POV Yuda "Apa nya yang berbeda, Arumi? Kasta apa yang kamu maksud? Kita berdua sama-sama manusia. Kita berada di planet yang sama. Yang membedakan hanya, kamu perempuan dan aku lelaki. Aku mencintaimu! Lalu apa yang mustahil?" Aku sangat gusar. Kenapa Arumi sangat sulit untuk diluluhkan? Dia masih mengacuhkan perasaanku."Lihat aku, Arumi! Tatap aku!" Aku yakin Arumi dapat mendengar suaraku. Namun dia tidak mengindahkan, pandangannya masih ke arah lain. Aku pun berdiri dan melangkah ke depannya. Aku duduk tepat di hadapannya."Apa yang membuatmu ragu untuk menerima aku? Kenapa mustahil kita hidup bersama? Aku mencintaimu, itu sudah cukup kuat menjadi alasan sebuah hubungan. Kamu butuh alasan apa lagi, Arumi? Apa sebuah rasa cinta belum cukup?" ujarku dengan nada sedikit keras. Tidak ada kelembutan di dalamnya. Aku tak bisa berkata lembut dalam keadaan seperti ini."Karena aku tidak mencintaimu, Yuda! Dari dulu hingga sekarang, aku tidak memiliki perasaan pada kamu! Percuma kamu men
POV Yuda "Saat ini aku sedang dalam proses menyembuhkan luka. Kondisiku sekarang sudah jauh lebih baik. Tolong jangan kamu hancurkan. Aku yakin jika kamu bukan lelaki egois, rela menyakiti perempuan yang dia sayang demi memuaskan rasa. Aku yakin, kamu lelaki baik yang menghargai perasaan orang lain … Tolong hargai keputusanku yang tidak ingin hidup bersama kamu!" Aku tersenyum sendu mendengar perkataan Arumi. Sesakit itukah yang dia rasakan? Hingga tak percaya pada orang lain untuk menyembuhkan. Tatapan Arumi sangat sendu. Aku yakin hatinya diliputi rasa takut akan mencintai. Dia takut kembali merasakan sakit."Dia lelaki beruntung karena pernah mendapatkanmu. Aku yang hingga kini berjuang, mungkin akan tetap menjadi pejuang. Entah apa yang dia miliki, hingga membuat kamu jatuh cinta dan menerima lamarannya. Aku penasaran? Dan entah sesakit apa yang dia telah perbuat, hingga membuat kamu trauma untuk memulai hubungan yang baru." Setelah berkata aku terdiam hampir lima menit. Arumi
POV Yuda ***"Kenapa baru datang. Semua teman-teman sudah pada pulang," tanya Bagas saat aku baru saja duduk di sofa. "Aku pikir kamu tidak akan datang." Bagas kembali melanjutkan ucapan."Aku pasti datang, masa tidak! Aku lapar." ujarku sambil memegang perut. Aku memang sudah sangat lapar. "Makan saja yang dipikirkan!" Bagas lalu berdiri. "Sini ikut! Istriku sudah menyimpankan makanan sisa untuk kamu." Dia pun melangkah.Aku mengikuti langkah Bagas sambil berucap, "dasar kurang ajar!" Di sertai tawa terbahak.Kalau sedang berbicara dengan Bagas, sepertinya mulutku sangat jahat. Banyak bahasa kasar yang terucap. Begitupun dengan Bagas, mulutnya sangat tidak bermoral."Tadi yang terakhir datang, Trisha dan Arumi. Tetapi mereka hanya membawa kado, tidak makan. Kamu kenapa datang dengan tangan kosong? Aku mengundangmu kesini untuk menambah sepaket baju untuk anakku." "Dasar bodoh! Kenapa tidak bilang? Uangmu kan banyak. Kenapa untuk membeli baju saja tidak bisa?" ujarku sambil menyend
POV Yuda "Sudah, jangan di lanjutkan! Aku tidak ingin mendengar." Aku kembali makan dengan santai. Kali ini pikiran tertuju pada Arumi. Jangan-jangan dia tidak ingin aku mendekatinya karena Trisha. Hati Arumi terlalu lembut. Dia pasti tidak tega menyakiti sahabatnya. Apalagi setahuku, selama ini yang menjadi sahabat Arumi hanya Trisha."Kamu harus dengar ceritaku, Bro! Ternyata dia sudah lama memendam perasaan untuk kamu. Sejak SMA dia sudah suka pada kamu. Aku sangat kaget ketika dia cerita. Gimana ya? Trisha kan salah satu perempuan cantik di sekolah, kamu sangat beruntung, Bro," tutur Bagas dengan sangat antusias.Aku mendengarnya sambil memasang tampang biasa saja. Bagiku ini petaka. Aku tidak suka Trisha menyukaiku. "Dia sampai sekarang belum menikah. Padahal banyak lelaki yang sudah datang melamar. Itu karena dia menunggumu. Dia hanya ingin menikah dengan kamu. Kalau kalian berdua menikah, kabar itu akan menghebohkan teman-teman seangkatan. Bahkan kabar itu juga menjadi beri
POV Yuda"Tolong sampaikan ke Trisha agar dia tidak berharap. Aku pulang dulu. Masih ada yang harus aku kerjakan. Makasih makannya. Salam untuk istrimu!" ujarku yang langsung berdiri.Bagas juga ikut berdiri. Dia mengantarku hingga pintu. "Good luck, Bro. Aku mendukung apapun pilihanmu." Aku berbalik saat mendengar suara Bagas. Untung saja baru dua langkah dari pintu. Aku tersenyum dan langsung meninju lengan Bagas.Aku tidak ingin pulang ke rumah. Malam ini juga harus bertemu Arumi. Aku mau memperjelas tentang banyak hal yang bersarang di otak.Apa alasan dia menolakku? Pertanyaan itu menjadi tanda tanya besar. Apa dia tahu jika Trisha menyukaiku? Batin kecilku mengatakan jika Arumi tahu tentang perasaan Trisha. Mereka bersahabat. Mustahil jika Trisha tidak menceritakan perasaannya pada Arumi.Saat tiba di depan warung Arumi, ternyata sudah di tutup. Biasanya jam begini Arumi belum pulang. Aku harus menunggunya."Itu dia!"Mata melihat Arumi yang baru saja keluar dari warung. "Ar
***POV Amar Aku duduk di kursi yang ada di ruang makan. Dari sini, aku bisa memperhatikan gerak gerik Lilis yang sedang mencuci piring. Dia membelakangiku, sehingga tidak menyadari jika aku menatapnya.Banyak yang aneh setelah Lilis kembali. Sebelumnya dia menghilang beberapa hari. Aku tidak tahu dia kemana dan tidak ingin tahu. Saat datang, Lilis sudah memakai jilbab dan sangat banyak perubahan dalam dirinya. Lilis tidak lagi menjadi pemarah. Dia telah menjadi perempuan lembut dan terlihat tidak memusingkan perkataan buruk dari banyak orang. Dan yang lebih aneh, sekarang dia sholat. Padahal selama setahun menikah, aku belum pernah melihatnya sholat.Aku masih mengingat momen saat aku murka saat melihat Lilis berada di depan pintu."Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari balik pintu disertai ketukan. Suaranya mirip Lilis sehingga aku langsung berdiri untuk membuka.Aku sangat kaget, dia datang dengan menggunakan pakaian yang sudah tertutup. Tidak bisa di pungkiri, Lilis memang s
POV Amar"Iya, maaf, Mas! Uangnya masih ada kok. Tidak aku apa-apakan. Masih ada satu juta, dan tidak berkurang." Lilis berkata dengan tenang. Aku melihat raut bersalah di wajahnya. Tumben dia tidak mengeluarkan makian. Biasanya dia sudah berkata kasar saat aku menjawab ucapannya. Kami lalu makan dalam diam. Aku tidak berkata lagi. Lilis pun begitu."Mas Amar kenapa melamun?" tanya Lilis yang sudah berada di sampingku. Dia memukul lenganku dengan pelan. Aku tersadar dari lamunan. Bahkan tidak menyadari jika Lilis telah selesai mencuci piring. Sejak kapan dia berdiri di sini?"Nggak kenapa-napa," ujarku sambil melihat Lilis. Kepalaku menggeleng. Ada rasa malu. Sepertinya aku kedapatan oleh Lilis, jika sedang menatapnya.Lilis membentuk garis senyum di bibirnya. Aku melihat, tidak ada keterpaksaan di wajahnya."Aku boleh minta tolong nggak, mas pindah duduk di depan atau di ruang televisi. Aku mau menyapu dan membersihkan dapur." Lilis berkata sambil tersenyum. Di tangannya sudah ada
POV AmarAku akhirnya turun dari motor. Bukan karena berniat membantu Lilis, hanya saja jika dia memegang banyak barang dan orang-orang melihatku duduk santai di parkiran, aku akan di pandangan sebagai suami yang buruk. Kalau tentang Lilis yang harus memegang banyak belanjaan, aku tidak peduli! Yang bertugas belanja kebutuhan 'kan dia, itu sudah tugas istri. Siapa suruh belanja banyak. Kalau besok ke pasar lagi 'kan bisa. Jadi tidak perlu memegang banyak barang belanjaan."Eh, Mas Amar temani istri ke pasar ya? Mas memang Suami idaman para ciwi-ciwi." Tegur teman Mbak Mira. Aku lupa namanya siapa. Yang aku ingat, dia seangkatan dengan Mbak Mira."Hehe, iya, Mbak. Kasihan istriku kalau belanja sendiri." Aku menoleh ke Lilis yang ada di samping. Dia juga ikut tersenyum pada perempuan yang menyapaku. "Kalau begitu kami ke sana dulu ya, Mbak," ujarku lembut sambil tersenyum.Lilis membawaku ke bagian pasar yang menjual sayuran. Aku tidak tahu, apa yang dia cari. Padahal hampir semua ora
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t