“Apa yang terjadi?” tanyaku keheranan saat melihat Cheryl sibuk melakukan serangkaian tes dan menanyakan banyak hal padaku.
Cheryl hanya diam dan tak memberikan jawaban apa pun.
“Ryl, aku baik-baik saja. Kita kembali ke kamar, yuk!” ajakku.
“Ayo, sudah waktunya untuk istirahat,” jawab Cheryl.
Aku mengangguk lega.
Setibanya di kamar ...
Cheryl membantuku naik ke atas brankar kemudian dia menatapku lurus, seakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
“Aku ingin bicara sesuatu. Apa boleh?”
Benar, ‘kan dugaanku?
Aku pun mengangguk ragu. Sepertinya ini berkaitan dengan kesehatanku. Apa ada masalah?
“Post-traumatic stress disorder atau PTSD adalah sebuah kondisi mental di mana seseorang mengalami serangan panik, yang dipicu oleh trauma.” Cheryl menjelaskan, membuatku mengernyitkan kening.
Cheryl menghela napas sejenak sebelum lanjut bicara.
“Begini, hasil tes memang belum keluar semua. Tapi, menurut pengalaman dan pengamatanku, sepertinya kamu mengalami gejala PTSD,” ujar Cheryl.
“A-apa itu berbahaya?” tanyaku tidak mengerti.
“Iya, cukup berbahaya kalau serangan panik itu datang tiba-tiba,” jawab Cheryl. Tatapannya kini berubah menjadi lebih lembut.
Aku mengerjap bingung. Hati dan pikiranku sedang tidak pada tempatnya. Bisa dibilang, aku tidak paham dengan penyakitku sekarang.
“Aku pasti akan melakukan terapi dan memberikan obat yang bisa kamu konsumsi, serta memberi tahu detail-nya nanti secara bertahap. Aku pun akan pindah ke tempat tinggalmu.” Cheryl melanjutkan.
Kali ini aku terbelalak. Sudah berapa kali aku merayu Cheryl untuk pindah ke tempat tinggalku dan dia selalu saja menolak? Sekarang Cheryl dengan sukarela mau pindah ke tempat tinggalku. Apa aku tidak salah dengar?
“Masih ada tempat untukku, ‘kan?” tanya Cheryl lagi, membuatku terkesiap.
“M-masih,” jawabku.
Cheryl mengangguk sambil tersenyum.
“Istirahatlah!” titah Cheryl sambil memegangi selimut, menunggu aku berbaring.
Tiba-tiba air mataku mengalir dan aku buru-buru mengusapnya. Aku sangat merindukan Finn. Andai ada Finn saat ini, dia pasti akan menjelaskan maksud perkataan Cheryl dengan kata-kata yang lebih mudah kumengerti.
“Kamu pasti memikirkan Finn lagi,” tebak Cheryl.
Aku mengangguk sambil terisak. “Aku sangat merindukannya.”
Cheryl melepaskan selimut dan duduk di sampingku, untuk memelukku.
“Mungkin Tuhan tidak memberikan aku kekasih hingga saat ini karena Tuhan tahu hari ini akan datang dan aku harus menemanimu,” bisik Cheryl.
Aku melepaskan pelukan Cheryl dan menatapnya lurus.
“Kamu menyesal sudah berteman denganku?” tanyaku hati-hati.
“Iya. Tapi, bercanda “ jawab Cheryl sambil tertawa.
Aku hanya tersenyum tipis untuk menanggapi sambil berbaring. Candaan Cheryl tidak lucu. Tapi, aku tahu dia sedang berusaha menghibur.
Tok tok tok!
Aku dan Cheryl serempak menoleh ke arah pintu. Terlihat Tante Iva masuk ke dalam kamar, membuatku kembali duduk.
“Istirahat saja, Li! Tante hanya mau memberi tahu kalau Finn akan dimakamkan besok pagi. Sekarang Tante dan Om mau pulang dulu ya,” ujar Tante Iva. Matanya terlihat sangat bengkak.
Aku mengangguk lemah.
Sesudah memelukku, Tante Iva dan Om Danendra bergegas pamit.
***
Keesokan harinya ...
Keenan POV
Kemarin, sepulangnya dari tempat tinggal Erina, aku memutuskan untuk pulang ke apartment-ku sendiri dan tidak melakukan apa pun sampai pagi ini.
Dulu aku berpikir, sikap teman-temanku yang baru putus cinta itu sungguh sangat berlebihan. Tidak berselera makan, dan tidak ingin melakukan apa pun. Bukankah mereka bisa mencari gadis lain yang jauh lebih baik?
Namun, sekarang aku mengalami sendiri, dan aku sama sekali tidak berselera makan, juga tidak sanggup melakukan apa pun.
Aku sadar Erina tidak berjodoh denganku dan aku juga sudah melepaskannya. Hanya saja, rasa sakit yang ada di hatiku ini seakan berhasil melumpuhkan seluruh tubuhku, hingga tak mampu beraktivitas seperti biasa.
Rasa sakit yang ada di hatiku kembali mengingatkanku pada sikap mama, yang sampai saat ini masih mendiamkan aku.
Ya, wanita yang melahirkan aku, sudah tidak pernah lagi menghubungiku semenjak aku berangkat kuliah ke Singapura. Walaupun papa dan Kei, adikku, tidak mengatakannya, namun aku tahu itu semua karena aku tidak kuliah di bidang kedokteran, sesuai yang diinginkan oleh mama.
Berkat papa, aku berhasil mengambil jurusan bisnis di salah satu universitas terbaik di Singapura. Seandainya waktu itu papa tidak mau membantuku, maka sudah dapat dipastikan, aku harus kuliah di jurusan kedokteran. Jurusan yang tidak sesuai dengan minatku.
Bukan, bukan berarti aku tidak pandai. Mungkin kalau dipaksakan, aku pasti bisa berhasil menjadi seorang Dokter. Namun, menjadi Dokter bukanlah cita-citaku. Sementara menurut aku, pekerjaan apa pun yang kita lakukan itu sebaiknya dimulai dari hati.
Ah, ngomong-ngomong, apa yang harus aku lakukan hari ini?
Dengan enggan aku bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka.
Tiba-tiba saja aku berpikir, menghadiri acara pemakaman mungkin bisa membuatku lebih mudah menangis dan meluapkan semua isi hatiku.
Usai mencuci muka, aku memutuskan untuk membersihkan tubuhku juga, dan segera memakai satu setel pakaian berwarna hitam. Kemudian, tanganku meraih kunci mobil yang semalam aku letakkan di atas nakas. Tanpa berpikir dua kali, aku melangkah ke tempat parkir mobil, dengan harapan hari ini akan ada upacara pemakaman.
Setibanya di satu area tempat pemakaman, aku memarkirkan kendaraan lalu aku turun dari mobil dengan mengenakan kacamata hitam dan melangkah menuju ke kerumunan orang berpakaian hitam yang kebetulan sedang menghadiri acara pemakaman.
Aku berdiri begitu saja sambil memandangi orang-orang yang menangis, berharap bisa ikut menangis bersama mereka.
Di barisan paling depan, terlihat seorang gadis yang sedang menangis sambil berlutut, didampingi seseorang. Samar-samar aku mendengar dia memanggil, “Finn.”
Aku terus memerhatikan seorang gadis yang sedang berlutut itu dan tanpa sadar ikut meneteskan air mata. Siapa pun yang mendengarkan isakannya yang memilukan pasti akan ikut menangis, sama sepertiku sekarang.
Seorang gadis itu dan aku mengalami hal yang serupa. Sama-sama kehilangan orang yang kita cintai.
Tak lama kemudian, upacara pemakaman selesai, dan satu per satu orang pamit pergi meninggalkan tempat itu. Hanya seorang gadis dengan seseorang, serta dua orang tua yang masih tinggal di sana.
“Mulai sekarang, Om dan Tante akan mulai belajar merelakan Finn, agar dia tenang di sana. Tetapi, Finn akan selalu memiliki ruang di hati kita, juga di hati kamu.” Seorang pria paruh baya bicara sambil menepuk-nepuk bahu seorang gadis yang tampaknya belum bisa berhenti menangis itu.
Ah, rupanya mereka keluarga dari Indonesia.
Seorang gadis itu mengangkat kepalanya dengan beruraian air mata lalu mengangguk dan perlahan dia bangkit berdiri, memeluk seorang wanita paruh baya di hadapannya.
Kemudian mereka berempat jalan bersama-sama, semakin mendekat ke arahku.
Tunggu dulu! Sepertinya aku pernah bertemu dengan seorang gadis itu.
“Hai!” Sapa seorang pria paruh baya itu dalam bahasa Inggris.
“Turut berduka,” sahutku sambil membungkuk sedikit, juga dalam bahasa Inggris.
Sekilas aku melirik ke arah gadis yang terus memerhatikanku. Sepertinya dia juga mengenaliku.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang,” ucap seorang pria paruh baya itu dalam bahasa Inggris.Aku hanya membungkukkan badan sekali lagi sebagai tanggapan.Kemudian seorang pria dan seorang wanita paruh baya, serta dua orang gadis itu melanjutkan langkah mereka, meninggalkan aku seorang diri.Aku pun memberikan penghormatan terakhir di hadapan makam seseorang yang tidak kukenal, lalu aku kembali ke mobil.Untuk beberapa saat aku masih diam di dalam mobil untuk mengingat-ingat wajah seorang gadis yang sedari tadi menangis itu. Hm ..., aku tidak ingat pernah bertemu dengan seorang gadis itu tetapi wajahnya tidak asing.Perlahan aku mulai melajukan kendaraan, keluar dari area pemakaman.Hatiku sedikit merasa lega setelah menangis tadi.Jujur, tadinya aku merasa menjadi orang yang paling menyedihkan. Mama kandungku sendiri tidak mau bicara denganku. Ditambah, kekasih
Krek!Aku yang saat ini sedang duduk di dekat jendela kamar, menoleh begitu mendengar pintu dibuka.Cheryl membawa nampan dan berjalan mendekat ke arahku. Lalu dia duduk di sisi tempat tidur, di sebelahku, sambil meletakkan nampan di atas tempat tidur.“Aku sudah masak susah-susah, tidak boleh tidak di makan ya,” ujar Cheryl.“Aku belum lapar,” sahutku, kembali melihat ke arah luar jendela.Saat ini gorden memang sedang aku buka. Sedari tadi aku terus menatap ke arah langit biru, seakan sedang mencari sosok Finn di sana.“Enggak silau apa, Li, lihat langit terus?” tanya Cheryl sambil menengadah ke arah langit.“Hm,” gumamku, tak berniat memberikan jawaban.Dari sudut mataku, aku bisa melihat kalau Cheryl memerhatikanku.“Li, dari kemarin hanya hotdog yang masuk di dalam perutmu—““Sudah keluar sih tadi pagi,” potongku dengan pandangan ma
Pesan yang baru saja aku baca datang dari Erina. Dua kali aku membaca pesannya hingga aku menghela napas panjang dan mengusap kasar wajahku.Bagaimana bisa tiba-tiba Erina mengirimkan pesan, ketika aku sempat mengingatnya sekilas, seakan kami masih punya ikatan batin?“Aku harus bagaimana?” gumamku bingung.Di satu sisi, tidak ada gunanya kami bertemu. Di sisi lain, aku tahu bagaimana rasanya memiliki perasaan bersalah dan harapan untuk bisa mendapatkan pengampunan.Sering kali orang lebih suka menghukum dengan membiarkan seseorang hidup dengan perasaan bersalah tanpa memberikan maaf. Padahal memaafkan itu bukan menghapus kesalahan. Dan sekalipun kita sudah memaafkan, tidak semua orang bisa dengan mudah melepaskan perasaan bersalah.Bagiku, memaafkan itu sebuah langkah maju. Hidup kita dan orang lain harus terus berjalan.Ha! Lagi-lagi aku menghembuskan napas kasar.Setelah berpikir sejenak, aku bergerak merapikan barang-b
Lilian POVBeberapa saat yang lalu, usai menghabiskan bubur ayam buatan Cheryl, aku mengajak sahabatku itu jalan-jalan keluar sebentar.Meskipun Cheryl tak berhenti menggangguku agar aku berhenti melamun, tetapi aku tetap merasa sepi.Di Singapura, selalu ada orang-orang yang berlalu lalang di jalanan, dan aku ingin merasakan kehadiran banyak orang. Dengan demikian, aku berharap, bisa melupakan Finn walau hanya sebentar saja.Pikiranku benar-benar penuh hingga membuat kepalaku terasa sangat sakit. Dadaku sesak menahan rindu. Hatiku teramat sedih. Aku hanya perlu sebentar saja keluar dari unit apartment ini.Beruntung Cheryl menyetujui keinginanku. Kebetulan dia ingin makan nasi lemak. Jadi, kami bergegas bersiap dan berjalan keluar dari unit apartment.Ketika kami sudah dekat dengan tempat makan yang menjual nasi lemak, tiba-tiba ada suara sirine yang begitu nyaring, memekakkan telinga.Suara sirine itu mengingatkanku pada kejadian di mana aku melihat mobil Finn ditabrak dan … dan … da
Demi bisa mengunjungi Finn, aku menikmati makan malamku dengan semangat, walau aku sebenarnya belum berselera makan. Dan itu sukses membuat Cheryl terus menampilkan raut wajah bahagia.“Sudah ya, aku menepati janjiku,” kataku pada Cheryl yang hanya mengangguk-angguk.“Istirahatlah! Biar aku yang mencuci piring,” ujar Cheryl usai menelan suapan terakhir.“Terima kasih, Dokter Cheryl kesayangan,” ucapku riang.Rencana untuk mengunjungi makam Finn besok, sungguh membuatku lebih bersemangat. Mungkin terdengar berlebihan, tapi aku merasa hatiku tertinggal di sana bersama Finn.Setelah membantu Cheryl meletakkan peralatan makan di tempat cucian, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhku dan beristirahat. Ah, aku tidak sabar menunggu besok.Tok tok tok!Aku mendengar suara pintu kamar diketuk namun terlalu banyak menangis membuatku sulit membuka mata.Hingga tak lama kemudian, akhirnya aku berhasil membuka mata dan melihat seseorang datang menghampiriku.Tunggu dulu!“Finn
“Kenapa bangun? Kamu mau ke mana?” tanya Cheryl.“Apa kamu bertemu Finn di luar?” Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya.“Finn datang?” Cheryl pun kembali bertanya dengan raut wajah keheranan.Aku mengangguk cepat. Saat ini posisiku sudah duduk dengan air mata yang tak berhenti mengalir.“Aku hanya mendengar kamu menangis dan berteriak. Jadi, aku tidak memperhatikan. Maaf,” ujar Cheryl.“Biar aku memeriksanya,” sahutku sambil bergegas keluar kamar, diikuti oleh Cheryl.Dengan gerakan sedikit berlari, aku ke dapur dan terus mencari di setiap sudut ruangan, sampai aku membuka pintu unit apartment. Barangkali saja aku bisa bertemu Finn di luar sana.“Li,” panggil Cheryl lembut.Aku menoleh ke arah Cheryl. “Ya?”“Masuk, yuk!” ajak Cheryl.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, dengan harapan bisa melihat sosok Finn. Tapi, nihil. Aku tidak punya pilihan selain mengangguk dan mengikuti Cheryl kembali masuk ke dalam unit apartment.“Kamu tadi lupa minum obatnya,” ujar Cheryl. Dia menun
Aku tidak sekadar berjanji untuk hidup dengan baik, tetapi aku juga bertekad untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik.Setidaknya saat ini aku melakukannya untuk Finn dan Cheryl karena sejujurnya aku sendiri tidak memiliki semangat untuk hidup lagi.Percayalah, membuat janji dan memiliki tekad tidak cukup membuat praktiknya berjalan dengan lancar.Sudah satu minggu ini, setiap hari aku masih saja menangis karena rasa rindu ini tak dapat dihindari. Hanya saja, aku berusaha untuk mulai beraktivitas, sebagai salah satu cara untuk mengalihkan perhatian.Sementara aku belum boleh ikut kuliah, aku memilih untuk membantu Cheryl memasak dan membersihkan apartment. Sesekali aku juga mengajak Cheryl keluar untuk belanja bahan makanan, daripada terus melamun di kamar.“Bukannya membantuku, kamu malah membuatku semakin repot, Li,” tegur Cheryl membuatku terkesiap.“Eee, maaf maaf ….” Aku baru saja menuang garam hampir separuh wadah.Cheryl buru-buru mengambil alih mangkuk berisi telur, lalu me
Tak ada nama pengirim dan penerima. Jadi, aku letakkan begitu saja di atas meja. Barangkali Cheryl pemilik paket ini, karena sudah lama aku tidak belanja online.Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah dikunci, aku melanjutkan langkahku masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan istirahat.Sebelum aku naik ke atas tempat tidur, aku membuka gorden karena di luar sana masih terang.“Sepi,” gumamku sambil memeluk guling.Perlahan aku mengedarkan pandangan ke arah luar jendela, lebih tepatnya melihat ke arah langit.“Finn, apa kamu di sana? Aku sedang sendirian di sini. Cheryl menemui pasiennya.” Aku bicara sendiri dengan nada suara sangat pelan.“Biasanya … pulang dari kampus, kamu akan mengajakku makan siang, lalu kamu mengantarku pulang, dan kembali ke kantor. Bagaimana kantor tanpamu? Bagaimana kabar om Danendra dan tante Iva? Aku rasa mereka semua merasa kesepian, sama sepertiku sekarang,” lirihku.Walaupun Finn bukan tipe pria yang suka bicara, namun kehadirannya sela
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera