Secangkir kopi hitam menemani pagi Kinara. Pahit tanpa gula. Rasa pahit yang entah kenapa sedikit mampu menentramkan jiwa. Rasa pahit yang sedikit menyindirnya; setidaknya kopi hitam lebih jujur darinya, ia tidak menipu dan dengan apa adanya menampakkan rasa pahit. Tidak seperti dirinya yang selalu berkata 'tidak apa-apa' padahal tengah memendam luka.Wanita itu menyesap cairan hitam itu perlahan seraya memejamkan mata, menikmati sensasi rasa. Pada awalnya Kinara bukanlah seorang Coffee enthusiast. Namun, semenjak ia mengenal kemudian menjalin cinta dengan pria bersurai bak arunika, tanpa sadar ia mulai mengikuti kegemarannya.Pria itu pernah berkata jika secangkir kopi hitam mengingatkan kita bahwa semanis apapun hidup, rasa pahit akan selalu ada. Dan wanita itu selalu mengingat kata-kata itu sampai detik ini, menjadikannya pedoman. Manis dan pahit. Kedua rasa yang saling berkebalikan, kedua rasa yang selalu mengiringi tiap kehidupan.Tentu Kinara memiliki pendapat lain tentang caira
Tangan kanannya membalik signboard berbahan akrilik yang tergantung pada daun pintu kaca butik. Membuat kata 'open' tergantikan dengan kata 'close' jika dilihat dari depan, pertanda bahwa tokonya sedang tidak dibuka karena waktu telah menunjukkan tengah hari. Waktunya istirahat dan mengisi perut bagi dirinya dan dua rekannya yang lain.Mengabaikan bekal makan siang di atas meja kaca, wanita itu mengempaskan pantatnya pada kursi besi di sana. Ia segera meraih ponselnya, jari-jemari lentik itu tampak menari-nari di atas layar yang menyala. Benaknya sedang mencoba merangkai kata yang tepat untuk seseorang yang saat ini sedang menghabiskan waktu bersama sang putra tercinta.Benar. Setelah mendapatkan pencerahan dari Sima, pula mengingat kembali nasihat Dirga, Kinara memutuskan untuk menuruti kemauan sang putra untuk kembali 'bersama' dengan pria pirang pemilik hatinya.Bukankah kebahagiaan buah hati mereka jauh lebih penting dari pada segalanya? Yah, meskipun sejujurnya rasa tak pantas ac
Sepotong Sushi urung memasuki mulutnya ketika mata biru pria itu menangkap wajah murung sang putra. Terdapat berbagai macam menu makanan Jepang di atas meja makan yang telah ia pesan dari restoran langganannya untuk sarapan pagi mereka berdua, namun pria kecilnya seakan sama sekali tak berselera.Kedua tangan mungil itu tampak bertopang dagu, menatap tanpa minat isi piringnya; ada beberapa irisan Yakizakana dan Tamagoyaki di atasnya. Sekilas memandang saja, sudah pasti menu makanan itu terasa sangat menggoda. Entahlah, Axel hanya sedang tidak nafsu makan saja.Terhitung sudah hampir tiga hari ia tidak bertemu dengan sang ibunda. Ayahnya selalu saja beralasan ketika ia meminta diantarkan pulang. Bukan, bukan karena ia tak betah tinggal bersama sang ayah, hanya saja ia pun tak akan pernah bisa jika harus berpisah dari ibunya. Kasarnya, ia butuh mereka berdua.Axel mendengus kesal. Kenapa kedua orang tuanya tidak bisa seperti ayah dan ibunya Aika?"Axel sudah berdoa, kenapa tidak makan,
Kikikan geli Axel terdengar menggema ketika sang ayah membalurkan minyak telon pada permukaan kulit perutnya, membuat sang pria dewasa turut tertawa kala melihat segala tingkah menggemaskan pria kecilnya. Daniel baru saja selesai memandikan sang putra setelah mereka puas berenang tadi. Ia mendesah lega, nyatanya ia berhasil mengalihkan pikiran Axel terhadap ibundanya.Ketika kedua tangannya hendak menaikkan celana model cargo di kedua kaki sang balita, getaran pada ponsel di dalam saku celananya menyita perhatian, sejenak menghentikan segala pergerakan. Sebenarnya ia memang tengah menunggu sebuah kabar penting dari perusahaan.Setelah membaca sebaris nama pada layar ponselnya, mata biru pria itu ganti menatap pada wajah sang buah cinta. "Kau bisa memakai bajumu sendiri?" tanyanya.Sedangkan Axel tampak menganggukkan kepala. "Bica, Papa!""Pintar," pujinya, membuat kedua pipi tembam itu merona. Tangan kanan besar Daniel lantas mengacak rambut anaknya yang pirang kemudian menebar senyum
Langkah kaki wanita itu tampak tergesa setelah turun dari mobilnya, melangkah cepat menuju bangunan besar sebuah rumah sakit di pusat kota. Saking cemasnya, ia bahkan sesekali menabrak bahu orang-orang yang berjalan di sekitarnya. Ia panik, teramat panik ketika beberapa menit lalu mendapatkan sebuah pesan singkat dari pria yang berhari-hari lamanya tak mampu ia hubungi. Pesan singkat yang sayangnya berisi kabar buruk dari sang buah hati.Nyatanya firasat seorang ibu memanglah kuat. Semua hal yang terjadi pada Kinara hari ini adalah sebuah pertanda jika hal buruk memang tengah terjadi pada sang putra. Dan ia teramat menyesal karena baru menyadarinya sekarang.Dengan air mata yang jatuh seakan tiada habisnya, Kinara mempercepat langkah kakinya menuju bangunan Instalasi Gawat Darurat yang berada di muka gedung bercat putih itu, bangunan yang belum lama ini sudah pria kecilnya sambangi ketika panas tinggi.Hati wanita itu mencelos mengingatnya. Padahal belum genap satu bulan berlalu, namu
Rasa khawatir, rasa bersalah, pula rasa takut seolah tak pernah mau beranjak sedikit pun dari dirinya kendati kini sang putra telah dipindahkan ke ruang perawatan. Meskipun ia hanya duduk diam seraya terus memperhatikan wajah rupawan nan pasi Axel, hatinya tak henti merapal doa. Ia tak akan mungkin bisa tenang sebelum mata mungil sang balita terbuka.Dokter berkata bahwa Axel mengalami cedera kepala yang cukup berat karena terdapat luka robekan di kulit kepala serta pendarahan. Besar kemungkinan balitanya akan mengalami gegar otak. Dan hal tersebutlah yang membuat pria itu semakin merasa sesak di dalam dada. Napasnya seakan direnggut paksa meskipun sebenarnya sirkulasi udara di ruangan itu sangatlah baik.Ia merasa menjadi ayah yang gagal karena tak mampu melindungi putranya. Hatinya seakan disayat-sayat menatapi wajah pucat dengan mata terpejam sang putra, apalagi dengan perban tebal yang membalut kepala kecilnya. Axel masih terlalu belia untuk mengalami segala hal menyakitkan ini. A
[Keluar sebentar, Karin. Aku di depan rumahmu.]Tangan kanan wanita itu terangkat menutupi mulutnya sendiri ketika membaca sebuah chat dari pria yang ia cintai. Kebahagiaan membuncah, dibarengi semu merah di kedua pipi yang perlahan hadir tanpa permisi.Ia rindu. Sudah sebulan lebih semenjak kejadian ia ditinggalkan seorang diri di kamar apartemen pria itu, mereka sama sekali belum pernah kembali bertemu. Dan entah keberuntungan macam apa sehingga tiada angin dan tiada hujan, tiba-tiba sosok itu sudah ada di depan rumahnya sekarang.Karin bergeming memperhatikan refleksi wajahnya pada cermin meja rias di dalam kamarnya. Mengingat momen malam itu selalu saja membuat dirinya merasa malu. Ia pun sebenarnya menyesali apa yang telah ia perbuat, ia tak berhenti mengutuk sisi jalangnya bahkan hingga detik ini. Semua hal yang ia lakukan semata-mata terjadi akibat rasa cintanya yang berlebihan terhadap sang pria bersurai pirang. Ia ... hanya tak mampu melihat gurat kesedihan di wajahnya yang r
"... Karin?" Kinara berujar lirih, seakan tengah memastikan bahwa presensi yang ia lihat saat ini adalah benar seseorang yang diingatnya; seorang wanita cantik yang berstatus sebagai kekasih dari pria yang ia cinta.Terkejut? Tentu saja. Banyak sekali pertanyaan yang saat ini hinggap di dalam pikirannya mengenai kedatangan wanita di depan sana yang secara tiba-tiba.Ada urusan apakah dengannya?Sedangkan wanita itu melangkah maju, memutus jarak dengan dirinya. Senyuman manis menghiasi kedua belah bibir merah nan penuh itu, bibir yang sempat beradu dengan milik sang pria Kanada. Tanpa sadar Kinara tersenyum miris ketika memori tersebut melintasi kepalanya, seiring rasa perih yang seakan meremas jantungnya."Kau tahu namaku?" suara feminin itu teralun begitu merdu ketika bertanya. Ah, nyatanya Karin mendengar ucapan serupa bisikan Kinara. Kedua mata itu tak teralih sedikit pun dari kedua matanya."Ya. Dan yang mengatakannya padaku," jawab Kinara. Namun, bola matanya bergerak gusar ketik
"B-bergeraklah. Maafkan aku." Dia berucap dengan begitu lirih, diakhiri satu kecupan lembut di bibirku.Sudahkah aku bilang bahwa Nara adalah satu-satunya wanita yang mampu meluluhkan hatiku, bahkan hanya dengan sekali kecupan?Hanya dengan satu tindakan kecil nan manis darinya, rasa kesalku menguap seketika, lenyap entah ke mana. Tak ingin membuang waktu, aku bergerak mencari kembali mulutnya. Menyatukan indera pengecap sembari bergerak dengan khidmat hingga erangan penuh nikmat Nara menjadi musik paling merdu di telinga.Aku menegakkan tubuhku setelah puas bermain lidah, melihat wajah memerah Nara yang diselubungi nafsu membuat tubuhku semakin panas saja. "Aku mencintaimu, Nara. Kumohon jangan mengatakan hal-hal aneh lagi."Dan dia hanya mengerang menjawab ucapanku. Kedua dada ranumnya berguncang-guncang ketika gerakanku semakin brutal. Sungguh, pemandangan indah itu membuat mulutku bergerak maju secara spontan, mengecap ujung-ujungnya yang menantang, membalutnya dengan lidah panasku
Apa yang ada di dalam benak kalian ketika mendengar kata 'malam pertama'?Apakah ... malam puncak setelah acara pernikahan yang melelahkan?Ataukah ... malam penuh gairah yang begitu dinanti-nantikan?Yah, keduanya memang benar bagiku. Dan kami tengah berada di dalam fase itu sekarang. Meskipun lelah, namun aku tak pernah berpikir sedikit pun untuk menunda ritual sakral ini untuk segera dilakukan.Kamar kami di mansion Maheswara dihias dengan seromantis mungkin. Ah, ini pasti ulah Mama. Banyak sekali lilin-lilin aroma terapi dalam keadaan menyala ketika aku dan Nara melangkah memasukinya, sedangkan taburan kelopak bunga mawar merah tampak memenuhi permukaan ranjang yang akan segera kami gunakan saat ini, membentuk simbol hati.Aku terlebih dahulu menyingkirkan semua kekacauan tersebut sebelum merebahkan tubuh Nara dengan begitu hati-hati ke atas permukaannya, tentu setelah melucuti segala kain yang melekat pada raganya. Tentunya aku pun melakukan hal serupa pada tubuhku; menanggalkan
"Mau kubuktikan?" pertanyaan dariku sukses memancing rasa ingin tahu Nara, terbukti dari gerakan kepalanya yang segera menoleh padaku."Membuktikan ap—hmmkkk!" sebelum ia menyelesaikan kata, aku segera membungkam mulutnya dengan ciuman dalam, tanpa peduli jika posisi kami masih berada di tengah-tengah arena pesta, tanpa peduli jika apa yang kami perbuat kini menjadi pusat perhatian semua tamu undangan yang datang.Aku meraih tengkuknya, memperdalam pagutan pada mulut istriku tercinta. Ah, selalu saja begini. Melakukan French kiss bersama Nara selalu membuatku lupa diri. Bibir tipis nan lembut istriku terasa begitu manis, bagaikan candu. Ketika kedua indera pengecap kami saling berdansa, euforia seakan hampir meledak memenuhi dada. Sudah tak kupedulikan lagi pemerah bibirnya yang bisa saja hilang akibat apa yang kulakukan.Jika terus begini, mana bisa aku tahan untuk tidak melemparkannya ke ranjang, kemudian berolah raga malam hingga pagi menjelang?Ah, sial! Kenapa pestanya jadi teras
Seseorang pernah berkata, level tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Mungkin kalimat tersebut memang ada benarnya, namun bagiku sedikit berbeda. Bagiku, tingkatan paling tinggi ketika mencintai seseorang adalah dengan menikahinya, seperti apa yang telah kulakukan sekarang.Benar, aku dan Nara telah menikah pagi tadi, mengikrarkan janji suci sehidup semati di salah satu gereja katedral yang ada di pusat kota. Setelah acara pemberkatan selesai, kami berdua segera melanjutkan resepsi pernikahan di hotel bintang lima milik keluarga Maheswara. Yap, salah satu hotel besar milik ayah mertuaku.Ngomong-ngomong, beliau baru saja kembali dari perjalanan bisnis dua bulan lalu. Ayah mertuaku sempat kaget ketika mendapati jika kami kembali bersatu, namun aku begitu yakin beliau merasa bahagia sebab beliau percaya bahwa aku adalah satu-satunya pria yang mampu membahagiakan putri tunggalnya.Ah, apakah aku sudah menceritakan tentang respons kedua orang tuaku?Sepertinya belum, ya?Baiklah
Seakan tertarik sebuah gaya gravitasi, atensi mata biru itu tak mampu sedikit pun berpaling dari kedua iris indah Kinara. Bahkan sampai di detik ke sepuluh pun tiada sepatah kata pun yang keluar dari mulut manis di depannya. Jari-jemari lentik yang tampak saling meremat itu tak lepas dari perhatian sang pemilik surai sewarna arunika.Sedangkan Kinara tampak menundukkan kepala, seakan memang sengaja menghindari kontak mata. Wanita itu bingung harus menjawab bagaimana, lidahnya kelu secara tiba-tiba. Sungguh, mengakui cinta ketika tahu bahwa dirimu sudah tak lagi menjadi wanita sempurna terasa begitu berat."Kenapa justru diam, hm?"Kepala bersurai legam bergelombang itu mendongak cepat, seakan tersentak oleh pertanyaan pria di hadapannya, memecah sepi yang tercipta."K-kita bisa berteman. Kita bisa bersama-sama mengurus Axel hingga ia dewasa." Yah, pada akhirnya hanya itu yang mampu Kinara katakan sebagai jawaban.Jawaban yang sudah Daniel duga sejak awal. Meskipun sudah menduganya, ny
Sungguh, tiada pagi yang lebih indah selain pagi ini bagi Kinara. Ia memang sudah terjaga sedari beberapa menit lalu, namun dirinya masih betah berlama-lama tetap berada di atas ranjang. Enggan rasanya untuk bangkit kemudian menyambut hari baru. Bahkan kalau bisa, rasanya ingin sekali ia menghentikan waktu untuk selamanya berada di detik itu.Mengabaikan rasa pegal di sekujur badan karena lelah 'bermain' semalaman, ia memutar kepala ke sisi kanan, seiring memiringkan posisi tidurnya. Dan Kinara tak mampu untuk tidak tersenyum haru ketika menatap dua sosok lelaki yang begitu dicintainya berada di satu ranjang bersamanya, masih menutup mata dengan damai, terlelap dalam buaian mimpi.Ia merasa ... bagaikan memiliki keluarga kecil nan utuh sekarang. Ah, andaikan kata 'bagaikan' tidak pernah ada, hidupnya pasti sudah sangat sempurna. Senyuman wanita itu berubah miris ketika hal tersebut terlintas di kepala.Semalam setelah selesai menuntaskan birahi, pula saling membasahi diri, mereka memi
"Aku akan pulang ke Kanada, beberapa hari lagi. Aku hanya tak ingin keyakinanku kembali goyah ketika melihat anak kita." Sembari memasang senyum pedih, tangannya tiada beranjak sedikit pun dari kepala sang putra. Secara perlahan Daniel mengangkat muka, mempertemukan tatapan mata dengan wanita di sisinya. "Terlebih ... dirimu."Sungguh, Kinara tak mampu berkata-kata kala mendengar kalimat terakhir yang lolos dari celah bibir pria yang ia cinta. Tubuhnya menegang. Mulutnya sedikit membuka, namun tiada suara. Bola matanya kembali memanas seketika."Aku sangat menyedihkan, bukan?" merasa tiada balasan, sudut bibir merah kecokelatan itu naik sebelah; tersenyum hampa, senyuman yang tercipta kala rasa putus asa mendominasi jiwa. Pria itu membuang muka setelahnya."K-kalau begitu, bukankah lebih baik jika kau bertahan di sini, setidaknya lebih lama lagi." Kinara menekan dadanya sedikit kuat, suaranya entah kenapa seakan tercekat ketika berucap.Kepala pirang itu menoleh cepat, balas menatap m
Tatapan polos Axel tak beralih sedikit pun dari ibunya. Tatapan penuh harap yang mampu Kinara tangkap. Membuat senyuman manis wanita itu lenyap, sebab apa yang diinginkan sang putra nyatanya belum dapat terwujud hingga sekarang; Daniel lagi-lagi tak menjawab panggilan telepon darinya."Tidak diangkat, Sayang. Papamu sedang sangat sibuk sepertinya." Ponsel itu diturunkan perlahan dari daun telinga, kembali diletakkannya di atas meja."Huee~ Axel mau Papa! Axel mau digendong Papa!"Embusan napas panjang lolos dari kedua belah bibir wanita itu. Sungguh, Kinara tak tega melihat bagaimana putranya menangis tersedu begitu. Kesedihan Axel adalah bagian dari kesedihannya juga. Ia pun bingung harus berbuat apa lagi, Daniel seakan menghilang bagai ditelan bumi secara tiba-tiba setelah malam itu. Pamit keluar sebentar, namun sampai detik ini tidak ada kabar.Khawatir? Sudah pasti. Apalagi ketika ia mengingat bagaimana penyesalan yang tampak pada raut wajah pria yang ia cinta. Pria yang selama in
"... Karin?" Kinara berujar lirih, seakan tengah memastikan bahwa presensi yang ia lihat saat ini adalah benar seseorang yang diingatnya; seorang wanita cantik yang berstatus sebagai kekasih dari pria yang ia cinta.Terkejut? Tentu saja. Banyak sekali pertanyaan yang saat ini hinggap di dalam pikirannya mengenai kedatangan wanita di depan sana yang secara tiba-tiba.Ada urusan apakah dengannya?Sedangkan wanita itu melangkah maju, memutus jarak dengan dirinya. Senyuman manis menghiasi kedua belah bibir merah nan penuh itu, bibir yang sempat beradu dengan milik sang pria Kanada. Tanpa sadar Kinara tersenyum miris ketika memori tersebut melintasi kepalanya, seiring rasa perih yang seakan meremas jantungnya."Kau tahu namaku?" suara feminin itu teralun begitu merdu ketika bertanya. Ah, nyatanya Karin mendengar ucapan serupa bisikan Kinara. Kedua mata itu tak teralih sedikit pun dari kedua matanya."Ya. Dan yang mengatakannya padaku," jawab Kinara. Namun, bola matanya bergerak gusar ketik