“Siapa juga yang mau mengejar?” kata Yuanrang.
“Kau kan biasanya seperti itu,” kata Mengde. “Memangnya aku selalu begitu? Tidak. Kali ini sedikit berbeda. Aku merasa, kalau aku masuk lebih jauh, maka aku sudah tak bisa yakin dengan nasibku sendiri,” kata Yuanrang. “Instingmu menolak untuk maju,” tanya Miaocai. “Bisa dibilang begitu,” kata Yuanrang.“Hmmm … kalau insting Yuanrang menolak, berarti ada sesuatu yang menyeramkan di sana,” kata Miaocai.Di situasi mengancam seperti barusan, seharusnya reflek Miaocai bergerak mengambil anak panah dan menembak. Namun, apa yang dia lihat barusan membuat tangan dan otak Miaocai seolah membeku. Tak mampu bergerak dan tak mampu berkata-kata. Terlalu mengejutkan. Untung dua manusia aneh barusan tidak menyerang. Semua syaraf baru bisa bekerja secara normal setelah dua manusia aneh menghilang di kedalaman gua.“Mana ada manusia yang tinggal bersama lipan raksasa?” kata Yuanrang. Otaknya bekerja keras melawan fakta yang sangat tidak masuk akal ini, “Apakah mereka yang membawa lipan raksasa kemari?”“Memang ada kemungkinan seperti itu,” kata Mengde. Di ketidaktahuan seperti sekarang, mereka bertiga hanya bisa berspekulasi.Mengde semakin penasaran. Dia berjalan dan berhenti dua langkah di depan Yuanrang. Kemudian menciptakan belasan bola api dan menghujani titik yang sama seperti sebelumnya. Dari Tindakan Mengde itulah, para pendekar tahu kalau gua ini punya dua jalan. Jalan pertama yaitu jalan yang digunakan oleh dua orang misterius tadi. Cukup sempit dan mungkin hanya bisa dimasuki manusia saja. Sedangkan jalan kedua cukup lebar. Jelas lipan raksasa itu menggunakan jalan kedua.Yuanrang yang tadinya terfokus ke lipan, kini malah teralihkan dan berkata, “Dua orang tadi? Makhluk apa mereka? Mereka begitu pucat, memiliki taring, bermata kuning dan melangkah begitu cepat?” “Sudah, jangan dipikirkan, Yuanrang,” kata Miaocai, “Kita keluar sekarang. Kita tidak tahu berapa misteri mematikan yang tersembunyi di hutan dan gua ini.” Para pendekar pun berbalik dan mundur dulu. Mereka duduk di dekat mulut gua sambil mendiskusikan rencana mereka selanjutnya. Sudah tiga keanehan yang mereka temui. Jelas ada yang tidak wajar di hutan ini. Kini, para pendekar merasa lebih waspada. Di pikiran mereka, seolah ada yang mengawasi di balik dedaunan dan pohon-pohon hutan. “Kita jangan terlalu jauh dari rute kita,” kata Miaocai, “Kita tidak tahu apa yang mengintai kita di balik pepohonan.” “Kenapa terasa horror ya?” kata Yuanrang sambil mengamati kegelapan gua, “Padahal masih siang hari, lho.” “Memang sebaiknya segera kita selesaikan horror di siang hari ini. Target kita cukup bunuh lipan betina dan anak-anaknya saja. Setelah itu kita bawa kepala dua lipan dewasa dan tiga kepala anak-anaknya,” kata Mengde, “Hutan ini membuatku merinding.” “Untuk bukti ke Guru Yudhistira dan penguasa, ya?” kata Yuanrang, “Jangan lupa tanyakan juga makhluk macam apa yang kita temui.” Mengde mengacak-acak rambut dengan muka kusut, “Iya, benar. Memang niatku juga seperti itu. Anehnya, mereka tidak menyerang kita.” “Mungkin mereka merasa kalah jumlah,” kata Miaocai. “Kalau tahu ada dua makhluk lain di sini, aku pasti akan mencari informasi dulu,” kata Mengde. Secara mengejutkan, tiba-tiba Miaocai mengambil busur dan anak panah. Langsung membidik ke utara. Tentu ini mengejutkan Mengde dan Yuanrang. Di pikiran Mengde dan Yuanrang, mereka berdua sudah membayangkan makhluk yang aneh-aneh. Mereka segera tiarap, menghunuskan senjata dan bergerak ke belakang Miaocai. Panah Miaocai pun berdesing ke utara. Terdengar suara rusa yang mengerang kesakitan setelah panah Miaocai menembus kaki kanan belakang. Miaocai menembakkan panah lagi dan melukai kaki kiri belakang. Memang masih bisa berjalan. Tapi sudah tak sesempurna sebelumnya. Sekarang terlihat terpincang-pincang. “Apaan, Miaocai?” kata Yuanrang, “Kukira lipan raksasa atau apa? Ternyata hanya rusa!” “Kejar rusa itu, Yuanrang!” kata Mengde yang paham tujuan Miaocai. Yuanrang mencabut pedang dari sarungnya. Pedang yang tebal dan tajam itu menusuk leher rusa. Rusa malang jatuh tersungkur. Para pendekar pun segera menghampiri rusa. Yuanrang sekarang sudah paham kenapa Miaocai menembak rusa. “Maafkan aku, rusa,” kata Miaocai sambil menyembelih rusa. Para pendekar pun mulai memotong tubuh rusa. Memisahkan organ-organ menjadi dua. Bagian pertama untuk umpan lipan betina. Bagian kedua untuk bertahan hidup. Berjaga-jaga jika misi ini akan memakan waktu beberapa hari. Setelah tiga saluran utama di leher terpotong secara sempurna (saluran pernafasan, saluran darah dan saluran pencernaan), Mengde memenggal kepala rusa. Sedangkan Yuanrang membedah isi perutnya. Sementara Miaocai berusaha mencabut panah dari kaki-kaki rusa. “Bagian kaki belakang sudah terluka,” kata Miaocai, “Mungkin jatuh atau entah kenapa. Pantas saja kita bisa mendapatkan rusa ini lebih mudah. Terima kasih, Tuhan.” “Benar. Syukurlah. Jarang-jarang ada hewan liar di sini,” komentar Mengde. “Ya, seharusnya sudah terbantai oleh lipan betina,” kata Yuanrang yang beberapa detik kemudian matanya terbelalak, “Tunggu …” Insting Yuanrang langsung terpikir sesuatu ketika Mengde menyebut ‘jarang ada hewan liar di sini.’ Lalu tiba-tiba ada rusa di sini. Yuanrang bergeser dan memeriksa luka di kaki belakang rusa. Kemudian, dia pun berlari ke utara sambil terus memeriksa jejak kaki rusa. Langkah rusa cukup panjang. Ditambah dengan noda darah di setiap jejak kaki rusa. Jelas dia sedang dikejar sesuatu. Nafas Yuanrang bergemuruh seiring pikiran yang berkecamuk. Yuanrang segera kembali lagi ke dua sepupunya dan mulai menjelaskan analisisnya. “Apakah harimau, serigala atau beruang?” tanya Miaocai. “Pertanyaanku, apakah luka di kaki belakang berbentuk cakaran?” kata Yuanrang. Mereka bertiga langsung memeriksa jenis luka di kaki belakang rusa. Tidak ada bekas cakaran atau tanda-tanda dicakar hewan liar. Yang ada hanya tusukan di sisi luar kaki rusa. Otak mereka langsung teringat kalau lipan punya semacam capit di dekat mulutnya. “Kita angkat sekarang dan kabur,” kata Miaocai. “Terlalu berat,” kata Mengde. Tidak banyak bicara, Yuanrang segera membelah tubuh rusa menjadi tiga bagian. Memang Yuanrang tidak tahu bagian mana yang sebaiknya ditebas dan tidak baik untuk ditebas. Tapi di situasi genting seperti ini, Yuanrang tidak mau berpikir lebih lama lagi. Prioritas sekarang yaitu hanya berlari keluar hutan untuk menerapkan taktik yang sama seperti sebelumnya. Selama memungkinkan, jangan pernah mau bertarung di kandang lawan. “Ayo cepat kita ulang seperti sebelumnya!” kata Mengde. Mereka berlari secepat mungkin. Masing-masing dari mereka menggendong tiga bagian tubuh rusa. Mengde berada di bagian paling depan. Sementara Yuanrang berada di tengah untuk melindungi Miaocai. Miaocai membawa bagian paling ringan. Ini karena dia harus membagi konsentrasi untuk menciptakan jebakan es. Mengulang kesuksesan sebelumnya. Darah terus menetes dari tubuh rusa dan membasahi rerumputan. Memang mengotori baju besi mereka. Tapi itu tetap diperlukan supaya lipan raksasa bisa mengikuti jejak ini. Beberapa bagian perut terburai keluar. Para pendekar menebas bagian tubuh yang terburai supaya tidak menghalangi langkah mereka. “Kalian dengar suara dari utara?” kata Mengde yang terus berlari. “Sangat terdengar jelas,” kata Yuanrang. “Ya. Jelas lipan betina. Tak mungkin harimau, beruang atau serigala menimbulkan suara sebesar itu,” kata Miaocai. Yuanrang juga tertawa, “Memang benar. Kalau dia harimau, serigala atau hewan buas lain sekalipun, pasti muncul suara geraman atau raungan.” “Mengde, apa yang kita lakukan dengan daging rusa ini?” kata Miaocai. “Kita ulang taktik Yuanrang!” kata Mengde, “Kita cari batu yang bisa terjangkau dan kita letakkan kepala rusa di bagian dasar batu. Biarkan Yuanrang terjun dan menusukkan pedangnya.” Para pendekar sudah keluar dari hutan. Mereka menjalankan rencana Mengde. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan batu besar. Mereka segera melemparkan kepala rusa di bagian bawah, melapisi sekeliling dengan duri-duri es dan bersembunyi. Dari suara, lipan raksasa semakin mendekat. Yuanrang segera memanjat batu setinggi delapan kaki untuk memulai rencana. Lipan betina pun datang. Dia merespon bau darah rusa. Tanpa ragu, lipan mendekat dan menabrak jebakan es buatan Miaocai. Lipan mengeluarkan suara mendesis karena kesakitan. Setelah itu, dia berjalan lagi seperti tidak terjadi apapun. Apakah es buatan Miaocai berhasil mengoyak kalenjar yang memproduksi cairan? Apakah keberuntungan akan berpihak pada mereka lagi? Dari atas batu, Yuanrang terjun dan menusukkan pedang ke kepala lipan betina. Lipan betina mengeluarkan suara raungan dan desisan bergantian. Kulit bagian atas lipan memang keras. Tapi karena bantuan percepatan gravitasi, tusukan Yuanrang bisa menghancurkan bagian atas kepala lipan betina. Meski tidak menusuk terlalu dalam. Yuanrang membiarkan pedangnya menusuk di kepala lipan. Dia turun dan menjauh. Membiarkan lipan mengamuk kesakitan dan menabrakkan diri berkali-kali ke pohon dan segala arah. Sementara lipan sedang panik dan kesakitan, Yuanrang memanjat batu lagi. Ahli pedang itu ketakutan karena lipan betina mampu menembakkan banyak cairan ke segala arah. Mencari siapapun penyerangnya. Mungkin tusukan barusan hanya merusak sedikit bagian di otaknya. “Seru juga, nih,” Yuanrang menggertakkan gigi.Para pendekar tidak mau cairan aneh itu mengenai kulit mereka. Jika mampu menembakkan cairan aneh, berarti taktik yang mereka gunakan untuk menghadapi lipan jantan tidak bisa digunakan. Jika memaksa menggunakan, maka konsekuensinya harus siap untuk mandi cairan menjijikkan. Bahkan sampai sekarang mereka bertiga tidak mengetahui apa yang terjadi pada tubuh jika terkena cairan aneh itu.Lipan tiba-tiba bergerak ke batu tempat Yuanrang berdiri. Yuanrang menyiapkan cara untuk memberinya luka fatal. Dia berniat, sekali saja kepala lipan itu muncul di jangkauan penglihatannya, maka pedangnya akan merobek-robek mulut lipan. Target memang mulut. Kalau bagian atas tubuh terlalu susah ditembus pedang, kenapa tidak bagian yang lunak saja? Sebelum lipan sempat menyemburkan cairan menjijikkan. Ini adalah momen do or die.Yuanrang bisa melihat Miaocai yang bersembunyi di batu seberang. Pemanah itu muncul dan berdiri dengan busur terbentang. Di genggaman Miaocai sudah terpasang anak panah yang dilapisi dengan pengendalian es. Miaocai berniat baik untuk melindungi Yuanrang. Yuanrang paham hal ini. Tapi Yuanrang mengkode Miaocai untuk menahan dulu serangannya. Miaocai mengangguk dan masih memposisikan dalam mode membidik. Belum melepaskan alat panah.Begitu kepala lipan betina itu muncul, Yuanrang langsung menusukkan pedang ke mulut. Lalu mengarahkan kepala lipan ke kiri untuk menghindari tembakan cairan. Prediksi Yuanrang sesuai. Lipan betina menembakkan cairan dari mulutnya. Karena terluka, tembakan cairan pun tidak terarah. Lipan betina yang terkejut dan kesakitan pun jatuh dari batu. Dari atas, Yuanrang mengendalikan pedangnya untuk membuat robekan lebih besar di mulut lipan. Sudah kesakitan karena pedang dan terjatuh, lipan betina meronta-ronta di bawah.“SEKARANG!!!” kata Yuanrang yang mengkode Miaocai.Begitu dilepaskan oleh Miaocai, anak panah pun mengeluarkan duri-duri es. Bahkan juga memperbesar ujung panah juga. Sayangnya, anak panah gagal mengenai tubuh lipan betina. Mendarat di tanah yang jaraknya hanya dua kaki saja. Namun, meski meleset, lapisan es yang menyelimuti anak panah langsung terpecah dan menusuk-nusuk bagian bawah tubuh lipan betina.“Apa berhasil mengenai kalenjarnya?” teriak Miaocai.“Belum sepupu. Meleset sedikit,” kata Yuanrang yang jaraknya lebih dekat dengan lipan. Sehingga lebih jelas untuk menilai.Meski sadar diri kalau akurasinya tidak sebaik Miaocai, Yuanrang masih belum menyerah, Yuanrang masih terus menyerang lipan betina. Dari puncak batu, dia menggunakan pengendalian logam. Bagai digerakkan oleh hantu, pedang Yuanrang pun berkali-kali menusuk tubuh lipan. Kadang terkena punggung dan kadang terkena bagian bawah. Tidak semuanya kena. Yuanrang terus menyerang bagian leher dekat mulut. Target utama tentu merusak kalenjar yang memproduksi cairan aneh itu.Mengde keluar dari persembunyiannya. Dia bersembunyi di batu yang sama dengan Miaocai. Mata bocah cerdas itu terus mengamati tingkah lipan betina yang kesakitan. Sambil memikirkan cara bagaimana mengalahkan lipan betina menjijikkan ini. Setelah beberapa detik, lipan mulai pulih kembali. Berjalan lagi merayap batu untuk menyerang Yuanrang. Menurut analisis Mengde, lipan betina ini mengidentifikasi hanya ada satu objek yang mengancam nyawa. Yaitu Yuanrang. Tidak bisa mengidentifikasi dua ancaman lain. Meski ukurannya besar, na
Kita bantai jugalah,” kata Yuanrang. “Iya. Itu sudah jelas. Tapi kalau soal bayi-bayi lipan ini, kita harus masuk ke gua. Ketika masuk ke gua, kita tidak punya siapapun yang menjaga mulut gua. Selain bayi lipan, di dalam gua juga ada dua manusia pucat aneh dan bertaring? Bagaimana jika hewan misterius itu masuk ke gua dan mengintai punggung kita? Kita berisiko bertarung melawan tiga objek sekaligus. Kita tadi sudah beruntung lho tidak diserang oleh tiga objek sekaligus ketika masuk gua.” “Ah, benar juga. Tidak baik jika kita selalu mengandalkan keberuntungan,” kata Yuanrang. Termenung menghadapi beberapa potensi masalah ini, Mengde terdiam dan berpikir. Analisis risiko menurut Miaocai memang masuk akal. Tidak mungkin juga jika harus bertarung melawan dua objek misterius dan kumpulan bayi lipan dalam waktu yang sama dan di dalam area yang tidak mereka kenali. Belum lagi mereka bertiga masih belum mengetahui informasi apapun tentang dua objek misterius yang tinggal di dalam hutan. Bay
Para pendekar dan Xing Lian mencari alat tulis dan kertas. Mereka langsung mencari di rumah kepala desa karena tak mau berlama-lama. Namanya kepala desa, pasti punya banyak alat tulis dan kertas. Sudah menjadi kewajiban kepala desa untuk membuat laporan tertulis kepada penguasa wilayah setempat. Setelah semua lengkap, mereka mulai membagi tugas.“Miaocai, Yuanrang, tolong kalian congkel mata kiri tiap lipan dan bungkus dengan kain. Kita tunjukkan buktinya. Aku akan menulis surat pada Guru Yudhistira,” kata Mengde.Yang kami hormati, Guru Yudhistira dan Tuan Penguasa Wilayah.Saya yang menulis ini, Cao Mengde. Bersama dengan Yuanrang dan Miaocai.Bersamaan dengan surat ini, kami perlu menyampaikan beberapa hal:1. Kami berhasil membunuh lipan jantan dan lipan betina. Kami punya bukti berupa kepala dari masing-masing lipan. Dengan surat ini juga, kami kirimkan bukti berupa mata kiri dari setiap lipan.2. Kami belum membunuh bayi-bayi lipan yang tinggal di dalam gua. Karena kami
Ketidaknormalan pria misterius terlihat ketika dia membuka cadar. Memperlihatkan giginya yang penuh taring-taring tajam. Tidak mungkin manusia normal punya gigi seperti hewan buas pemakan daging. Beberapa bagian tubuh yang terlihat pun mulai menumbuhkan bulu-bulu hitam yang sangat tidak asing bagi tiga pendekar. Tulang mulut pun mulai bergerak abnormal. Membentuk moncong seperti anjing atau serigala. Mata yang di awal mirip manusia normal, kini berubah menguning dan pupil pun mempipih seperti hewan buas. Jari-jari yang tadi berwarna mirip manusia normal juga mulai menghitam, ditumbuhi bulu dan cakar yang tajam. Selama proses perubahan, pria misterius itu meraung-raung dan mengaduh kesakitan. Suara rintihan kesakitan yang awalnya sama dengan manusia biasa, berubah menjadi mirip raungan dan geraman khas hewan buas pemakan daging. Selama bertransformasi, pria misterius itu masih berdiri di tempat. Sepasang sepatu yang dia pakai juga rusak perlahan. Sepasang kaki yang membesar menghancurk
“Kenapa kau tidak menghilang lagi?” tanya Mengde. “Kalian yang senang,” kata hewan buas, “Bukankah itu sama saja memberi kalian waktu untuk memasang jebakan?” “Kalau kau segitu takutnya dengan jebakan kami, kenapa tidak kabur saja daripada menghadapi kami?” kata Yuanrang. “Kau … sejak awal selalu mengejekku ya?” kata hewan buas. Hewan buas tidak berkata-kata lagi. Dia langsung melompat dengan tangan kanan terbentang ke atas. Yuanrang sudah bersiap dengan dua pedang. Hewan buas mengayunkan pedang tapi ditangkis oleh Yuanrang. Meski sudah sekuat mungkin memasang kuda-kuda, tetap saja Yuanrang bergeser dan sedikit kehilangan keseimbangan. Ketika Yuanrang masih memposisikan kaki lagi, kaki kanan hewan buas berputar dan menendang bahu kiri Yuanrang. Posisi kaki yang belum sempurna membuat Yuanrang terlempar, menghancurkan pintu rumah dan melesat sampai ke dalam rumah. “Apakah tendanganku enak?” kata hewan buas. “Sangat
“Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” kata Yuanrang. Setelah menghantam berkali-kali dalam, akhirnya pintu es-es di bagian yang menyegel bagian bawah rumah rusak juga. Namun dia tidak kunjung keluar. Padahal Mengde dan Yuanrang sudah mempersiapkan diri. Yuanrang juga sudah mengkode Miaocai untuk bersiap dengan siulan. Setelah beberapa detik juga tidak keluar. “Kenapa tidak jadi keluar?” tanya Mengde. “Mungkin dia mendadak sakit perut, sembelit atau ada gangguan lain. Sehingga harus buang air dulu?” duga Yuanrang. Mengde mengangkat bahu dan berkata, “Bisa jadi, ya.” Tiba-tiba saja hewan buas melompat dari lantai dua. Langsung terjun dan mengarah ke Yuanrang. Saat sudah dekat, Yuanrang melompat dan memberikan dua tendangan sekaligus. Mendorong hewan buas ke jalanan. Di saat itulah Mengde mengaktifkan jebakan api. Dari tanah, jilatan api yang sangat besar keluar dan membakar tubuh hewan buas. Hewan buas menjerit dan
“Mana pedangku?!” kata Yuanrang, “Kita tebas kepala bandit-bandit!”“Tenang, Yuanrang!” bisik Mengde, “Diam dulu dan kita amati pergerakan musuh!”Suara derapan kuda semakin mendekat. Kemudian melewati rumah tempat mereka menginap. Kemudian suara derapan kuda hilang sesaat. Beberapa menit kemudian, derapan kuda terdengar lagi. Dibilang menjauh juga tidak. Suara derapan kuda tidak segera menghilang. Pendengaran Yuanrang yang tajam menyimpulkan kalau penunggang kuda ini seperti mengelilingi seluruh lokasi pedesaan.“Mungkin bandit,” kata Mengde, “Hanya orang bodoh yang berkeliling di desa ini malam-malam begini.”“Bandit?? Seorang diri?? Aku mendengar, kira-kira hanya satu kuda,” kata Mengde.“Siapa tahu sekelompok bandit mengirimkan satu utusan untuk memantau kondisi sekitar, kan?” jawab Miaocai, “Kemudian kembali lagi dan melaporkan ke pimpinan mereka kalau situasi sudah aman.”“Ah, benar juga. Enak saja para bandit. Kita yang membunuh hewan buas dan mereka tinggal menikmatinya begitu
“Sebenarnya, yang membuatku penasaran, kenapa para strigoi dan lukanthropos sampai jauh-jauh datang ke China?” kata Yudhistira, “Apakah di Eropa sulit mencari mangsa? Atau pemerintahan Romawi semakin represif terhadap mereka?” “Lukan … apa?” tanya Mengde. “Lukanthropos, Mengde,” kata Yudhistira, “Itu sebutan orang-orang Romawi terhadap manusia serigala.” “Sebentar, ada yang tidak kupahami. Jika lukanthropos berasal dari Eropa, pasti para lukanthropos punya penampilan fisik khas orang Eropa. Maksudku, ketika dalam wujud manusia. Namun, lukanthropos yang kami lihat, secara etnis mereka menyerupai orang Asia Timur. Sama seperti kami,” kata Mengde. “Benarkah seperti itu?” tanya Yudhistira pada Miaocai dan Yuanrang. Anggukan dari Miaocai dan Yuanrang membuat Yudhistira semakin pusing. Bagaimana bisa? Tidak masuk akal. Yudhistira yang di awal memakai kata lukanthropos, kini menjadi tidak yakin. Secara umum, para lukanthropos naturalnya memang mampu mengubah diri menjadi manusia atau cam
Yuanrang berpamitan dengan Xing Lian dan rombongan. Setelah kepala ular beres. Sekarang dia harus mengabari misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Yaitu menyampaikan surat ke Livilla.“Kalau bertemu monster yang aneh-aneh lagi, pergilah,” kata Xing Lian, “Aku tidak yakin kau bisa menghadapi ini semua.”“Ah, kau meremehkanku,” kata Yuanrang.“Bukan meremehkan. Kita belum mengungkap misteri kenapa para monster berdatangan dari utara. Jangan mati dululah.Yuanrang pun tertawa, “Iya. Iya. Aku mengerti.”Mereka berdua pun berpisah. Xing Lian memacu kudanya ke selatan. Yuanrang masuk ke hutan. Bukan hal yang sulit bagi Yuanrang untuk menemukan gua. Dia sudah ke sana tiga kali.Sesampainya di gua, Yuanrang masuk ke permukaan. Tak ada siapapun di sana. Juga tak ada cahaya. Yang ada keheningan. Dia juga tak berani masuk terlalu dalam. Di samping karena tak ada cahaya, Yuanrang belum menguasai gua sepenuhnya. Jadi dia hanya memanggil-manggil nama Livilla saja.“Livilla!! Livilla
“Tidak. Aku tidak sependapat denganmu, Guru,” kata Mengde.“Kenapa?” Tanya Yudhistira.“Tidak efektif jika kita semua harus bergerak bersama-sama ke Bukit Lang Xue. Lebih baik kita menyebar. Dua orang ke Bukit Lang Xue. Dua orang mengabari Livilla.”“Ide yang baik, Mengde. Tapi, bukankah kalian tidak bisa Bahasa Romawi?”Pertanyaan balik Yudhistira mendiamkan tiga pendekar. Memang bagian itulah yang dilupakan tiga pendekar. Di sini hanya Yudhistira yang mampu Bahasa Romawi.“Bagaimana jika guru saja yang menemui Livilla? Kami bertiga akan pergi ke Lang Xue,” tanya Yuanrang.“Jangan tolol, Yuanrang,” kata Yudhistira, “Dua alasan. Pertama, Kita semua tidak tahu seperti itu 'bajingan tua' yang diceritakan oleh Qiong Qi ini. Kalau 'bajingan tua' itu mampu menebas sayap Qiong Qi dan bahkan mampu memanfaatkan Qiong Qi untuk melakukan agendanya, berarti dia sangat kuat. Kupertegas lagi. Meski yang kita hadapi barusan jenis Qiong Qi terlemah, pada dasarnya, Qiong Qi adalah monster yang cukup
“Guru, kita kan belum bicara dengan Livilla,” kata Mengde yang berbisik pada gurunya supaya tidak terdengar Xing Lian, “Apakah kira-kira mereka setuju soal tempat tinggal mereka berikutnya? Warga Romawi tinggal di sarang kumuh bandit?”Yudhistira tersenyum dan balas berbisik pula, “Kalau menurutku, lebih banyak setuju daripada tidak setuju. Karena letaknya lebih condong ke utara, minimal sudah layak ditinggali manusia, jauh dari pemukiman penduduk dan terkenal banyak serigala di sini. Organisasi mereka juga dilatih untuk siap menghadapi banyak kondisi. Yah, kalau memang mereka tidak berminat, bisa kita carikan tempat lain. Yang penting mereka pindah dulu.”Para pendekar dan Xing Lian sudah hampir sampai di kaki bukit Lang Xue. Di depan, Yuanrang bisa melihat keindahan perbukitan Lang Xue. Bukit Lang Xue menjulang di atas dataran sekitarnya. Mungkin, dari atas, Yuanrang bisa melihat pemandangan daerah sekitarnya yang sangat indah. Bukit Lang Xue ditutupi tanaman hijau subur. Ada d
“Sebentar, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Yudhistira, “Kita tidak mengira kalau strigoi di dalam gua ternyata netral dan baik. Yang pasti, jangan sampai para penduduk desa dan semuanya tahu detailnya. Hanya kita dan penguasa yang boleh tahu.”“Termasuk Xing Lian?” Kata Mengde.“Termasuk Xing Lian,” tegas Yudhistira.“Kalau begitu, kita bilang saja ke Xing Lian dan tentara yang mengawalnya kalau kita belum menyelesaikan dua orang aneh itu,” kata Yuanrang, “Kalimatku memang jujur kan? Kita belum menyelesaikan mereka. Kalau Xing Lian tanya lebih spesifik, kita jawab saja situasi di dalam sangat gelap. Bahkan cahaya api Mengde pun kesusahan untuk menjangkau. Kita laporkan saja kalau kita berhasil membunuh lipan.”“Masalahnya, apakah Xing Lian sudah memberitahu ke penduduk desa kalau ada sesuatu di sana selain lipan?” tanya Miaocai.“Xing Lian berkata padaku kalau dia belum memberitahu. Setelah surat kalian sampai padaku, aku pun memperingatkan Xing Lian supaya tidak memberitahu
“Apakah di antara kalian yang diam-diam mempelajari pengendalian air atau tiba-tiba mampu mengendalikan air?” kata Mengde.“Jangan bodoh, Mengde,” kata Yuanrang, “Tidak ada yang namanya diam-diam dan tiba-tiba mampu.”Tiba-tiba air di kolam seolah bergelombang seperti ditiup angin. Yuanrang yang mulai curiga segera bersiap. Air-air kemudian melayang di udara dan mulai menghujani api-api buatan Mengde. Beberapa gumpalan api pun padam.“Pengendalian air asli,” kata Yuanrang, “Mengde, jangan sampai kita kehilangan cahaya.”“Ya,” jawab Mengde.“Semua tetap tenang!” kata Yudhistira yang melangkah ke depan untuk melindungi tiga muridnya.Mengde pun menebarkan api lagi dan kali ini lebih banyak. Terlalu berisiko jika mereka tidak bisa melihat di tempat yang tak mendapat cahaya seperti di sini. Jelas ada orang lain di sini. Bahkan berpotensi berbahaya karena mampu mengendalikan air.Seiring banyaknya api yang ada, area ini semakan terang. Seiring menguatnya cahaya, empat pendekar pun melihat
Ketika sampai di tanah lapang, mereka Memotong bangkai induk lipan menjadi beberapa bagian. Kemudian mengangkut ke gerobak. Setelah semua selesai, mereka lanjut memasuki hutan dan berjalan menuju gua.“Pintar juga kau, Miaocai,” kata Yudhistira yang melihat gumpalan es yang membungkus tubuh lipan raksasa “Mengawetkan tubuh bangkai.”“Aku sendiri tidak tahu apakah lipan mengenal kanibalisme atau tidak,” kata Miaocai.“Entahlah,” kata Yudhistira, “Tapi sepengetahuanku, jika kita menganalogikan dengan lipan kecil, normalnya mereka memakan daging atau tumbuhan. Umumnya mereka menyerang hewan yang lebih kecil dari diri mereka. Jadi, kemungkinan besar mereka akan memakan tubuh induk mereka. Selama mencium bau daging. Tidak tahu lagi kalau lipan raksasa. Aku memang pernah membunuh lipan raksasa ketika di daerah utara. Cuma untuk kebiasaan makan mereka, tidak sedetail itu.”“Hewan apa yang jadi predator lipan?” tanya Yuanrang.“Beberapa jenis burung pemakan daging atau serangga,” jawab Yudhist
“Sebenarnya, yang membuatku penasaran, kenapa para strigoi dan lukanthropos sampai jauh-jauh datang ke China?” kata Yudhistira, “Apakah di Eropa sulit mencari mangsa? Atau pemerintahan Romawi semakin represif terhadap mereka?” “Lukan … apa?” tanya Mengde. “Lukanthropos, Mengde,” kata Yudhistira, “Itu sebutan orang-orang Romawi terhadap manusia serigala.” “Sebentar, ada yang tidak kupahami. Jika lukanthropos berasal dari Eropa, pasti para lukanthropos punya penampilan fisik khas orang Eropa. Maksudku, ketika dalam wujud manusia. Namun, lukanthropos yang kami lihat, secara etnis mereka menyerupai orang Asia Timur. Sama seperti kami,” kata Mengde. “Benarkah seperti itu?” tanya Yudhistira pada Miaocai dan Yuanrang. Anggukan dari Miaocai dan Yuanrang membuat Yudhistira semakin pusing. Bagaimana bisa? Tidak masuk akal. Yudhistira yang di awal memakai kata lukanthropos, kini menjadi tidak yakin. Secara umum, para lukanthropos naturalnya memang mampu mengubah diri menjadi manusia atau cam
“Mana pedangku?!” kata Yuanrang, “Kita tebas kepala bandit-bandit!”“Tenang, Yuanrang!” bisik Mengde, “Diam dulu dan kita amati pergerakan musuh!”Suara derapan kuda semakin mendekat. Kemudian melewati rumah tempat mereka menginap. Kemudian suara derapan kuda hilang sesaat. Beberapa menit kemudian, derapan kuda terdengar lagi. Dibilang menjauh juga tidak. Suara derapan kuda tidak segera menghilang. Pendengaran Yuanrang yang tajam menyimpulkan kalau penunggang kuda ini seperti mengelilingi seluruh lokasi pedesaan.“Mungkin bandit,” kata Mengde, “Hanya orang bodoh yang berkeliling di desa ini malam-malam begini.”“Bandit?? Seorang diri?? Aku mendengar, kira-kira hanya satu kuda,” kata Mengde.“Siapa tahu sekelompok bandit mengirimkan satu utusan untuk memantau kondisi sekitar, kan?” jawab Miaocai, “Kemudian kembali lagi dan melaporkan ke pimpinan mereka kalau situasi sudah aman.”“Ah, benar juga. Enak saja para bandit. Kita yang membunuh hewan buas dan mereka tinggal menikmatinya begitu
“Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” kata Yuanrang. Setelah menghantam berkali-kali dalam, akhirnya pintu es-es di bagian yang menyegel bagian bawah rumah rusak juga. Namun dia tidak kunjung keluar. Padahal Mengde dan Yuanrang sudah mempersiapkan diri. Yuanrang juga sudah mengkode Miaocai untuk bersiap dengan siulan. Setelah beberapa detik juga tidak keluar. “Kenapa tidak jadi keluar?” tanya Mengde. “Mungkin dia mendadak sakit perut, sembelit atau ada gangguan lain. Sehingga harus buang air dulu?” duga Yuanrang. Mengde mengangkat bahu dan berkata, “Bisa jadi, ya.” Tiba-tiba saja hewan buas melompat dari lantai dua. Langsung terjun dan mengarah ke Yuanrang. Saat sudah dekat, Yuanrang melompat dan memberikan dua tendangan sekaligus. Mendorong hewan buas ke jalanan. Di saat itulah Mengde mengaktifkan jebakan api. Dari tanah, jilatan api yang sangat besar keluar dan membakar tubuh hewan buas. Hewan buas menjerit dan