POV AmarAku akhirnya turun dari motor. Bukan karena berniat membantu Lilis, hanya saja jika dia memegang banyak barang dan orang-orang melihatku duduk santai di parkiran, aku akan di pandangan sebagai suami yang buruk. Kalau tentang Lilis yang harus memegang banyak belanjaan, aku tidak peduli! Yang bertugas belanja kebutuhan 'kan dia, itu sudah tugas istri. Siapa suruh belanja banyak. Kalau besok ke pasar lagi 'kan bisa. Jadi tidak perlu memegang banyak barang belanjaan."Eh, Mas Amar temani istri ke pasar ya? Mas memang Suami idaman para ciwi-ciwi." Tegur teman Mbak Mira. Aku lupa namanya siapa. Yang aku ingat, dia seangkatan dengan Mbak Mira."Hehe, iya, Mbak. Kasihan istriku kalau belanja sendiri." Aku menoleh ke Lilis yang ada di samping. Dia juga ikut tersenyum pada perempuan yang menyapaku. "Kalau begitu kami ke sana dulu ya, Mbak," ujarku lembut sambil tersenyum.Lilis membawaku ke bagian pasar yang menjual sayuran. Aku tidak tahu, apa yang dia cari. Padahal hampir semua ora
POV Amar Setibanya di rumah, aku langsung menaruh semua belanjaan di atas meja dengan kasar. Saat baru saja ingin berucap, suara Lilis lebih dulu terdengar."Terimakasih ya, sudah mau mengantar dan bantu memegang belanjaan. Aku senang mas mengantarku," ujar Lilis sambil tersenyum."Heh! Pantas uang dari aku tidak pernah cukup! Pantas dulu kamu selalu mengeluh uang yang aku kasih, kurang! Kamu ternyata terlalu boros!" Aku berkata sambil melotot.Lilis tersenyum. Dia lalu berkata. "Ini untuk kebutuhan tiga hari, Mas. Belum lagi Mbak Mira dan Mbak Maya sering datang ke sini mengambil makanan. Aku bukannya boros. Tetapi harga-harga barang di pasar yang sudah naik. Sekarang membawa uang seratus ribu, hanya sedikit yang bisa di beli." Wajah Lilis nampak tenang. Aku bisa memastikan tidak ada amarah di wajahnya, ketika aku mengatakan jika dia boros."Kalau kedua Mbakmu ke sini. Mereka sering menilai masakanku. Makanya aku beli banyak bumbu. Agar kedua kakakmu bisa makan enak. Kalau mereka me
POV Amar"Mau ngomong apa? Mau mengeluh kalau uang bulanan yang aku kasi ke kamu, kurang? Atau kamu ingin mengeluh, tidak senang setiap hari memasak dan membersihkan rumah karena tidak ada ibu. Kamu mau mengeluh, capek melakukan pekerjaan hari-hari," ujarku setelah menelan makanan yang ada dalam mulut.Lilis menatapku. Tatapannya sangat tajam. Tetapi tidak ada raut kemarahan di wajahnya."Nanti kita bicarakan di kamar setelah mas selesai makan. Aku tidak ingin berbicara di sini."Lilis kini tak bersuara. Tetapi dia masih menemaniku makan. Ada satu lagi yang berubah dari Lilis. Dulu dia tidak pernah menemaniku makan, sekarang dia selalu menunggu hingga aku selesai makan, setelah itu dia berdiri. Aku teringat Arumi. Dulu Arumi selalu melakukan ini padaku. Dia akan menemani saat makan. Bahkan pernah aku pulang kerja sudah larut malam, dia masih saja menemaniku. Padahal matanya telah ngantuk. Meskipun hanya duduk diam, tetapi dia tidak ingin beranjak ke tempat tidur.Setelah nasi di piri
POV Amar"Aku tidak tahu, harus memulai dari mana untuk memperbaiki semuanya. Tetapi kalau harus memulai dari seorang istri, aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuk mas. Aku tidak akan melakukan perbuatan yang mas tidak suka. Aku akan taat pada perintah dan berusaha melakukan yang mas inginkan." Lilis mengambil tanganku. Dia lalu menggenggam. Beberapa detik kemudian, dia telah menyalimi tanganku. Lilis melanjutkan ucapan. "Sekali lagi aku minta maaf kalau kemarin-kemarin selalu berkata kasar. Maaf jika secara sengaja sudah mempermalukan mas di depan banyak orang. Atau mungkin banyak kesalahan lain yang tidak aku sadari. Aku tahu, mas sangat marah dan murka atas perbuatannya. Aku minta maaf." Tatapan Lilis terlihat tulus. Apa dia serius ingin berubah? Kenapa aku masih ragu? Terlalu banyak pikiran buruk tentangnya. Aku bingung untuk berkata. Tindakan Lilis ini terlalu tiba-tiba."Mas terlalu membenciku ya? Apa kesalahan yang pernah aku perbuat terlalu fatal, sehingga dari tadi
POV Amar "Semua istri di dunia ini tidak ada yang suka jika dibanding-bandingkan dengan perempuan lain. Apalagi perempuan itu adalah mantan istri suaminya. Aku sering berpikir, mungkin terlalu berlebihan. Seharusnya aku bisa terima. karena mungkin mas tidak berniat membuatku cemburu atau menyakitiku. Tapi ternyata berat, Mas … Jika aku tidak mencintai mas, mungkin akan biasa saja. Tidak peduli dengan semua ucapan mas yang memuji-muji Mbak Arumi. Ini perasaanku, Mas. jika mas menganggap rasa cemburu ini salah, tidak apa-apa kok. Aku akan berusaha beradaptasi dengan pujian-pujian itu. Aku akan berusaha berpikir dewasa. Toh semua ucapan mas hanya sebatas bibir, tidak bermaksud untuk kembali menjalin hubungan dengan Mbak Arumi." Lilis menampakan segaris senyum, saat mengucap kalimat terakhir. Namun matanya nampak sendu. Dia seperti seseorang yang sedang berusaha tersenyum menahan sakit di hati. Dulu saat masih menjalin pernikahan dengan Arumi, aku juga sering membanding-bandingkannya
***"Aku ke rumah Mbak Mira ya? Kemungkinan tidak akan lama. Aku makan siang di rumah," tuturku pada Lilis yang sedang masak. Saat ini aku sedang berdiri di pintu dapur. Meskipun aku dan Lilis sudah baikan, aku masih saja kaku untuk memanggilnya "sayang" seperti panggilanku pada Arumi dulu. Setahun lebih aku dan Lilis menjadi pasangan yang bermusuhan, untuk melatih bibir dengan panggilan mesra sepertinya tidak mudah. Setelah kejadian dua minggu lalu, saat Lilis berbicara serius padaku, Lilis telah berubah. Ucapannya terbukti, tidak sekedar di bibir saja. Aku menghargai usahanya dan aku juga tidak pernah lagi berkata kasar. "Iya, hati-hati," ujar Lilis sambil menghampiriku.Aku pikir Lilis mau melakukan apa. Tangannya terulur, dia lalu menyalami tanganku. Aku pun tersenyum, bibir berkata, "iya. Aku pergi, ya. Jangan lupa kunci pintu rumah." Lilis mengantarku hingga depan pintu keluar. Sudah dua minggu ini, dia rutin melakukan aktivitas itu. Setiap kali mau keluar rumah, Lilis sela
POV Amar "Lilis tidak pernah lagi mengeluh tentang uang yang aku kasih, Bu. Ini keputusanku tanpa ada keinginan dari siapapun." Tanganku masih mengurut kaki ibu. Sebenarnya aku sangat sedih melihat ibu bersedih. Tetapi tidak bisa begini terus. Aku juga harus memikirkan masa depan. Dulu, aku bisa membangun rumah karena ayah masih hidup. Jadi aku hanya memberikan ibu uang bulanan lima ratus ribu. Uang itu sudah cukup sebagai tambahan pemasukan orang tua. Bahkan ayah selalu menolak, jika aku memberikan uang bulanan pada mereka. Kata ayah, dia masih mampu untuk menghasilkan uang.Tetapi saat ayah meninggal, semuanya berubah. Ibu memintaku agar menaikkan uang bulanannya menjadi empat juta. Dan aku setuju saja karena tidak ingin melihat ibu bersedih. Dulu, aku tidak meminta persetujuan Arumi. Dia sempat syok dan protes, namun akhirnya menyetujui karena taat padaku. "Apa kamu tidak sayang lagi pada ibu?" tanya ibu masih dengan raut wajah yang sedih."Sayang, Bu! Aku sangat menyayangi ibu.
"Tetapi aku juga anak ibu. Aku berhak tahu, kalau ada yang terjadi di keluarga kita. Aku sudah diberi tanggung jawab oleh ayah." Aku berkata sambil mengusap punggung belakang ibu. Pantas Mbak Mira dan Mbak Maya sering mengambil makan di rumah, ternyata mereka memiliki masalah seperti ini. Aku sangat tidak menyangka. Padahal dulu, rumah tangga mereka baik-baik saja. Tidak pernah sekalipun terdengar ada masalah. Mas Holik — Suami Mbak Mira, aku kenal baik. Dia pergi merantau karena ingin mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Aku sungguh tidak menyangka dia tega menyakiti Mbak Mira. Sedangkan Mas Gani — Suami Mbak Maya, dia terkenal santun dan tidak mudah bergaul. Setahuku dia lelaki pendiam. Kok bisa melakukan hal keji itu. Akibat dari perbuatannya, kini Mbak Maya harus menanggung semuanya. "Ibu sekarang sudah jarang keluar rumah, Nak. Ibu takut kalau ada yang tahu, suami Mbak Mira selingkuh dan telah menikah dengan selingkuhannya. Ibu takut kalau ada yang tahu Mbak Maya terkena p
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t