POV Lilis Tetapi aku sudah mengatakan pada Mas Amar, akan bertahan dengannya. Aku juga sudah berjanji pada diri sendiri, jika akan bertahan selama Mas Amar masih setia. Namun di luar dugaan, aku tidak memikirkan jika akan mendapat ujian baru dalam pernikahan ini.Aku pikir, ujian rumah tanggaku hanya persoalan keturunan. Jika tentang itu, aku sudah bisa berdamai dengan keadaan. Aku juga sudah berdamai dengan karakter Mas Amar, Ibu Mertua dan kedua iparku. Sangat tidak menyangka jika akan menyuruhku bekerja agar kebutuhan mereka terpenuhi. Itu sangat jahat!"Lilis, apa kamu tidak punya keterampilan atau apa saja yang bisa dijadikan uang?" tanya ibu mertua sambil melihatku. Tidak ada raut keramahan di wajahnya.Kini aku telah duduk di samping Mas Amar. Aku menggeleng lalu berucap, "tidak ada, Bu.""Berarti kamu hanya numpang hidup di Amar. Kasihan dia, harus bekerja keras mencari uang untuk menghidupi kamu. Harusnya kamu cari sesuatu yang bisa di kerjakan di rumah. Jangan hanya tahu ma
POV Lilis Aku kini sudah berada di kamar. Bantal menjadi saksi banyaknya air mata. Aku menangis tersedu-sedu. Tak lama kemudian, Mas Amar masuk ke dalam kamar. Sepertinya Ibu Mertua dan Mbak Mira sudah pulang."Kamu kenapa menangis?" tanya Mas Amar yang telah duduk di dekatku.Aku menatapnya. "Mas bertanya kenapa aku menangis? Apa tadi mas tidak mendengar yang dikatakan oleh ibu dan Mbak Mira?" Aku menyeka air mata sebelum berucap. Ya Allah, ampuni aku. Kemarin aku berjanji tidak akan marah-marah lagi. Nyatanya itu sulit. Kesabaranku sangat tipis. "Aku mendengar semuanya, Lilis. Tidak ada kalimat dari mereka yang harus di permasalahkan. Pikiran ibu sedang kacau. Makanya bicara begitu. Tidak usah diambil hati. Lagi pula ucapan ibu ada benarnya, kamu harus membantuku untuk mencari nafkah. Saat ini keadaan ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja. Keluargaku sedang susah dan butuh uang. Masa kamu hanya tinggal diam melihatku susah. Kalau istri orang lain, saat suaminya sedang ditimpa
POV Lilis Mas Amar tampak terkejut mendengar ucapanku. Aku menatapnya dengan senyuman. Tak perlu marah, karena percuma. Mas Amar mustahil berubah. Sepertinya memang karakter buruknya sudah ada sejak lahir. Mungkin diturunkan oleh ibunya, karena tiga bersaudara memiliki karakter yang sama."Kamu pernah katakan kalau tidak akan meminta cerai. Kamu pernah katakan akan mempertahankan rumah tangga kita. Dan juga pernah katakan, akan berubah menjadi perempuan lembut. Kenapa sekarang kamu berubah lagi, Lilis? Kamu kembali menjadi perempuan yang pembantah, keras kepala!" Perkataan Mas Amar membuatku ingin tertawa terbahak. Bisa-bisanya dia masih bertanya. Dasar manusia yang tidak pernah sadar diri! Aku muak melihat wajahnya yang tampak polos tidak merasa bersalah."Mas, kapan kamu sadar? Kamu itu memiliki karakter buruk yang sangat tidak bisa dimaklumi. Tidak ada seorang pun yang mampu hidup dengan manusia seperti kamu? Gara-gara karakter buruk kamu, aku menjadi keras kepala. Susah! Sangat
POV Lilis Aku memilih untuk duduk di ruang tamu. Memikirkan jika tidak lama lagi akan keluar dari rumah ini. Ternyata sangat cepat. Aku tidak pernah menyangka jika usia pernikahan hanya bertahan setahun lebih.Tak lama kemudian, aku mendengar suara pintu terbuka. Terlihat Mas Amar melangkah, dia menghampiriku. Mau apa lagi dia? Bukankah perdebatan tadi sudah selesai?Aku sengaja masih duduk di ruang tamu. Rencananya, setelahnya pikiran sedikit tenang, aku akan membereskan semua barang milikku yang ada di rumah ini. "Kamu yakin mau pisah denganku?" ujar Mas Amar, sesaat setelah duduk di sampingku.Ada apa lagi ini, Ya Allah! Kenapa Mas Amar kembali membahas? Apa dia kurang puas dengan ucapannya tadi?"Kenapa diam? Kamu sebenarnya takut 'kan kalau kita pisah?" ujar Mas Amar lagi.Aku tersenyum sinis, bibir lalu berucap, "kenapa takut? Aku justru senang berpisah dari kamu. Lelaki berpenyakit mental tetapi tidak pernah sadar! Aku bahagia bisa lepas dari lelaki seperti kamu!" "Apa maksu
***"Ada apa, Tris? Kok kamu dari tadi hanya melamun. Aku tawarkan makan, tidak mau. Kamu sakit?" Kini aku telah duduk berhadapan dengan Trisha. Dia datang sejak tadi di warung. Tetapi hanya duduk diam. Dua jam duduk di sini, bukan waktu yang cepat. Aku sudah mengajaknya bicara, tetapi dia masih saja terdiam. Tentu Wajar jika aku khawatir."Tris, kalau kamu ada masalah, ngomong padaku. Jangan dipendam sendiri. Biasanya kalau ada apa-apa, kamu selalu cerita. Kenapa sekarang memilih diam?" Aku kembali berkata. Saat ini warung sudah sepi. Aku memanfaatkan waktu senggang untuk bicara pada Trisha. Selama melayani pengunjung, aku terus memikirkan Trisha yang belum juga makan."Aku sudah mendapatkan jawaban dari Yuda, Ar!" Suara Trisha terdengar sangat pelan. Namun aku masih dapat mendengar. Aku mencoba menenangkan rasa. Apa Trisha sudah mengetahui semuanya? Apa Yuda telah mengatakan sejujurnya pada Trisha? Sehingga dari tadi Trisha mendiamkanku.Aku tak berkata apapun untuk merespon ucap
Aku menemani Trisha hingga akhirnya dia pulang. Aku tidak semangat untuk kerja, memilih berdiam diri di ruang kerja untuk istirahat. Saat ini sudah malam. Aku akan menunggu Yuda di sini sampai jam sepuluh malam. Sudah beberapa hari ini Yuda selalu datang. Aku yakin, malam ini dia juga pasti akan datang. Tepat di jam sepuluh lewat tiga puluh menit, aku keluar dari ruang kerja. Yang aku harapkan terjadi, Yuda datang ke warung. Dia sedang duduk menghadap jalan, membelakangi arah dapur. Aku langsung menghampirinya."Sekarang sudah hampir jam setengah sebelas. Kenapa warung belum di tutup? Kenapa kamu belum pulang? Aku tadi hanya ingin lewat, tetapi pintu warung masih terbuka. Makanya aku singgah. Aku juga duduk di sini sudah hampir sejam. Kamu ngapain saja di sini sendirian?" ujar Yuda saat melihatku. Aku kini berdiri di sampingnya. Ya Allah, perasaan apa ini? Sudah beberapa hari ini aku senang Yuda datang ke sini. Bahkan aku selalu menunggu kedatangannya. Apa aku telah jatuh cinta pada
"Ya Allah! Kenapa ada orang seperti kamu di dunia ini? Kenapa kamu tidak peka? Trisha suka pada kamu. Dia sudah lama memendam perasaan. Kenapa kamu menganggap itu tidak penting?" Aku berkata dengan menggebu-gebu. Jujur, aku sangat jengkel pada lelaki yang duduk di depanku. Yuda tertawa terbahak. Entah apa yang membuatnya tertawa, aku tidak mengerti. Apa dia pikir aku sedang melawak? Mungkinkah wajahku kurang seram?"Ucapan itu seharusnya kamu tanyakan ke diri sendiri. Sudah sejauh mana kamu peka terhadap perasaanku. Hampir setiap malam aku ke sini, kamu anggap biasa saja. Bahkan kamu sering mengusirku. Aku suka pada kamu, sama seperti Trisha menyukaiku. Kamu menganggap perasaanku hanya lelucon. Hingga sekarang kamu belum membalas. Aku bahkan sudah menyuruh orang tua untuk datang melamar, kamu tetap menolak. Lalu apa bedanya aku dan kamu … Karena aku mencintai kamu, makanya tidak menggubris perasaan Trisha. Bagiku tidak penting untuk di tanggapi." Aku terdiam sambil menunduk. Ya, aku
***Waktu yang membuatku tak bisa tidur nyenyak akhirnya tiba. Di sana telah duduk berhadapan, Yuda dan Trisha. Aku memilih untuk tidak ada di sekitar mereka. Membiarkan mereka bicara berdua. Mungkin ada sesuatu yang penting tanpa perlu aku tahu.Tadi pagi aku mengirim pesan pada Trisha. Masih teringat jelas, kalimat pesan yang aku kirim pada Trisha.[Tris, tadi aku bertemu Yuda di minimarket samping warungku. Aku sedikit berbasa-basi dengannya. Lalu mengatakan, jika kamu ingin bertemu dengannya. Ada hal penting yang ingin kamu katakan. Yuda menyetujui. Malam ini dia akan datang ke warungku jam delapan.]Tanpa menunggu lama, pesanku dibalas oleh Trisha.[Serius kamu, Ar? Kok kamu bisa berani ngomong pada Yuda? Bukankah kalian tidak pernah akrab? Kamu juga orang yang lumayan pendiam. Serius, Yuda ngomong begitu pada kamu?]Saat membaca pesan Trisha yang ini, aku grogi. Apa yang harus aku katakan? Pesan yang dikirim oleh Trisha, benar. Aku dan Yuda tidak pernah akrab. Sempat bingung un
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t