***"Aku ke rumah Mbak Mira ya? Kemungkinan tidak akan lama. Aku makan siang di rumah," tuturku pada Lilis yang sedang masak. Saat ini aku sedang berdiri di pintu dapur. Meskipun aku dan Lilis sudah baikan, aku masih saja kaku untuk memanggilnya "sayang" seperti panggilanku pada Arumi dulu. Setahun lebih aku dan Lilis menjadi pasangan yang bermusuhan, untuk melatih bibir dengan panggilan mesra sepertinya tidak mudah. Setelah kejadian dua minggu lalu, saat Lilis berbicara serius padaku, Lilis telah berubah. Ucapannya terbukti, tidak sekedar di bibir saja. Aku menghargai usahanya dan aku juga tidak pernah lagi berkata kasar. "Iya, hati-hati," ujar Lilis sambil menghampiriku.Aku pikir Lilis mau melakukan apa. Tangannya terulur, dia lalu menyalami tanganku. Aku pun tersenyum, bibir berkata, "iya. Aku pergi, ya. Jangan lupa kunci pintu rumah." Lilis mengantarku hingga depan pintu keluar. Sudah dua minggu ini, dia rutin melakukan aktivitas itu. Setiap kali mau keluar rumah, Lilis sela
POV Amar "Lilis tidak pernah lagi mengeluh tentang uang yang aku kasih, Bu. Ini keputusanku tanpa ada keinginan dari siapapun." Tanganku masih mengurut kaki ibu. Sebenarnya aku sangat sedih melihat ibu bersedih. Tetapi tidak bisa begini terus. Aku juga harus memikirkan masa depan. Dulu, aku bisa membangun rumah karena ayah masih hidup. Jadi aku hanya memberikan ibu uang bulanan lima ratus ribu. Uang itu sudah cukup sebagai tambahan pemasukan orang tua. Bahkan ayah selalu menolak, jika aku memberikan uang bulanan pada mereka. Kata ayah, dia masih mampu untuk menghasilkan uang.Tetapi saat ayah meninggal, semuanya berubah. Ibu memintaku agar menaikkan uang bulanannya menjadi empat juta. Dan aku setuju saja karena tidak ingin melihat ibu bersedih. Dulu, aku tidak meminta persetujuan Arumi. Dia sempat syok dan protes, namun akhirnya menyetujui karena taat padaku. "Apa kamu tidak sayang lagi pada ibu?" tanya ibu masih dengan raut wajah yang sedih."Sayang, Bu! Aku sangat menyayangi ibu.
"Tetapi aku juga anak ibu. Aku berhak tahu, kalau ada yang terjadi di keluarga kita. Aku sudah diberi tanggung jawab oleh ayah." Aku berkata sambil mengusap punggung belakang ibu. Pantas Mbak Mira dan Mbak Maya sering mengambil makan di rumah, ternyata mereka memiliki masalah seperti ini. Aku sangat tidak menyangka. Padahal dulu, rumah tangga mereka baik-baik saja. Tidak pernah sekalipun terdengar ada masalah. Mas Holik — Suami Mbak Mira, aku kenal baik. Dia pergi merantau karena ingin mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Aku sungguh tidak menyangka dia tega menyakiti Mbak Mira. Sedangkan Mas Gani — Suami Mbak Maya, dia terkenal santun dan tidak mudah bergaul. Setahuku dia lelaki pendiam. Kok bisa melakukan hal keji itu. Akibat dari perbuatannya, kini Mbak Maya harus menanggung semuanya. "Ibu sekarang sudah jarang keluar rumah, Nak. Ibu takut kalau ada yang tahu, suami Mbak Mira selingkuh dan telah menikah dengan selingkuhannya. Ibu takut kalau ada yang tahu Mbak Maya terkena p
POV Lilis ***Aku sedang menunggu Mas Amar di ruang tamu. Katanya dia akan pulang makan. Hingga kini pukul dua siang, dia belum juga pulang. Aku sudah lapar, tetapi masih ingin menunggu Mas Amar. Tadi aku sudah menghubungi, tetapi tidak diangkat. Mungkin Mas Amar masih ingin berlama-lama di Rumah Mbak Mira, tetapi 'kan dia sudah mengatakan akan makan di sini bersamaku. Aku bimang, apa harus menunggu atau makan lebih awal."Apa mungkin Mas Amar sudah makan di Rumah Mbak Mira. Sekarang 'kan sudah hampir jam dua. Pasti Mas Amar sudah lapar," ujarku lirih sambil terus melihat ke arah pintu. Aku sengaja membuka pintu. Dari tadi handphone berada di tangan. Aku menunggu telepon balik dari Mas Amar. Ya sudah, aku makan lebih awal saja kalau begitu. Menunggu Mas Amar, mungkin masih lama.Aku kini makan sendiri. Padahal hari ini aku masak makanan spesial untuk Mas Amar. Aku baru belajar dari internet, cara membuat ayam sambal ijo. Aku pernah dengar dari ibu mertua, kalau Mas Amar menyukai s
POV Lilis Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Kenapa Mas Amar berkata begini padaku? Bukankah kemarin kemarin kami baik-baik saja. Kok tiba-tiba dia bertanya begini. "Lilis, kamu tidak akan meninggalkan aku 'kan?" Suara Mas Amar kembali terdengar. Namun arah mata tidak melihatku. Tatapannya masih tertuju pada langit-langit kamar.Aku langsung melangkah, menghampiri Mas Amar. Meskipun tidak berbicara, alangkah lebih baik jika aku berada di sampingnya."Aku tidak akan meninggalkan mas. Aku 'kan sudah pernah katakan, ingin hidup bersama mas selamanya … Sebenarnya ada apa, kok mas berkata seperti itu?" ujarku dengan lembut. Kini sudah duduk di samping Mas Amar yang sedang berbaring."Aku takut kamu meninggalkan aku karena aku sulit punya anak," ujar Mas Amar tanpa melihatku. Aku langsung mengusap dadanya dan setengah berbaring. Aku tidak tahu, apa yang dibicarakan oleh Mbak Mira dan Ibu Mertua, sehingga Mas Amar berkata seperti ini padaku. Apa mereka baru saja menjelek-jelekan aku? Ya A
POV Lilis Cobaan apa yang sedang menimpa saudara Mas Amar, Ya Allah? Mbak Maya kenapa? Mungkin terlalu berat sehingga Mas Amar tidak mau cerita ke aku."Iya, Mas. Aku mengerti. InsyaAllah semuanya akan baik-baik saja. Allah memberi cobaan karena Allah ingin menaikan derajat seorang hamba." Aku mencoba menenangkan Mas Amar. Aku lalu diam. Tak tahu akan berkata apa. Tangan hanya mengusap dada Mas Amar tanpa berkata apapun. "Iya, Lilis. Allah pasti memberi ujian kepada kami karena ingin menaikan derajat. Allah punya rencana lain. Kami hamba Allah yang patuh, tidak pernah menyakiti orang. Pasti semua ini hanya jalan untuk mendapatkan nikmat Allah. Bisa jadi setelah musibah ini, kami akan mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka.""Iya, Mas."Hanya itu kalimat yang terucap dari bibirku. Satu karakter Mas Amar yang sangat sulit untuk aku ubah, dia terlalu percaya diri dan merasa menjadi manusia paling baik, sulit untuk mengakui kesalahan. Mungkin itu karakter bawaan karena ibu mertua,
POV Lilis Aku rasa, saat ini lebih baik menjadi pendengar. Aku dan Mas Amar baru saja berbaikan. Jangan sampai kalimat yang keluar dari bibir akan melukai hati Mas Amar."Oh iya, aku juga mau beritahu kalau uang belanjamu akan tetap satu juta sebulan. Jadi uang kemarin aku kasih tolong dikembalikan. Aku mau kasih ke ibu. " Mas Amar melihatku sejenak. Dia lalu kembali menatap langit-langit.Aku cukup kaget. Tetapi berusaha terlihat biasa saja. Tak perlu dijelaskan alasannya. Aku sudah paham.Pasti ibu mertua tidak terima. Entahlah karena apa. Padahal dia selalu makan di rumah anak-anaknya. Bukankah seharusnya tidak lagi punya banyak kebutuhan. Atau tidak, jika dia tetap mengambil banyak bagian dari gaji Mas Amar, seharusnya sudah punya banyak tabungan."Kalau Mbak Mira dan Mbak Maya sering mengambil makan di sini, kamu jangan kecewa," ujar Mas Amar lagi.Aku tersenyum, seraya berkata,"hehe, aku tidak pernah katakan kalau aku kecewa. Maaf, mungkin mas salah sangka. Memangnya sekarang ma
POV Lilis Mas Amar terdiam. Mungkin sedang berpikir. Aku tahu karakter Mas Amar. Dia memiliki harga diri yang harus selalu dijaga. Aku tahu jika dia melarangku bekerja karena malu kalau ada yang mengejeknya. Selama ini Mas Amar terkenal sangat menyayangi istrinya. Kalau untuk itu, aku sedikit membenarkan. Hanya sedikit, karena jika dihadapkan dengan kondisi mengutamakan ibu dan istri, Mas Amar akan memilih ibu. Apapun kondisinya. Dia tidak bisa menilai mana yang benar dan salah, baginya ibu tetap benar. Sebenarnya itu tidak masalah jika Mas Amar bisa menempatkan diri. Aku tahu ibu harus diutamakan, tetapi bukan dengan cara mendzolimi istri. Buktinya sangat nyata, uang yang diberikan untuk ibunya lebih banyak dari pada uang untuk aku."Sebenarnya apa yang sudah terjadi, Mas? Ceritakan saja semuanya padaku. Agar aku mengerti. Kalau mas cerita setengah-setengah, aku tidak akan paham. Maaf, maksudku, kenapa aku harus bekerja? Padahal gaji mas masih cukup untuk memenuhi kebutuhan kita be
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t