur kenyal dan bumbu yang meresap sampai ke dalam membuat gadis itu nyaris menitikan air mata. Ia ingin sekali membungkus satu porsi dan membawanya ke Albero. Neneknya harus mencoba makanan seenak ini!Selain daging yang super enak, satu porsi makanan di Ottori benar-benar sehat dengan komposisi gizi yang seimbang. Sepertinya Ottori sendiri sangat memerhatikan asupan makan para siswanya.Raquel mulai membayangkan kehidupan indah yang akan ia jalani kalau dirinya berhasil lulus sampai ujian terkahir. Makan daging e
Dalam satu instruksi dan jentikan jari, tiba-tiba suasana tegang berubah menjadi kacau balau. Bola yang melayang itu mulai berdenyar dengan beragam warna berbeda sebelum melesat keluar aula. Para siswa langsung berlari terbirit-birit. Beberapa ada yang tersandung kaki kursi, terpental ke depan ketika ada siswa yang tak sengaja menabraknya, bahkan ada yang nekat keluar lewat jendela karena pintu utama selebar dua rentangan tangan orang dewasa penuh sesak dengan siswa yang berdesakan ingin keluar.Bola Raquel memancarkan cahaya berwarna hijau dan angka 68 muncul di permukaannya. Kali ini giliran Raquel yang berperang dengan lautan manusia yang dilanda panik. Beruntung, kemampuan menyelinap di antara kerumunan yang sudah terasah sejak dini membuat gadis itu tidak menjumpai kesulitan yang berarti.Bola hijau itu melesat seperti roket, melambung tinggi hingga gadis
Hal pertama yang iris hazel itu jumpai adalah rindang pepohonan dan bundar terik di cakrawala.Pening datang menyerang setelahnya. Membuat Raquel kembali memejamkan mata erat-erat sambil memijat pelipis. Napasnya berantakan dan ia masih bisa merasakan degup jantung yang menggila di dalam sana. Ketika gadis itu perlahan membuka kembali matanya untuk menyesuaikan diri dengan intensitas cahaya yang baru, ia menyadari semuanya sudah kembali seperti sebelum kepulan asap hitam itu datang. Perisai kuning yang mengelilingi masih ada di sana dan beberapa anak yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang bisa Raquel ingat masih berbaring di sekelilingnya. Semuanya … sudah selesai?Ketika gadis itu berguling ke samping, tubuhnya langsung terhentak kaget. Netranya membulat dan gadis itu bisa merasakan darah panas merambat ke kedua pipinya. Terbaring menyamping
Ujian tahap pertama berhasil mereduksi lebih dari setengah calon siswa Ottori. Aula yang semula penuh sesak dengan orang-orang kini terasa begitu senggang. Tidak ada lagi kursi tambahan dan pertengkaran tentang siapa yang dapat kursi duluan.Suasana ramai yang biasa melingkupi aula hari ini diisi keheningan yang panjang. Lingkar hitam di bawah mata tampak jelas di wajah beberapa siswa. Beberapa tidak bisa menyembunyikan bengkak di mata dan hidung yang memerah. Seperti dahan pohon yang ditancapi paku, meski pengumuman kelulusan ujian pertama jelas hal yang menggembirakan, efek mengerikan dari ketakutan terbesar yang dihadapi masing-masing murid tentu masih sangat membekas.Raquel berusaha meraup udara sebanyak mungkin untuk mengisi penuh paru-paru yang terasa kosong. Ketika ia mengembuskan napas perlahan, ia bisa merasakan sedikit sekali ketenangan mengali
Keluar dari gedung aula dengan cairan lengket berwarna merah pekat, tidak ada satu orang pun yang mau repot-repot menjelaskan tentang kejadian di pos ujian pada Raquel.Setelah kendi setinggi pinggang itu menyemburkan cairan ke segala arah--terutama tubuh Raquel--pada murid terkesiap, beberapa gadis menjerit ngeri, dan para guru terperangah. Semua orang menatap Raquel seolah ia baru saja membunuh seseorang. Si gadis, yang jadi objek perhatian, hanya bisa memandang ke depan dengan manik bergetar.“Bersihkan wajahmu dengan ini,” Seorang guru datang menghampiri dengan sapu tangan terulur. Dahinya berkerut cemas saat menatap Raquel. “Kembalilah ke kamarmu dan beristirahat.”Saat itu Raquel berharap satu orang saja berkata bahwa ia tidak gagal dalam ujian. Namun, tatapan iba itu lebih dari s
“Nenek, aku pulang!”Surai cokelat si gadis melambai seiring tubuh mungilnya berhambur masuk ke rumah reyot di tengah hutan. Pintu yang rapuh dimakan rayap itu berdecit ketika ia membukanya. Napas berantakan dan debar kencang di dada tidak menghilangkan senyum lebar di wajah. Manik hazelnya berkeliling, hanya untuk menemukan gelap dan hening.“Nenek?”Semakin tungkainya melangkah masuk, hatinya terasa semakin berat. Debu menyapa hidung, membuat indra penciumnya otomatis merespon. Jaring putih tipis terbentuk di sudut rumah. Aneh. Membiarkan sarang laba-laba adalah hal terakhir yang akan neneknya lakukan. Hening dan gelap bukan lagi hal yang gadis itu jumpai ketika kedua kakinya membawa tubuh itu semakin dalam.Bau busuk.
Keluar dari gedung aula dengan cairan lengket berwarna merah pekat, tidak ada satu orang pun yang mau repot-repot menjelaskan tentang kejadian di pos ujian pada Raquel.Setelah kendi setinggi pinggang itu menyemburkan cairan ke segala arah--terutama tubuh Raquel--pada murid terkesiap, beberapa gadis menjerit ngeri, dan para guru terperangah. Semua orang menatap Raquel seolah ia baru saja membunuh seseorang. Si gadis, yang jadi objek perhatian, hanya bisa memandang ke depan dengan manik bergetar.“Bersihkan wajahmu dengan ini,” Seorang guru datang menghampiri dengan sapu tangan terulur. Dahinya berkerut cemas saat menatap Raquel. “Kembalilah ke kamarmu dan beristirahat.”Saat itu Raquel berharap satu orang saja berkata bahwa ia tidak gagal dalam ujian. Namun, tatapan iba itu lebih dari s
Ujian tahap pertama berhasil mereduksi lebih dari setengah calon siswa Ottori. Aula yang semula penuh sesak dengan orang-orang kini terasa begitu senggang. Tidak ada lagi kursi tambahan dan pertengkaran tentang siapa yang dapat kursi duluan.Suasana ramai yang biasa melingkupi aula hari ini diisi keheningan yang panjang. Lingkar hitam di bawah mata tampak jelas di wajah beberapa siswa. Beberapa tidak bisa menyembunyikan bengkak di mata dan hidung yang memerah. Seperti dahan pohon yang ditancapi paku, meski pengumuman kelulusan ujian pertama jelas hal yang menggembirakan, efek mengerikan dari ketakutan terbesar yang dihadapi masing-masing murid tentu masih sangat membekas.Raquel berusaha meraup udara sebanyak mungkin untuk mengisi penuh paru-paru yang terasa kosong. Ketika ia mengembuskan napas perlahan, ia bisa merasakan sedikit sekali ketenangan mengali
Hal pertama yang iris hazel itu jumpai adalah rindang pepohonan dan bundar terik di cakrawala.Pening datang menyerang setelahnya. Membuat Raquel kembali memejamkan mata erat-erat sambil memijat pelipis. Napasnya berantakan dan ia masih bisa merasakan degup jantung yang menggila di dalam sana. Ketika gadis itu perlahan membuka kembali matanya untuk menyesuaikan diri dengan intensitas cahaya yang baru, ia menyadari semuanya sudah kembali seperti sebelum kepulan asap hitam itu datang. Perisai kuning yang mengelilingi masih ada di sana dan beberapa anak yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang bisa Raquel ingat masih berbaring di sekelilingnya. Semuanya … sudah selesai?Ketika gadis itu berguling ke samping, tubuhnya langsung terhentak kaget. Netranya membulat dan gadis itu bisa merasakan darah panas merambat ke kedua pipinya. Terbaring menyamping
Dalam satu instruksi dan jentikan jari, tiba-tiba suasana tegang berubah menjadi kacau balau. Bola yang melayang itu mulai berdenyar dengan beragam warna berbeda sebelum melesat keluar aula. Para siswa langsung berlari terbirit-birit. Beberapa ada yang tersandung kaki kursi, terpental ke depan ketika ada siswa yang tak sengaja menabraknya, bahkan ada yang nekat keluar lewat jendela karena pintu utama selebar dua rentangan tangan orang dewasa penuh sesak dengan siswa yang berdesakan ingin keluar.Bola Raquel memancarkan cahaya berwarna hijau dan angka 68 muncul di permukaannya. Kali ini giliran Raquel yang berperang dengan lautan manusia yang dilanda panik. Beruntung, kemampuan menyelinap di antara kerumunan yang sudah terasah sejak dini membuat gadis itu tidak menjumpai kesulitan yang berarti.Bola hijau itu melesat seperti roket, melambung tinggi hingga gadis
Letak kantin yang tidak terlalu jauh dari gedung aula membuat Raquel bisa segera mengisi perut keroncongannya. Porsi makanannya cukup banyak dan rasanya benar-benar enak! Bagian terbaiknya adalah … ada daging!Entah apa yang dilakukan koki di Ottori, tapi dagingnya terasa benar-benar enak! Tekstur kenyal dan bumbu yang meresap sampai ke dalam membuat gadis itu nyaris menitikan air mata. Ia ingin sekali membungkus satu porsi dan membawanya ke Albero. Neneknya harus mencoba makanan seenak ini!Selain daging yang super enak, satu porsi makanan di Ottori benar-benar sehat dengan komposisi gizi yang seimbang. Sepertinya Ottori sendiri sangat memerhatikan asupan makan para siswanya.Raquel mulai membayangkan kehidupan indah yang akan ia jalani kalau dirinya berhasil lulus sampai ujian terkahir. Makan daging e
Megah dan mewah tidak cukup untuk menggambarkan betapa indahnya Ottori di mata Raquel. Gadis itu seperti masuk ke dalam cerita dongeng yang sering neneknya bacakan ketika ia masih kecil. Ketika melangkahkan kaki melewati gerbang, bunga indah beraneka warna menyambutnya di kanan dan kiri. Pepohonan rindang membuat sinar matahari terasa tidak begitu menyengat kulit. Terdapat satu dua bangku di dekat pohon dan gadis itu melihat beberapa siswa berseragam berlalu-lalang di sekitar gedung putih tinggi berpilar.Beberapa berjalan dengan terburu-buru, beberapa terlihat membaca buku yang tebalnya bisa dijadikan alas tidur. Ada juga siswa dengan pakaian olahraga yang membawa pedang dan busur. Manik Raquel berbinar dan ia bisa merasakan jantungnya berdebar karena rasa antusias yang tinggi.“Kepada seluruh calon siswa Ottori diharapkan segera memasuki aula.”
“Kisah … yang belum pernah nenek ceritakan?”Ragu terselip dalam tanya si gadis. Opheana menyesap cokelat panasnya pelan sebelum meletakkan cangkir di nakas. Netra wanita itu berpindah pada wajah gugup cucunya.“Nenek salah karena tidak menceritakan segalanya padamu.”“A-apa maksud nenek?”Raquel bisa merasakan ketegangan di antara keduanya. Ketegangan yang jarang sekali terjadi ketika gadis itu bersama neneknya. Di matanya, sang nenek adalah sosok wanita hebat berhati lembut yang selalu memberikan ketenangan bahkan di hari terburuknya sekali pun. Melihat Opheana yang tidak melempar senyum dan memandangnya dengan serius membuat jantung si gadis berdegup kencang.“Nenek bukan di
Kedua tungkai itu bergerak cepat menembus gelapnya malam. Tanpa peduli berapa kali tubuhnya harus jatuh terjerembab karena akar menyembul yang menabrak ujung kaki, gadis itu buru-buru bangkit dan kembali melanjutkan laju tungkainya yang sempat terhenti. Bunyi napas dan degup jantungnya terdengar sama keras dengan bunyi hewan malam di sekitarnya.“Nenek! Aku pulang!”Pekikannya menggema ketika tangan mungilnya mendorong kenop pintu reyot, menghasilkan bunyi decitan kencang. Napas berantakan dan peluh yang membanjiri wajah sangat kontras dengan senyum cerah di bibirnya. Ketika sesosok wanita bersurai putih tertangkap netra, si gadis bergegas menghampiri dan melingkarkan lengannya di tubuh wanita tua itu.“Nenek aku berhasil! Aku berhasil, nek!”&ldq
“Nenek, aku pulang!”Surai cokelat si gadis melambai seiring tubuh mungilnya berhambur masuk ke rumah reyot di tengah hutan. Pintu yang rapuh dimakan rayap itu berdecit ketika ia membukanya. Napas berantakan dan debar kencang di dada tidak menghilangkan senyum lebar di wajah. Manik hazelnya berkeliling, hanya untuk menemukan gelap dan hening.“Nenek?”Semakin tungkainya melangkah masuk, hatinya terasa semakin berat. Debu menyapa hidung, membuat indra penciumnya otomatis merespon. Jaring putih tipis terbentuk di sudut rumah. Aneh. Membiarkan sarang laba-laba adalah hal terakhir yang akan neneknya lakukan. Hening dan gelap bukan lagi hal yang gadis itu jumpai ketika kedua kakinya membawa tubuh itu semakin dalam.Bau busuk.