Tirai putih itu tersibak oleh kedua tangan Kinara. Cahaya mentari pagi masuk dengan leluasa dari kaca jendela, memenuhi seisi ruang perawatan, membuat ruangan yang didominasi warna putih itu semakin terang.Tanpa terasa, sudah memasuki hari ke-dua putra semata wayangnya dirawat sini. Kinara benar-benar merasa lega sekarang, karena kondisi kesehatan balitanya sudah semakin baik. Kabut ketakutannya sirna, berganti senyuman tenteram.Setelah membuka bingkai jendela, kepala dengan surai kelam yang tersanggul asal itu menoleh pada presensi sang putra—yang masih saja duduk terdiam di atas ranjang perawatan seraya memeluk robot Transformers pemberian ayahnya dengan kencang."Axel kenapa diam saja, Nak? Ingin apa, hm?" Kinara mengukir senyuman ketika mata biru Axel balas menatapnya. Ia melangkah mendekat dengan senyum yang tiada henti tersemat."Axel ingin Papa."Senyuman wanita itu seketika pudar, kemudian perlahan menghilang kala mendengar keinginan sang buah hati. Ah, ia jadi teringat keja
Secangkir kopi hitam menemani pagi Kinara. Pahit tanpa gula. Rasa pahit yang entah kenapa sedikit mampu menentramkan jiwa. Rasa pahit yang sedikit menyindirnya; setidaknya kopi hitam lebih jujur darinya, ia tidak menipu dan dengan apa adanya menampakkan rasa pahit. Tidak seperti dirinya yang selalu berkata 'tidak apa-apa' padahal tengah memendam luka.Wanita itu menyesap cairan hitam itu perlahan seraya memejamkan mata, menikmati sensasi rasa. Pada awalnya Kinara bukanlah seorang Coffee enthusiast. Namun, semenjak ia mengenal kemudian menjalin cinta dengan pria bersurai bak arunika, tanpa sadar ia mulai mengikuti kegemarannya.Pria itu pernah berkata jika secangkir kopi hitam mengingatkan kita bahwa semanis apapun hidup, rasa pahit akan selalu ada. Dan wanita itu selalu mengingat kata-kata itu sampai detik ini, menjadikannya pedoman. Manis dan pahit. Kedua rasa yang saling berkebalikan, kedua rasa yang selalu mengiringi tiap kehidupan.Tentu Kinara memiliki pendapat lain tentang caira
Tangan kanannya membalik signboard berbahan akrilik yang tergantung pada daun pintu kaca butik. Membuat kata 'open' tergantikan dengan kata 'close' jika dilihat dari depan, pertanda bahwa tokonya sedang tidak dibuka karena waktu telah menunjukkan tengah hari. Waktunya istirahat dan mengisi perut bagi dirinya dan dua rekannya yang lain.Mengabaikan bekal makan siang di atas meja kaca, wanita itu mengempaskan pantatnya pada kursi besi di sana. Ia segera meraih ponselnya, jari-jemari lentik itu tampak menari-nari di atas layar yang menyala. Benaknya sedang mencoba merangkai kata yang tepat untuk seseorang yang saat ini sedang menghabiskan waktu bersama sang putra tercinta.Benar. Setelah mendapatkan pencerahan dari Sima, pula mengingat kembali nasihat Dirga, Kinara memutuskan untuk menuruti kemauan sang putra untuk kembali 'bersama' dengan pria pirang pemilik hatinya.Bukankah kebahagiaan buah hati mereka jauh lebih penting dari pada segalanya? Yah, meskipun sejujurnya rasa tak pantas ac
Sepotong Sushi urung memasuki mulutnya ketika mata biru pria itu menangkap wajah murung sang putra. Terdapat berbagai macam menu makanan Jepang di atas meja makan yang telah ia pesan dari restoran langganannya untuk sarapan pagi mereka berdua, namun pria kecilnya seakan sama sekali tak berselera.Kedua tangan mungil itu tampak bertopang dagu, menatap tanpa minat isi piringnya; ada beberapa irisan Yakizakana dan Tamagoyaki di atasnya. Sekilas memandang saja, sudah pasti menu makanan itu terasa sangat menggoda. Entahlah, Axel hanya sedang tidak nafsu makan saja.Terhitung sudah hampir tiga hari ia tidak bertemu dengan sang ibunda. Ayahnya selalu saja beralasan ketika ia meminta diantarkan pulang. Bukan, bukan karena ia tak betah tinggal bersama sang ayah, hanya saja ia pun tak akan pernah bisa jika harus berpisah dari ibunya. Kasarnya, ia butuh mereka berdua.Axel mendengus kesal. Kenapa kedua orang tuanya tidak bisa seperti ayah dan ibunya Aika?"Axel sudah berdoa, kenapa tidak makan,
Kikikan geli Axel terdengar menggema ketika sang ayah membalurkan minyak telon pada permukaan kulit perutnya, membuat sang pria dewasa turut tertawa kala melihat segala tingkah menggemaskan pria kecilnya. Daniel baru saja selesai memandikan sang putra setelah mereka puas berenang tadi. Ia mendesah lega, nyatanya ia berhasil mengalihkan pikiran Axel terhadap ibundanya.Ketika kedua tangannya hendak menaikkan celana model cargo di kedua kaki sang balita, getaran pada ponsel di dalam saku celananya menyita perhatian, sejenak menghentikan segala pergerakan. Sebenarnya ia memang tengah menunggu sebuah kabar penting dari perusahaan.Setelah membaca sebaris nama pada layar ponselnya, mata biru pria itu ganti menatap pada wajah sang buah cinta. "Kau bisa memakai bajumu sendiri?" tanyanya.Sedangkan Axel tampak menganggukkan kepala. "Bica, Papa!""Pintar," pujinya, membuat kedua pipi tembam itu merona. Tangan kanan besar Daniel lantas mengacak rambut anaknya yang pirang kemudian menebar senyum
Langkah kaki wanita itu tampak tergesa setelah turun dari mobilnya, melangkah cepat menuju bangunan besar sebuah rumah sakit di pusat kota. Saking cemasnya, ia bahkan sesekali menabrak bahu orang-orang yang berjalan di sekitarnya. Ia panik, teramat panik ketika beberapa menit lalu mendapatkan sebuah pesan singkat dari pria yang berhari-hari lamanya tak mampu ia hubungi. Pesan singkat yang sayangnya berisi kabar buruk dari sang buah hati.Nyatanya firasat seorang ibu memanglah kuat. Semua hal yang terjadi pada Kinara hari ini adalah sebuah pertanda jika hal buruk memang tengah terjadi pada sang putra. Dan ia teramat menyesal karena baru menyadarinya sekarang.Dengan air mata yang jatuh seakan tiada habisnya, Kinara mempercepat langkah kakinya menuju bangunan Instalasi Gawat Darurat yang berada di muka gedung bercat putih itu, bangunan yang belum lama ini sudah pria kecilnya sambangi ketika panas tinggi.Hati wanita itu mencelos mengingatnya. Padahal belum genap satu bulan berlalu, namu
Rasa khawatir, rasa bersalah, pula rasa takut seolah tak pernah mau beranjak sedikit pun dari dirinya kendati kini sang putra telah dipindahkan ke ruang perawatan. Meskipun ia hanya duduk diam seraya terus memperhatikan wajah rupawan nan pasi Axel, hatinya tak henti merapal doa. Ia tak akan mungkin bisa tenang sebelum mata mungil sang balita terbuka.Dokter berkata bahwa Axel mengalami cedera kepala yang cukup berat karena terdapat luka robekan di kulit kepala serta pendarahan. Besar kemungkinan balitanya akan mengalami gegar otak. Dan hal tersebutlah yang membuat pria itu semakin merasa sesak di dalam dada. Napasnya seakan direnggut paksa meskipun sebenarnya sirkulasi udara di ruangan itu sangatlah baik.Ia merasa menjadi ayah yang gagal karena tak mampu melindungi putranya. Hatinya seakan disayat-sayat menatapi wajah pucat dengan mata terpejam sang putra, apalagi dengan perban tebal yang membalut kepala kecilnya. Axel masih terlalu belia untuk mengalami segala hal menyakitkan ini. A
[Keluar sebentar, Karin. Aku di depan rumahmu.]Tangan kanan wanita itu terangkat menutupi mulutnya sendiri ketika membaca sebuah chat dari pria yang ia cintai. Kebahagiaan membuncah, dibarengi semu merah di kedua pipi yang perlahan hadir tanpa permisi.Ia rindu. Sudah sebulan lebih semenjak kejadian ia ditinggalkan seorang diri di kamar apartemen pria itu, mereka sama sekali belum pernah kembali bertemu. Dan entah keberuntungan macam apa sehingga tiada angin dan tiada hujan, tiba-tiba sosok itu sudah ada di depan rumahnya sekarang.Karin bergeming memperhatikan refleksi wajahnya pada cermin meja rias di dalam kamarnya. Mengingat momen malam itu selalu saja membuat dirinya merasa malu. Ia pun sebenarnya menyesali apa yang telah ia perbuat, ia tak berhenti mengutuk sisi jalangnya bahkan hingga detik ini. Semua hal yang ia lakukan semata-mata terjadi akibat rasa cintanya yang berlebihan terhadap sang pria bersurai pirang. Ia ... hanya tak mampu melihat gurat kesedihan di wajahnya yang r