POV Lilis Aku memilih untuk duduk di ruang tamu. Memikirkan jika tidak lama lagi akan keluar dari rumah ini. Ternyata sangat cepat. Aku tidak pernah menyangka jika usia pernikahan hanya bertahan setahun lebih.Tak lama kemudian, aku mendengar suara pintu terbuka. Terlihat Mas Amar melangkah, dia menghampiriku. Mau apa lagi dia? Bukankah perdebatan tadi sudah selesai?Aku sengaja masih duduk di ruang tamu. Rencananya, setelahnya pikiran sedikit tenang, aku akan membereskan semua barang milikku yang ada di rumah ini. "Kamu yakin mau pisah denganku?" ujar Mas Amar, sesaat setelah duduk di sampingku.Ada apa lagi ini, Ya Allah! Kenapa Mas Amar kembali membahas? Apa dia kurang puas dengan ucapannya tadi?"Kenapa diam? Kamu sebenarnya takut 'kan kalau kita pisah?" ujar Mas Amar lagi.Aku tersenyum sinis, bibir lalu berucap, "kenapa takut? Aku justru senang berpisah dari kamu. Lelaki berpenyakit mental tetapi tidak pernah sadar! Aku bahagia bisa lepas dari lelaki seperti kamu!" "Apa maksu
***"Ada apa, Tris? Kok kamu dari tadi hanya melamun. Aku tawarkan makan, tidak mau. Kamu sakit?" Kini aku telah duduk berhadapan dengan Trisha. Dia datang sejak tadi di warung. Tetapi hanya duduk diam. Dua jam duduk di sini, bukan waktu yang cepat. Aku sudah mengajaknya bicara, tetapi dia masih saja terdiam. Tentu Wajar jika aku khawatir."Tris, kalau kamu ada masalah, ngomong padaku. Jangan dipendam sendiri. Biasanya kalau ada apa-apa, kamu selalu cerita. Kenapa sekarang memilih diam?" Aku kembali berkata. Saat ini warung sudah sepi. Aku memanfaatkan waktu senggang untuk bicara pada Trisha. Selama melayani pengunjung, aku terus memikirkan Trisha yang belum juga makan."Aku sudah mendapatkan jawaban dari Yuda, Ar!" Suara Trisha terdengar sangat pelan. Namun aku masih dapat mendengar. Aku mencoba menenangkan rasa. Apa Trisha sudah mengetahui semuanya? Apa Yuda telah mengatakan sejujurnya pada Trisha? Sehingga dari tadi Trisha mendiamkanku.Aku tak berkata apapun untuk merespon ucap
Aku menemani Trisha hingga akhirnya dia pulang. Aku tidak semangat untuk kerja, memilih berdiam diri di ruang kerja untuk istirahat. Saat ini sudah malam. Aku akan menunggu Yuda di sini sampai jam sepuluh malam. Sudah beberapa hari ini Yuda selalu datang. Aku yakin, malam ini dia juga pasti akan datang. Tepat di jam sepuluh lewat tiga puluh menit, aku keluar dari ruang kerja. Yang aku harapkan terjadi, Yuda datang ke warung. Dia sedang duduk menghadap jalan, membelakangi arah dapur. Aku langsung menghampirinya."Sekarang sudah hampir jam setengah sebelas. Kenapa warung belum di tutup? Kenapa kamu belum pulang? Aku tadi hanya ingin lewat, tetapi pintu warung masih terbuka. Makanya aku singgah. Aku juga duduk di sini sudah hampir sejam. Kamu ngapain saja di sini sendirian?" ujar Yuda saat melihatku. Aku kini berdiri di sampingnya. Ya Allah, perasaan apa ini? Sudah beberapa hari ini aku senang Yuda datang ke sini. Bahkan aku selalu menunggu kedatangannya. Apa aku telah jatuh cinta pada
"Ya Allah! Kenapa ada orang seperti kamu di dunia ini? Kenapa kamu tidak peka? Trisha suka pada kamu. Dia sudah lama memendam perasaan. Kenapa kamu menganggap itu tidak penting?" Aku berkata dengan menggebu-gebu. Jujur, aku sangat jengkel pada lelaki yang duduk di depanku. Yuda tertawa terbahak. Entah apa yang membuatnya tertawa, aku tidak mengerti. Apa dia pikir aku sedang melawak? Mungkinkah wajahku kurang seram?"Ucapan itu seharusnya kamu tanyakan ke diri sendiri. Sudah sejauh mana kamu peka terhadap perasaanku. Hampir setiap malam aku ke sini, kamu anggap biasa saja. Bahkan kamu sering mengusirku. Aku suka pada kamu, sama seperti Trisha menyukaiku. Kamu menganggap perasaanku hanya lelucon. Hingga sekarang kamu belum membalas. Aku bahkan sudah menyuruh orang tua untuk datang melamar, kamu tetap menolak. Lalu apa bedanya aku dan kamu … Karena aku mencintai kamu, makanya tidak menggubris perasaan Trisha. Bagiku tidak penting untuk di tanggapi." Aku terdiam sambil menunduk. Ya, aku
***Waktu yang membuatku tak bisa tidur nyenyak akhirnya tiba. Di sana telah duduk berhadapan, Yuda dan Trisha. Aku memilih untuk tidak ada di sekitar mereka. Membiarkan mereka bicara berdua. Mungkin ada sesuatu yang penting tanpa perlu aku tahu.Tadi pagi aku mengirim pesan pada Trisha. Masih teringat jelas, kalimat pesan yang aku kirim pada Trisha.[Tris, tadi aku bertemu Yuda di minimarket samping warungku. Aku sedikit berbasa-basi dengannya. Lalu mengatakan, jika kamu ingin bertemu dengannya. Ada hal penting yang ingin kamu katakan. Yuda menyetujui. Malam ini dia akan datang ke warungku jam delapan.]Tanpa menunggu lama, pesanku dibalas oleh Trisha.[Serius kamu, Ar? Kok kamu bisa berani ngomong pada Yuda? Bukankah kalian tidak pernah akrab? Kamu juga orang yang lumayan pendiam. Serius, Yuda ngomong begitu pada kamu?]Saat membaca pesan Trisha yang ini, aku grogi. Apa yang harus aku katakan? Pesan yang dikirim oleh Trisha, benar. Aku dan Yuda tidak pernah akrab. Sempat bingung un
"Trisha akan membenciku, Yuda! Trisha pasti akan memusuhiku. Kami sudah lama bersahabat, gara-gara kamu persahabatan kami bisa hancur. Aku tidak pernah meminta agar kamu mencintaiku. Kenapa aku yang harus kamu cintai? Aku benci pada kamu, Yuda! Aku benci!" Tak tahu bagaimana kalutnya aku saat ini. Ketakutanku akhirnya terjadi. Hanya karena masalah percintaan, aku kehilangan seorang sahabat. Kalau Trisha membenci, siapa yang akan menjadi sahabatku? Tidak ada! Aku bukan perempuan yang mudah bergaul. Dengan semua karyawan saja, aku tidak bisa menjadikan mereka sahabat. Bagiku mereka hanya rekan kerja. Aku tidak pernah menceritakan masalah pribadi pada mereka."Kamu tidak tahu, Yuda! Setelah bercerai dengan mantan suamiku, hidupku sangat terpuruk. Aku bahkan sudah menyibukan diri dengan membuka usaha. Tetapi tetap saja, aku masih sering diam-diam menangis. Setelah bertemu dengan Trisha dan rajin curhat padanya, perlahan-lahan hatiku membaik. Bahkan saat istri Mas Amar datang ke sini, ti
"Kamu terlalu percaya diri, Yuda! Siapa yang menyukaimu? Jika suka pada kamu, aku tidak mungkin selalu berkata kasar. Bukankah orang yang menyukai seseorang pasti akan berkata lembut untuk menarik perhatian? Kamu salah besar jika berpikir aku menyukaimu!" Aku berkata menggebu-gebu. Yuda harus menghilangkan pikiran anehnya tentangku.Namun ada yang tak bisa aku jelaskan di hati. Apa benar yang diucapkan Yuda? Aku telah mencintainya. Aku bimbang dengan perasaan sendiri. Yuda pernah tidak datang di warung selama tiga hati. Aku tidak tahu alasan yang membuatnya tidak datang. Namun beberapa hari itu, aku merasakan keanehan di hati. Seperti ada yang sepi saat Yuda tidak datang. Aku merasa rindu dengan keributannya. Aku merasa rindu dengan bantahannya. Dan aku rindu dia, lelaki yang selalu mengantarku pulang dari jarak beberapa meter.Apakah itu cinta? Apa aku telah mencintai lelaki ini? Ah, tidak boleh. Trisha juga mencintai Yuda. Jika dia tahu aku suka pada Yuda, dia pasti akan sangat ter
***Sudah lebih dari dua Minggu, aku tidak bertemu Trisha aku berulang kali menghubunginya, tetapi tidak diangkat. Sepertinya panggilan dari aku dibiarkan begitu saja. Sudah jelas! Trisha marah padaku. Dia pasti kecewa, karena aku tidak jujur padanya. Dia pasti murka dan menganggaku sahabat munafik. Aku terus berusaha agar bisa mengajak Trisha bicara. Aku ingin menjelaskan semua. Jika dia tidak mau mengangkat telepon, biar aku saja yang menemuinya. Saat ini aku sedang dijalan menuju kantor Trisha. Aku tidak tahu dimana tempat tinggal Trisha. Katanya sekarang dia tidak tinggal lagi di rumah yang lama. Dia sudah lima tahun pindah. "Pak, maaf. Ruangan Mbak Trisha di mana ya?" tanyaku sambil tersenyum pada satpam yang sedang bermain kartu."Di lantai lima, Mbak," ujar seorang satpam yang diperkirakan usianya sudah menginjak lima puluh tahun. "Mbak mau bertemu dengannya? Sudah janjian?"Aku terdiam sejenak. Bibir pun berkata, "iya, Pak. Sudah," sambil tersenyum ramah. Tidak mengapa berb
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t