Lilian POV“Kapan kita bisa bertemu lagi?” Pertanyaan Keenan ini membuatku sedikit kesal karena kedengarannya seperti memaksa. Pun tadi sebelum Cheryl datang, Keenan sudah menanyakan hal yang sama.Aku tidak memiliki firasat buruk tentang Keenan. Dia terlihat seperti seorang pria baik-baik, dan sejujurnya aku merasa nyaman bicara dengannya. Hanya saja, aku masih merasa sedikit curiga. Apa mungkin pertemuan kita ini kebetulan? Mana ada pertemuan yang berkali-kali bisa kebetulan?Cheryl melihatku dan Keenan bergantian, lalu tiba-tiba dia menjawab. “Apa kalian sudah punya nomor telepon masing-masing?”“Ah, kamu benar! Aku sampai lupa menanyakan nomor telepon Lilian.” Keenan buru-buru meraih ponselnya dari dalam kantong celana, lalu menoleh ke arahku.“Berapa nomor teleponmu?” tanya Keenan.Dengan malas aku menyebutkan nomor teleponku.“Aku akan mengirimkan pesan agar kamu bisa menyimpan nomor teleponku,” ujar Keenan.Aku hanya mengangguk untuk menanggapi.“Apa aku juga boleh minta nomor
Keesokan harinya …Baru saja keluar dari kamar mandi, aku mendengar ponselku bergetar.Aku buru-buru memeriksanya, khawatir ada sesuatu yang mendesak.“Tante Iva?” gumamku.Pasalnya, sangat jarang tante Iva meneleponku. Kalau penting, dia pasti mengirimkan pesan.Ting!Ketika aku hendak mengetikkan pesan, tante Iva sudah mengirimkan pesan terlebih dahulu.“Selamat pagi, Lilian. Maaf, Tante mengganggu sepagi ini. Apa Lilian masih suka mie ayam? Hari ini Tante rencana mau masak”Deg!Mendadak hatiku merasa sangat sedih, mengingat mie ayam buatan tante Iva itu salah satu menu makanan kesukaan Finn. Sepertinya aku tidak akan bisa menikmatinya karena itu akan membuatku menangis. Tetapi, aku tidak mungkin menolak tante Iva, bukan?Dengan tangan yang gemetar, aku berusaha membalas pesan. “Mie ayam, kesukaan Finn.”“Tante mengerti. Seandainya itu akan membuatmu sedih, kamu bisa makan menu yang lain, yang tak kalah enaknya. Kalau ada waktu, mampir ke rumah ya!” balas tante Iva dengan mengirimk
“Sambil menunggu masakan semuanya matang, cobain ini … risoles ala Tante Iva.” Tante Iva datang menghampiri kami sambil membawa satu piring berukuran besar, berisi risoles.“Wah, saya sudah lama tidak makan risoles,” ujar Cheryl dengan mata berbinar.“Lilian suka risoles?” Tatapan Tante Iva beralih padaku.“Ini cemilan kesukaan Lilian, Tante,” celetuk Cheryl.“Oya? Kok Finn tidak pernah cerita ya,” sahut Tante Iva.“Berhubung di sini tidak pernah lihat risoles dan saya tidak bisa membuatnya, saya memilih untuk melupakan risoles,” jawabku sambil tertawa.Om Danendra, Tante Iva, dan Cheryl pun ikut tertawa.“Cobain dulu ya … kalau cocok, lain kali Tante bagi seandainya kebetulan buat,” ujar Tante Iva.Aku mengangguk, lalu mengambil satu risoles dan mulai menikmatinya.“Bagaimana?” tanya Tante Iva.“Saya suka, Tante! Ini enak,” jawabku kegirangan. Terlalu senang akhirnya bisa menikmati risoles lagi, rasanya aku ingin melompat-lompat sambil bertepuk tangan.“Benarkah?” tanya Tante Iva rag
“Cheryl sudah ada pria yang disukai atau belum nih?” tanya Om Danendra dengan senyum khasnya yang mirip dengan Finn.“Pasti banyak donk, Pa. Cheryl itu gadis yang cantik dan pandai,” sahut Tante Iva.“Bisa saja, Tante. Buktinya sampai sekarang saya masih jomblo,” canda Cheryl.“Itu karena kamu belum membuka hati saja,” ujar Tante Iva tepat sasaran.Sementara Om Danendra dan Tante Iva sibuk berbincang dan bercanda dengan Cheryl, aku yang mendadak teringat akan Finn hanya bisa sesekali tersenyum untuk menanggapi.“Ayo, tambah lagi, Li! Makan yang banyak ya,” ujar Tante Iva, membuatku yang sedang melamun ini terkesiap.“Iya, Tante,” sahutku tersenyum.“Lilian dan Cheryl boleh anggap Om dan Tante seperti orang tua kalian sendiri ya. Begitu ada pria yang mendekati, kalian bisa cerita,” ujar Om Danendra.“Cerita apa pun … kami siap mendengarnya,” tambah Tante Iva.“Iya, Om, Tante,” sahut Cheryl.Sementara aku melihat ke arah piring, pura-pura sibuk makan. Hatiku benar-benar terasa campur ad
“Siapa?” tanya Om Danendra dan Tante Iva kompak. Rupanya mereka benar-benar ingin tahu.Aku menghela napas pelan sambil melirik ke arah Cheryl, yang kebetulan juga melirik ke arahku dengan senyum iseng khasnya.Kenapa sahabatku ini selalu saja membicarakan hal yang tidak penting?“Cheryl, sepertinya harus kamu yang cerita deh,” paksa Tante Iva.Aku masih menatap Cheryl dengan pandangan yang aku sendiri tidak mengerti.“Kalau kalian tidak mau cerita, itu artinya hanya Om dan Tante yang menganggap kalian anak sendiri. Sedangkan kalian hanya sekadar bersikap baik dengan kami.” Perkataan Om Danendra menyiratkan rasa kecewa dan itu membuatku praktis merasa bersalah.Lagi-lagi aku menghela napas pelan, memikirkan cara untuk bercerita.“Akan lebih baik kalau Lilian yang cerita, Tanta,” ujar Cheryl, masih menatapku.“Jadi, begini … kemarin saya mendadak pergi ke Pulau Sentosa sendirian. Rencana saya, setibanya di sana mau mengirimkan foto, sekaligus memberi tahu Cheryl, agar dia menyusul saya
“Lalu … kita harus bagaimana, Ryl?” tanyaku. Saat ini tubuhku sudah mulai sedikit gemetaran, dan aku tetap berusaha untuk fokus sebelum traumaku kambuh.“Enggak bagaimana-bagaimana,” jawab Cheryl membuatku praktis menoleh ke arahnya.“Tidak perlu takut! Ada aku dan ada orang kepercayaan om Danendra yang mengawasi kita. Kita pasti aman,” bisik Cheryl.Aku mengangguk samar. Namun, aku tidak bisa menutupi rasa gugup.“Li, tenang! Jangan terlihat gugup!” Cheryl kembali mengingatkanku.“Iya,” jawabku.Setelah menghembuskan napas pelan beberapa kali, aku pun membuka pintu cafe.Melihat kami berdua datang, Keenan langsung tersenyum dan melambaikan tangannya.“Hai! Maaf menunggu lama.” Itu suara Cheryl yang mendahuluiku menyapa.Cheryl pasti tahu kalau aku masih sangat gugup.Cheryl menarik kursi di hadapan Keenan. Sedangkan aku memilih untuk duduk di sebelah Cheryl.“Mau minum?” Keenan menawari.“Tentu saja,” jawab Cheryl sambil melambaikan tangannya, memanggil seorang pelayan cafe.“American
Suasana di antara aku, Cheryl, dan Keenan mendadak terasa canggung. Keenan mungkin bingung dan khawatir salah bicara, sehingga kami akan semakin mencurigainya. Sementara aku dan Cheryl juga merasa tidak enak hati sudah mencurigai Keenan. Akan tetapi, Keenan memang seseorang yang paling mencurigakan. Tidak salah kalau Cheryl menginterogasinya, bukan?“Jadi, apa tujuanmu ingin mengajak kami bertemu?” tanya Cheryl membuka pembicaraan.“Kita sudah pernah pergi bersama sebelumnya dan aku sudah menganggap kalian temanku, tak ada salahnya kita bertemu,” jawab Keenan.Aku mengangguk samar.“Apa kalian percaya dengan alasanku?” tanya Keenan. Raut wajahnya terlihat memelas.“Entahlah,” jawab Cheryl.Sahabatku satu ini memang benar-benar jujur dan apa adanya, sampai sering kali dia lupa menjaga perasaan orang lain.“Begini saja ….” Keenan terlihat mengambil dompet di saku celananya, lalu dia mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada kami.“Setidaknya kalian tahu alamat tempat tinggal dan ka
“Itu ban mobil kamu kempes!” seru Cheryl yang rupanya juga ikut memperhatikan.Aku, Cheryl, dan Keenan buru-buru berjalan mendekat ke arah mobil. Akan tetapi, Keenan terlihat berjalan lebih cepat dan setengah jongkok di samping mobilnya.Benar yang aku lihat, ban mobil bagian depan, sebelah kanan sudah kempes.Keenan bangkit berdiri, lalu melihat ke arah kami. Raut wajahnya terlihat bingung, tapi dia masih berusaha tenang. “Kalian pulang dulu saja. Aku masih harus mengganti ban,” katanya.“Eee, tidak apa-apa, biar aku bantu!” sahut Cheryl, yang buru-buru ke mobil untuk meletakkan tas.Aku akui, meskipun wanita, Cheryl cukup jago mengganti ban mobil. Tinggal di Singapura memang membuat kami lebih mandiri. Sebisa mungkin belajar melakukan semua hal sendiri.Sementara aku yang tidak tahu cara mengganti ban, hanya bisa terpaku, memperhatikan Keenan yang sudah membuka bagian bagasi mobil.“Lilian, kamu kenapa?” tanya Keenan membuatku terkesiap.“A-apa ada orang yang berniat jahat padamu?”
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera