POV Lilis ***Aku sudah berada di kota. Setelah menempuh perjalanan empat jam, akhirnya tiba di terminal. Aku tidak memberitahu siapapun jika pergi dari rumah Mas Amar. Lebih tepatnya aku kabur.Aku akan selalu menyebut jika itu rumah Mas Amar. Karena tidak pernah terucap dari bibir Mas Amar, kalau rumah itu miliknya dan aku. Dia selalu mengatakan jika itu rumah yang di bangun bersama Arumi. Jadi aku tidak memiliki hak untuk menganggap rumah itu milikku.Di tanganku ada secarik kertas yang bertuliskan alamat warung Mbak Arumi. Perjalananku terlalu panjang hingga akhirnya mendapatkan alamat ini."Semoga aku tidak hilang. Aku baru pertama kali ke kota. Aku takut ada yang berbuat jahat padaku," lirihku sambil memeluk tas. Di dalam tas yang aku peluk ada uang satu juta. Ini uang yang dua hari lalu di berikan oleh Mas Amar untuk keperluan belanja. Aku tidak tahu, bagaimana marahnya Mas Amar ketika tahu aku melarikan diri dengan uang ini. Tetapi jika tidak melakukan cara ini, aku tidak ta
POV Lilis"Maaf, kamu mencariku."Aku menoleh ketika mendengar suara yang sangat lembut di telinga. Aku mengenalnya, dia — Mbak Arumi.Nampak dari wajah, Mbak Arumi kaget melihatku. Tanpa menunggu lama, aku langsung berdiri dan mengulurkan tangan. Ingin berkenalan lebih dulu. Saat menikah dengan Mas Amar, aku tidak sempat berkenalan dengan Mbak Arumi. Aku bahkan tak melihatnya di hari itu. Pertemuan pertama kami terjadi saat persidangan cerai."Lilis," ujarku saat Mbak Arumi menjabat uluran tanganku. Aku tersenyum lembut padanya. Tetapi Mbak Arumi belum membalas senyumku. Dia masih terlihat kaget. Seperti orang yang sedang kebingungan."Aku datang kesini ingin menemui, Mbak. Ada yang mau aku bicarakan," tuturku lembut. Masih dengan senyuman di wajah. Aku terdiam beberapa detik. Mbak Arumi masih saja menatapku. Entah apa yang dia pikirkan. Mungkin saja berpikiran buruk tentangku."Boleh aku bicara sebentar dengan Mbak?" Aku kembali berkata karena melihat Mbak Arumi yang masih saja di
POV Lilis Mbak Arumi masih mengusap belakangku. Sungguh lembut hati perempuan ini. Aku telah menyakitinya karena menikah dengan Mas Amar. Tetapi dia masih bisa memperlakukan aku dengan baik. "Mari kita ke dalam. Jangan cerita di sini. Aku tidak enak dengan pengunjung yang datang," ujar Mbak Arumi sambil tersenyum lembut.Aku mengangguk. Mbak Arumi memegang tanganku untuk masuk ke dalam. Tidak tahu, akan di bawa ke mana. Aku hanya mengikuti langkah Mbak Arumi.Ternyata Mbak Arumi membawaku masuk ke dalam ruangan yang ada di dekat dapur. Mungkin ruangan ini menjadi tempat istirahat Mbak Arumi karena di desain seperti kamar. Ada ranjang tidur, ada meja, kursi dan lemari. Ada pula laptop dan segala perlengkapan perempuan di meja hias dekat lemari. Apa Mbak Arumi tinggal di sini? Aku memilih duduk di kursi. Mbak Arumi lalu keluar. Ternyata dia mengambilkan aku minum. Dia lalu mengeluarkan baju dari dalam lemari. Untuk apa? Oh mungkin Mbak Arumi ingin mengganti baju."Pakai ini. Baju mu
POV Lilis"Aku tidak ingin lagi membahas tentang Mas Amar. Kisahku dengannya sudah tutup buku. Aku tidak mau membuka luka itu lagi. Hehe. Sekarang kehidupanku sudah lebih baik. Aku tidak ingin mengotori dengan mengingat masa lalu, " ujar Mbak Arumi. Aku bisa merasakan sakitnya hati Mbak Arumi. Pasti dia terlalu terluka, hingga bercerita pun tidak mampu. Aku yang baru menjadi istri selama setahun lebih saja, sudah merasakan sakit. Apalagi Mbak Arumi yang hidup bersama selama delapan tahun. Dan pernikahannya pun berakhir dengan cara yang tidak baik."Aku sudah berkali-kali meminta cerai pada Mas Amar, Mbak. Tetapi Mas Amar tidak mau. Aku ingin seperti Mbak, hidup bebas dari tekanan." Aku tertawa getir di akhir kata. Memikirkan nasib yang tidak seberuntung Mbak Arumi. Menurutku Mbak Arumi sangat beruntung. Bisa terlepas dari lelaki zalim seperti Mas Amar."Berarti Mas Amar menyayangimu, Lilis. Kalau dia tidak mencintaimu, pasti dia mau menuruti keinginanmu. Kalau tidak sayang pada kamu
POV Lilis"Aku bukan ingin menyalahkan sunah rasulullah. Atau tidak setuju dengan sunah berpoligami. Tetapi aku tahu jika Mas Amar tidak mampu. Dia tidak bisa menjadi suami yang adil jika berpoligami … Aku juga pulang ke rumah orang tuaku untuk berpikir lebih tenang. Aku memang pernah meminta cerai saat Mas Amar memutuskan untuk poligami. Namun keputusan itu berubah. Aku memilih untuk bertahan. Dan yang terjadi di luar dugaan, tiba-tiba Mas Amar memutuskan untuk bercerai." Suara Mba Arumi terdengar bergetar. Apa dia masih mencintai Mas Amar? Jika sudah tak cinta, tidak mungkin masih merasakan sakit saat bercerita. Semua telah menjadi masa lalu, harusnya sekarang Mbak Arumi sudah jauh lebih baik. Tadi baru saja Mbak Arumi berkata jika perlahan-lahan lukanya sudah sembuh. Kenapa dia masih sedih saat menceritakan Mas Amar?"Kamu jangan merasa bersalah. Yang terjadi padaku sudah kehendakNya. Aku hanya butuh waktu untuk memperbaiki perasaan ini. Mungkin sekarang belum benar-benar lupa at
POV Lilis Hari mulai gelap. Aku tetap berada di ruang pribadi Mbak Arumi. Ingin keluar, tetapi aku malu.Aku baru pertama kali datang ke warung Mbak Arumi. Tidak kenal dengan semua orang yang bekerja di sini. Tidak mungkin kan, aku keluar dan sok kenal dengan mereka.Aku sedang bersandar di dinding kursi sambil menutup mata. Dari tadi ingin tidur, tetapi tidak bisa. Mungkin karena tidak merasa nyaman tidur di kursi. Aku tidak mengindahkan perintah Mbak Arumi untuk tidur di kasurnya. Di beri tempat istirahat seperti ini saja, aku sudah bersyukur. Tak ingin membuat Mbak Arumi tidak nyaman keberadaanku di sini.Aku langsung kembali duduk tegap saat mendengar seseorang membuka pintu. Ternyata Mbak Arumi. Di tangannya ada sepiring makanan dan segelas air minum."Lilis, ini makanan untuk kamu." Mbak Arumi kini sudah berdiri di depanku."Ya ampun, Mbak! Aku nggak enak loh, dari tadi diberi makan terus! Aku akan bayar. Berapa harga semua yang telah aku makan?" Mbak Arumi menaruh makanan di
POV Lilis Lelaki itu juga menatapku. Entahlah, mungkin hanya pikiranku saja jika pernah bertemu dengannya. Toh aku baru pertama kali datang sendiri ke sini. Dulu memang pernah ke kota, saat persidangan Mas Amar dan Mbak Arumi. Tetapi saat itu aku tidak datang sendiri. Ya jelaslah, tidak datang sendiri. Dulu kan aku datang untuk menemani Mas Amar."Kamu istri mantan suami Arumi kan?"Mataku membulat mendengar pertanyaan lelaki di hadapanku. Dari mana dia tahu kalau aku istri Mas Amar? Aku memang merasa pernah melihatnya. Tetapi kan perasaan ini belum tentu benar. Aku masih membisu. Bingung mau jawab apa.Lelaki itu berdiri, dia lalu mendekat ke arahku. Matanya tidak berhenti menatap. Sungguh tatapannya sangat tajam. Badannya yang gagah, membuat nyaliku ciut."Kenapa diam? Kamu istri lelaki itu kan? Laki-laki yang sudah menyakiti Arumi! … Tidak salah, aku tidak mungkin salah! Kamu perempuan yang sudah menyakiti Arumi! Kamu mau ngapain di sini?"Nyali menciut. Aku memeluk tas yang ada
POV Lilis Aku langsung mengambil handphone. Pikiranku tertuju pada saat persidangan cerai Mbak Arumi dan Mas Amar. Apa orang itu ada di sana? Aku hanya pernah bertemu Mbak Arumi dan keluarganya sekali. Mungkin orang itu salah satu keluarga Mbak Arumi. Mungkin dulu saat persidangan, orang itu datang belakangan dan aku tidak sempat melihatnya."Tetapi tidak mungkin jika orang itu kakak Mbak Arumi. Aku masih mengingat wajah kedua kakak Mbak Arumi. Sebelum persidangan dimulai, aku sudah bertemu dengan mereka. Aku tidak mungkin lupa."Aku terus berpikir jika lelaki itu bukan saudara Mbak Arumi. Wajah mereka masih terekam jelas di ingatan. Namun, jika bukan saudara Mbak Arumi, dia siapa. Sedangkan yang aku ketahui saat persidangan dulu, Mbak Arumi hanya di temani kedua kakak dan orang tuanya. "Dulu ibu menyuruhku untuk merekam kejadian saat kakak Mbak Arumi memukul Mas Amar. Coba aku pastikan dulu wajah-wajah orang yang ada di sana." Kini tangan membuka galeri handphone. Mencari video y
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t