Share

6. Lipan Betina (2)

Penulis: Henry Hafidz
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-09 22:56:00

Meski sadar diri kalau akurasinya tidak sebaik Miaocai, Yuanrang masih belum menyerah, Yuanrang masih terus menyerang lipan betina. Dari puncak batu, dia menggunakan pengendalian logam. Bagai digerakkan oleh hantu, pedang Yuanrang pun berkali-kali menusuk tubuh lipan. Kadang terkena punggung dan kadang terkena bagian bawah. Tidak semuanya kena.  Yuanrang terus menyerang bagian leher dekat mulut. Target utama tentu merusak kalenjar yang memproduksi cairan aneh itu.

Mengde keluar dari persembunyiannya. Dia bersembunyi di batu yang sama dengan Miaocai. Mata bocah cerdas itu terus mengamati tingkah lipan betina yang kesakitan. Sambil memikirkan cara bagaimana mengalahkan lipan betina menjijikkan ini. Setelah beberapa detik, lipan mulai pulih kembali. Berjalan lagi merayap batu untuk menyerang Yuanrang. Menurut analisis Mengde, lipan betina ini mengidentifikasi hanya ada satu objek yang mengancam nyawa. Yaitu Yuanrang. Tidak bisa mengidentifikasi dua ancaman lain. Meski ukurannya besar, namanya juga hewan. Lipan tak mampu berpikir dengan baik.

“Haruskah aku turun tangan? Akan kubakar lipan betina ini!” kata Mengde.

“Belum,” kata Miaocai yang menarik anak panah sambil menambahkan energi es, “Terlalu berbahaya selama dia masih mampu menembakkan cairan menjijikkan itu.”

“Aku tidak enak karena hanya kalian yang bertarung. Mungkin aku bisa sedikit membantu dengan …”

“Hentikan rasa tidak enak tololmu yang subjektif itu, Mengde. Otakmu jauh lebih hebat daripada kemampuan fisikmu.”

Mengde pun tertawa, “Aku bingung, kalimatmu barusan pujian atau ejekan?”

“Bisa keduanya,” tawa Miaocai.

“Sekarang, Miaocai!!” teriak Yuanrang.

Miaocai menembak lagi dengan panah sesuai perintah Yuanrang. Kali ini targetnya bukan mengenai kalenjar. Prioritas yaitu melindungi Yuanrang. Tembakan barusan tepat kepala dan merusak bagian atas mulutnya. Belum sempat mencapai Yuanrang, lipan betina itu jatuh ke tanah lagi. Melihat mulut yang sudah rusak, timbul pertanyaan di benak Miaocai.

“Mengde, kau lihat mulut atas?” kata Miaocai.

“Ya. Kenapa?” kata Mengde.

“Kalau mulut bagian atasnya sudah rusak, apakah dia mampu menembakkan cairan dengan baik?”

“Brengsek! Boleh juga pertanyaanmu.”

“Akan kucoba tembak lagi. Kubidik rahang bawahnya,” kata Miaocai dengan teknik yang sama.

            Beginilah filosofi dan seni perang yang diajarkan oleh pertapa bernama Yudhistira. Pertapa yang jauh-jauh datang dari negara India itu sangatlah bijak dan berperan sebagai guru yang sangat baik. Kecerdasan dan kebijaksanaan yang tinggi dan terlatih, bisa mengatasi keadaan yang tersulit sekalipun. Membawa seseorang ke kemenangan, bertahan hidup dan keuntungan yang besar. Sekalipun tiga remaja ini minim pengalaman perang, mereka bisa optimis dengan nasehat dari Yudhistira. Lawan mereka berukuran lebih besar dari mereka. Tapi mereka tidak takut.

            Salah satu kebijaksanaan yang diajarkan oleh Yudhistira adalah konsep sadar diri atau mengenali diri sendiri. Sebelum menghadapi musuh atau permasalahan hidup, seorang manusia harus mengenali apa saja kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Tiga murid Yudhistira ini sadar, mereka bukan tokoh utama dari suatu cerita fiktif. Dimana tokoh utama yang punya kekuatan spesial dan privilege serta yang bisa hidup seterusnya sampai cerita berakhir. Di kehidupan nyata yang penuh konflik seperti ini, satu keputusan yang salah maka bisa membawa ke kematian.

            Konsep mengenali diri sendiri ini diterapkan oleh tiga murid Yudhistira di perburuan lipan raksasa ini. Mereka sadar diri kalau tidak punya pengalaman yang cukup. Di lihat dari waktu bertempur pun, mereka memang sengaja memilih siang hari supaya lebih mudah mengamati musuh. Di sisi lain, mereka juga tidak mengenali musuh dan juga tidak mengenali wilayah milik musuh. Karena itulah mereka membawa lipan raksasa di daerah yang netral dan mudah diamati. Seperti area padang rumput berbatu tempat mereka bertarung sekarang. Meski sudah di tempat netral, tiga murid Yudhistira juga tidak terlalu percaya diri. Mereka harus bertarung sedikit demi sedikit untuk melemahkan kemampuan bertarung musuh. Sebelum bertarung secara frontal.

            Berkat tebasan pedang Yuanrang dengan pengendalian logam, lipan raksasa sudah tidak mampu berjalan dengan normal lagi. Kaki-kaki lipan sudah tidak lengkap. Berjalan pun sudah oleng karena kehilangan keseimbangan. Musuh sudah cukup lemah. Namun sekarang berbeda dengan lipan jantan. Lipan betina ini kemungkinan masih mampu menembakkan cairan lagi. Karena itulah para pendekar harus memastikan dulu.

            “Tembak dia, Miaocai!” perintah Mengde

            Supaya tidak meleset lagi, Miaocai memperkecil jarak dengan lipan betina. Tapi tidak terlalu dekat juga. Tetap menjaga batas aman. Jaga-jaga untuk memberi waktu menghindar jika lipan betina menembakkan cairan. Tembakan Miaocai pun berhasil merusak mulut bagian bawah lipan. Jika panah biasa mungkin hanya menusuk saja. Jika panah yang sudah dilapisi es, maka lukanya akan tersebar. Tambah bonus efek pembekuan aliran darah musuh. Lipan pun berteriak kesakitan.

            Masih belum yakin, Miaocai maju tiga langkah sambil mengambil anak panah. Kemudian menembak lagi. Kali ini tepat mengenai permukaan kulit di atas kalenjar lagi. Meski begitu, Miaocai belum yakin juga. Baru akan menyerang lagi, lipan menatap dirinya.

            “Sial!” kata Miaocai yang berlari mundur.

            Lipan betina maju dan mulai bergerak mendekati Miaocai. Namun jarak antara mereka terus melebar. Ini karena kaki lipan sudah banyak yang hilang karena ditebas oleh Yuanrang. Sehingga kecepatan larinya melambat dan arah lari pun menjadi tidak jelas. Kestabilan pun rusak. Miaocai yang terselamatkan, segera mencari tempat persembunyian lain bersama Mengde.

            Dari ketinggian batu, Yuanrang mengamati pergerakan lipan betina yang mengejar. Selama mengejar, lipan betina tidak hanya dua kali menembakkan cairan. Jeda antar dua cairan itu pun cenderung lebih lama dari sebelumnya. Ditambah lagi arahnya tembakan pun tidak beraturan. Beda dengan ketika kondisi kalenjar milik lipan masih baik-baik saja. Lipan bisa menembakkan cairan setiap saat dan sesukanya. Sekarang tampak kesulitan. Kemampuan lipan yang menurun adalah tanda yang baik untuk para pendekar.

            “Miaocai! Mengde!” teriak Yuanrang, “Kalenjarnya hampir rusak! Dia tidak mampu menembakkan cairan dengan baik! Tembakanmu barusan tepat sasaran, Miaocai.”

            Teriakan Yuanrang malah memancing lipan. Tapi memang inilah yang memang dicari Yuanrang. Lipan yang tadi mengarah ke selatan, sekarang berputar balik ke utara. Dia mulai bergerak lagi sambil menembakkan cairan satu kali. Tapi cairan barusan tidak mengenai Yuanrang. Jarak antara lipan dan Yuanrang cukup jauh sehingga Yuanrang bisa dengan mudah menghindar. Yuanrang tetap bertiarap untuk menjebak lipan betina. Jika kepala lipan betina muncul, Yuanrang tinggal menusuk dan merobek kalenjarnya.

            “Ayo kemarilah, Nyonya Besar,” kata Yuanrang.

            Namun kali ini tidak sesuai rencana Yuanrang. Begitu muncul, mulut lipan langsung berusaha menggigit kaki Yuanrang, Yuanrang segera menghindar. Lipan bentina masih belum menyerah juga. Dia malah menembakkan cairan lagi meski arahnya kacau. Yuanrang segera menusukkan pedang ke mulut lipan betina. Memang berhasil. Namun, sebelum jatuh, lipan betina sempat mengibaskan bagian depan tubuh ke Yuanrang. Yuanrang berhasil menghindar. Tapi, karena area permukaan batu cenderung sempit, Yuanrang kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari batu. Untung dia berhasil menggapai tepian batu.

            “Yuanrang!!” teriak Mengde.

            “Aman!!” balas Yuanrang, “Aku masih bisa memanjat!”

            Susah payah, Yuanrang mencoba memanjat kembali ke posisi awal. Aslinya mudah karena pijakan batu juga mudah untuk dipanjat. Tapi karena kejadian barusan lumayan mengejutkan dan tidak terduga, Yuanrang sudah panik duluan. Bahkan Yuanrang tidak memikirkan pedangnya yang tersangkut di mulut lipan betina. Setelah menenangkan diri, Yuanrang berhasil naik batu pada akhirnya.

            “Berhati-hatilah!” teriak Mengde.

            “Lipan obesitas ini mengejutkanku!” Yuanrang balas teriak.

            Dari atas, Yuanrang melihat lipan betina menggeliat-geliat di bawah. Kesakitan karena pedang besar dan tajam menusuk ke dalam mulutnya. Dari sini pula, Yuanrang melihat Mengde keluar dari batu. Dengan pengendalian api, Mengde berkali-kali menebaskan pedang. Dari pedangnya itu keluar gelombang api yang menghujani tubuh lipan. Api pun membakar beberapa bagian tubuh lipan. Mengde baru menghentikan serangan ketika melihat lipan betina menembakkan cairan sekali. Meski hanya sekali, cukup untuk membuat Mengde mundur.

            “Jangan gegabah!” kata Yuanrang, “Ini bukan kau, Mengde.”

            “Kita harus segera mengalahkan lipan ini!” teriak Mengde.

            Yuanrang agak merasa aneh dengan kalimat Mengde. Pada dasarnya, memang itu yang harus segera dilakukan. Tapi tidak boleh gegabah juga. Karena lipan betina ini ternyata masih mampu menembakkan cairan. Yuanrang pun turun dari batu untuk menebas seluruh kaki-kaki lipan betina supaya lumpuh. Sekalian membalas perkataan Mengde. Pengendali logam itu melemparkan pedang. Lalu merotasi pedang Bagai kincir angin dan beberapa kaki lipan betina yang terpotong. Menggagalkan upaya lipan betina untuk mengejar Mengde.

“Ya memang itu semua yang kita inginkan!” kata Yuanrang, “Tahu sendiri lipan betina ini masih mencoba bertarung!”

“Bukan itu maksudku!” teriak Mengde.

“Cepat boleh tapi jangan gegabah, Mengde! Ini seperti bukan Mengde!”

“Ah, sudahlah. Kita bunuh lipan ini dulu dan nanti kujelaskan!”      

Sudah lebih mudah setelah lipan mulai lambat dan hampir lumpuh, Yuanrang pun berjalan ke sisi kiri lipan betina. Merotasi pedangnya lagi dan menebas semua kaki kiri lipan. Kemudian Yuanrang berjalan ke kanan dan menebas semua kaki kanan. Sekarang tinggal penyelesaian saja.

“Sudah aman!” teriak Yuanrang, “Kemarilah tapi tetap jaga jarak dengan mulutnya!”

Mengde dan Miaocai muncul dari balik batu. Mereka mulai berjalan berputar untuk mendekati sisi ekor lipan betina. Antisipasi jika ternyata lipan masih bisa menembakkan cairan lagi. Setelah sampai di ekor lipan, Mengde menghujani lipan betina dengan puluhan tebasan api yang membara. Sampai akhirnya membakar hampir semua bagian tubuhnya.

“Sudah. Tinggal kita tunggu saja sampai lipan betina ini mati,” kata Mengde yang mengajak dua saudara sepupu duduk bersama.

“Apa yang ingin kau jelaskan tadi?” kata Yuanrang.

Mengde menoleh ke kanan dan kiri. Seolah waspada terhadap sesuatu. Lalu dia berdiri dan mengecek kondisi hutan dari luar. Kemudian kembali lagi duduk di depan Miaocai dan Yuanrang.

“Kebelet buang air besar?” tanya Miaocai.

“Bodoh!” kata Mengde yang kemudian berbisik, “Aku melihat sosok berbulu hitam mengamati kita dari balik dedaunan hutan.”

            Sekarang Yuanrang mulai menangkap maksud Mengde tadi. Karena Mengde menangkap ada potensi pertarungan yang baru. Akan susah jika mereka harus menghadapi dua pertarungan sekaligus di waktu yang sama. Ditambah lagi, Yuanrang curiga kalau binatang buas berbulu hitam ini punya kecerdasan yang nyaris setara dengan manusia. Belum lagi kondisi mereka masih Lelah setelah dua pertarungan barusan dan lari mondar-mandir dari tanah lapang ke hutan.

Yuanrang dan Miaocai menoleh ke hutan. Mencari sosok berbulu hitam yang mengintai mereka. Namun sekarang tidak mendapati apapun di sana. Hanya warna hijau dari tumbuhan dan warna rumput yang sudah menguning. Tanda-tanda suara pun tidak ada. Hanya terdengar suara gemerisik daun yang tertiup angin timur. Sosok yang dimaksud oleh Mengde seolah menghilang ditelan lebatnya hutan. Yuanrang pun berpikir kalau Mengde mungkin salah lihat.

“Kau yakin tidak salah lihat, Mengde?” tanya Yuanrang, “Mungkin kau kelelahan.”

            “Tidak. Aku bersumpah. Terlihat jelas. Sangat jelas,” kata Mengde.

            “Atau berhalusinasi?” tanya Yuanrang.

            “Kau brengsek!! Aku bukan pecandu!!” Mengde geram.

“Kau juga melihatnya, Miaocai?” tanya Yuanrang.

            “Tidak. Tapi aku percaya dengan Mengde. Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Kita masih kurang bayi-bayi lipan,” kata Miaocai.

Bab terkait

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   7. Xing Lian

    Kita bantai jugalah,” kata Yuanrang. “Iya. Itu sudah jelas. Tapi kalau soal bayi-bayi lipan ini, kita harus masuk ke gua. Ketika masuk ke gua, kita tidak punya siapapun yang menjaga mulut gua. Selain bayi lipan, di dalam gua juga ada dua manusia pucat aneh dan bertaring? Bagaimana jika hewan misterius itu masuk ke gua dan mengintai punggung kita? Kita berisiko bertarung melawan tiga objek sekaligus. Kita tadi sudah beruntung lho tidak diserang oleh tiga objek sekaligus ketika masuk gua.” “Ah, benar juga. Tidak baik jika kita selalu mengandalkan keberuntungan,” kata Yuanrang. Termenung menghadapi beberapa potensi masalah ini, Mengde terdiam dan berpikir. Analisis risiko menurut Miaocai memang masuk akal. Tidak mungkin juga jika harus bertarung melawan dua objek misterius dan kumpulan bayi lipan dalam waktu yang sama dan di dalam area yang tidak mereka kenali. Belum lagi mereka bertiga masih belum mengetahui informasi apapun tentang dua objek misterius yang tinggal di dalam hutan. Bay

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   8. Malam Hari

    Para pendekar dan Xing Lian mencari alat tulis dan kertas. Mereka langsung mencari di rumah kepala desa karena tak mau berlama-lama. Namanya kepala desa, pasti punya banyak alat tulis dan kertas. Sudah menjadi kewajiban kepala desa untuk membuat laporan tertulis kepada penguasa wilayah setempat. Setelah semua lengkap, mereka mulai membagi tugas.“Miaocai, Yuanrang, tolong kalian congkel mata kiri tiap lipan dan bungkus dengan kain. Kita tunjukkan buktinya. Aku akan menulis surat pada Guru Yudhistira,” kata Mengde.Yang kami hormati, Guru Yudhistira dan Tuan Penguasa Wilayah.Saya yang menulis ini, Cao Mengde. Bersama dengan Yuanrang dan Miaocai.Bersamaan dengan surat ini, kami perlu menyampaikan beberapa hal:1. Kami berhasil membunuh lipan jantan dan lipan betina. Kami punya bukti berupa kepala dari masing-masing lipan. Dengan surat ini juga, kami kirimkan bukti berupa mata kiri dari setiap lipan.2. Kami belum membunuh bayi-bayi lipan yang tinggal di dalam gua. Karena kami

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   9. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas

    Ketidaknormalan pria misterius terlihat ketika dia membuka cadar. Memperlihatkan giginya yang penuh taring-taring tajam. Tidak mungkin manusia normal punya gigi seperti hewan buas pemakan daging. Beberapa bagian tubuh yang terlihat pun mulai menumbuhkan bulu-bulu hitam yang sangat tidak asing bagi tiga pendekar. Tulang mulut pun mulai bergerak abnormal. Membentuk moncong seperti anjing atau serigala. Mata yang di awal mirip manusia normal, kini berubah menguning dan pupil pun mempipih seperti hewan buas. Jari-jari yang tadi berwarna mirip manusia normal juga mulai menghitam, ditumbuhi bulu dan cakar yang tajam. Selama proses perubahan, pria misterius itu meraung-raung dan mengaduh kesakitan. Suara rintihan kesakitan yang awalnya sama dengan manusia biasa, berubah menjadi mirip raungan dan geraman khas hewan buas pemakan daging. Selama bertransformasi, pria misterius itu masih berdiri di tempat. Sepasang sepatu yang dia pakai juga rusak perlahan. Sepasang kaki yang membesar menghancurk

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   10. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas (2)

    “Kenapa kau tidak menghilang lagi?” tanya Mengde. “Kalian yang senang,” kata hewan buas, “Bukankah itu sama saja memberi kalian waktu untuk memasang jebakan?” “Kalau kau segitu takutnya dengan jebakan kami, kenapa tidak kabur saja daripada menghadapi kami?” kata Yuanrang. “Kau … sejak awal selalu mengejekku ya?” kata hewan buas. Hewan buas tidak berkata-kata lagi. Dia langsung melompat dengan tangan kanan terbentang ke atas. Yuanrang sudah bersiap dengan dua pedang. Hewan buas mengayunkan pedang tapi ditangkis oleh Yuanrang. Meski sudah sekuat mungkin memasang kuda-kuda, tetap saja Yuanrang bergeser dan sedikit kehilangan keseimbangan. Ketika Yuanrang masih memposisikan kaki lagi, kaki kanan hewan buas berputar dan menendang bahu kiri Yuanrang. Posisi kaki yang belum sempurna membuat Yuanrang terlempar, menghancurkan pintu rumah dan melesat sampai ke dalam rumah. “Apakah tendanganku enak?” kata hewan buas. “Sangat

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   11. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas (3)

    “Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” kata Yuanrang. Setelah menghantam berkali-kali dalam, akhirnya pintu es-es di bagian yang menyegel bagian bawah rumah rusak juga. Namun dia tidak kunjung keluar. Padahal Mengde dan Yuanrang sudah mempersiapkan diri. Yuanrang juga sudah mengkode Miaocai untuk bersiap dengan siulan. Setelah beberapa detik juga tidak keluar. “Kenapa tidak jadi keluar?” tanya Mengde. “Mungkin dia mendadak sakit perut, sembelit atau ada gangguan lain. Sehingga harus buang air dulu?” duga Yuanrang. Mengde mengangkat bahu dan berkata, “Bisa jadi, ya.” Tiba-tiba saja hewan buas melompat dari lantai dua. Langsung terjun dan mengarah ke Yuanrang. Saat sudah dekat, Yuanrang melompat dan memberikan dua tendangan sekaligus. Mendorong hewan buas ke jalanan. Di saat itulah Mengde mengaktifkan jebakan api. Dari tanah, jilatan api yang sangat besar keluar dan membakar tubuh hewan buas. Hewan buas menjerit dan

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   12. Zhengyi Zi Mao

    “Mana pedangku?!” kata Yuanrang, “Kita tebas kepala bandit-bandit!”“Tenang, Yuanrang!” bisik Mengde, “Diam dulu dan kita amati pergerakan musuh!”Suara derapan kuda semakin mendekat. Kemudian melewati rumah tempat mereka menginap. Kemudian suara derapan kuda hilang sesaat. Beberapa menit kemudian, derapan kuda terdengar lagi. Dibilang menjauh juga tidak. Suara derapan kuda tidak segera menghilang. Pendengaran Yuanrang yang tajam menyimpulkan kalau penunggang kuda ini seperti mengelilingi seluruh lokasi pedesaan.“Mungkin bandit,” kata Mengde, “Hanya orang bodoh yang berkeliling di desa ini malam-malam begini.”“Bandit?? Seorang diri?? Aku mendengar, kira-kira hanya satu kuda,” kata Mengde.“Siapa tahu sekelompok bandit mengirimkan satu utusan untuk memantau kondisi sekitar, kan?” jawab Miaocai, “Kemudian kembali lagi dan melaporkan ke pimpinan mereka kalau situasi sudah aman.”“Ah, benar juga. Enak saja para bandit. Kita yang membunuh hewan buas dan mereka tinggal menikmatinya begitu

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-09
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   13. Strigoi dan Lukanthropos

    “Sebenarnya, yang membuatku penasaran, kenapa para strigoi dan lukanthropos sampai jauh-jauh datang ke China?” kata Yudhistira, “Apakah di Eropa sulit mencari mangsa? Atau pemerintahan Romawi semakin represif terhadap mereka?” “Lukan … apa?” tanya Mengde. “Lukanthropos, Mengde,” kata Yudhistira, “Itu sebutan orang-orang Romawi terhadap manusia serigala.” “Sebentar, ada yang tidak kupahami. Jika lukanthropos berasal dari Eropa, pasti para lukanthropos punya penampilan fisik khas orang Eropa. Maksudku, ketika dalam wujud manusia. Namun, lukanthropos yang kami lihat, secara etnis mereka menyerupai orang Asia Timur. Sama seperti kami,” kata Mengde. “Benarkah seperti itu?” tanya Yudhistira pada Miaocai dan Yuanrang. Anggukan dari Miaocai dan Yuanrang membuat Yudhistira semakin pusing. Bagaimana bisa? Tidak masuk akal. Yudhistira yang di awal memakai kata lukanthropos, kini menjadi tidak yakin. Secara umum, para lukanthropos naturalnya memang mampu mengubah diri menjadi manusia atau cam

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-10
  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   14. Pembantaian Bayi Lipan

    Ketika sampai di tanah lapang, mereka Memotong bangkai induk lipan menjadi beberapa bagian. Kemudian mengangkut ke gerobak. Setelah semua selesai, mereka lanjut memasuki hutan dan berjalan menuju gua.“Pintar juga kau, Miaocai,” kata Yudhistira yang melihat gumpalan es yang membungkus tubuh lipan raksasa “Mengawetkan tubuh bangkai.”“Aku sendiri tidak tahu apakah lipan mengenal kanibalisme atau tidak,” kata Miaocai.“Entahlah,” kata Yudhistira, “Tapi sepengetahuanku, jika kita menganalogikan dengan lipan kecil, normalnya mereka memakan daging atau tumbuhan. Umumnya mereka menyerang hewan yang lebih kecil dari diri mereka. Jadi, kemungkinan besar mereka akan memakan tubuh induk mereka. Selama mencium bau daging. Tidak tahu lagi kalau lipan raksasa. Aku memang pernah membunuh lipan raksasa ketika di daerah utara. Cuma untuk kebiasaan makan mereka, tidak sedetail itu.”“Hewan apa yang jadi predator lipan?” tanya Yuanrang.“Beberapa jenis burung pemakan daging atau serangga,” jawab Yudhist

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-10

Bab terbaru

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   20. Yuanrang Versus Livilla

    Yuanrang berpamitan dengan Xing Lian dan rombongan. Setelah kepala ular beres. Sekarang dia harus mengabari misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Yaitu menyampaikan surat ke Livilla.“Kalau bertemu monster yang aneh-aneh lagi, pergilah,” kata Xing Lian, “Aku tidak yakin kau bisa menghadapi ini semua.”“Ah, kau meremehkanku,” kata Yuanrang.“Bukan meremehkan. Kita belum mengungkap misteri kenapa para monster berdatangan dari utara. Jangan mati dululah.Yuanrang pun tertawa, “Iya. Iya. Aku mengerti.”Mereka berdua pun berpisah. Xing Lian memacu kudanya ke selatan. Yuanrang masuk ke hutan. Bukan hal yang sulit bagi Yuanrang untuk menemukan gua. Dia sudah ke sana tiga kali.Sesampainya di gua, Yuanrang masuk ke permukaan. Tak ada siapapun di sana. Juga tak ada cahaya. Yang ada keheningan. Dia juga tak berani masuk terlalu dalam. Di samping karena tak ada cahaya, Yuanrang belum menguasai gua sepenuhnya. Jadi dia hanya memanggil-manggil nama Livilla saja.“Livilla!! Livilla

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   18. Dua Surat

    “Tidak. Aku tidak sependapat denganmu, Guru,” kata Mengde.“Kenapa?” Tanya Yudhistira.“Tidak efektif jika kita semua harus bergerak bersama-sama ke Bukit Lang Xue. Lebih baik kita menyebar. Dua orang ke Bukit Lang Xue. Dua orang mengabari Livilla.”“Ide yang baik, Mengde. Tapi, bukankah kalian tidak bisa Bahasa Romawi?”Pertanyaan balik Yudhistira mendiamkan tiga pendekar. Memang bagian itulah yang dilupakan tiga pendekar. Di sini hanya Yudhistira yang mampu Bahasa Romawi.“Bagaimana jika guru saja yang menemui Livilla? Kami bertiga akan pergi ke Lang Xue,” tanya Yuanrang.“Jangan tolol, Yuanrang,” kata Yudhistira, “Dua alasan. Pertama, Kita semua tidak tahu seperti itu 'bajingan tua' yang diceritakan oleh Qiong Qi ini. Kalau 'bajingan tua' itu mampu menebas sayap Qiong Qi dan bahkan mampu memanfaatkan Qiong Qi untuk melakukan agendanya, berarti dia sangat kuat. Kupertegas lagi. Meski yang kita hadapi barusan jenis Qiong Qi terlemah, pada dasarnya, Qiong Qi adalah monster yang cukup

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   17. Qiong Qi

    “Guru, kita kan belum bicara dengan Livilla,” kata Mengde yang berbisik pada gurunya supaya tidak terdengar Xing Lian, “Apakah kira-kira mereka setuju soal tempat tinggal mereka berikutnya? Warga Romawi tinggal di sarang kumuh bandit?”Yudhistira tersenyum dan balas berbisik pula, “Kalau menurutku, lebih banyak setuju daripada tidak setuju. Karena letaknya lebih condong ke utara, minimal sudah layak ditinggali manusia, jauh dari pemukiman penduduk dan terkenal banyak serigala di sini. Organisasi mereka juga dilatih untuk siap menghadapi banyak kondisi. Yah, kalau memang mereka tidak berminat, bisa kita carikan tempat lain. Yang penting mereka pindah dulu.”Para pendekar dan Xing Lian sudah hampir sampai di kaki bukit Lang Xue. Di depan, Yuanrang bisa melihat keindahan perbukitan Lang Xue. Bukit Lang Xue menjulang di atas dataran sekitarnya. Mungkin, dari atas, Yuanrang bisa melihat pemandangan daerah sekitarnya yang sangat indah. Bukit Lang Xue ditutupi tanaman hijau subur. Ada d

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   16. Yuanrang and Qiong Qi

    “Sebentar, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Yudhistira, “Kita tidak mengira kalau strigoi di dalam gua ternyata netral dan baik. Yang pasti, jangan sampai para penduduk desa dan semuanya tahu detailnya. Hanya kita dan penguasa yang boleh tahu.”“Termasuk Xing Lian?” Kata Mengde.“Termasuk Xing Lian,” tegas Yudhistira.“Kalau begitu, kita bilang saja ke Xing Lian dan tentara yang mengawalnya kalau kita belum menyelesaikan dua orang aneh itu,” kata Yuanrang, “Kalimatku memang jujur kan? Kita belum menyelesaikan mereka. Kalau Xing Lian tanya lebih spesifik, kita jawab saja situasi di dalam sangat gelap. Bahkan cahaya api Mengde pun kesusahan untuk menjangkau. Kita laporkan saja kalau kita berhasil membunuh lipan.”“Masalahnya, apakah Xing Lian sudah memberitahu ke penduduk desa kalau ada sesuatu di sana selain lipan?” tanya Miaocai.“Xing Lian berkata padaku kalau dia belum memberitahu. Setelah surat kalian sampai padaku, aku pun memperingatkan Xing Lian supaya tidak memberitahu

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   15. Livilla

    “Apakah di antara kalian yang diam-diam mempelajari pengendalian air atau tiba-tiba mampu mengendalikan air?” kata Mengde.“Jangan bodoh, Mengde,” kata Yuanrang, “Tidak ada yang namanya diam-diam dan tiba-tiba mampu.”Tiba-tiba air di kolam seolah bergelombang seperti ditiup angin. Yuanrang yang mulai curiga segera bersiap. Air-air kemudian melayang di udara dan mulai menghujani api-api buatan Mengde. Beberapa gumpalan api pun padam.“Pengendalian air asli,” kata Yuanrang, “Mengde, jangan sampai kita kehilangan cahaya.”“Ya,” jawab Mengde.“Semua tetap tenang!” kata Yudhistira yang melangkah ke depan untuk melindungi tiga muridnya.Mengde pun menebarkan api lagi dan kali ini lebih banyak. Terlalu berisiko jika mereka tidak bisa melihat di tempat yang tak mendapat cahaya seperti di sini. Jelas ada orang lain di sini. Bahkan berpotensi berbahaya karena mampu mengendalikan air.Seiring banyaknya api yang ada, area ini semakan terang. Seiring menguatnya cahaya, empat pendekar pun melihat

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   14. Pembantaian Bayi Lipan

    Ketika sampai di tanah lapang, mereka Memotong bangkai induk lipan menjadi beberapa bagian. Kemudian mengangkut ke gerobak. Setelah semua selesai, mereka lanjut memasuki hutan dan berjalan menuju gua.“Pintar juga kau, Miaocai,” kata Yudhistira yang melihat gumpalan es yang membungkus tubuh lipan raksasa “Mengawetkan tubuh bangkai.”“Aku sendiri tidak tahu apakah lipan mengenal kanibalisme atau tidak,” kata Miaocai.“Entahlah,” kata Yudhistira, “Tapi sepengetahuanku, jika kita menganalogikan dengan lipan kecil, normalnya mereka memakan daging atau tumbuhan. Umumnya mereka menyerang hewan yang lebih kecil dari diri mereka. Jadi, kemungkinan besar mereka akan memakan tubuh induk mereka. Selama mencium bau daging. Tidak tahu lagi kalau lipan raksasa. Aku memang pernah membunuh lipan raksasa ketika di daerah utara. Cuma untuk kebiasaan makan mereka, tidak sedetail itu.”“Hewan apa yang jadi predator lipan?” tanya Yuanrang.“Beberapa jenis burung pemakan daging atau serangga,” jawab Yudhist

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   13. Strigoi dan Lukanthropos

    “Sebenarnya, yang membuatku penasaran, kenapa para strigoi dan lukanthropos sampai jauh-jauh datang ke China?” kata Yudhistira, “Apakah di Eropa sulit mencari mangsa? Atau pemerintahan Romawi semakin represif terhadap mereka?” “Lukan … apa?” tanya Mengde. “Lukanthropos, Mengde,” kata Yudhistira, “Itu sebutan orang-orang Romawi terhadap manusia serigala.” “Sebentar, ada yang tidak kupahami. Jika lukanthropos berasal dari Eropa, pasti para lukanthropos punya penampilan fisik khas orang Eropa. Maksudku, ketika dalam wujud manusia. Namun, lukanthropos yang kami lihat, secara etnis mereka menyerupai orang Asia Timur. Sama seperti kami,” kata Mengde. “Benarkah seperti itu?” tanya Yudhistira pada Miaocai dan Yuanrang. Anggukan dari Miaocai dan Yuanrang membuat Yudhistira semakin pusing. Bagaimana bisa? Tidak masuk akal. Yudhistira yang di awal memakai kata lukanthropos, kini menjadi tidak yakin. Secara umum, para lukanthropos naturalnya memang mampu mengubah diri menjadi manusia atau cam

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   12. Zhengyi Zi Mao

    “Mana pedangku?!” kata Yuanrang, “Kita tebas kepala bandit-bandit!”“Tenang, Yuanrang!” bisik Mengde, “Diam dulu dan kita amati pergerakan musuh!”Suara derapan kuda semakin mendekat. Kemudian melewati rumah tempat mereka menginap. Kemudian suara derapan kuda hilang sesaat. Beberapa menit kemudian, derapan kuda terdengar lagi. Dibilang menjauh juga tidak. Suara derapan kuda tidak segera menghilang. Pendengaran Yuanrang yang tajam menyimpulkan kalau penunggang kuda ini seperti mengelilingi seluruh lokasi pedesaan.“Mungkin bandit,” kata Mengde, “Hanya orang bodoh yang berkeliling di desa ini malam-malam begini.”“Bandit?? Seorang diri?? Aku mendengar, kira-kira hanya satu kuda,” kata Mengde.“Siapa tahu sekelompok bandit mengirimkan satu utusan untuk memantau kondisi sekitar, kan?” jawab Miaocai, “Kemudian kembali lagi dan melaporkan ke pimpinan mereka kalau situasi sudah aman.”“Ah, benar juga. Enak saja para bandit. Kita yang membunuh hewan buas dan mereka tinggal menikmatinya begitu

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   11. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas (3)

    “Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” kata Yuanrang. Setelah menghantam berkali-kali dalam, akhirnya pintu es-es di bagian yang menyegel bagian bawah rumah rusak juga. Namun dia tidak kunjung keluar. Padahal Mengde dan Yuanrang sudah mempersiapkan diri. Yuanrang juga sudah mengkode Miaocai untuk bersiap dengan siulan. Setelah beberapa detik juga tidak keluar. “Kenapa tidak jadi keluar?” tanya Mengde. “Mungkin dia mendadak sakit perut, sembelit atau ada gangguan lain. Sehingga harus buang air dulu?” duga Yuanrang. Mengde mengangkat bahu dan berkata, “Bisa jadi, ya.” Tiba-tiba saja hewan buas melompat dari lantai dua. Langsung terjun dan mengarah ke Yuanrang. Saat sudah dekat, Yuanrang melompat dan memberikan dua tendangan sekaligus. Mendorong hewan buas ke jalanan. Di saat itulah Mengde mengaktifkan jebakan api. Dari tanah, jilatan api yang sangat besar keluar dan membakar tubuh hewan buas. Hewan buas menjerit dan

DMCA.com Protection Status