Miaocai membidik dan melepaskan anak panah ke target yang dituju Yuanrang. Anak panah berdesing. Terdengar suara desisan pendek lalu menghilang. Para pendekar remaja ini segera berlari menghampiri target. Sudah mereka duga sebelumnya. Ternyata hanya ular biasa.
“Jika kita membakar …” kata Miaocai yang mencabut panah dan memasukkan kembali ke tempat. “Astaga, jangan lagi, Miaocai,” kata Mengde. “Sekarang bagaimana cara kita menemukan gua yang menjadi sarang lipan? Pohon bambu kata bapak pengrajin. Masalahnya kita hidup di daerah dimana pohon bambu sangat endemik” kata Yuanrang. “Hei, jangan marah dulu,” kata Mengde, “Kita urai dulu apa yang kita ketahui tentang lipan. Misalnya …” Belum selesai berpikir, insting Yuanrang menjerit lagi. Dia memberi kode lagi dan menunjuk ke arah utara. Miaocai memanah lagi dan mengenai sesuatu. Terdengar suara erangan hewan buas dari semak-semak. Erangan itu lumayan membuat hati tiga remaja ini ketakutan. Sedikit berdampak ke mental. Setelah memulihkan mental lagi, para pendekar langsung berlari menuju target. Namun kini tidak mendapati apapun. Hanya panah Miaocai saja yang tergeletak di tanah. Ada noda darah dan bulu-bulu hitam yang menempel di mata panah. “Ada monster lain di sini,” kata Yuanrang, “Bukan hanya lipan raksasa.” “Kenapa kau berkata begitu?” tanya Mengde. “Mudah saja. Sekuat-kuatnya hewan, tidak mungkin mampu mencabut panah dengan tusukan sedalam ini.” Yuanrang menunjuk noda darah yang membasahi batang panah. Noda darah itu membasahi seperempat panjang panah. Mengde dan Miaocai mengangguk-angguk paham. Memang argumen Yuanrang cukup kuat. Tapi dia terlalu jauh menyimpulkan kalau ada monster lain di sini. “Jangan buru-buru menyebut monster,” kata Miaocai, “Siapa tahu hewan yang berukuran besar?” Yuanrang menggeleng, “Hewan apa? Panda? Serigala? Beruang? Kera? Sudahlah, sepupu. Tidak mungkin hewan-hewan yang kusebut tadi mampu mencabut semua anak panah dan menghilang secepat ini.” “Atau mungkin dia memang tidak menghilang dan masih di sini?” kata Mengde yang menatap Yuanrang lalu melirik ke atas. “Miaocai!!” kata Yuanrang dengan kode jari yang menunjuk ke atas. Secepat mungkin, Miaocai segera membidik ke atas dan melihat sesuatu yang berwujud aneh. Bertubuh kekar dan berbulu hitam. Makhluk itu berdiri di ranting pohon. Hebat juga. Mampu berdiri dalam waktu lama dan tetap hening. Tembakan pertama gagal mengenai target. Makhluk hitam itu melompat ke utara. Tak menyerah Miaocai menembak lagi. Namun kali ini gagal lagi. Yuanrang menggunakan pengendalian logam. Pedang yang dari tadi dia genggam tiba-tiba melayang. Lalu mulai mengejar hewan berbulu. Semua tusukan Yuanrang dan tembakan Miaocai gagal melukai musuh. “Berhenti! Kita jauh dari jalan setapak!” kata Mengde. Yuanrang dan Miaocai menghentikan pengejaran. Mereka berjalan dan kembali ke tempat Mengde yang saat ini masih berdiri di tempat yang sama. Memang omongan Mengde benar juga. Kalau mereka jauh dari jalan setapak dan terpancing jauh ke dalam hutan, maka bisa berpotensi tersesat. Mereka bertiga memang pernah kemari. Tapi tidak tahu detail daerah ini. “Apa sih yang sebenarnya terjadi di hutan ini?” kata Mengde. “Lipan, monster berbulu … setelah itu apa? Ikan bertanduk?” kata Yuanrang yang mulai sebal dengan kejutan yang tak terduga. Para pendekar remaja ini kembali ke jalan setapak. Mengde mengeluarkan pedang dan mencabik-cabik tubuh ular yang tadi dipanah oleh Miaocai. Kemudian, mereka berjalan lagi mengikuti jalan setapak supaya lebih aman. Sambil menyebarkan darah dan daging ular untuk memancing kedatangan lipan. Siapa tahu lipan akan terpancing datang ketika mencium bau darah dan daging. “Boleh juga taktikmu,” kata Yuanrang yang lalu menatap Miaocai, “Kalau memang ada hewan-hewan lagi, sebaiknya kita bunuh.” “Ya. Tapi jangan pakai panah Miaocai,” kata Mengde, “Panah Miaocai spesial untuk monster.” Memang ide Yuanrang terdengar masuk akal. Secara konsep untuk memancing lipan. Tapi realita berkata lain. Selama menempuh jalan setapak, mereka tidak menemui hewan-hewan lagi seperti ular, kelinci dan yang lain. Yang ada hanya berbagai jenis burung. Seolah, semua hewan berbasis darat sudah habis di sini. “Tidak ada hewan darat di sini,” kata Miaocai. “Sepertinya sudah habis dimangsa oleh lipan dan monster berbulu,” kata Mengde. “Bagaimana jika kita bakar saja hutan ini?” kata Yuanrang, “Gunakan pengendalian apimu, Mengde!” Mengde mendengus, “Otakmu mulai berasap?” “Masa orang dengan otak cerdas sepertimu tidak paham maksudku? Kalau hutan ini terbakar, lipan terkutuk akan keluar,” jawab Yuanrang. “Iya. Aku paham maksudmu,” kata Mengde, “Tapi kasihan penduduk desa. Penduduk desa masih membutuhkan hutan ini untuk mata pencaharian mereka.” “Jawaban simpel saja, Mengde,” kata Miaocai, “Kalau kau mau membakar hutan ini, memang kemungkinan besar lipan akan keluar karena tidak kuat dengan asap dan suhu. Tapi tindakan itu juga memancing monster lain keluar, Yuanrang. Yang kita ketahui hanya lipan dan monster berbulu misterius tadi. Belum lagi kemungkinan yang lain. Pertanyaanku, apa kita cukup kuat jika kita harus menghadapi beberapa monster sekaligus?” “Ah, brengsek. Logikamu menyebalkan, Miaocai,” kata Yuanrang, “Tapi lebih simpel penjelasan Mengde.” “Kan kemungkinan yang akan kita hadapi bisa jadi begitu,” kata Miaocai. “Memang begitu. Mungkin bisa kita coba cara lain untuk memancing lipan.” “Bagaimana idemu?” tanya Mioacai. “Intinya darah, kan?” kata Yuarang sambal mencabut pedang. “Sepupuku yang satu ini brutal juga ya,” tawa Mengde, “Ya sudah. Kasih luka kecil saja. Jangan sampai kau kehabisan darah jika lipan atau monster lain muncul. Nanti kau akan lemas.” Yuanrang merobek jari telunjuk dengan pedangnya. Luka tidak terlalu dalam. Hanya cukup untuk meneteskan beberapa darah saja. Memang tiga pendekar ini ragu jika darah sekecil ini bisa memancing kedatangan lipan. Meski begitu, mau bagaimana lagi. Mereka tak punya banyak pilihan di sini. Hanya mengandalkan bantuan angin untuk menghantarkan bau darah. Lebih berusaha lagi, Yuanrang sesekali keluar dari jalan setapak untuk menyebarkan darah. Lalu kembali lagi setelah selesai. Miaocai menguap, “Tak muncul juga, ya.” “Mungkin lipan brengsek sedang tidur atau mengasuh bayi-bayi mereka,” kata Yuanrang. Sudah dua puluh menit, usaha Yuanrang tak membuahkan hasil. Untungnya, mereka melihat beberapa pohon dan bambu yang sudah rusak. Mereka bertiga keluar dari jalan setapak dan memeriksa kerusakan tumbuhan besar maupun kecil. Dari pengamatan mereka, kondisi tumbuhan jenis rumput merunduk ke barat laut. Sementara tumbuhan besar seperti pohon dan bambu berantakan ke segala arah entah ke mana. “Kita ikuti arah rumput,” kata Mengde, “Miaocai, jangan lupa buat penanda dan jebakan es, ya. Supaya kita bisa segera kembali ke jalan setapak. Kita pancing lipan brengsek keluar!” “Hmmm, barat laut, ya?” kata Yuanrang, “Ayo!” Para pendekar remaja ini segera bergerak ke barat laut. Mengikuti arah rundukan rumput. Mereka tetap berjalan. Menjaga agar stamina tetap utuh. Akan susah nanti jika mereka malah kelelahan dulu ketika harus memancing dan menghadapi lipan raksasa.Setelah sepuluh menit berjalan, akhirnya ketemu juga gua yang dimaksud. Ukuran mulut gua cukup besar. Cukup untuk seekor lipan raksasa masuk dan keluar. Mulut gua ini menempel ke kaki jurang yang sangat tinggi dan dikelilingi oleh beberapa formasi pohon bambu yang tinggi. Di area sekitar, juga ditemukan bangkai dan potongan tubuh hewan. Didukung oleh fakta sebanyak ini, jelas ada lipan di dalam gua.“Bagaimana rencanamu memancing lipan keluar, Mengde?” tanya Yuanrang.“Kita kumpulkan rumput dan bangkai hewan, masukkan ke dalam gua, kita bakar semuanya dan kita tutup pintunya dengan es buatan Miaocai,” kata Mengde, “Asap akan mengganggu pernafasan mereka.”“Berapa ketebalan es yang kau butuhkan, Mengde?” tanya Miaocai.“Tak perlu terlalu tebal,” kata Mengde, “Cukup seukuran jari telunjuk saja.”Pekerjaan dimulai. Mengde dan Yuanrang mengumpulkan bangkai dan tanaman. Miaocai bermeditasi untuk mengumpulkan energi. Sebagai pengganti atas energi yang dikeluarkan untuk membuat jebakan dan jejak untuk kembali ke jalan setapak. Setelah semua selesai, operasi dimulai. Mereka memasuki gua tapi masih dekat dengan mulut gua. Memang sedikit beda dengan rencana awal supaya tidak memasuki gua sedikit pun. Sambil menunggu Yuanrang dan Mengde menyelesaikan pekerjaan, Miaocai mulai mencicil menyegel mulut gua.“Sisakan sedikit untuk kami keluar dan untuk aku membakar bahan-bahan ini,” kata Mengde.“Iya, iya, aku tahu. Bawel,” kata Miaocai.“Akhirnya selesai juga. Ayo segera keluar,” kata Yuanrang.“Tunggu, tunggu,” kata Mengde yang menghunuskan pedang, “Biar kutambahkan darah di sini.”Setelah semua selesai, Yuanrang dan Mengde segera keluar dari gua. Miaocai menyisakan sedikit lubang. Dari lubang di tengah pintu es itulah, Mengde menggunakan pengendalian api untuk membakar semua yang telah mereka kumpulkan. Asap pun sudah mulai muncul. Seiring membesarnya api, maka asap yang dihasilkan juga semakin banyak.“Semua daun yang kalian kumpulkan dalam kondisi kering kan?” tanya Miaocai.Yuanrang menggerutu, “Kau pikir kami bodoh.”Miaocai tertawa, “Kan aku hanya bertanya.”“Kita mundur dulu,” kata Mengde, “Kita tidak mau lipan raksasa itu mengejutkan kita.”Para pendekar bersembunyi di balik semak-semak. Tidak butuh waktu lama, terdengar suara gemuruh dari dalam gua. Awalnya terdengar pelan. Namun, lama-lama semakin mendekat. Cukup satu benturan saja, lipan besar itu keluar. Merayap ke atas jurang. Yuanrang tak bisa mengukur pasti berapa panjangnya. Lebar tubuh lipan kira-kira dua sampai tiga kali ukuran kaki manusia. Di sepanjang tubuhnya dihiasai oleh potongan tombak, panah, pedang dan kapak.“Kalian lihat perhiasan di tubuhnya?” tanya Yuanrang.“Ya. Cantik juga. Berarti sempat ada perlawanan dari penduduk dan petarung lokal untuk menghabisinya,” kata Mengde, “Miaocai, tolong tembak tepat di kepala.”Miaocai mengambil busur, anak panah dan mulai membidik. Namun semua terhenti ketika melihat fenomena yang menjijikkan. Bayi-bayi lipan pun keluar dari mulut gua. Entah berapa jumlahnya. Jika yang keluar dari gua saja sudah sebanyak itu, entah ada berapa yang ada di dalam gua. Mereka merayap ke segala arah. Seperti manusia yang kebingungan. Bahkan tiga ekor merayap mendekati para pendekar.“Menjijikkan!” kata Miaocai.“Kenapa malah para bayi yang kemari??” kata Yuanrang.Dengan pengendalian logam, Yuanrang tidak perlu muncul dari semak-semak. Pedang di genggamannya tiba-tiba terbang dan menusuk-nusuk kepala bayi lipan. Mata pedang Yuanrang terus mengincar mata, mulut dan otak bayi lipan berkali-kali hingga mati. Pengendalian logam sangat efektif sehingga mendukung Yuanrang untuk membunuh dua sekaligus.Lain dengan Mengde yang dari tadi berdiri di dahan pohon. Dengan pengendalian api, dia membakar pedangnya. Kemudian langsung terjun dan menusukkan pedang ke kepala bayi lipan. Tidak cukup hanya mengoyak otak, Mengde langsung mencabik-cabik semua bagian kepalanya. Tiga bayi lipan sudah terbunuh.“Tembak induknya sekarang!” komando Mengde sambil membakar ujung panah Miaocai.Panah Miaocai berdesing membelah udara. Memang Miaocailah yang terhebat dalam memanah di antara mereka bertiga. Tembakan Miaocai mengoyak kepala induk lipan raksasa. Meski begitu, lipan masih menempel di dinding jurang. Karena masih belum jatuh juga, Miaocai menembakkan panah lagi. Panah kedua ini berhasil menjatuhkan induk lipan.“Tembakan yang indah, sepupu!” puji Mengde.“Ugh!” kata Yuanrang, “Pasti sangat sakit.”“Jelas,” kata Mengde, “Puluhan senjata di sekujur tubuhnya semakin terbenam.”Untuk memancing induk lipan, Miaocai menembak lagi dengan panah api. Terus-menerus mentarget kepalanya. Butuh tiga anak panah untuk membuat induk lipan sadar siapa yang menyerang. Induk lipan meraung dan mengejar tiga pendekar remaja. Meninggalkan bayi-bayinya yang lucu dan menjijikkan.Tiga pendekar remaja kita berlari menjauh. Di belakang mereka, kematian begitu mengancam. Lipan raksasa memang bergerak begitu cepat. Tapi lebih dari itu. Makhluk itu mampu menembakkan cairan bening yang mencurigakan. Baunya cukup aneh dan susah dilukiskan dengan kata-kata. Intinya cukup untuk membuat perut mereka mual dan jangan sampai cairan aneh ini mengenai kulit. Cukup mengganggu konsentrasi juga. Meski begitu, mereka terus berlari tanpa henti. Mereka semua baru tahu ada lipan yang mampu menembakkan cairan misterius. “Seberapa jauh jarak kita, Miaocai?” kata Mengde, “Uh, aku tidak tahan baunya.” “Masih setengah jalan lagi,” kata Miaocai. Tiga pendekar ini berlari sambil menutup hidung. Bernafas melalui mulut. Sesekali membuka hidung juga untuk mengambil udara karena mau bagaimanapun mereka sedang berlari. Lalu menutup hidung lagi. Supaya lebih mudah membayangkan, bayangkan saja bau kecoa. Tapi sekarang lebih buruk dari bau kecoa. Sesekali Miaocai menoleh ke belakang. Dia menga
Lipan sudah tak bisa kembali ke posisi semula. Setiap dia berusaha kembali, tombak Miaocai yang panjang dan kuat itu membentur tanah. Berguling ke kanan tertahan tanah. Berguling ke kiri juga tertahan tanah. Sudah tidak ada yang bisa dilakukan oleh lipan raksasa selain menunggu kematian. Tombak sudah menusuk terlalu dalam bahkan sampai menembus.“Akan kuselesaikan,” kata Yuanrang.Yuanrang menghunuskan pedang. Pedang itu melayang di udara bebas dengan pengendalian logamnya. Lalu terhenti tepat setinggi dua kaki dari luka lipan yang terbuka. Yuanrang mengkonsentrasikan pengendalian logam dan menusuk bagian yang terbuka lebar itu dengan kecepatan dan tekanan tinggi.“Menangislah, lipan menjijikkan!” teriak Yuanrang. “Kau pintar juga,” kata Mengde. “Ya jelas. Mungkin kalian lebih pintar dariku dalam taktik tempur,” kata Yuanrang, “Tapi aku mempelajari cara kalian berpikir dan cara kalian menyikapi suatu momen dalam bertempuran. Aku juga harus berkembang. Aku tak b
“Siapa juga yang mau mengejar?” kata Yuanrang. “Kau kan biasanya seperti itu,” kata Mengde. “Memangnya aku selalu begitu? Tidak. Kali ini sedikit berbeda. Aku merasa, kalau aku masuk lebih jauh, maka aku sudah tak bisa yakin dengan nasibku sendiri,” kata Yuanrang. “Instingmu menolak untuk maju,” tanya Miaocai. “Bisa dibilang begitu,” kata Yuanrang.“Hmmm … kalau insting Yuanrang menolak, berarti ada sesuatu yang menyeramkan di sana,” kata Miaocai.Di situasi mengancam seperti barusan, seharusnya reflek Miaocai bergerak mengambil anak panah dan menembak. Namun, apa yang dia lihat barusan membuat tangan dan otak Miaocai seolah membeku. Tak mampu bergerak dan tak mampu berkata-kata. Terlalu mengejutkan. Untung dua manusia aneh barusan tidak menyerang. Semua syaraf baru bisa bekerja secara normal setelah dua manusia aneh menghilang di kedalaman gua.“Mana ada manusia yang tinggal bersama lipan raksasa?” kata Yuanrang. Otaknya bekerja keras m
Meski sadar diri kalau akurasinya tidak sebaik Miaocai, Yuanrang masih belum menyerah, Yuanrang masih terus menyerang lipan betina. Dari puncak batu, dia menggunakan pengendalian logam. Bagai digerakkan oleh hantu, pedang Yuanrang pun berkali-kali menusuk tubuh lipan. Kadang terkena punggung dan kadang terkena bagian bawah. Tidak semuanya kena. Yuanrang terus menyerang bagian leher dekat mulut. Target utama tentu merusak kalenjar yang memproduksi cairan aneh itu.Mengde keluar dari persembunyiannya. Dia bersembunyi di batu yang sama dengan Miaocai. Mata bocah cerdas itu terus mengamati tingkah lipan betina yang kesakitan. Sambil memikirkan cara bagaimana mengalahkan lipan betina menjijikkan ini. Setelah beberapa detik, lipan mulai pulih kembali. Berjalan lagi merayap batu untuk menyerang Yuanrang. Menurut analisis Mengde, lipan betina ini mengidentifikasi hanya ada satu objek yang mengancam nyawa. Yaitu Yuanrang. Tidak bisa mengidentifikasi dua ancaman lain. Meski ukurannya besar, na
Kita bantai jugalah,” kata Yuanrang. “Iya. Itu sudah jelas. Tapi kalau soal bayi-bayi lipan ini, kita harus masuk ke gua. Ketika masuk ke gua, kita tidak punya siapapun yang menjaga mulut gua. Selain bayi lipan, di dalam gua juga ada dua manusia pucat aneh dan bertaring? Bagaimana jika hewan misterius itu masuk ke gua dan mengintai punggung kita? Kita berisiko bertarung melawan tiga objek sekaligus. Kita tadi sudah beruntung lho tidak diserang oleh tiga objek sekaligus ketika masuk gua.” “Ah, benar juga. Tidak baik jika kita selalu mengandalkan keberuntungan,” kata Yuanrang. Termenung menghadapi beberapa potensi masalah ini, Mengde terdiam dan berpikir. Analisis risiko menurut Miaocai memang masuk akal. Tidak mungkin juga jika harus bertarung melawan dua objek misterius dan kumpulan bayi lipan dalam waktu yang sama dan di dalam area yang tidak mereka kenali. Belum lagi mereka bertiga masih belum mengetahui informasi apapun tentang dua objek misterius yang tinggal di dalam hutan. Bay
Para pendekar dan Xing Lian mencari alat tulis dan kertas. Mereka langsung mencari di rumah kepala desa karena tak mau berlama-lama. Namanya kepala desa, pasti punya banyak alat tulis dan kertas. Sudah menjadi kewajiban kepala desa untuk membuat laporan tertulis kepada penguasa wilayah setempat. Setelah semua lengkap, mereka mulai membagi tugas.“Miaocai, Yuanrang, tolong kalian congkel mata kiri tiap lipan dan bungkus dengan kain. Kita tunjukkan buktinya. Aku akan menulis surat pada Guru Yudhistira,” kata Mengde.Yang kami hormati, Guru Yudhistira dan Tuan Penguasa Wilayah.Saya yang menulis ini, Cao Mengde. Bersama dengan Yuanrang dan Miaocai.Bersamaan dengan surat ini, kami perlu menyampaikan beberapa hal:1. Kami berhasil membunuh lipan jantan dan lipan betina. Kami punya bukti berupa kepala dari masing-masing lipan. Dengan surat ini juga, kami kirimkan bukti berupa mata kiri dari setiap lipan.2. Kami belum membunuh bayi-bayi lipan yang tinggal di dalam gua. Karena kami
Ketidaknormalan pria misterius terlihat ketika dia membuka cadar. Memperlihatkan giginya yang penuh taring-taring tajam. Tidak mungkin manusia normal punya gigi seperti hewan buas pemakan daging. Beberapa bagian tubuh yang terlihat pun mulai menumbuhkan bulu-bulu hitam yang sangat tidak asing bagi tiga pendekar. Tulang mulut pun mulai bergerak abnormal. Membentuk moncong seperti anjing atau serigala. Mata yang di awal mirip manusia normal, kini berubah menguning dan pupil pun mempipih seperti hewan buas. Jari-jari yang tadi berwarna mirip manusia normal juga mulai menghitam, ditumbuhi bulu dan cakar yang tajam. Selama proses perubahan, pria misterius itu meraung-raung dan mengaduh kesakitan. Suara rintihan kesakitan yang awalnya sama dengan manusia biasa, berubah menjadi mirip raungan dan geraman khas hewan buas pemakan daging. Selama bertransformasi, pria misterius itu masih berdiri di tempat. Sepasang sepatu yang dia pakai juga rusak perlahan. Sepasang kaki yang membesar menghancurk
“Kenapa kau tidak menghilang lagi?” tanya Mengde. “Kalian yang senang,” kata hewan buas, “Bukankah itu sama saja memberi kalian waktu untuk memasang jebakan?” “Kalau kau segitu takutnya dengan jebakan kami, kenapa tidak kabur saja daripada menghadapi kami?” kata Yuanrang. “Kau … sejak awal selalu mengejekku ya?” kata hewan buas. Hewan buas tidak berkata-kata lagi. Dia langsung melompat dengan tangan kanan terbentang ke atas. Yuanrang sudah bersiap dengan dua pedang. Hewan buas mengayunkan pedang tapi ditangkis oleh Yuanrang. Meski sudah sekuat mungkin memasang kuda-kuda, tetap saja Yuanrang bergeser dan sedikit kehilangan keseimbangan. Ketika Yuanrang masih memposisikan kaki lagi, kaki kanan hewan buas berputar dan menendang bahu kiri Yuanrang. Posisi kaki yang belum sempurna membuat Yuanrang terlempar, menghancurkan pintu rumah dan melesat sampai ke dalam rumah. “Apakah tendanganku enak?” kata hewan buas. “Sangat
Yuanrang berpamitan dengan Xing Lian dan rombongan. Setelah kepala ular beres. Sekarang dia harus mengabari misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Yaitu menyampaikan surat ke Livilla.“Kalau bertemu monster yang aneh-aneh lagi, pergilah,” kata Xing Lian, “Aku tidak yakin kau bisa menghadapi ini semua.”“Ah, kau meremehkanku,” kata Yuanrang.“Bukan meremehkan. Kita belum mengungkap misteri kenapa para monster berdatangan dari utara. Jangan mati dululah.Yuanrang pun tertawa, “Iya. Iya. Aku mengerti.”Mereka berdua pun berpisah. Xing Lian memacu kudanya ke selatan. Yuanrang masuk ke hutan. Bukan hal yang sulit bagi Yuanrang untuk menemukan gua. Dia sudah ke sana tiga kali.Sesampainya di gua, Yuanrang masuk ke permukaan. Tak ada siapapun di sana. Juga tak ada cahaya. Yang ada keheningan. Dia juga tak berani masuk terlalu dalam. Di samping karena tak ada cahaya, Yuanrang belum menguasai gua sepenuhnya. Jadi dia hanya memanggil-manggil nama Livilla saja.“Livilla!! Livilla
“Tidak. Aku tidak sependapat denganmu, Guru,” kata Mengde.“Kenapa?” Tanya Yudhistira.“Tidak efektif jika kita semua harus bergerak bersama-sama ke Bukit Lang Xue. Lebih baik kita menyebar. Dua orang ke Bukit Lang Xue. Dua orang mengabari Livilla.”“Ide yang baik, Mengde. Tapi, bukankah kalian tidak bisa Bahasa Romawi?”Pertanyaan balik Yudhistira mendiamkan tiga pendekar. Memang bagian itulah yang dilupakan tiga pendekar. Di sini hanya Yudhistira yang mampu Bahasa Romawi.“Bagaimana jika guru saja yang menemui Livilla? Kami bertiga akan pergi ke Lang Xue,” tanya Yuanrang.“Jangan tolol, Yuanrang,” kata Yudhistira, “Dua alasan. Pertama, Kita semua tidak tahu seperti itu 'bajingan tua' yang diceritakan oleh Qiong Qi ini. Kalau 'bajingan tua' itu mampu menebas sayap Qiong Qi dan bahkan mampu memanfaatkan Qiong Qi untuk melakukan agendanya, berarti dia sangat kuat. Kupertegas lagi. Meski yang kita hadapi barusan jenis Qiong Qi terlemah, pada dasarnya, Qiong Qi adalah monster yang cukup
“Guru, kita kan belum bicara dengan Livilla,” kata Mengde yang berbisik pada gurunya supaya tidak terdengar Xing Lian, “Apakah kira-kira mereka setuju soal tempat tinggal mereka berikutnya? Warga Romawi tinggal di sarang kumuh bandit?”Yudhistira tersenyum dan balas berbisik pula, “Kalau menurutku, lebih banyak setuju daripada tidak setuju. Karena letaknya lebih condong ke utara, minimal sudah layak ditinggali manusia, jauh dari pemukiman penduduk dan terkenal banyak serigala di sini. Organisasi mereka juga dilatih untuk siap menghadapi banyak kondisi. Yah, kalau memang mereka tidak berminat, bisa kita carikan tempat lain. Yang penting mereka pindah dulu.”Para pendekar dan Xing Lian sudah hampir sampai di kaki bukit Lang Xue. Di depan, Yuanrang bisa melihat keindahan perbukitan Lang Xue. Bukit Lang Xue menjulang di atas dataran sekitarnya. Mungkin, dari atas, Yuanrang bisa melihat pemandangan daerah sekitarnya yang sangat indah. Bukit Lang Xue ditutupi tanaman hijau subur. Ada d
“Sebentar, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Yudhistira, “Kita tidak mengira kalau strigoi di dalam gua ternyata netral dan baik. Yang pasti, jangan sampai para penduduk desa dan semuanya tahu detailnya. Hanya kita dan penguasa yang boleh tahu.”“Termasuk Xing Lian?” Kata Mengde.“Termasuk Xing Lian,” tegas Yudhistira.“Kalau begitu, kita bilang saja ke Xing Lian dan tentara yang mengawalnya kalau kita belum menyelesaikan dua orang aneh itu,” kata Yuanrang, “Kalimatku memang jujur kan? Kita belum menyelesaikan mereka. Kalau Xing Lian tanya lebih spesifik, kita jawab saja situasi di dalam sangat gelap. Bahkan cahaya api Mengde pun kesusahan untuk menjangkau. Kita laporkan saja kalau kita berhasil membunuh lipan.”“Masalahnya, apakah Xing Lian sudah memberitahu ke penduduk desa kalau ada sesuatu di sana selain lipan?” tanya Miaocai.“Xing Lian berkata padaku kalau dia belum memberitahu. Setelah surat kalian sampai padaku, aku pun memperingatkan Xing Lian supaya tidak memberitahu
“Apakah di antara kalian yang diam-diam mempelajari pengendalian air atau tiba-tiba mampu mengendalikan air?” kata Mengde.“Jangan bodoh, Mengde,” kata Yuanrang, “Tidak ada yang namanya diam-diam dan tiba-tiba mampu.”Tiba-tiba air di kolam seolah bergelombang seperti ditiup angin. Yuanrang yang mulai curiga segera bersiap. Air-air kemudian melayang di udara dan mulai menghujani api-api buatan Mengde. Beberapa gumpalan api pun padam.“Pengendalian air asli,” kata Yuanrang, “Mengde, jangan sampai kita kehilangan cahaya.”“Ya,” jawab Mengde.“Semua tetap tenang!” kata Yudhistira yang melangkah ke depan untuk melindungi tiga muridnya.Mengde pun menebarkan api lagi dan kali ini lebih banyak. Terlalu berisiko jika mereka tidak bisa melihat di tempat yang tak mendapat cahaya seperti di sini. Jelas ada orang lain di sini. Bahkan berpotensi berbahaya karena mampu mengendalikan air.Seiring banyaknya api yang ada, area ini semakan terang. Seiring menguatnya cahaya, empat pendekar pun melihat
Ketika sampai di tanah lapang, mereka Memotong bangkai induk lipan menjadi beberapa bagian. Kemudian mengangkut ke gerobak. Setelah semua selesai, mereka lanjut memasuki hutan dan berjalan menuju gua.“Pintar juga kau, Miaocai,” kata Yudhistira yang melihat gumpalan es yang membungkus tubuh lipan raksasa “Mengawetkan tubuh bangkai.”“Aku sendiri tidak tahu apakah lipan mengenal kanibalisme atau tidak,” kata Miaocai.“Entahlah,” kata Yudhistira, “Tapi sepengetahuanku, jika kita menganalogikan dengan lipan kecil, normalnya mereka memakan daging atau tumbuhan. Umumnya mereka menyerang hewan yang lebih kecil dari diri mereka. Jadi, kemungkinan besar mereka akan memakan tubuh induk mereka. Selama mencium bau daging. Tidak tahu lagi kalau lipan raksasa. Aku memang pernah membunuh lipan raksasa ketika di daerah utara. Cuma untuk kebiasaan makan mereka, tidak sedetail itu.”“Hewan apa yang jadi predator lipan?” tanya Yuanrang.“Beberapa jenis burung pemakan daging atau serangga,” jawab Yudhist
“Sebenarnya, yang membuatku penasaran, kenapa para strigoi dan lukanthropos sampai jauh-jauh datang ke China?” kata Yudhistira, “Apakah di Eropa sulit mencari mangsa? Atau pemerintahan Romawi semakin represif terhadap mereka?” “Lukan … apa?” tanya Mengde. “Lukanthropos, Mengde,” kata Yudhistira, “Itu sebutan orang-orang Romawi terhadap manusia serigala.” “Sebentar, ada yang tidak kupahami. Jika lukanthropos berasal dari Eropa, pasti para lukanthropos punya penampilan fisik khas orang Eropa. Maksudku, ketika dalam wujud manusia. Namun, lukanthropos yang kami lihat, secara etnis mereka menyerupai orang Asia Timur. Sama seperti kami,” kata Mengde. “Benarkah seperti itu?” tanya Yudhistira pada Miaocai dan Yuanrang. Anggukan dari Miaocai dan Yuanrang membuat Yudhistira semakin pusing. Bagaimana bisa? Tidak masuk akal. Yudhistira yang di awal memakai kata lukanthropos, kini menjadi tidak yakin. Secara umum, para lukanthropos naturalnya memang mampu mengubah diri menjadi manusia atau cam
“Mana pedangku?!” kata Yuanrang, “Kita tebas kepala bandit-bandit!”“Tenang, Yuanrang!” bisik Mengde, “Diam dulu dan kita amati pergerakan musuh!”Suara derapan kuda semakin mendekat. Kemudian melewati rumah tempat mereka menginap. Kemudian suara derapan kuda hilang sesaat. Beberapa menit kemudian, derapan kuda terdengar lagi. Dibilang menjauh juga tidak. Suara derapan kuda tidak segera menghilang. Pendengaran Yuanrang yang tajam menyimpulkan kalau penunggang kuda ini seperti mengelilingi seluruh lokasi pedesaan.“Mungkin bandit,” kata Mengde, “Hanya orang bodoh yang berkeliling di desa ini malam-malam begini.”“Bandit?? Seorang diri?? Aku mendengar, kira-kira hanya satu kuda,” kata Mengde.“Siapa tahu sekelompok bandit mengirimkan satu utusan untuk memantau kondisi sekitar, kan?” jawab Miaocai, “Kemudian kembali lagi dan melaporkan ke pimpinan mereka kalau situasi sudah aman.”“Ah, benar juga. Enak saja para bandit. Kita yang membunuh hewan buas dan mereka tinggal menikmatinya begitu
“Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” kata Yuanrang. Setelah menghantam berkali-kali dalam, akhirnya pintu es-es di bagian yang menyegel bagian bawah rumah rusak juga. Namun dia tidak kunjung keluar. Padahal Mengde dan Yuanrang sudah mempersiapkan diri. Yuanrang juga sudah mengkode Miaocai untuk bersiap dengan siulan. Setelah beberapa detik juga tidak keluar. “Kenapa tidak jadi keluar?” tanya Mengde. “Mungkin dia mendadak sakit perut, sembelit atau ada gangguan lain. Sehingga harus buang air dulu?” duga Yuanrang. Mengde mengangkat bahu dan berkata, “Bisa jadi, ya.” Tiba-tiba saja hewan buas melompat dari lantai dua. Langsung terjun dan mengarah ke Yuanrang. Saat sudah dekat, Yuanrang melompat dan memberikan dua tendangan sekaligus. Mendorong hewan buas ke jalanan. Di saat itulah Mengde mengaktifkan jebakan api. Dari tanah, jilatan api yang sangat besar keluar dan membakar tubuh hewan buas. Hewan buas menjerit dan