Share

7. Xing Lian

Author: Henry Hafidz
last update Last Updated: 2023-06-09 23:19:14

Kita bantai jugalah,” kata Yuanrang.

“Iya. Itu sudah jelas. Tapi kalau soal bayi-bayi lipan ini, kita harus masuk ke gua. Ketika masuk ke gua, kita tidak punya siapapun yang menjaga mulut gua. Selain bayi lipan, di dalam gua juga ada dua manusia pucat aneh dan bertaring? Bagaimana jika hewan misterius itu masuk ke gua dan mengintai punggung kita? Kita berisiko bertarung melawan tiga objek sekaligus. Kita tadi sudah beruntung lho tidak diserang oleh tiga objek sekaligus ketika masuk gua.”

“Ah, benar juga. Tidak baik jika kita selalu mengandalkan keberuntungan,” kata Yuanrang.

Termenung menghadapi beberapa potensi masalah ini, Mengde terdiam dan berpikir. Analisis risiko menurut Miaocai memang masuk akal. Tidak mungkin juga jika harus bertarung melawan dua objek misterius dan kumpulan bayi lipan dalam waktu yang sama dan di dalam area yang tidak mereka kenali. Belum lagi mereka bertiga masih belum mengetahui informasi apapun tentang dua objek misterius yang tinggal di dalam hutan. Bayi lipan mungkin tidak seganas dua induknya. Meski begitu, jumlah mereka cukup banyak. Dengan kata lain, bayi lipan sudah menang secara jumlah. Mereka tadi hanya membunuh tiga bayi lipan. Mengde yakin kalau tiga bayi lipan hanya beberapa persennya saja dari keseluruhan. Bayangkan, satu siklus beranak saja bisa menghasilkan sepuluh hingga lima puluh lipan baru.

“Omonganmu benar juga, Miaocai,” kata Yuanrang, “Rencana awal kita tadi berkemah di dekat mulut hutan kan? Bagaimana jika dua objek misterius itu bekerja sama dan menyerang kita ketika sedang tidur. Lebih baik kita urungkan lagi. Kita tidur saja di perkampungan yang kita lewati tadi. Kampung tadi sudah ditinggalkan oleh semua pemiliknya kan?”

“Ya untuk sementara. Kalau masalah lipan ini selesai juga mereka akan balik lagi,” kata Miaocai.

“Ya benar seperti itu. Tapi kan intinya mereka baru akan kembali setelah kita membawa dua kepala induk lipan kan? Selama kita belum membawa kepala, kita bisa bebas tidur di sana,” kata Yuanrang.

“Kita tidur di perkampungan saja,” tegas Mengde.

“Baiklah. Kita amati saja dulu sekarang kondisi hutan ini. Jangan masuk ke gua dulu,” kata Miaocai.

“Tidak. Jangan, Miaocai! Hutannya besok saja! Kita lebih baik kembali dulu ke perkampungan!” kata Mengde.

Tentu kalimat Mengde ini membuat Yuanrang dan Miaocai keheranan. Padahal kondisi masih siang. Masih belum masuk sore. Mereka punya banyak waktu untuk mengenali hutan hingga matahari tenggelam. Kondisi fisik juga masih belum sepenuhnya lelah. Mungkin cukup beberapa air untuk menghilangkan rasa lelah. Sesuai prinsip yang diajarkan Yudhistira. Kalau perang harus mengenali kondisi geografis suatu wilayah terlebih dahulu.

“Kenapa?” tanya Yuanrang.

“Kita buat semua kemungkinan risiko dan masalah yang berpotensi menyerang kita. Lalu kita buat langkah strategi dan alternatif sesuai dengan kemungkinan risiko,” kata Mengde.

“Ah, tinggal pancing saja para lipan dengan cara yang sama,” kata Miaocai, “Lalu kita bantai para bayi lipan setelah mereka keluar.”

“Benar juga. Lumayan untuk mencicil pekerjaan. Kalau hari ini tidak selesai, kita lanjutkan besok,” dukung Yuanrang, “Cukup kita bawa saja bangkai lipan betina ini lalu kita asapi mereka. Tidak perlu mencari bahan bakar lain. Tubuh lipan ini cukup besar. Kita potong-potong menjadi beberapa bagian supaya lebih mudah.”

“Kita lakukan semua besok saja, teman-teman,” kata Mengde, “Ada yang mengganggu pikiranku.”

“Apakah itu?” tanya Yuanrang.

Mengde berdiri dan menghunuskan pedang, “Akan kujelaskan nanti di kampung. Kita potong saja dulu kepala lipan ini dan kita segera balik ke kampung.”

Para pendekar pun menjalankan rencana Mengde. Di perjalanan kembali ke kampung, mereka bertiga tidak banyak bicara. Miaocai kelelahan karena membekukan bangkai berukuran besar dengan lapisan es tebal membutuhkan energi yang tidak sedikit. Yuanrang mencoba bermeditasi. Tapi pikiran tidak mampu tenang karena masih penasaran. Sedangkan Mengde memikirkan berbagai potensi masalah, risiko serta strategi untuk menangani semua potensi masalah.

“Nah, kita sudah sampai,” kata Yuanrang ketika kuda baru memasuki sisi utara desa, “Sekarang katakan apa yang mengganggu pikiranmu, Mengde.”

Sadar Yuanrang sudah menahan rasa penasaran, Mengde menjelaskan juga, “Seperti yang kalian tahu, hewan buas berbulu hitam itu mengawasi kita. Aku juga punya rencana untuk nanti malam. Tapi kujelaskan dulu apa saja yang mengganggu pemikiranku.

“Pertama, entah apa tujuan hewan buas itu mengintai kita? Kalau memang dia hewan buas, begitu melihat mangsa, pasti akan menyerang. Yang aneh, ketika kita berhasil membunuh lipan betina sampai kita berangkat ke sini, hewan buas itu tetap tidak menyerang? Kita perhitungkan juga dia menunggu kita menyelesaikan lipan betina, baru dia menyerang kita ketika kelelahan. Lalu yang aku heran, meski kita sudah menyelesaikan lipan betina, kenapa hewan buas itu malah menghilang dan pergi?”

Yuanrang mulai menangkap kebingungan Mengde, “Maksudmu … hewan itu bukan …”

“Kau mulai paham,” potong Mengde, “Pertanyaanku, apakah hewan berbulu hitam itu benar-benar hewan? Kalian yakin itu hewan? Bukan sesuatu yang lain? Sesuatu dari tanah Bangsa Hun yang tidak kita ketahui? Dunia ini luas, teman-teman. Lalu apakah hewan buas itu sendirian? Bagaimana jika ada beberapa dari mereka di sini?”

“Oke. Kami paham kecemasanmu. Lalu yang kedua?” tanya Yuanrang.

“Yang kedua, dua manusia bertaring dan bertubuh pucat. Bagaimana mungkin mereka tinggal satu rumah dengan para lipan yang buas seperti itu? Kegilaan macam apa? Mereka bertingkah seolah para lipan peliharaannya? Aku curiga, jangan-jangan merekalah yang membawa para lipan kemari. Jika memang kemungkinan itu benar, maka kita berhadapan dengan musuh yang lebih merepotkan dan jauh lebih berakal dari lipan,” kata Mengde,

“Apakah ada yang ketiga?” tanya Miaocai.

“Yang ketiga, hubungan antara semua faktor masalah yang kita ketahui barusan. Apakah hewan buas berkulit hitam tadi berhubungan dengan dua manusia bertaring? Kalau mereka memang ternyata berkoordinasi, wah … bisa gawat!”

Belum sempat menyelesaikan argumen, mereka bertiga dikejutkan oleh suara orang bersin. Suara barusan dari dalam rumah. Tentu para pendekar langsung menghunuskan setiap senjata. Berjaga-jaga jika ada perampok, penjarah atau bandit yang memanfaatkan kesempatan untuk mencuri barang-barang milik penduduk desa.”

“Siapapun kalian, keluarlah!!!” bentak Mengde.

“Kau yang keluar …” kata Yuanrang dengan nada tinggi, “Atau pedang dan panah kami yang masuk?”

“Maaf, maaf,” terdengar suara seorang gadis dari dalam rumah, “Aku tidak bermaksud mendengarkan pembicaraan kalian.”

Gadis yang baru muncul ini kira-kira dua tahun lebih tua daripada tiga pendekar. Dia memakai pakaian sederhana seperti petani pada umumnya. Warna rambutnya kombinasi antara hitam dan coklat. Mungkin karena sering terjemur matahari. Di pinggang sebelah kiri ada sarung pedang. Tangan kirinya menggenggam sabit yang masih tajam. Dia juga membawa busur dan anak panah yang lengkap. Seperti orang yang siap berperang. Berbadan kurus. Tidak terlihat seperti perampok atau bandit.

“Jawab pertanyaanku. Siapa namamu dan kenapa kau masih di sini?” tanya Yuanrang.

“Namauku Xing Lian. Aku masih di sini karena masih harus mencari barangku yang hilang,” kata gadis itu.

“Jangan bodoh. Di sini berbahaya!” kata Yuanrang, “Pergilah dari sini!”

“Lipan itu biasanya menyerang setiap malam. Jadi selama siang begini aku akan aman. Aku berniat ke pengungsian begitu matahari mulai terbenam. Sore hari. Di siang hari begini, aku malah khawatir ada perampok atau penjarah yang tahu desa ini sudah ditinggalkan.”

“Sepasang lipan sudah kami bunuh,” kata Miaocai, “Tinggal bayi-bayi lipan saja.”

Xing Lian mengernyit, “Masa? Bocah seperti kalian? Aku tidak percaya.”

“Kami punya bukti,” jawab Mengde.

“Mana? Bisa tolong tunjukkan padaku?”

Yuanrang membawa Xing Lian ke gerobak. Di sana ada dua tumpukan kain. Sebelum membuka, mereka sudah menutup hidung menahan bau bangkai yang jelas tidak enak. Yuanrang membuka setiap kain dan menunjukkan pada Xing Lian. Xing Lian terpana melihat dua kepala lipan raksasa itu. Gadis petani itu terdiam selama beberapa detik. Baru kemudian senyumpun mengembang. Lalu berbalik badan dan menunduk pada para pendekar.

“Maafkan aku. Aku tidak mempercayai kalian,” kata Xing Lian yang terus menunduk, “Paling tidak, bencana di desaku sudah berkurang dua.”

“Iya. Seperti yang kutegaskan tadi,” kata Miaocai lalu mengulang kalimatnya, “Masih ada bayi-bayi lipan dan tiga makhluk yang belum bisa kami identifikasi. Kami tak bisa menyimpulkan mereka monster atau manusia.”

“Makhluk hitam berbulu, kan?” kata Xing Lian, “Aku tadi tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Aku sudah tahu hal itu. Namun tak ada yang percaya padaku.”

“Tak ada yang per … Tunggu, kau sudah menceritakan keberadaan makhluk selain lipan pada penduduk desa?” kata Mengde.

“Sudah. sudah menegaskan pada mereka kalau beberapa penduduk ada yang diculik oleh hewan berbulu hitam. Pergerakan si bulu hitam itu di bawah bayang-bayang lipan. Setiap lipan bergerak, makhluk itu juga bergerak. Jadi, tidak heran kalau penduduk desa hanya berfokus pada lipan. Selain itu juga mereka mengaku tidak pernah melihatnya. Agak susah juga meyakinkan para penduduk,” Xing Lian menghela nafas, “Aku beruntung menemui kalian yang benar-benar sudah melihat hewan berbulu hitam.”

“Lalu apa yang kau ketahui tentang manusia pucat dan bertaring?” tanya Yuanrang.

“Aku tak tahu apapun tentang itu,” kata Xing Lian, “Jadi masih ada yang lain, ya?”

“Ya itu saja yang kami ketahui. Hewan besar berbulu hitam, dua manusia bertaring dan lipan. Kami belum memperhitungkan kemungkinan monster lain yang masih bersembuyi di hutan.”

“Iya. Untuk dua lipan yang sudah kalian bunuh, kami sangat berterima kasih,” kata Xing Lian, “Kalian tidak kembali? Oh iya, harus membunuh bayi-bayi lipan ya?”

Yuanrang mengangguk, “Benar. Selain itu juga, kalau kami beruntung, mungkin kami bisa membunuh hewan buas berbulu hitam.”

“Itu yang menjadi kecemasan kami,” kata Mengde.

“Untuk menghadapi bahaya seperti itu, bukankah kita sebaiknya mengkontak dan berkonsultasi pada Guru Yudhistira? Kita berhadapan dengan potensi-potensi masalah yang tak terduga,” saran Miaocai.

“Pulang dulu lalu ke sini lagi? Bukankah itu merepotkan?” kata Yuanrang.

“Jangan bodoh, Yuanrang. Kita tulis surat saja,” kata Miaocai yang lalu menunjuk Xing Lian, “Lalu kita kirimkan ke gadis ini. Bukankah Guru Yudhistira sekarang berada di area pengungsian?”

“Xing Lian, Apa benar kau akan kembali ke pengungsian? Barangmu sudah ketemu?” tanya Mengde.

Xing Lian menggangguk, “Barangku sudah ketemu, aku akan kembali ke pengungsian dan siap menjadi kurir kalian.”

“Percuma, Mengde,” kata Yuanrang, “Dia tidak tahu wajah Guru Yudhistira.”

“Akan kutulis suratnya,” kata Mengde, “Suruh saja Xing Lian untuk menemui penguasa wilayah. Biarkan penguasa wilayah yang menyampaikan ke Guru Yudhistira. Penguasa wilayah kan mengenali Guru Yudhistira. Guru juga mengenali tulisan tangan kita kan?”

“Ah, kalau penguasa aku tahu wajahnya,” kata Xing Lian, “Baiklah. Akan kubantu kalian.”

“Sebelum kita mencari alat tulis, Xing Lian, ada yang ingin kukonfirmasi lagi padamu,” kata Mengde yang melihat Xing Lian dengan serius, “Untuk waktunya, apa benar hewan buas itu menyerang di malam hari.”

Xing Lian mengangguk, “Biasanya seperti itu. Kalau dua lipan sudah kalian bantai, aku tak tahu lagi apakah dia akan tetap bergerak atau tidak. Karena seperti yang kukatakan tadi, hewan buas itu bergerak memanfaatkan serangan lipan. Jadi semacam berkamuflase begitu. Singkat kata, memanfaatkan kepanikan penduduk.”

“Baiklah, terima kasih, Xing Lian,” kata Mengde, “Aku punya rencana yang sangat bagus untuk menyambutnya.”

Related chapters

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   8. Malam Hari

    Para pendekar dan Xing Lian mencari alat tulis dan kertas. Mereka langsung mencari di rumah kepala desa karena tak mau berlama-lama. Namanya kepala desa, pasti punya banyak alat tulis dan kertas. Sudah menjadi kewajiban kepala desa untuk membuat laporan tertulis kepada penguasa wilayah setempat. Setelah semua lengkap, mereka mulai membagi tugas.“Miaocai, Yuanrang, tolong kalian congkel mata kiri tiap lipan dan bungkus dengan kain. Kita tunjukkan buktinya. Aku akan menulis surat pada Guru Yudhistira,” kata Mengde.Yang kami hormati, Guru Yudhistira dan Tuan Penguasa Wilayah.Saya yang menulis ini, Cao Mengde. Bersama dengan Yuanrang dan Miaocai.Bersamaan dengan surat ini, kami perlu menyampaikan beberapa hal:1. Kami berhasil membunuh lipan jantan dan lipan betina. Kami punya bukti berupa kepala dari masing-masing lipan. Dengan surat ini juga, kami kirimkan bukti berupa mata kiri dari setiap lipan.2. Kami belum membunuh bayi-bayi lipan yang tinggal di dalam gua. Karena kami

    Last Updated : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   9. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas

    Ketidaknormalan pria misterius terlihat ketika dia membuka cadar. Memperlihatkan giginya yang penuh taring-taring tajam. Tidak mungkin manusia normal punya gigi seperti hewan buas pemakan daging. Beberapa bagian tubuh yang terlihat pun mulai menumbuhkan bulu-bulu hitam yang sangat tidak asing bagi tiga pendekar. Tulang mulut pun mulai bergerak abnormal. Membentuk moncong seperti anjing atau serigala. Mata yang di awal mirip manusia normal, kini berubah menguning dan pupil pun mempipih seperti hewan buas. Jari-jari yang tadi berwarna mirip manusia normal juga mulai menghitam, ditumbuhi bulu dan cakar yang tajam. Selama proses perubahan, pria misterius itu meraung-raung dan mengaduh kesakitan. Suara rintihan kesakitan yang awalnya sama dengan manusia biasa, berubah menjadi mirip raungan dan geraman khas hewan buas pemakan daging. Selama bertransformasi, pria misterius itu masih berdiri di tempat. Sepasang sepatu yang dia pakai juga rusak perlahan. Sepasang kaki yang membesar menghancurk

    Last Updated : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   10. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas (2)

    “Kenapa kau tidak menghilang lagi?” tanya Mengde. “Kalian yang senang,” kata hewan buas, “Bukankah itu sama saja memberi kalian waktu untuk memasang jebakan?” “Kalau kau segitu takutnya dengan jebakan kami, kenapa tidak kabur saja daripada menghadapi kami?” kata Yuanrang. “Kau … sejak awal selalu mengejekku ya?” kata hewan buas. Hewan buas tidak berkata-kata lagi. Dia langsung melompat dengan tangan kanan terbentang ke atas. Yuanrang sudah bersiap dengan dua pedang. Hewan buas mengayunkan pedang tapi ditangkis oleh Yuanrang. Meski sudah sekuat mungkin memasang kuda-kuda, tetap saja Yuanrang bergeser dan sedikit kehilangan keseimbangan. Ketika Yuanrang masih memposisikan kaki lagi, kaki kanan hewan buas berputar dan menendang bahu kiri Yuanrang. Posisi kaki yang belum sempurna membuat Yuanrang terlempar, menghancurkan pintu rumah dan melesat sampai ke dalam rumah. “Apakah tendanganku enak?” kata hewan buas. “Sangat

    Last Updated : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   11. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas (3)

    “Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” kata Yuanrang. Setelah menghantam berkali-kali dalam, akhirnya pintu es-es di bagian yang menyegel bagian bawah rumah rusak juga. Namun dia tidak kunjung keluar. Padahal Mengde dan Yuanrang sudah mempersiapkan diri. Yuanrang juga sudah mengkode Miaocai untuk bersiap dengan siulan. Setelah beberapa detik juga tidak keluar. “Kenapa tidak jadi keluar?” tanya Mengde. “Mungkin dia mendadak sakit perut, sembelit atau ada gangguan lain. Sehingga harus buang air dulu?” duga Yuanrang. Mengde mengangkat bahu dan berkata, “Bisa jadi, ya.” Tiba-tiba saja hewan buas melompat dari lantai dua. Langsung terjun dan mengarah ke Yuanrang. Saat sudah dekat, Yuanrang melompat dan memberikan dua tendangan sekaligus. Mendorong hewan buas ke jalanan. Di saat itulah Mengde mengaktifkan jebakan api. Dari tanah, jilatan api yang sangat besar keluar dan membakar tubuh hewan buas. Hewan buas menjerit dan

    Last Updated : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   12. Zhengyi Zi Mao

    “Mana pedangku?!” kata Yuanrang, “Kita tebas kepala bandit-bandit!”“Tenang, Yuanrang!” bisik Mengde, “Diam dulu dan kita amati pergerakan musuh!”Suara derapan kuda semakin mendekat. Kemudian melewati rumah tempat mereka menginap. Kemudian suara derapan kuda hilang sesaat. Beberapa menit kemudian, derapan kuda terdengar lagi. Dibilang menjauh juga tidak. Suara derapan kuda tidak segera menghilang. Pendengaran Yuanrang yang tajam menyimpulkan kalau penunggang kuda ini seperti mengelilingi seluruh lokasi pedesaan.“Mungkin bandit,” kata Mengde, “Hanya orang bodoh yang berkeliling di desa ini malam-malam begini.”“Bandit?? Seorang diri?? Aku mendengar, kira-kira hanya satu kuda,” kata Mengde.“Siapa tahu sekelompok bandit mengirimkan satu utusan untuk memantau kondisi sekitar, kan?” jawab Miaocai, “Kemudian kembali lagi dan melaporkan ke pimpinan mereka kalau situasi sudah aman.”“Ah, benar juga. Enak saja para bandit. Kita yang membunuh hewan buas dan mereka tinggal menikmatinya begitu

    Last Updated : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   13. Strigoi dan Lukanthropos

    “Sebenarnya, yang membuatku penasaran, kenapa para strigoi dan lukanthropos sampai jauh-jauh datang ke China?” kata Yudhistira, “Apakah di Eropa sulit mencari mangsa? Atau pemerintahan Romawi semakin represif terhadap mereka?” “Lukan … apa?” tanya Mengde. “Lukanthropos, Mengde,” kata Yudhistira, “Itu sebutan orang-orang Romawi terhadap manusia serigala.” “Sebentar, ada yang tidak kupahami. Jika lukanthropos berasal dari Eropa, pasti para lukanthropos punya penampilan fisik khas orang Eropa. Maksudku, ketika dalam wujud manusia. Namun, lukanthropos yang kami lihat, secara etnis mereka menyerupai orang Asia Timur. Sama seperti kami,” kata Mengde. “Benarkah seperti itu?” tanya Yudhistira pada Miaocai dan Yuanrang. Anggukan dari Miaocai dan Yuanrang membuat Yudhistira semakin pusing. Bagaimana bisa? Tidak masuk akal. Yudhistira yang di awal memakai kata lukanthropos, kini menjadi tidak yakin. Secara umum, para lukanthropos naturalnya memang mampu mengubah diri menjadi manusia atau cam

    Last Updated : 2023-06-10
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   14. Pembantaian Bayi Lipan

    Ketika sampai di tanah lapang, mereka Memotong bangkai induk lipan menjadi beberapa bagian. Kemudian mengangkut ke gerobak. Setelah semua selesai, mereka lanjut memasuki hutan dan berjalan menuju gua.“Pintar juga kau, Miaocai,” kata Yudhistira yang melihat gumpalan es yang membungkus tubuh lipan raksasa “Mengawetkan tubuh bangkai.”“Aku sendiri tidak tahu apakah lipan mengenal kanibalisme atau tidak,” kata Miaocai.“Entahlah,” kata Yudhistira, “Tapi sepengetahuanku, jika kita menganalogikan dengan lipan kecil, normalnya mereka memakan daging atau tumbuhan. Umumnya mereka menyerang hewan yang lebih kecil dari diri mereka. Jadi, kemungkinan besar mereka akan memakan tubuh induk mereka. Selama mencium bau daging. Tidak tahu lagi kalau lipan raksasa. Aku memang pernah membunuh lipan raksasa ketika di daerah utara. Cuma untuk kebiasaan makan mereka, tidak sedetail itu.”“Hewan apa yang jadi predator lipan?” tanya Yuanrang.“Beberapa jenis burung pemakan daging atau serangga,” jawab Yudhist

    Last Updated : 2023-06-10
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   15. Livilla

    “Apakah di antara kalian yang diam-diam mempelajari pengendalian air atau tiba-tiba mampu mengendalikan air?” kata Mengde.“Jangan bodoh, Mengde,” kata Yuanrang, “Tidak ada yang namanya diam-diam dan tiba-tiba mampu.”Tiba-tiba air di kolam seolah bergelombang seperti ditiup angin. Yuanrang yang mulai curiga segera bersiap. Air-air kemudian melayang di udara dan mulai menghujani api-api buatan Mengde. Beberapa gumpalan api pun padam.“Pengendalian air asli,” kata Yuanrang, “Mengde, jangan sampai kita kehilangan cahaya.”“Ya,” jawab Mengde.“Semua tetap tenang!” kata Yudhistira yang melangkah ke depan untuk melindungi tiga muridnya.Mengde pun menebarkan api lagi dan kali ini lebih banyak. Terlalu berisiko jika mereka tidak bisa melihat di tempat yang tak mendapat cahaya seperti di sini. Jelas ada orang lain di sini. Bahkan berpotensi berbahaya karena mampu mengendalikan air.Seiring banyaknya api yang ada, area ini semakan terang. Seiring menguatnya cahaya, empat pendekar pun melihat

    Last Updated : 2023-06-10

Latest chapter

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   20. Yuanrang Versus Livilla

    Yuanrang berpamitan dengan Xing Lian dan rombongan. Setelah kepala ular beres. Sekarang dia harus mengabari misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Yaitu menyampaikan surat ke Livilla.“Kalau bertemu monster yang aneh-aneh lagi, pergilah,” kata Xing Lian, “Aku tidak yakin kau bisa menghadapi ini semua.”“Ah, kau meremehkanku,” kata Yuanrang.“Bukan meremehkan. Kita belum mengungkap misteri kenapa para monster berdatangan dari utara. Jangan mati dululah.Yuanrang pun tertawa, “Iya. Iya. Aku mengerti.”Mereka berdua pun berpisah. Xing Lian memacu kudanya ke selatan. Yuanrang masuk ke hutan. Bukan hal yang sulit bagi Yuanrang untuk menemukan gua. Dia sudah ke sana tiga kali.Sesampainya di gua, Yuanrang masuk ke permukaan. Tak ada siapapun di sana. Juga tak ada cahaya. Yang ada keheningan. Dia juga tak berani masuk terlalu dalam. Di samping karena tak ada cahaya, Yuanrang belum menguasai gua sepenuhnya. Jadi dia hanya memanggil-manggil nama Livilla saja.“Livilla!! Livilla

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   18. Dua Surat

    “Tidak. Aku tidak sependapat denganmu, Guru,” kata Mengde.“Kenapa?” Tanya Yudhistira.“Tidak efektif jika kita semua harus bergerak bersama-sama ke Bukit Lang Xue. Lebih baik kita menyebar. Dua orang ke Bukit Lang Xue. Dua orang mengabari Livilla.”“Ide yang baik, Mengde. Tapi, bukankah kalian tidak bisa Bahasa Romawi?”Pertanyaan balik Yudhistira mendiamkan tiga pendekar. Memang bagian itulah yang dilupakan tiga pendekar. Di sini hanya Yudhistira yang mampu Bahasa Romawi.“Bagaimana jika guru saja yang menemui Livilla? Kami bertiga akan pergi ke Lang Xue,” tanya Yuanrang.“Jangan tolol, Yuanrang,” kata Yudhistira, “Dua alasan. Pertama, Kita semua tidak tahu seperti itu 'bajingan tua' yang diceritakan oleh Qiong Qi ini. Kalau 'bajingan tua' itu mampu menebas sayap Qiong Qi dan bahkan mampu memanfaatkan Qiong Qi untuk melakukan agendanya, berarti dia sangat kuat. Kupertegas lagi. Meski yang kita hadapi barusan jenis Qiong Qi terlemah, pada dasarnya, Qiong Qi adalah monster yang cukup

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   17. Qiong Qi

    “Guru, kita kan belum bicara dengan Livilla,” kata Mengde yang berbisik pada gurunya supaya tidak terdengar Xing Lian, “Apakah kira-kira mereka setuju soal tempat tinggal mereka berikutnya? Warga Romawi tinggal di sarang kumuh bandit?”Yudhistira tersenyum dan balas berbisik pula, “Kalau menurutku, lebih banyak setuju daripada tidak setuju. Karena letaknya lebih condong ke utara, minimal sudah layak ditinggali manusia, jauh dari pemukiman penduduk dan terkenal banyak serigala di sini. Organisasi mereka juga dilatih untuk siap menghadapi banyak kondisi. Yah, kalau memang mereka tidak berminat, bisa kita carikan tempat lain. Yang penting mereka pindah dulu.”Para pendekar dan Xing Lian sudah hampir sampai di kaki bukit Lang Xue. Di depan, Yuanrang bisa melihat keindahan perbukitan Lang Xue. Bukit Lang Xue menjulang di atas dataran sekitarnya. Mungkin, dari atas, Yuanrang bisa melihat pemandangan daerah sekitarnya yang sangat indah. Bukit Lang Xue ditutupi tanaman hijau subur. Ada d

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   16. Yuanrang and Qiong Qi

    “Sebentar, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Yudhistira, “Kita tidak mengira kalau strigoi di dalam gua ternyata netral dan baik. Yang pasti, jangan sampai para penduduk desa dan semuanya tahu detailnya. Hanya kita dan penguasa yang boleh tahu.”“Termasuk Xing Lian?” Kata Mengde.“Termasuk Xing Lian,” tegas Yudhistira.“Kalau begitu, kita bilang saja ke Xing Lian dan tentara yang mengawalnya kalau kita belum menyelesaikan dua orang aneh itu,” kata Yuanrang, “Kalimatku memang jujur kan? Kita belum menyelesaikan mereka. Kalau Xing Lian tanya lebih spesifik, kita jawab saja situasi di dalam sangat gelap. Bahkan cahaya api Mengde pun kesusahan untuk menjangkau. Kita laporkan saja kalau kita berhasil membunuh lipan.”“Masalahnya, apakah Xing Lian sudah memberitahu ke penduduk desa kalau ada sesuatu di sana selain lipan?” tanya Miaocai.“Xing Lian berkata padaku kalau dia belum memberitahu. Setelah surat kalian sampai padaku, aku pun memperingatkan Xing Lian supaya tidak memberitahu

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   15. Livilla

    “Apakah di antara kalian yang diam-diam mempelajari pengendalian air atau tiba-tiba mampu mengendalikan air?” kata Mengde.“Jangan bodoh, Mengde,” kata Yuanrang, “Tidak ada yang namanya diam-diam dan tiba-tiba mampu.”Tiba-tiba air di kolam seolah bergelombang seperti ditiup angin. Yuanrang yang mulai curiga segera bersiap. Air-air kemudian melayang di udara dan mulai menghujani api-api buatan Mengde. Beberapa gumpalan api pun padam.“Pengendalian air asli,” kata Yuanrang, “Mengde, jangan sampai kita kehilangan cahaya.”“Ya,” jawab Mengde.“Semua tetap tenang!” kata Yudhistira yang melangkah ke depan untuk melindungi tiga muridnya.Mengde pun menebarkan api lagi dan kali ini lebih banyak. Terlalu berisiko jika mereka tidak bisa melihat di tempat yang tak mendapat cahaya seperti di sini. Jelas ada orang lain di sini. Bahkan berpotensi berbahaya karena mampu mengendalikan air.Seiring banyaknya api yang ada, area ini semakan terang. Seiring menguatnya cahaya, empat pendekar pun melihat

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   14. Pembantaian Bayi Lipan

    Ketika sampai di tanah lapang, mereka Memotong bangkai induk lipan menjadi beberapa bagian. Kemudian mengangkut ke gerobak. Setelah semua selesai, mereka lanjut memasuki hutan dan berjalan menuju gua.“Pintar juga kau, Miaocai,” kata Yudhistira yang melihat gumpalan es yang membungkus tubuh lipan raksasa “Mengawetkan tubuh bangkai.”“Aku sendiri tidak tahu apakah lipan mengenal kanibalisme atau tidak,” kata Miaocai.“Entahlah,” kata Yudhistira, “Tapi sepengetahuanku, jika kita menganalogikan dengan lipan kecil, normalnya mereka memakan daging atau tumbuhan. Umumnya mereka menyerang hewan yang lebih kecil dari diri mereka. Jadi, kemungkinan besar mereka akan memakan tubuh induk mereka. Selama mencium bau daging. Tidak tahu lagi kalau lipan raksasa. Aku memang pernah membunuh lipan raksasa ketika di daerah utara. Cuma untuk kebiasaan makan mereka, tidak sedetail itu.”“Hewan apa yang jadi predator lipan?” tanya Yuanrang.“Beberapa jenis burung pemakan daging atau serangga,” jawab Yudhist

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   13. Strigoi dan Lukanthropos

    “Sebenarnya, yang membuatku penasaran, kenapa para strigoi dan lukanthropos sampai jauh-jauh datang ke China?” kata Yudhistira, “Apakah di Eropa sulit mencari mangsa? Atau pemerintahan Romawi semakin represif terhadap mereka?” “Lukan … apa?” tanya Mengde. “Lukanthropos, Mengde,” kata Yudhistira, “Itu sebutan orang-orang Romawi terhadap manusia serigala.” “Sebentar, ada yang tidak kupahami. Jika lukanthropos berasal dari Eropa, pasti para lukanthropos punya penampilan fisik khas orang Eropa. Maksudku, ketika dalam wujud manusia. Namun, lukanthropos yang kami lihat, secara etnis mereka menyerupai orang Asia Timur. Sama seperti kami,” kata Mengde. “Benarkah seperti itu?” tanya Yudhistira pada Miaocai dan Yuanrang. Anggukan dari Miaocai dan Yuanrang membuat Yudhistira semakin pusing. Bagaimana bisa? Tidak masuk akal. Yudhistira yang di awal memakai kata lukanthropos, kini menjadi tidak yakin. Secara umum, para lukanthropos naturalnya memang mampu mengubah diri menjadi manusia atau cam

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   12. Zhengyi Zi Mao

    “Mana pedangku?!” kata Yuanrang, “Kita tebas kepala bandit-bandit!”“Tenang, Yuanrang!” bisik Mengde, “Diam dulu dan kita amati pergerakan musuh!”Suara derapan kuda semakin mendekat. Kemudian melewati rumah tempat mereka menginap. Kemudian suara derapan kuda hilang sesaat. Beberapa menit kemudian, derapan kuda terdengar lagi. Dibilang menjauh juga tidak. Suara derapan kuda tidak segera menghilang. Pendengaran Yuanrang yang tajam menyimpulkan kalau penunggang kuda ini seperti mengelilingi seluruh lokasi pedesaan.“Mungkin bandit,” kata Mengde, “Hanya orang bodoh yang berkeliling di desa ini malam-malam begini.”“Bandit?? Seorang diri?? Aku mendengar, kira-kira hanya satu kuda,” kata Mengde.“Siapa tahu sekelompok bandit mengirimkan satu utusan untuk memantau kondisi sekitar, kan?” jawab Miaocai, “Kemudian kembali lagi dan melaporkan ke pimpinan mereka kalau situasi sudah aman.”“Ah, benar juga. Enak saja para bandit. Kita yang membunuh hewan buas dan mereka tinggal menikmatinya begitu

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   11. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas (3)

    “Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” kata Yuanrang. Setelah menghantam berkali-kali dalam, akhirnya pintu es-es di bagian yang menyegel bagian bawah rumah rusak juga. Namun dia tidak kunjung keluar. Padahal Mengde dan Yuanrang sudah mempersiapkan diri. Yuanrang juga sudah mengkode Miaocai untuk bersiap dengan siulan. Setelah beberapa detik juga tidak keluar. “Kenapa tidak jadi keluar?” tanya Mengde. “Mungkin dia mendadak sakit perut, sembelit atau ada gangguan lain. Sehingga harus buang air dulu?” duga Yuanrang. Mengde mengangkat bahu dan berkata, “Bisa jadi, ya.” Tiba-tiba saja hewan buas melompat dari lantai dua. Langsung terjun dan mengarah ke Yuanrang. Saat sudah dekat, Yuanrang melompat dan memberikan dua tendangan sekaligus. Mendorong hewan buas ke jalanan. Di saat itulah Mengde mengaktifkan jebakan api. Dari tanah, jilatan api yang sangat besar keluar dan membakar tubuh hewan buas. Hewan buas menjerit dan

DMCA.com Protection Status