Tepat seperti apa yang Daniel katakan pada Kinara, kurang lebih lima menit setelah sambungan telepon ia putus, pria itu telah sampai di depan halaman luas mansion Maheswara. Ia memacu kendaraannya dalam kecepatan di atas rata-rata tadi, untung saja jalanan telah sepi karena waktu memang telah menunjukkan dini hari. Hal tersebut membuat pria itu lebih leluasa untuk mengebut seakan tengah berada di arena balap mobil milik pribadi.Panik? Tentu saja. Orang tua mana yang tidak merasa cemas ketika mendengar berita bahwa buah hatinya sedang tidak baik-baik saja?Bahkan saking khawatirnya, membuat ia abai terhadap keselamatan dirinya sendiri. Yang ada di kepala pirangnya saat itu hanyalah sampai secepat mungkin, memastikan keadaan sang putra dengan mata dan kepalanya secara langsung. Tentu keadaan ibunya juga, mengingat wanita itu menangis ketika meneleponnya.Dengan gerak gesit, Daniel segera melepas sabuk pengaman yang melingkupi tubuhnya secepat yang ia bisa, kemudian berlari tunggang-lan
"Papa ... Papa ..."Tubuh pria itu menggeliat ketika suara lirih Axel berhasil memasuki gendang telinga, membuat ia terjaga dari 'tidur ayam'-nya. Daniel menegakkan posisi duduknya dengan segera ketika tersadar bahwa sang putra telah membuka kedua mata, tengah menatap presensi dirinya dengan berlinang air mata.Meskipun lelah dan kantuk mendominasi diri karena terjaga hampir semalaman, pula beberapa saat lalu sempat terlelap dengan posisi yang tidak nyaman—ia tertidur sembari duduk pada kursi besi di sisi ranjang perawatan dengan tangan bersedekap di dada—namun, senyuman masih mampu terpatri pada kedua belah bibirnya yang merah kecokelatan."Iya, ini Papa. Axel bersama Papa sekarang," ujarnya seraya mencium kening putranya begitu lama.Daniel mampu melihat tatapan penuh kerinduan yang terpancar dari sorot mata biru sang balita, yang otomatis membuat dada pria itu serasa diremas tangan tak kasat mata. Axel benar-benar merindukannya, sama halnya seperti apa yang ia rasa.Ia benar-benar
Suara debaman pintu ruang perawatan mengiringi raibnya tubuh jangkung Daniel dari pandangan. Pria pirang itu membanting pintu dengan sedikit kencang tadi, untung saja hal tersebut tidak mengusik tidur lelap Axel. Ia benar-benar tersulut emosi.Sedangkan Dirga yang baru saja tiba hanya mampu menggaruk belakang lehernya dengan kikuk melihatnya, lantas mengalihkan atensi pada Kinara, menatap wanita itu dengan rasa bersalah. Tentu ia sadar jika kehadirannya justru memperburuk suasana."Aku sempat ke rumahmu tadi, dan langsung kemari ketika satpam rumahmu berkata kau membawa Axel ke rumah sakit ini ... tetapi sepertinya aku kembali datang di waktu yang tidak tepat, ya? Apakah aku harus menyusulnya?" ujarnya seraya melangkah semakin dekat pada presensi Kinara.Seakan sudah seperti jadwal tak tertulis hampir di setiap akhir pekan, pria itu selalu mengunjungi Axel. Biasanya ia akan mengajak balita itu untuk sekedar jalan-jalan atau pun mampir ke rumahnya. Selain karena ia yang memang sangat m
Tirai putih itu tersibak oleh kedua tangan Kinara. Cahaya mentari pagi masuk dengan leluasa dari kaca jendela, memenuhi seisi ruang perawatan, membuat ruangan yang didominasi warna putih itu semakin terang.Tanpa terasa, sudah memasuki hari ke-dua putra semata wayangnya dirawat sini. Kinara benar-benar merasa lega sekarang, karena kondisi kesehatan balitanya sudah semakin baik. Kabut ketakutannya sirna, berganti senyuman tenteram.Setelah membuka bingkai jendela, kepala dengan surai kelam yang tersanggul asal itu menoleh pada presensi sang putra—yang masih saja duduk terdiam di atas ranjang perawatan seraya memeluk robot Transformers pemberian ayahnya dengan kencang."Axel kenapa diam saja, Nak? Ingin apa, hm?" Kinara mengukir senyuman ketika mata biru Axel balas menatapnya. Ia melangkah mendekat dengan senyum yang tiada henti tersemat."Axel ingin Papa."Senyuman wanita itu seketika pudar, kemudian perlahan menghilang kala mendengar keinginan sang buah hati. Ah, ia jadi teringat keja
Secangkir kopi hitam menemani pagi Kinara. Pahit tanpa gula. Rasa pahit yang entah kenapa sedikit mampu menentramkan jiwa. Rasa pahit yang sedikit menyindirnya; setidaknya kopi hitam lebih jujur darinya, ia tidak menipu dan dengan apa adanya menampakkan rasa pahit. Tidak seperti dirinya yang selalu berkata 'tidak apa-apa' padahal tengah memendam luka.Wanita itu menyesap cairan hitam itu perlahan seraya memejamkan mata, menikmati sensasi rasa. Pada awalnya Kinara bukanlah seorang Coffee enthusiast. Namun, semenjak ia mengenal kemudian menjalin cinta dengan pria bersurai bak arunika, tanpa sadar ia mulai mengikuti kegemarannya.Pria itu pernah berkata jika secangkir kopi hitam mengingatkan kita bahwa semanis apapun hidup, rasa pahit akan selalu ada. Dan wanita itu selalu mengingat kata-kata itu sampai detik ini, menjadikannya pedoman. Manis dan pahit. Kedua rasa yang saling berkebalikan, kedua rasa yang selalu mengiringi tiap kehidupan.Tentu Kinara memiliki pendapat lain tentang caira
Tangan kanannya membalik signboard berbahan akrilik yang tergantung pada daun pintu kaca butik. Membuat kata 'open' tergantikan dengan kata 'close' jika dilihat dari depan, pertanda bahwa tokonya sedang tidak dibuka karena waktu telah menunjukkan tengah hari. Waktunya istirahat dan mengisi perut bagi dirinya dan dua rekannya yang lain.Mengabaikan bekal makan siang di atas meja kaca, wanita itu mengempaskan pantatnya pada kursi besi di sana. Ia segera meraih ponselnya, jari-jemari lentik itu tampak menari-nari di atas layar yang menyala. Benaknya sedang mencoba merangkai kata yang tepat untuk seseorang yang saat ini sedang menghabiskan waktu bersama sang putra tercinta.Benar. Setelah mendapatkan pencerahan dari Sima, pula mengingat kembali nasihat Dirga, Kinara memutuskan untuk menuruti kemauan sang putra untuk kembali 'bersama' dengan pria pirang pemilik hatinya.Bukankah kebahagiaan buah hati mereka jauh lebih penting dari pada segalanya? Yah, meskipun sejujurnya rasa tak pantas ac
Sepotong Sushi urung memasuki mulutnya ketika mata biru pria itu menangkap wajah murung sang putra. Terdapat berbagai macam menu makanan Jepang di atas meja makan yang telah ia pesan dari restoran langganannya untuk sarapan pagi mereka berdua, namun pria kecilnya seakan sama sekali tak berselera.Kedua tangan mungil itu tampak bertopang dagu, menatap tanpa minat isi piringnya; ada beberapa irisan Yakizakana dan Tamagoyaki di atasnya. Sekilas memandang saja, sudah pasti menu makanan itu terasa sangat menggoda. Entahlah, Axel hanya sedang tidak nafsu makan saja.Terhitung sudah hampir tiga hari ia tidak bertemu dengan sang ibunda. Ayahnya selalu saja beralasan ketika ia meminta diantarkan pulang. Bukan, bukan karena ia tak betah tinggal bersama sang ayah, hanya saja ia pun tak akan pernah bisa jika harus berpisah dari ibunya. Kasarnya, ia butuh mereka berdua.Axel mendengus kesal. Kenapa kedua orang tuanya tidak bisa seperti ayah dan ibunya Aika?"Axel sudah berdoa, kenapa tidak makan,
Kikikan geli Axel terdengar menggema ketika sang ayah membalurkan minyak telon pada permukaan kulit perutnya, membuat sang pria dewasa turut tertawa kala melihat segala tingkah menggemaskan pria kecilnya. Daniel baru saja selesai memandikan sang putra setelah mereka puas berenang tadi. Ia mendesah lega, nyatanya ia berhasil mengalihkan pikiran Axel terhadap ibundanya.Ketika kedua tangannya hendak menaikkan celana model cargo di kedua kaki sang balita, getaran pada ponsel di dalam saku celananya menyita perhatian, sejenak menghentikan segala pergerakan. Sebenarnya ia memang tengah menunggu sebuah kabar penting dari perusahaan.Setelah membaca sebaris nama pada layar ponselnya, mata biru pria itu ganti menatap pada wajah sang buah cinta. "Kau bisa memakai bajumu sendiri?" tanyanya.Sedangkan Axel tampak menganggukkan kepala. "Bica, Papa!""Pintar," pujinya, membuat kedua pipi tembam itu merona. Tangan kanan besar Daniel lantas mengacak rambut anaknya yang pirang kemudian menebar senyum