Tidak mendapatkan jawaban dariku, Om Danendra kembali berkata, “Benar juga yang dikatakan Finn … seorang Lilian itu terlihat lembut, tetapi cukup keras kepala. Baiklah, daripada Om dan Tante merasa tidak tenang, Om perintahkan kamu untuk pindah ke kantor pusat mulai detik ini juga. Nanti Om yang akan bicara dengan Liam.”“Eee, tapi … saya masih harus mengembalikan data—““Sudah Om katakan, kamu bisa mengerjakannya di kantor pusat,” potong Om Danendra.Aku mencerna setiap perkataan Om Danendra sambil mengerjap bingung.“A-apa saya mendapatkan jam kerja yang flexible?” Aku masih saja berusaha untuk bernegosiasi.“Semua peraturan sama seperti saat kamu bekerja di sini. Hanya pekerjaan, tempat pekerjaan, dan pendapatan yang kamu terima akan berubah.” Om Danendra menjelaskan.“Pendapatan?” Aku melongo.“Kamu bekerja di kantor pusat dengan tanggung jawab lebih. Itu artinya, pendapatan kamu ikut naik,” jawab Om Danendra.“Tunggu, Om … apa saya tidak mendapatkan kesempatan untuk berpikir?” ta
Malam hari di salah satu unit apartment yang ada di Harper Apartment …“Jadi, si dang ding dong bekerja di kantor yang sama denganmu?” Cheryl mengulangi ceritaku. Sama seperti aku, Cheryl juga sangat terkejut dengan kabar ini.“Iya, hanya saja dia bekerja di department yang berbeda. Dia di department IT,” jawabku.“Astaga! Dang ding dong pasti membawa aura buruk di sana,” ujar Cheryl.Sementara Dokter Raffa dan Keenan sedari tadi hanya diam mendengarkan ceritaku dan tanggapan Cheryl.“Itu sebabnya, Om Danendra menyuruhku pindah ke kantor pusat,” lanjutku.“Serius? Yeay! Om Danendra dan Tante Iva memang selalu bisa diandalkan.” Cheryl berkata sambil menari-nari kegirangan.“Kapan kamu pindah ke kantor pusat?“ Itu suara Keenan yang akhirnya ikut bertanya.“Hari ini aku sudah resmi pindah ke kantor pusat,” jawabku.Mendengar jawabanku, Keenan, Dokter Raffa, dan Cheryl praktis melihat ke arahku.“Benarkah? Bukankah tadi kamu masih bekerja di kantormu?” tanya Keenan lagi.“Iya, benar. Tadi
Keesokan harinya …“Hola!” seruku dengan ceria begitu keluar kamar.Tidak ada sahutan.Aku mengernyit sambil perlahan melangkah ke arah meja makan. Cheryl ada di sana dan sedang menikmati sarapan. Kenapa tidak menyahut?“Halo, Nona Cheryl! Selamat pagi!” sapaku lagi dengan suara lebih keras.“Pagi. Makanlah!” ujar Cheryl.“Mukanya kusut amat. Jangan-jangan nasi gorengnya keasinan lagi,” candaku.“Ya sudah … jangan dimakan!” jawab Cheryl ketus.“Dih, jahat …,” cibirku pura-pura marah.“Biarin!” Cheryl masih saja menjawab dengan ketus.Tidak ingin membuat suasana hatiku ikut menjadi buruk, aku pun duduk di hadapan Cheryl dan meraih piring berisi nasi goreng.Semalam, setelah membereskan sebagian barang di kamarku, aku dan Keenan keluar dari kamar sambil melihat situasi. Sampai pulang, Cheryl dan Dokter Raffa masih diam. Entah ini sudah kali ke berapa mereka bertengkar, tetapi sepertinya Cheryl dan Dokter Raffa sama-sama tipe orang yang keras kepala.Sebenarnya aku dan Keenan juga keras
“Halo, kalian! Nasi lemak yang lezat sudah hadir!” Keenan ikut menyapa dengan raut wajah ceria.Aku balik badan untuk memberi kode dengan mengedipkan mata beberapa kali, sambil berkata, “Tolong kamu letakkan makanannya di atas meja makan. Aku mau mandi sebentar.”Seharusnya Keenan mengerti maksud aku karena dia sudah mengangguk-angguk.Setelah pamit, aku segera masuk ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhku dan mengganti pakaian. Aku tidak menoleh lagi ke arah Cheryl dan Dokter Raffa.Saat sudah selesai dan keluar dari kamar, aku melihat Keenan duduk di salah satu kursi yang ada di ruang makan sambil melihat ke arah layar ponselnya. Sedangkan Cheryl dan Dokter Raffa masih duduk di sofa. Sepertinya pembicaraan mereka belum selesai.Tidak ingin mengganggu, aku menghampiri Keenan, berniat untuk mengajaknya makan terlebih dahulu. Akan tetapi, rasanya tidak enak juga kalau aku dan Keenan makan sendiri. Hm, diperhadapkan dengan situasi seperti ini cukup membingungkan juga.“Cheryl, Dokter
Seketika aku terpaku memandangi pintu. Tidak mungkin yang datang itu pengirim hadiah misterius lagi, bukan? Orangnya sudah dihukum. Om Danendra dan Tante Iva juga seharusnya akan datang besok. Lalu, siapa yang datang?“Biar aku yang membuka pintu,” ujar Keenan membuatku terkesiap.Aku hanya mengangguk samar walau Keenan pasti tidak melihatnya karena dia sudah langsung jalan ke arah pintu untuk memeriksa.“Oh, Om Danendra dan Tante Iva datang.” Keenan berkata setelah memeriksanya dari layar monitor.“Siapa, Li?” tanya Cheryl.“Om Danendra dan Tante Iva katanya,” jawabku.Keenan terlihat sudah membuka pintu dan aku pun memasang senyum selebar-lebarnya. Ada rasa lega yang luar biasa ketika tahu bukan pengirim hadiah misterius yang datang.Sepertinya keputusan untuk pindah unit apartment ini memang sudah yang paling benar. Aku perlu suasana baru agar tidak terus menerus menjadi trauma.“Halo, Li!” sapa Om Danendra dan Tante Iva bergantian.“Halo, Om. Halo, Tante. Maaf, ini berantakan,” sa
Beberapa hari kemudian …Beberapa hari lamanya aku dan Cheryl sibuk membereskan barang-barang kami di unit apartment yang lama, dibantu oleh Keenan dan Dokter Raffa. Kini tiba saatnya aku dan Cheryl harus pergi meninggalkan Harper Apartment.Sejak semalam aku sudah sulit tidur karena aku ingin menikmati tidur kamarku ini untuk terakhir kalinya. Aku bahkan membiarkan gorden terbuka agar aku bisa melihat bintang di langit dari arah tempat tidur.Aku tertidur, sempat kembali terjaga, dan seperti itu terus hingga sinar mentari pagi menyapa.Lelah, itu sudah pasti. Namun, aku tidak keberatan karena aku berharap bisa tidur dengan nyenyak di unit apartment yang baru.Walaupun unit apartment ini dibeli oleh Om Danendra dan Tante Iva, aku merasa tidak mungkin akan kembali untuk mengunjungi. Pasalnya, unit apartment ini akan ditempati oleh Max.Apa aku belum pernah cerita kalau Finn punya adik laki-laki yang dipanggil Max?Max kuliah di Amerika dan tidak pernah pulang ke Singapura. Aku sendiri
Sementara Keenan dan Dokter Raffa sibuk memasang kamera untuk menjaga keamanan unit apartment kami, aku dan Cheryl sibuk membereskan barang-barang di dapur.Sebagian barang sudah ada yang kami buang karena tidak pernah digunakan lagi. Jadi, barang-barang yang kami bawa adalah barang-barang yang benar-benar kami pakai. Selain meringankan barang bawaan, ini cukup memudahkan saat kami menata barang.“Aku paling senang desain ruang makan dan dapur, Li,” ujar Cheryl.“Asyik! Kamu pasti akan sering-sering memasak untukku,” candaku.“Kalau ada kesempatan, aku pasti akan memasak untukmu, bestie,” jawab Cheryl terkekeh.“Aku juga suka desain dapur dan kamar kita,” ujarku sebelum ditanya.“Semua desainnya bagus. Om Danendra dan Tante Iva memiliki selera yang mirip denganmu. Nanti saat memiliki unit apartment sendiri, aku akan meminta pendapat mereka,” puji Cheryl.“Kenapa tidak meminta pendapatku?” tanyaku heran.Cheryl mendekatkan tubuhnya untuk berbisik, “Saat itu kamu pasti sudah sibuk dengan
Keenan POVTidak hanya Lilian, aku pun bingung, Papa tiba-tiba datang tanpa memberi kabar.Untuk beberapa saat lamanya, Lilian hanya melihatku dan Papa bergantian.“Li,” tegurku pelan.Lilian terkesiap, dia lalu tersenyum sambil mengulurkan tangan.“Lilian.”“Mario, papanya Keenan.”Papa terlihat begitu ceria saat menggenggam tangan Lilian.“Ini Cheryl, sahabat Lilian.” Aku memperkenalkan pada Papa.“Cheryl.”Papa beralih mengulurkan tangan pada Cheryl.“Kalau Lilian siapa, Kee?” tanya Papa sambil mengulum senyum.“Kekasihku,” jawabku tanpa ragu.“Ah, pantas tadi Papa melihat kalian sudah berani bergandengan,” goda Papa.Aku melihat pipi Lilian sudah merona karena malu. Sungguh menggemaskan! Kalau aku sendiri sudah terbiasa dengan sikap Papa yang kadang-kadang memang suka usil.“Masuk, Pa!” ajakku.“Eee, maaf, kami pamit dulu,” ujar Lilian.“Lho, nggak jadi mampir?” tanya Papa bingung.“Mereka tinggal di unit sebelah, Pa. Baru hari ini pindah,” jawabku jujur.“Wah, jadi dekat donk kal
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera