Beranda / Romansa / Yes, I Do / Bab 6. Mari Berusaha Bersama

Share

Bab 6. Mari Berusaha Bersama

Penulis: Adelia17
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-04 17:02:48

“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang,” ucap seorang pria paruh baya itu dalam bahasa Inggris.

Aku hanya membungkukkan badan sekali lagi sebagai tanggapan.

Kemudian seorang pria dan seorang wanita paruh baya, serta dua orang gadis itu melanjutkan langkah mereka, meninggalkan aku seorang diri.

Aku pun memberikan penghormatan terakhir di hadapan makam seseorang yang tidak kukenal, lalu aku kembali ke mobil.

Untuk beberapa saat aku masih diam di dalam mobil untuk mengingat-ingat wajah seorang gadis yang sedari tadi menangis itu. Hm ..., aku tidak ingat pernah bertemu dengan seorang gadis itu tetapi wajahnya tidak asing.

Perlahan aku mulai melajukan kendaraan, keluar dari area pemakaman.

Hatiku sedikit merasa lega setelah menangis tadi.

Jujur, tadinya aku merasa menjadi orang yang paling menyedihkan. Mama kandungku sendiri tidak mau bicara denganku. Ditambah, kekasihku ternyata tidak benar-benar mencintaiku. Tetapi, ternyata selain aku, ada juga orang-orang yang sedih karena ditinggalkan orang yang dicintainya.

Aku tidak sedang mencari teman sepenanggungan. Aku hanya kembali diingatkan bahwa kita hidup di dunia ini tidak akan benar-benar sendirian. Kalau dipikir-pikir lagi, keadaan kita tidak akan pernah menjadi yang paling buruk atau yang paling baik.

Seseorang pernah berkata, kalau kita merasa dunia sedang berada di dalam genggaman tangan, maka kita harus ingat di atas sana masih ada langit yang sewaktu-waktu bisa mengambil alih dunia. Di sisi lain, kalau kita sedang berada di posisi terpuruk, maka di atas sana masih ada langit yang memiliki jalan keluar dan siap memberi petunjuk.

Baiklah ... sekarang aku sudah mulai merasakan lapar. Aku melihat ke sekeliling dan memutuskan untuk berhenti sejenak di depan sebuah tempat makan yang menjual makanan siap saji.

Aku turun dari mobil dan bergegas memesan satu hotdog berisi ikan tuna dengan sayuran segar dan saus mayonnaise, lalu aku membayar pesanan. Setelah menunggu sebentar, aku menerima pesanan hotdog dan membawanya ke mobil. Aku berniat ingin menikmatinya di apartment saja.

“Dua hotdog dengan daging dada kalkun. Kami mau pakai sayur dan saus lengkap.” Terdengar samar-samar seorang wanita memesan hotdog juga.

Sudut mata kiriku melihat, ternyata ada dua orang gadis berpakaian serba hitam juga mampir di tempat makan di mana aku memesan hotdog. Ah, dua orang gadis itu ...  mereka yang baru saja dari pemakaman.

Aku menoleh dan menganggukkan kepala satu kali untuk sekadar menyapa karena kebetulan salah satu dari mereka juga menoleh ke arahku. Lalu aku melanjutkan langkahku.

Hanya untuk hari ini saja, aku akan menikmati waktu sendiri di apartment. Dan mulai besok, aku akan mulai menyibukkan diriku dengan bekerja.

***

Keesokan harinya ...

Lilian POV

“Kamu mau ke mana?” tanya Cheryl, membuatku berjengit kaget.

Kapan dia mengetuk? Tiba-tiba saja kepalanya sudah menyembul di pintu kamar.

“Kampus,” jawabku.

“Tidak boleh! Kamu belum boleh ke kampus,” ujar Cheryl sambil melangkah masuk mendekatiku yang sedang menyisir rambut.

Ah, aku lupa memberi tahu. Kemarin sepulangnya dari pemakaman, aku memohon pada Cheryl untuk langsung pulang ke apartment. Aku tidak betah di rumah sakit. Aku tidak suka mendengar suara sirine yang selalu membuat tubuhku mendadak gemetaran.

Jadi, kemarin, sepulangnya dari pemakaman, Cheryl mengajakku berkeliling untuk membujukku terlebih dahulu, sampai akhirnya dia mengalah dan membeli hotdog untuk kami nikmati di apartment.

“Aku harus sibuk agar tidak mengingat Finn terus menerus,” lirihku.

“Kesehatanmu belum stabil, Li. Sebaiknya kamu istirahat dulu,” ujar Cheryl tegas tetapi tetap terdengar lembut di telinga siapa saja yang mendengarnya.

“Kamu juga harus praktik, ‘kan?” tanyaku.

“Tidak, aku sedang ada pasien yang harus diurus,” jawab Cheryl membuatku mengernyitkan dahi samar.

“Kalau begitu, kamu tetap harus keluar, ‘kan? Aku bosan di apartment sendirian,” ujarku.

“Pasienku itu kamu, Lilian.” Kini Cheryl membungkukkan badannya, sambil menyentuh kedua bahuku. Sementara posisiku sedang duduk di depan meja rias.

“Aku tidak akan membayarmu. Jadi, bekerjalah! Cari uang yang banyak biar kamu bisa membayar uang sewamu di sini,” ujarku sambil mengerucutkan bibir.

Bukannya marah, Cheryl malah tertawa terbahak-bahak.

“Ekspresimu menggemaskan! Pantas saja Finn cinta mati sama kamu,” sahut Cheryl sambil menegakkan tubuhnya kembali. Namun, perkataannya membuat mataku praktis berkaca-kaca.

“Dengar dulu, Nona Lilian! Aku tidak minta kamu membayar. Aku hanya ingin kamu sembuh dan bertemu dengan pangeran tampan—“

“Tidak akan pernah ada pengganti Finn di hatiku,” isakku.

Cheryl berlutut di hadapanku sambil mendongak untuk melihat ke arah wajahku.

“Kamu benar. Finn akan selalu memiliki satu ruang di hatimu. Mengenai pangeran yang aku katakan, dia tidak perlu kita bahas lagi,” ujar Cheryl sambil mengibaskan tangannya, seakan sedang mengusir bayangan seorang pangeran yang dia katakan itu.

“Tapi, aku tetap mau kamu sembuh. Tolong bekerja sama denganku, Li! Aku ini sahabatmu,” lanjut Cheryl.

Aku pun berhambur memeluk Cheryl, menumpahkan seluruh kesedihanku. Meskipun berhari-hari aku menangis, namun aku masih belum merasa puas. Seperti ada beban berat yang enggan keluar dari dadaku ini.

“Lalu, bagaimana dengan kuliahku?” tanyaku sambil melepaskan pelukanku.

“Kalau kamu tidak mau mengambil cuti, maka ambillah libur selama satu minggu ini! Minggu depan aku akan mengatur jadwal untuk ikut kamu ke kampus,” jawab Cheryl membuatku terbelalak.

Apa katanya? Mau ikut ke kampus? Kenapa aku mendadak seperti anak kecil yang diantar orang tuanya ke sekolah ya?

“B-buat apa ikut ke kampus?” tanyaku bingung.

“Buat temani kamu, donk!” jawab Cheryl sambil tersenyum.

“Tidak perlu, ih! Apaan sih?!” gerutuku.

“Kamu itu perlu ada yang menemani, Li. Kalau sampai traumamu kambuh, itu bahaya banget. Percaya deh sama aku!” ujar Cheryl dengan raut wajah serius. Dia juga bangkit berdiri dan duduk di tepi tempat tidurku.

Aku hanya diam karena aku percaya, Cheryl tidak akan berbuat sejauh ini kalau perkataannya tidak serius.

“Baiklah. Aku akan bekerja sama,” sahutku. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.

Aku merindukan Finn, dan akan selalu merindukan dirinya. Apalagi di masa-masa sulit seperti sekarang ini. Kalau boleh memilih, aku akan merasa lebih nyaman bersama Finn.

Bukan ... aku bukan merasa tidak nyaman dengan kehadiran Cheryl. Tapi, posisi Cheryl itu sebagai sahabat. Sedangkan Finn itu kekasihku. Perasaan nyaman yang aku rasakan saat bersama Finn, dibanding saat bersama Cheryl itu berbeda.

“Lakukan apa pun yang membuatmu nyaman, seperti saat kamu bersama Finn! Itu akan membantumu lebih cepat sembuh,” ujar Cheryl.

“Apa kamu cenayang?” tanyaku.

Cheryl terkekeh. “Air matamu mengatakan betapa kamu merindukan Finn. Aku pun pernah memiliki kekasih. Aku tahu bedanya kehadiranku dengan kehadiran Finn. Asal kamu tahu saja, aku ada di sini untuk kamu. Mari kita berjuang bersama-sama agar kamu sembuh. Ok?”

Sambil mengusap air mata, aku mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
senja_awan
apakah berbahaya bgt ya ptsd itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Yes, I Do   Bab 7. Menyibukkan Diri

    Krek!Aku yang saat ini sedang duduk di dekat jendela kamar, menoleh begitu mendengar pintu dibuka.Cheryl membawa nampan dan berjalan mendekat ke arahku. Lalu dia duduk di sisi tempat tidur, di sebelahku, sambil meletakkan nampan di atas tempat tidur.“Aku sudah masak susah-susah, tidak boleh tidak di makan ya,” ujar Cheryl.“Aku belum lapar,” sahutku, kembali melihat ke arah luar jendela.Saat ini gorden memang sedang aku buka. Sedari tadi aku terus menatap ke arah langit biru, seakan sedang mencari sosok Finn di sana.“Enggak silau apa, Li, lihat langit terus?” tanya Cheryl sambil menengadah ke arah langit.“Hm,” gumamku, tak berniat memberikan jawaban.Dari sudut mataku, aku bisa melihat kalau Cheryl memerhatikanku.“Li, dari kemarin hanya hotdog yang masuk di dalam perutmu—““Sudah keluar sih tadi pagi,” potongku dengan pandangan ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-06
  • Yes, I Do   Bab 8. Bertemu Lagi

    Pesan yang baru saja aku baca datang dari Erina. Dua kali aku membaca pesannya hingga aku menghela napas panjang dan mengusap kasar wajahku.Bagaimana bisa tiba-tiba Erina mengirimkan pesan, ketika aku sempat mengingatnya sekilas, seakan kami masih punya ikatan batin?“Aku harus bagaimana?” gumamku bingung.Di satu sisi, tidak ada gunanya kami bertemu. Di sisi lain, aku tahu bagaimana rasanya memiliki perasaan bersalah dan harapan untuk bisa mendapatkan pengampunan.Sering kali orang lebih suka menghukum dengan membiarkan seseorang hidup dengan perasaan bersalah tanpa memberikan maaf. Padahal memaafkan itu bukan menghapus kesalahan. Dan sekalipun kita sudah memaafkan, tidak semua orang bisa dengan mudah melepaskan perasaan bersalah.Bagiku, memaafkan itu sebuah langkah maju. Hidup kita dan orang lain harus terus berjalan.Ha! Lagi-lagi aku menghembuskan napas kasar.Setelah berpikir sejenak, aku bergerak merapikan barang-b

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-08
  • Yes, I Do   Bab 9. Kambuh

    Lilian POVBeberapa saat yang lalu, usai menghabiskan bubur ayam buatan Cheryl, aku mengajak sahabatku itu jalan-jalan keluar sebentar.Meskipun Cheryl tak berhenti menggangguku agar aku berhenti melamun, tetapi aku tetap merasa sepi.Di Singapura, selalu ada orang-orang yang berlalu lalang di jalanan, dan aku ingin merasakan kehadiran banyak orang. Dengan demikian, aku berharap, bisa melupakan Finn walau hanya sebentar saja.Pikiranku benar-benar penuh hingga membuat kepalaku terasa sangat sakit. Dadaku sesak menahan rindu. Hatiku teramat sedih. Aku hanya perlu sebentar saja keluar dari unit apartment ini.Beruntung Cheryl menyetujui keinginanku. Kebetulan dia ingin makan nasi lemak. Jadi, kami bergegas bersiap dan berjalan keluar dari unit apartment.Ketika kami sudah dekat dengan tempat makan yang menjual nasi lemak, tiba-tiba ada suara sirine yang begitu nyaring, memekakkan telinga.Suara sirine itu mengingatkanku pada kejadian di mana aku melihat mobil Finn ditabrak dan … dan … da

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-08
  • Yes, I Do   Bab 10. Hai, Finn!

    Demi bisa mengunjungi Finn, aku menikmati makan malamku dengan semangat, walau aku sebenarnya belum berselera makan. Dan itu sukses membuat Cheryl terus menampilkan raut wajah bahagia.“Sudah ya, aku menepati janjiku,” kataku pada Cheryl yang hanya mengangguk-angguk.“Istirahatlah! Biar aku yang mencuci piring,” ujar Cheryl usai menelan suapan terakhir.“Terima kasih, Dokter Cheryl kesayangan,” ucapku riang.Rencana untuk mengunjungi makam Finn besok, sungguh membuatku lebih bersemangat. Mungkin terdengar berlebihan, tapi aku merasa hatiku tertinggal di sana bersama Finn.Setelah membantu Cheryl meletakkan peralatan makan di tempat cucian, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhku dan beristirahat. Ah, aku tidak sabar menunggu besok.Tok tok tok!Aku mendengar suara pintu kamar diketuk namun terlalu banyak menangis membuatku sulit membuka mata.Hingga tak lama kemudian, akhirnya aku berhasil membuka mata dan melihat seseorang datang menghampiriku.Tunggu dulu!“Finn

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-09
  • Yes, I Do   Bab 11. Janji

    “Kenapa bangun? Kamu mau ke mana?” tanya Cheryl.“Apa kamu bertemu Finn di luar?” Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya.“Finn datang?” Cheryl pun kembali bertanya dengan raut wajah keheranan.Aku mengangguk cepat. Saat ini posisiku sudah duduk dengan air mata yang tak berhenti mengalir.“Aku hanya mendengar kamu menangis dan berteriak. Jadi, aku tidak memperhatikan. Maaf,” ujar Cheryl.“Biar aku memeriksanya,” sahutku sambil bergegas keluar kamar, diikuti oleh Cheryl.Dengan gerakan sedikit berlari, aku ke dapur dan terus mencari di setiap sudut ruangan, sampai aku membuka pintu unit apartment. Barangkali saja aku bisa bertemu Finn di luar sana.“Li,” panggil Cheryl lembut.Aku menoleh ke arah Cheryl. “Ya?”“Masuk, yuk!” ajak Cheryl.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, dengan harapan bisa melihat sosok Finn. Tapi, nihil. Aku tidak punya pilihan selain mengangguk dan mengikuti Cheryl kembali masuk ke dalam unit apartment.“Kamu tadi lupa minum obatnya,” ujar Cheryl. Dia menun

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-09
  • Yes, I Do   Bab 12. Sebuah Paket

    Aku tidak sekadar berjanji untuk hidup dengan baik, tetapi aku juga bertekad untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik.Setidaknya saat ini aku melakukannya untuk Finn dan Cheryl karena sejujurnya aku sendiri tidak memiliki semangat untuk hidup lagi.Percayalah, membuat janji dan memiliki tekad tidak cukup membuat praktiknya berjalan dengan lancar.Sudah satu minggu ini, setiap hari aku masih saja menangis karena rasa rindu ini tak dapat dihindari. Hanya saja, aku berusaha untuk mulai beraktivitas, sebagai salah satu cara untuk mengalihkan perhatian.Sementara aku belum boleh ikut kuliah, aku memilih untuk membantu Cheryl memasak dan membersihkan apartment. Sesekali aku juga mengajak Cheryl keluar untuk belanja bahan makanan, daripada terus melamun di kamar.“Bukannya membantuku, kamu malah membuatku semakin repot, Li,” tegur Cheryl membuatku terkesiap.“Eee, maaf maaf ….” Aku baru saja menuang garam hampir separuh wadah.Cheryl buru-buru mengambil alih mangkuk berisi telur, lalu me

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-09
  • Yes, I Do   Bab 13. Pulau Sentosa

    Tak ada nama pengirim dan penerima. Jadi, aku letakkan begitu saja di atas meja. Barangkali Cheryl pemilik paket ini, karena sudah lama aku tidak belanja online.Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah dikunci, aku melanjutkan langkahku masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan istirahat.Sebelum aku naik ke atas tempat tidur, aku membuka gorden karena di luar sana masih terang.“Sepi,” gumamku sambil memeluk guling.Perlahan aku mengedarkan pandangan ke arah luar jendela, lebih tepatnya melihat ke arah langit.“Finn, apa kamu di sana? Aku sedang sendirian di sini. Cheryl menemui pasiennya.” Aku bicara sendiri dengan nada suara sangat pelan.“Biasanya … pulang dari kampus, kamu akan mengajakku makan siang, lalu kamu mengantarku pulang, dan kembali ke kantor. Bagaimana kantor tanpamu? Bagaimana kabar om Danendra dan tante Iva? Aku rasa mereka semua merasa kesepian, sama sepertiku sekarang,” lirihku.Walaupun Finn bukan tipe pria yang suka bicara, namun kehadirannya sela

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-09
  • Yes, I Do   Bab 14. Siapa Kamu?

    Ah, rasanya sudah sangat lama aku tidak jalan-jalan. Sejujurnya aku sedikit berdebar-debar jalan sendiri seperti sekarang ini. Namun, aku juga bersemangat.“Finn, aku ada di Pulau Sentosa,” gumamku sangat pelan, sambil menengadahkan kepala ke langit yang tampak sangat cerah. Benar-benar cuaca yang cocok untuk bersenang-senang.Aku melanjutkan langkah dengan mantap dan tangan yang masih memegang ponsel. Rencananya aku ingin mengambil gambar, dan mengirimkannya pada Cheryl.“Whoaaa …,” gumamku sambil memperhatikan sekitar.Tanpa sadar kakiku sedikit berlari, lalu aku membalikkan badan dan foto selfie dengan berbagai sudut pengambilan gambar.Pulau Sentosa terlihat tidak terlalu ramai di posisi aku berdiri sekarang. Tapi, aku bisa menjamin, di area Universal Studio pasti ada begitu banyak keluarga yang mengajak anak-anaknya bermain.Aku tidak berminat ke area bermain, karena aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan foto-foto saja.Tunggu dulu!Aku menghentikan langkah dan

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-09

Bab terbaru

  • Yes, I Do   Bab 116. New Member

    Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h

  • Yes, I Do   Bab 115. Perubahan Sikap

    Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta

  • Yes, I Do   Bab 114. Sebuah Tanda

    Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,

  • Yes, I Do   Bab 113. I Love You

    “Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p

  • Yes, I Do   Bab 112. Bulan Madu

    Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama

  • Yes, I Do   Bab 111. Acara yang Sederhana

    Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k

  • Yes, I Do   Bab 110. Pertemuan Keluarga

    “Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb

  • Yes, I Do   Bab 109. Menerima Diri Sendiri

    Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,

  • Yes, I Do   Bab 108. Menghadapi Realita

    “Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera

DMCA.com Protection Status