“Kenapa bangun? Kamu mau ke mana?” tanya Cheryl.“Apa kamu bertemu Finn di luar?” Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya.“Finn datang?” Cheryl pun kembali bertanya dengan raut wajah keheranan.Aku mengangguk cepat. Saat ini posisiku sudah duduk dengan air mata yang tak berhenti mengalir.“Aku hanya mendengar kamu menangis dan berteriak. Jadi, aku tidak memperhatikan. Maaf,” ujar Cheryl.“Biar aku memeriksanya,” sahutku sambil bergegas keluar kamar, diikuti oleh Cheryl.Dengan gerakan sedikit berlari, aku ke dapur dan terus mencari di setiap sudut ruangan, sampai aku membuka pintu unit apartment. Barangkali saja aku bisa bertemu Finn di luar sana.“Li,” panggil Cheryl lembut.Aku menoleh ke arah Cheryl. “Ya?”“Masuk, yuk!” ajak Cheryl.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, dengan harapan bisa melihat sosok Finn. Tapi, nihil. Aku tidak punya pilihan selain mengangguk dan mengikuti Cheryl kembali masuk ke dalam unit apartment.“Kamu tadi lupa minum obatnya,” ujar Cheryl. Dia menun
Aku tidak sekadar berjanji untuk hidup dengan baik, tetapi aku juga bertekad untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik.Setidaknya saat ini aku melakukannya untuk Finn dan Cheryl karena sejujurnya aku sendiri tidak memiliki semangat untuk hidup lagi.Percayalah, membuat janji dan memiliki tekad tidak cukup membuat praktiknya berjalan dengan lancar.Sudah satu minggu ini, setiap hari aku masih saja menangis karena rasa rindu ini tak dapat dihindari. Hanya saja, aku berusaha untuk mulai beraktivitas, sebagai salah satu cara untuk mengalihkan perhatian.Sementara aku belum boleh ikut kuliah, aku memilih untuk membantu Cheryl memasak dan membersihkan apartment. Sesekali aku juga mengajak Cheryl keluar untuk belanja bahan makanan, daripada terus melamun di kamar.“Bukannya membantuku, kamu malah membuatku semakin repot, Li,” tegur Cheryl membuatku terkesiap.“Eee, maaf maaf ….” Aku baru saja menuang garam hampir separuh wadah.Cheryl buru-buru mengambil alih mangkuk berisi telur, lalu me
Tak ada nama pengirim dan penerima. Jadi, aku letakkan begitu saja di atas meja. Barangkali Cheryl pemilik paket ini, karena sudah lama aku tidak belanja online.Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah dikunci, aku melanjutkan langkahku masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan istirahat.Sebelum aku naik ke atas tempat tidur, aku membuka gorden karena di luar sana masih terang.“Sepi,” gumamku sambil memeluk guling.Perlahan aku mengedarkan pandangan ke arah luar jendela, lebih tepatnya melihat ke arah langit.“Finn, apa kamu di sana? Aku sedang sendirian di sini. Cheryl menemui pasiennya.” Aku bicara sendiri dengan nada suara sangat pelan.“Biasanya … pulang dari kampus, kamu akan mengajakku makan siang, lalu kamu mengantarku pulang, dan kembali ke kantor. Bagaimana kantor tanpamu? Bagaimana kabar om Danendra dan tante Iva? Aku rasa mereka semua merasa kesepian, sama sepertiku sekarang,” lirihku.Walaupun Finn bukan tipe pria yang suka bicara, namun kehadirannya sela
Ah, rasanya sudah sangat lama aku tidak jalan-jalan. Sejujurnya aku sedikit berdebar-debar jalan sendiri seperti sekarang ini. Namun, aku juga bersemangat.“Finn, aku ada di Pulau Sentosa,” gumamku sangat pelan, sambil menengadahkan kepala ke langit yang tampak sangat cerah. Benar-benar cuaca yang cocok untuk bersenang-senang.Aku melanjutkan langkah dengan mantap dan tangan yang masih memegang ponsel. Rencananya aku ingin mengambil gambar, dan mengirimkannya pada Cheryl.“Whoaaa …,” gumamku sambil memperhatikan sekitar.Tanpa sadar kakiku sedikit berlari, lalu aku membalikkan badan dan foto selfie dengan berbagai sudut pengambilan gambar.Pulau Sentosa terlihat tidak terlalu ramai di posisi aku berdiri sekarang. Tapi, aku bisa menjamin, di area Universal Studio pasti ada begitu banyak keluarga yang mengajak anak-anaknya bermain.Aku tidak berminat ke area bermain, karena aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan foto-foto saja.Tunggu dulu!Aku menghentikan langkah dan
“Maaf, apa aku boleh tahu namamu?” tanyaku sopan.Seorang gadis itu menatapku sejenak, hingga akhirnya dia mengangguk, lalu mengulurkan tangannya.“Lilian.”“Keenan.”“M-maaf, tadi aku—““Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku serius.“Iya, sekarang aku sudah baik-baik saja,” jawab Lilian. Ah, nama yang bagus dan manis menurutku. Semanis orangnya.Ya, Lilian seorang gadis yang cantik, sederhana, dan anggun. Ukuran tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya saja, menurutku dia terlalu kurus. Maaf, tidak berniat menilai seseorang secara fisik. Ini hanya pendapatku saja, sekadar untuk memberikan gambaran.“Syukurlah,” sahutku.Kemudian gadis itu … maksudku, Lilian, melanjutkan langkahnya. Kami pun berjalan beriringan. Aku di sisi kiri, dan Lilian di sisi kanan.“Sampai mana pembicaraan kita tadi?” tanya Lilian.“Hm ….” Aku berusaha mengingat-ingat.“Ah, Finn … apa kamu mengenalnya?” Seketika Lilian bertanya.“Tidak, aku tidak mengenal Finn,” jawabku jujur, membuat Lilian kembali menghentikan langka
Mendengar pertanyaanku, seketika Lilian menatapku lurus dan berhenti mengunyah. “Jangan salah sangka! Aku hanya senang bisa memiliki seorang teman,” ujarku santai. Tetapi, aku serius dengan perkataanku.Tidak, aku tidak sedang jatuh cinta dan ingin melakukan pendekatan. Aku hanya murni ingin berteman.“Apa di Singapura kamu tidak memiliki teman?” tanya Lilian.“Teman kuliahku banyak. Aku pun memiliki tim yang bekerja di kantor. Hanya saja, mereka semua sibuk, dan aku merasa seperti tidak memiliki teman,” jawabku jujur sambil terkekeh.Aku lihat, Lilian kembali menikmati makanannya dan tidak memberikan respons. Baik, aku tidak akan memaksanya.“Kamu tadi mengatakan kalau sudah lama mengurung di apartment. Apa kamu sakit?” tanya Lilian.Ah, rupanya Lilian ini sangat teliti. Bisa-bisanya dia masih ingat perkataanku yang sudah lewat.“Seperti yang aku ceritakan tadi, waktu itu aku putus dengan kekasihku dan mendadak aku jadi tidak suka bepergian,” jawabku.“Apa kamu selingkuh?” tanya Lil
Lilian POV“Kapan kita bisa bertemu lagi?” Pertanyaan Keenan ini membuatku sedikit kesal karena kedengarannya seperti memaksa. Pun tadi sebelum Cheryl datang, Keenan sudah menanyakan hal yang sama.Aku tidak memiliki firasat buruk tentang Keenan. Dia terlihat seperti seorang pria baik-baik, dan sejujurnya aku merasa nyaman bicara dengannya. Hanya saja, aku masih merasa sedikit curiga. Apa mungkin pertemuan kita ini kebetulan? Mana ada pertemuan yang berkali-kali bisa kebetulan?Cheryl melihatku dan Keenan bergantian, lalu tiba-tiba dia menjawab. “Apa kalian sudah punya nomor telepon masing-masing?”“Ah, kamu benar! Aku sampai lupa menanyakan nomor telepon Lilian.” Keenan buru-buru meraih ponselnya dari dalam kantong celana, lalu menoleh ke arahku.“Berapa nomor teleponmu?” tanya Keenan.Dengan malas aku menyebutkan nomor teleponku.“Aku akan mengirimkan pesan agar kamu bisa menyimpan nomor teleponku,” ujar Keenan.Aku hanya mengangguk untuk menanggapi.“Apa aku juga boleh minta nomor
Keesokan harinya …Baru saja keluar dari kamar mandi, aku mendengar ponselku bergetar.Aku buru-buru memeriksanya, khawatir ada sesuatu yang mendesak.“Tante Iva?” gumamku.Pasalnya, sangat jarang tante Iva meneleponku. Kalau penting, dia pasti mengirimkan pesan.Ting!Ketika aku hendak mengetikkan pesan, tante Iva sudah mengirimkan pesan terlebih dahulu.“Selamat pagi, Lilian. Maaf, Tante mengganggu sepagi ini. Apa Lilian masih suka mie ayam? Hari ini Tante rencana mau masak”Deg!Mendadak hatiku merasa sangat sedih, mengingat mie ayam buatan tante Iva itu salah satu menu makanan kesukaan Finn. Sepertinya aku tidak akan bisa menikmatinya karena itu akan membuatku menangis. Tetapi, aku tidak mungkin menolak tante Iva, bukan?Dengan tangan yang gemetar, aku berusaha membalas pesan. “Mie ayam, kesukaan Finn.”“Tante mengerti. Seandainya itu akan membuatmu sedih, kamu bisa makan menu yang lain, yang tak kalah enaknya. Kalau ada waktu, mampir ke rumah ya!” balas tante Iva dengan mengirimk
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera