“Kak? Ada apa?” tanya Bayu yang terkejut melihat Malik buru-buru masuk ke dalam rumah. Sejak tadi dia hanya menatap interaksi penuh kecanggungan antara Malik dan Isha. Tak terasa hatinya nyeri melihatnya. Apalagi ketika melihat Malik buru-buru masuk ke kamar, seolah mengabaikan keberadaannya di teras ini, rasa itu semakin menyesakkan.Sementara itu Malik yang tadi bergegas masuk ke rumah, meletakkan termos kolak di atas meja makan kemudian masuk ke kamar mencari ponsel yang sejak tadi diisi daya. Dengan buru-buru, Malik mengambil dan membuka ponselnya. Ketika ada pesan dari Isha, Malik segera membacanya dan menyesal mengapa tidak membuka ponselnya dari tadi.Tak berpikir panjang, Malik segera menghubungi Isha tetapi nomor gadis itu tidak aktif. Malik menghubunginya kembali, tapi tetap saja tidak aktif.“Ke kolam? Ya, aku harus menyusul ke sana karena dia mau bertemu di kolam,” tekad Malik akhirnya memutuskan.Dia bergegas keluar dari kamarnya, namun langkahnya terhenti ketika ingat ba
Tak ingin membuang waktu, Malik kembali naik ke atas motornya dan melarikannya menuju rumah Isha. Dia sungguh ingin memperbaiki pertemanan mereka yang entah mengapa selalu saja menemui kendala dari hal-hal tak terduga lainnya.Namun, ketika sampai di rumah Isha, rumah itu sepi. Pak Tono yang mendengar suara motor Malik, segera datang menemui laki-laki itu.“Ada apa, Mas?” tanya pak Tono.“Rumah sepertinya sepi, Pak. Bisa ketemu sama Isha, nggak?” tanya Malik penuh harap bahwa Isha tidak akan salah paham, apalagi marah dan dia akan bisa menemuinya lagi.“Iya, Mas. Sepi. Bapaknya pak Ridwan meninggal dunia,” jawab pak Tono.“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kapan meninggalnya, Pak?” tanya Malik kaget.“Siang ini juga, Mas. Makanya semua berangkat ke rumah duka, baru sepuluh menit yang lalu,” jawab pak Tono lagi.Malik mengangguk.“Terlambat lagi,” gumam Malik dengan wajah murung.“Apanya yang terlambat, Mas?” tanya pak Tono yang mendengar gumam Malik itu.“Eh, nggak, Pak Tono. Tadiny
Melihat ketegangan di wajah Malik, Yasmin tersenyum.“Tenang, Mal. Tidak ada hal buruk yang terjadi pada Isha. Malah kabar baik,” ujar Yasmin tak tega membuat Malik tegang.Seketika Malik menghela napas lega.“Syukurlah. Kabar baik seperti apa yang kamu tahu, Yas?” tanya Malik kemudian sambil mengemasi beberapa peralatan menulis yang tadi digunakannya dengan untuk membuat rancangan dengan rekannya.“Dia ternyata kuliah di ibu kota. Di jurusan akuntansi,” jawab Yasmin.“Oh, ya? Bagus, dong? Cita-citanya dulu memang menjadi pegawai bank. Katanya pegawai bank itu cantik-cantik, makanya dia ingin menjadi pegawai bank agar terlihat cantik,” kata Malik sambil tersenyum ketika terbayang bagaimana polosnya Isha ketika itu.Dan hati Yasmin bagai tersayat ketika melihat bahwa ada gurat bahagia sekaligus bangga ketika Malik bercerita mengenai Isha.“Kamu memang begitu menyayangi dia, ya, Mal? Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, kamu masih saja mencintai Isha,” ujar Yasmin.Malik tersenyum ma
Mendengar kalimat ibunya tadi, Isha tak bisa tidur semalaman. Dijodohkan dengan Malik? Bagaimana mungkin terlaksana? Mereka saat ini bagai dua orang asing yang tidak saling mengenal dan tak saling berkabar. Bahkan, Isha mulai membunuh apapun rasa yang ada di dalam hatinya sejak hari dimana Malik memilih untuk tidak datang ke kolam hanya karena dia kedatangan Bayu ketika itu.“Kamu belum tidur?” tanya Rosminah pada Isha ketika perempuan paruh baya itu terbangun dan dilihatnya Isha masih terjaga.“Belum, Bu,” jawab Isha singkat.“Kenapa? Mikirin omongan Ibu tadi?” tanya Rosminah merasa bersalah.Isha menggeleng. “Tidak. Hanya tak bisa tidur saja,” jawab Isha berbohong.“Ibu pikir kamu mikirin kalimat Ibu. Jangan dipikirkan jika itu mengganggumu. Itu hanya obrolan tak penting Ibu sama ibunya Malik dulu ketika kalian masih kecil. Kamu dan Malik tidak harus menurutinya. Kalian bebas memilih pasangan kalian masing-masing. Tidurlah, besok kuliah pagi, kan?” tanya Ros sebelum akhirnya memilih
Pagi ini, Malik sudah bersiap hendak berangkat bekerja setelah mendapat panggilan untuk mengajar matematika di sebuah sekolah menengah atas swasta yang ada di kecamatan sebelah. Selama sebulan ini memang Malik selalu berkebun dengan ibunya. Jika sore tiba, dia membantu ayahnya mengajar mengaji anak-anak tetangga di sekitar rumahnya. Aiman juga sudah siap berangkat mengajar, namun Aiman mengajar di sekolah menengah pertama di desa ini saja. “Hati-hati di jalan, Mal. Jaga etika dan kesopanan ketika nanti wawancara,” pesan Aminah. “Iya, Bu.” Malik mengangguk. “Kepala sekolah itu teman Ayah ketika SMA. Mudah-mudahan akan menerima kamu dengan baik,” kata Aiman sebelum melepas Malik berangkat. Malik mengangguk. “Insya Allah mereka akan baik semua, Yah. Doain saya,” pamit Malik kemudian berangkat dengan motornya. Jarak delapan belas kilometer yang Malik tempuh mungkin sedikit melelahkan, namun jelas ini adalah profesi yang Malik pilih ketika masuk ke dunia perkuliahan. Memasuki duni
Pagi ini, di rumah keluarga Ridwan Ghozali, suasana terlihat demikian riang setelah beberapa tahun senyap. Hari ini, Isha pulang setelah kuliah selama beberapa tahun tanpa pulang sama sekali. Bahkan ketika liburan semester. Jika Rosminah rindu dengan Isha, maka dia akan pergi ke ibu kota untuk menemui Isha.Bahkan, setelah lulus pun Isha tidak langsung pulang, melainkan langsung menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh sebuah lembaga keuangan sebuah perusahaan di ibu kota karena Isha adalah salah satu dari beberapa lulusan terbaik kampusnya.“Bagaimana pekerjaanmu, Sha?” tanya Rosminah ketika gadis itu membantunya memasak.“Baik, Bu. Gajinya juga lumayan. Tapi resikonya juga besar, kan? Namanya urusan keuangan. Selisih angka sedikit saja bisa menjadi dugaan buruk,” jawab Isha.“Makanya harus hati-hati dalam bekerja, kan?” Rosminah memberikan nasehatnya.“Meskipun Isha hati-hati, kalau ada yang tak suka dan bermain curang juga kita nggak bisa mengelak, kan, Bu?” kata Isha.“Memangnya a
“Katanya liburan ada study tour, Mal?” tanya Aminah ketika pagi ini mereka berdua berbincang di teras. Liburan kali ini Malik benar-benar ingin istirahat di rumah. Bahkan permintaan kepala sekolah agar dia ikut tour dengan anak-anak tidak bisa dipenuhinya.“Malas, Bu. Hanya dapat capek, kan? Lagian itu tempat sudah pernah saya lihat semua dulu ketika kuliah,” jawab Malik sambil menyimak buku sastra yang dibawanya kemarin.Belakangan, selain senang membaca buku-buku agamis, Malik juga suka membaca buku sastra.“Eh, Mal. Antar ibu belanja ke pasar bisa?” tanya Aminah.“Bisa. Mau belanja apa, Bu?” tanya Malik menutup bukunya.“Sayuran dan bumbu dapur. Sekali-sekali kamu butuh keluar, agar kaca mata kamu tidak semakin tebal,” ujar Aminah sambil masuk ke dalam untuk mengambil tas belanjaan.Malik hanya tersenyum. Memang diakui, semenjak menjadi salah satu guru di sekolah itu, malik lebih banyak diam di rumah ketika sampai di kontrakannya. Demikian juga ketika hari libur tiba seperti ini.
Ada yang kurang pas di pikiran Malik ketika dia ingat bahwa ada gosip mengenai rencana pernikahannya. Padahal dia sendiri bahkan tidak ada rencana menikah dalam waktu dekat. Jangankan menikah, teman dekat saja Malik tak punya.“Tadi ketemu sama Isha, Mal?” tanya Aminah ketika mereka dalam perjalanan dari pasar.Malik mengangguk.“Kalian saling menyapa?” tanya Aminah lagi.“Iya. Saling sapa biasa, kayak dulu,” jawab Malik lagi dengan nada datar karena pikirannya sedang dipenuhi gosip rencana pernikahannya.“Berarti kalian sudah baikan?” tanya Aminah penasaran.“Bukannya selama ini kami sudah baikan, Bu? Hanya saja tak pernah berbincang kayak dulu lagi, ya, karena kami memang nggak pernah ketemu, Bu.” Malik menjawab netral.“Syukurlah kalau kalian sudah saling berbaikan.” Aminah menjawab bijak.Malik tersenyum lembut. Selama perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi ucapan Isha tadi. Tentu saja ini sedikit mengganggu karena dia tidak seperti gosip yang beredar.“Bu, boleh saya tanya?” tany