POV Lilis Aku membalikan kepala ke belakang. Benar, lelaki itu masih mengikuti kami. Saat Mbak Arumi menutupi gerbang, aku melihat lelaki itu berhenti. Lalu melangkah pulang. Mungkin dia hanya ingin memastikan jika Mbak Arumi pulang dengan selamat. Aku semakin penasaran. Siapa sebenarnya lelaki itu? Apa dia dan Mbak Arumi sebatas teman biasa."Mbak, gini." Ucapanku terhenti. Aku sungkan untuk bicara. "Aku pengen tanya, boleh?""Mau tanya apa?" Mbak Arumi berkata sambil merapikan baju yang telah dilipat ke dalam lemari pakaian.Saat ini kami sudah berada di dalam kamar kos Mbak Arumi yang ada di lantai dua. Kamarnya cukup luas dan nyaman. Dinding kamar di dominasi warna putih sehingga terlihat bersih.Aku menatap Mbak Arumi, bibir lalu berkata, "kenapa Mbak masih baik padaku? … Aku kan pernah menyakiti Mbak." Mbak Arumi tersenyum. Dia lalu berucap, "jika kamu datang beberapa bulan yang lalu, mungkin aku akan mengusirmu. Keadaanku sekarang sudah jauh lebih baik. Alhamdulillah perlaha
***"Ya Allah, mau apa lagi Yuda ke sini? Aku sudah capek mengusirnya. Berkali-kali dia diusir, tetap saja menganggap semua amarahku hanya sebuah lagu yang cukup di dengar tanpa peduli." Yuda selalu datang saat semua orang sudah pulang. Semalam, aku menyuruh karyawan agar pulang lebih telat dari pada aku. Dan ternyata semalam Yuda tidak datang. Hari ini, aku sudah menyuruh semua karyawan pulang lebih dulu. Aku pikir Yuda tidak akan datang. Ternyata dugaanku salah, dia ke sini lagi. Apa Yuda punya Indra ke enam? Semalam aku pulang lebih cepat karena tidak ingin bertemu Yuda. Namun kata karyawan, Yuda tidak ke sini. Sungguh aku sudah sangat pusing menghadapinya.Aku berjalan ke arah Yuda, dengan kaki melangkah tergesa. Rasanya ingin memukulnya pakai tongkat agar dia tidak lagi datang ke sini. Kalau dia masuk rumah sakit kan, aku tidak akan pusing lagi. Bila perlu aku memukulnya hingga dia hilang ingatan. Dengan begitu, dia akan berhenti menggangguku. "Pulang! Dari tadi warung ditutup
"Terserah kalau kamu tetap ingin di sini. Aku mau pulang!" ujarku lalu berjalan keluar dari warung."Hei, Arumi, Tunggu! Warung kamu gimana? Kamu nggak kunci dulu? Hei!" teriak Yuda. Dia sepertinya mengejarku."Biarin!" Aku berteriak sambil terus berjalan. Aku sudah tidak peduli lagi jika ada orang yang berniat jahat dan memorak-porandakan warung. Saat ini otak sudah sangat lelah. Seharian sibuk melayani pengunjung, di tambah harus berhadapan dengan Yuda. Aku pusing! Setiap kali berurusan dengan Yuda, aku selalu marah-marah. Sepertinya aku harus cek darah ke dokter. Jangan sampai sekarang sudah terkena hipertensi. Saat sudah memasuki gang, aku menoleh ke belakang. Syukurlah, Yuda tidak mengikutiku. Biasanya dia akan mengantar sampai aku masuk gerbang. Bahkan beberapa kali aku menemukan, Yuda menunggu hingga lampu kamar menyala, pertanda jika aku sudah berada di dalam kamar."Yuda pasti sudah pulang. Dia pasti akan mencari makan di luar. Sebenarnya apa yang dia suka dariku? Apa yan
POV Yuda ***Aku masih terjaga, belum ingin tidur. Masih saja duduk di kursi tempat pengunjung makan. Tadi aku beli roti di minimarket dekat warung, sebelum akhirnya aku mengunci pintu. Aku tidak mungkin tidur dalam keadaan perut yang masih lapar. Setidaknya ada roti sebagai pengganjal, agar tidak lapar lagi. Aku tidak bisa istirahat dalam keadaan lapar. Lagi pula, jika harus mencari makan, sekarang sudah malam. Aku sudah capek dan ingin segera beristirahat. Aku sudah mengunci warung makan dari dalam. Akhirnya memilih untuk menginap di sini, tidak mungkin meninggalkan warung ini. Kalaupun dikunci dari luar dan pergi dari sini, aku harus menaruh kunci dimana? Aku tidak mungkin ke kosan Arumi sekarang, pasti dia sudah tidur.Kalau aku tidak mengunci dan pergi begitu saja, takut ada orang jahat yang mencuri. Warung ini adalah satu-satunya usaha yang dimiliki Arumi. Jika terjadi sesuatu, dia akan sangat sedih. Aku tak bisa melihat Arumi bersedih.Aku pun melangkah masuk. Ingin melihat-
POV Yuda Tak perlu aku baca semua. Tiga lembar tulisan dalam diary sudah cukup. Kini aku pun menaruh diary ke tempat asal, lalu berbaring di kasur. "Kalau ini yang membuat kamu melupakan lelaki itu, aku akan berusaha meluangkan waktu ke sini setiap hari untuk mengganggu kamu. Aku tidak rela kamu mencintai lelaki lain, Arumi. Apalagi lelaki itu telah menyakiti kamu. Aku tidak rela dan tidak akan rela! Aku sudah mengejarmu sejak lama. Dulu aku pernah menyuruhmu untuk menunggu, tetapi tidak kamu ikuti. Padahal setelah punya penghasilan sendiri, aku mencari alamat rumahmu. Namun yang di dapat justru kabar jika kamu telah menikah." Aku mengajak diri berucap sambil menatap langit-langit. Tubuh masih menggunakan pakaian kerja. Tadi dari kantor langsung ke sini. Ada kerjaan di kantor yang membuatku harus lembur. Lama melamun, pikiran kini melayang pada kejadian lima belas tahun lalu. "Arumi, tunggu! Aku belum selesai ngomong. Kamu mau kemana?" Perempuan di hadapanku berhenti melangkah,
POV Yuda Aku memanggil Arumi. Berulang kali, tetapi Arumi tetap melanjutkan langkah. Aku tidak mungkin mengejarnya, di luar ada banyak siswa. Aku berteriak meluapkan emosi. Ingin melempar benda untuk melampiaskan rasa marah. Dengan cara apa lagi aku harus berbicara pada Arumi? Dia selalu saja mengacuhkan ku. Seolah ucapan yang keluar dari bibirku hanyalah pernyataan bayangan. Aku akhirnya memutuskan untuk tidak mengejarnya lagi selama sebulan. Aku pikir, Arumi akan berbalik mencariku. Ternyata yang terjadi tidak sesuai harapan. Dia terlihat biasa saja, seolah tidak ada apa-apa. Aku juga masih mengingat kejadian di hari itu. Yang membuat aku dan Bagas tidak berteguran. "Kamu kenapa, Bro? Dari tadi hanya melamun. Aku seperti sedang bicara sendiri. Kalau ada masalah, cerita. Jangan di pendam sendiri. Kamu seperti perempuan yang sedang PMS." Bagas membuatku menoleh. Aku sedang melamun, menatap keluar jendela. Di pikiranku hanya ada bayangan Arumi. Apakah dia juga memikirkan ku?
POV Yuda "Pulanglah! Aku tidak suka kamu datang ke rumahku!" Aku lalu berdiri dan mendorong Bagas agar keluar dari kamar. Aku tidak ingin lagi melihatnya hari ini. Mood sedang tidak baik. Kalau terus berbicara dengan Bagas, akan semakin hancur. Seharusnya sebagai sahabat, dia mendukung. Bukan justru menghina perempuan yang aku suka. Aku tersinggung dengan semua ucapan Bagas. "Heh! Jangan sensi, Bro! Kenapa kamu jadi marah begini! Lah, benar kan yang aku omongin, tidak ada orang yang mau bergaul dengan perempuan seperti Arumi. Lihatlah dia, bahkan pernah ada yang menyentuh tangannya, tetapi dia langsung histerisnya. Seolah sudah diapa-apakan. Padahal kan orang itu hanya ingin bersalaman, pegangan tangan. Jadul sekali. Ya wajar sih, dia kan dari kampung! Orang kampungan memang begitu." Aku langsung melayangkan pukulan ke wajah Bagas. Aku sungguh tidak rela dia menghina Arumi. Dari tadi ucapannya terus saja merendahkan perempuan yang aku suka. Aku sangat tidak senang dia berkata j
POV YudaAlarm berbunyi. Ternyata aku ketiduran di kamar Arumi. Saat ini aku masih berada di warung. "Sekarang jam berapa?" lirihku dalam keadaan kaget. Aku langsung terbangun saat melihat sedikit cahaya terang yang masuk lewat jendela."Ya Allah, sudah hampir jam enam. Aku belum sholat." Aku langsung berdiri tergesah-gesah, keluar dan menuju toilet. Untung saja aku sudah tahu lika-liku di warung ini. Setelah sholat, aku kembali berbaring di kasur. Rasanya masih ngantuk. Aku ingin melanjutkan tidur. Hari ini juga tanggal merah. Jadi masih punya banyak waktu untuk istirahat."Ya Allah! Kenapa kamu masih ada di sini? Kenapa kamu berani tidur di sini? Yang menyuruh kamu siapa? Aku tidak sudi kasurku ditiduri oleh kamu. Cepat bangun! Berdiri! Jangan tidur di sini!" Aku kaget. Suara perempuan yang aku cinta membuatku terbangun. Dia lalu mengambil sapu untuk memukul. Aku pun bangun dan berdiri, berusaha menghindar dari pukulan."Aku masih mengantuk. Aku butuh satu jam lagi untuk tidur,"
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t