Pagi ini Isha bangun agak kesiangan sehingga shalat subuhnya pun terburu-buru. Bahkan pagi ini dia tak sempat sarapan pagi. Untung saja Rosminah sudah menyiapkan bekal untuk dibawa ke sekolah, sehingga Isha bisa segera menyambarnya sebelum melesat keluar dari rumah. Tentu setelah meminta izin pamit pada bapak dan ibunya.“Jangan buru-buru di jalan, Sha. Tetap hati-hati. Hari senin biasanya jalanan ramai, lho,” pesan Rosminah ketika dilihatnya Isha sedikit tergesa-gesa.“Iya, Bu,” sahut Isha yang kemudian bergegas berangkat.Rosminah hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Isha hari ini.***Siang ini, Bayu benar-benar datang ke rumah Malik. Mereka berbincang akrab dan hangat karena memang beberapa bulan di akhir sekolah SMA, Malik dan Bayu demikian dekat. Bahkan beberapa teman sudah menganggap mereka sepasang kekasih, meski sebenarnya tidak demikian yang mereka jalani.“Jadi tahu dari mana kalau aku di rumah?” tanya Malik ketika mereka berdua berbincang di teras rumah Malik.“Kaka
“Kak? Ada apa?” tanya Bayu yang terkejut melihat Malik buru-buru masuk ke dalam rumah. Sejak tadi dia hanya menatap interaksi penuh kecanggungan antara Malik dan Isha. Tak terasa hatinya nyeri melihatnya. Apalagi ketika melihat Malik buru-buru masuk ke kamar, seolah mengabaikan keberadaannya di teras ini, rasa itu semakin menyesakkan.Sementara itu Malik yang tadi bergegas masuk ke rumah, meletakkan termos kolak di atas meja makan kemudian masuk ke kamar mencari ponsel yang sejak tadi diisi daya. Dengan buru-buru, Malik mengambil dan membuka ponselnya. Ketika ada pesan dari Isha, Malik segera membacanya dan menyesal mengapa tidak membuka ponselnya dari tadi.Tak berpikir panjang, Malik segera menghubungi Isha tetapi nomor gadis itu tidak aktif. Malik menghubunginya kembali, tapi tetap saja tidak aktif.“Ke kolam? Ya, aku harus menyusul ke sana karena dia mau bertemu di kolam,” tekad Malik akhirnya memutuskan.Dia bergegas keluar dari kamarnya, namun langkahnya terhenti ketika ingat ba
Tak ingin membuang waktu, Malik kembali naik ke atas motornya dan melarikannya menuju rumah Isha. Dia sungguh ingin memperbaiki pertemanan mereka yang entah mengapa selalu saja menemui kendala dari hal-hal tak terduga lainnya.Namun, ketika sampai di rumah Isha, rumah itu sepi. Pak Tono yang mendengar suara motor Malik, segera datang menemui laki-laki itu.“Ada apa, Mas?” tanya pak Tono.“Rumah sepertinya sepi, Pak. Bisa ketemu sama Isha, nggak?” tanya Malik penuh harap bahwa Isha tidak akan salah paham, apalagi marah dan dia akan bisa menemuinya lagi.“Iya, Mas. Sepi. Bapaknya pak Ridwan meninggal dunia,” jawab pak Tono.“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kapan meninggalnya, Pak?” tanya Malik kaget.“Siang ini juga, Mas. Makanya semua berangkat ke rumah duka, baru sepuluh menit yang lalu,” jawab pak Tono lagi.Malik mengangguk.“Terlambat lagi,” gumam Malik dengan wajah murung.“Apanya yang terlambat, Mas?” tanya pak Tono yang mendengar gumam Malik itu.“Eh, nggak, Pak Tono. Tadiny
Melihat ketegangan di wajah Malik, Yasmin tersenyum.“Tenang, Mal. Tidak ada hal buruk yang terjadi pada Isha. Malah kabar baik,” ujar Yasmin tak tega membuat Malik tegang.Seketika Malik menghela napas lega.“Syukurlah. Kabar baik seperti apa yang kamu tahu, Yas?” tanya Malik kemudian sambil mengemasi beberapa peralatan menulis yang tadi digunakannya dengan untuk membuat rancangan dengan rekannya.“Dia ternyata kuliah di ibu kota. Di jurusan akuntansi,” jawab Yasmin.“Oh, ya? Bagus, dong? Cita-citanya dulu memang menjadi pegawai bank. Katanya pegawai bank itu cantik-cantik, makanya dia ingin menjadi pegawai bank agar terlihat cantik,” kata Malik sambil tersenyum ketika terbayang bagaimana polosnya Isha ketika itu.Dan hati Yasmin bagai tersayat ketika melihat bahwa ada gurat bahagia sekaligus bangga ketika Malik bercerita mengenai Isha.“Kamu memang begitu menyayangi dia, ya, Mal? Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, kamu masih saja mencintai Isha,” ujar Yasmin.Malik tersenyum ma
Mendengar kalimat ibunya tadi, Isha tak bisa tidur semalaman. Dijodohkan dengan Malik? Bagaimana mungkin terlaksana? Mereka saat ini bagai dua orang asing yang tidak saling mengenal dan tak saling berkabar. Bahkan, Isha mulai membunuh apapun rasa yang ada di dalam hatinya sejak hari dimana Malik memilih untuk tidak datang ke kolam hanya karena dia kedatangan Bayu ketika itu.“Kamu belum tidur?” tanya Rosminah pada Isha ketika perempuan paruh baya itu terbangun dan dilihatnya Isha masih terjaga.“Belum, Bu,” jawab Isha singkat.“Kenapa? Mikirin omongan Ibu tadi?” tanya Rosminah merasa bersalah.Isha menggeleng. “Tidak. Hanya tak bisa tidur saja,” jawab Isha berbohong.“Ibu pikir kamu mikirin kalimat Ibu. Jangan dipikirkan jika itu mengganggumu. Itu hanya obrolan tak penting Ibu sama ibunya Malik dulu ketika kalian masih kecil. Kamu dan Malik tidak harus menurutinya. Kalian bebas memilih pasangan kalian masing-masing. Tidurlah, besok kuliah pagi, kan?” tanya Ros sebelum akhirnya memilih
Pagi ini, Malik sudah bersiap hendak berangkat bekerja setelah mendapat panggilan untuk mengajar matematika di sebuah sekolah menengah atas swasta yang ada di kecamatan sebelah. Selama sebulan ini memang Malik selalu berkebun dengan ibunya. Jika sore tiba, dia membantu ayahnya mengajar mengaji anak-anak tetangga di sekitar rumahnya. Aiman juga sudah siap berangkat mengajar, namun Aiman mengajar di sekolah menengah pertama di desa ini saja. “Hati-hati di jalan, Mal. Jaga etika dan kesopanan ketika nanti wawancara,” pesan Aminah. “Iya, Bu.” Malik mengangguk. “Kepala sekolah itu teman Ayah ketika SMA. Mudah-mudahan akan menerima kamu dengan baik,” kata Aiman sebelum melepas Malik berangkat. Malik mengangguk. “Insya Allah mereka akan baik semua, Yah. Doain saya,” pamit Malik kemudian berangkat dengan motornya. Jarak delapan belas kilometer yang Malik tempuh mungkin sedikit melelahkan, namun jelas ini adalah profesi yang Malik pilih ketika masuk ke dunia perkuliahan. Memasuki duni
Pagi ini, di rumah keluarga Ridwan Ghozali, suasana terlihat demikian riang setelah beberapa tahun senyap. Hari ini, Isha pulang setelah kuliah selama beberapa tahun tanpa pulang sama sekali. Bahkan ketika liburan semester. Jika Rosminah rindu dengan Isha, maka dia akan pergi ke ibu kota untuk menemui Isha.Bahkan, setelah lulus pun Isha tidak langsung pulang, melainkan langsung menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh sebuah lembaga keuangan sebuah perusahaan di ibu kota karena Isha adalah salah satu dari beberapa lulusan terbaik kampusnya.“Bagaimana pekerjaanmu, Sha?” tanya Rosminah ketika gadis itu membantunya memasak.“Baik, Bu. Gajinya juga lumayan. Tapi resikonya juga besar, kan? Namanya urusan keuangan. Selisih angka sedikit saja bisa menjadi dugaan buruk,” jawab Isha.“Makanya harus hati-hati dalam bekerja, kan?” Rosminah memberikan nasehatnya.“Meskipun Isha hati-hati, kalau ada yang tak suka dan bermain curang juga kita nggak bisa mengelak, kan, Bu?” kata Isha.“Memangnya a
“Katanya liburan ada study tour, Mal?” tanya Aminah ketika pagi ini mereka berdua berbincang di teras. Liburan kali ini Malik benar-benar ingin istirahat di rumah. Bahkan permintaan kepala sekolah agar dia ikut tour dengan anak-anak tidak bisa dipenuhinya.“Malas, Bu. Hanya dapat capek, kan? Lagian itu tempat sudah pernah saya lihat semua dulu ketika kuliah,” jawab Malik sambil menyimak buku sastra yang dibawanya kemarin.Belakangan, selain senang membaca buku-buku agamis, Malik juga suka membaca buku sastra.“Eh, Mal. Antar ibu belanja ke pasar bisa?” tanya Aminah.“Bisa. Mau belanja apa, Bu?” tanya Malik menutup bukunya.“Sayuran dan bumbu dapur. Sekali-sekali kamu butuh keluar, agar kaca mata kamu tidak semakin tebal,” ujar Aminah sambil masuk ke dalam untuk mengambil tas belanjaan.Malik hanya tersenyum. Memang diakui, semenjak menjadi salah satu guru di sekolah itu, malik lebih banyak diam di rumah ketika sampai di kontrakannya. Demikian juga ketika hari libur tiba seperti ini.
Meskipun Malik menjauh, namun dia tidak membiarkan Isha dan Murad berinteraksi tanpa pengawasan. Malik tetap memantau mereka. Bahkan, ketika Malik melihat Isha terlihat menangis dan emosi, ingin rasanya Malik segera mendekat dan menenangkan Isha. Namun sepertinya pembicaraan mereka belum selesai, sehingga Malik memilih diam dan menunggu.Tiba-tiba ponsel Malik berdering. Laki-laki itu segera menerima panggilan yang ternyata dari Bu Rosminah.“Assalamu alaikum, Ibu?” sapa Malik santun.“Mal? Dimana kalian? Bapak sudah sadar. Beliau akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Bisakah kalian ke sini sekarang? Kita harus mengantar Bapak ke ruang rawat inap.” Bu Rosminah meminta Malik datang.“Oh, bisa, Bu. Sekarang kami kesana,” jawab Malik dengan cepat.Tanpa banyak pertimbangan, Malik segera bergegas menemui Isha yang sedang bicara dengan Murad.“Maaf, Murad. Aku harus mengajak Isha menemui Bapak. Mungkin nanti bisa diteruskan kembali jika memang kalian belum selesai bicara,” ujar Malik sambi
Dan disinilah mereka bertiga kini. Di tempat dimana tadi Malik menemui Murad dan bicara empat mata. Namun, kini menjadi enam mata karena Isha akhirnya bersedia menemui Murad, lelaki yang dulu dicintainya tetapi sekarang dibencinya setengah mati. Tetapi tak bijak rasanya jika dia membenci tanpa memberi kesempatan pada Murad untuk menceritakan semuanya.Meskipun mereka sadari bahwa penjelasan apapun yang nanti akan Murad katakan, sama sekali tak berpengaruh pada hubungan mereka yang terlanjur berantakan.“Silahkan bicara. Perselisihan kalian harus segera diakhiri,” ujar Malik pada Isha dan Murad, kemudian hendak pergi.Namun, tangan Isha memegang tangan Malik, mencegah suaminya itu menjauh.“Abang mau kemana?” tanya Isha canggung.Malik tersenyum, kemudian mengusap kepala Isha dengan senyumnya yang menyejukkan hati.“Aku harus memberi waktu pada kalian untuk menyelesaikan semuanya,” ujarnya.“Mengapa Abang nggak di sini saja?” pinta Isha.Malik tersenyum dan menggeleng.“Nanti kalian ti
Bertemu dengan Isha?Malik spontan menoleh ke arah Murad dengan ekspresi aneh, seperti tak suka dan tidak setuju dengan permintaan Murad kali ini. Memangnya siapa dia sampai minta bertemu? Melihat perubahan ekspresi Malik yang shock itu, Murad buru-buru membenahi kalimatnya.“Aku hanya ingin bicara, tidak ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin minta maaf, untuk yang terakhir kalinya. Jadi tolong jangan berpikir bahwa aku akan memintanya kembali padaku, karena aku tahu itu tak akan mungkin terkabul,” ujar Murad dengan cepat.Sungguh, dia nyeri ketika mengatakan bahwa dia tak akan meminta Isha kembali padanya, padahal jujur saja dia masih sangat mencintai Isha. Hanya saja mungkin cintanya sudah tidak berlaku lagi.“Dan aku tak akan membiarkanmu memintanya kembali jika kamu melakukannya,” ujar Malik dengan tegas penuh nada posesif.Murad tersenyum. Diam-diam dia salut dengan sikap yang diambil oleh Malik atas pernikahan dan cintanya. Laki-laki ini tegas menentukan sikap ketika ada bah
Malik sengaja mengajak Murad untuk sedikit menjauh dari posisi Isha dan Bu Rosminah yang menunggu Pak Ridwan keluar dari ruang ICU rumah sakit ini. Ketika tiba di koridor yang sedikit lengang, Malik menghentikan langkahnya.“Kita bicara di sini saja,” pinta Malik sambil mengajak Murad duduk di kursi panjang yang ada di koridor itu.Murad hanya mengangguk. Keduanya lantas duduk berjajar berdampingan dalam jarak yang tidak terlalu dekat.“Mungkin kamu sudah tahu siapa aku,” ujar Malik mengawali percakapannya dengan Murad.Terdengar Murad menghela napas panjang dan berat.“Ya. Aku mendengarnya dari Rendra, bahwa kamu adalah suami Isha.” Murad menjawab dengan nada murung yang tak bisa disembunyikan.Malik tersenyum masam mendengar jawaban Murad.“Ya. Suami pengganti kehadiranmu yang mangkir ketika itu,” tandas Malik seolah menegaskan kesalahan terbesar Murad pada Isha.Murad tersenyum getir.“Ya. Aku memang bodoh ketika itu. Memilih takut pada ancaman selingkuhanku daripada menikahi Isha.
Pak Ridwan dan Bu Rosminah benar-benar terkejut melihat kedatangan Murad, laki-laki yang sudah mempermalukan keluarganya karena tidak datang pada hari pernikahannya dengan Isha.“Murad? Masih punya nyali dia untuk datang ke sini,” gumam Pak Ridwan dengan geram dan wajah yang sangar.“Tenang, Pak. Jangan terbawa emosi. Kita lihat dulu apa maksudnya datang kali ini,” jawab Bu Rosminah masih dengan suara rendah.“Hm.” Hanya itu jawab Pak Ridwan, menunjukkan betapa geramnya dia pada sosok Murad yang kini datang tanpa rasa bersalah itu.Sementara itu, Murad yang turun dari mobilnya sejenak bimbang. Apalagi ketika melihat reaksi kedua orang yang kebetulan sedang ada di teras itu. Tapi Murad tidak mungkin kabur begitu saja. Kemarin dia sudah bersikap pengecut, dan sekarang dia tak ingin menjadi pengecut untuk kedua kalinya di mata keluarga ini.“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapa Murad dengan kikuk namun tetap menjaga kesantunannya.Bu Rosminah tersenyum canggung, sementara Pak Ridwan yang sejak m
Pagi ini, sesuai dengan tekadnya kemarin, bahwa dia akan tetap menemui Isha, apapun penerimaan perempuan itu. Ketika sarapan, Rendra kembali mengingatkan mengenai keinginan Murad itu.“Kamu yakin untuk tetap datang ke rumah Isha?” tanya Rendra.Murad menatap Rendra tanpa keraguan. Tekadnya sudah sangat bulat. Dia tak mau hidup dalam bayang-bayang dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu. Dia ingin mendapatkan maaf dari Isha, menjelaskan semua mengapa dia tidak hadir di hari pernikahan mereka.“Ya. Aku yakin.” Murad menjawab mantap.Rendra tersenyum miris mendengar jawaban Murad.“Baiklah. Semoga kamu berhasil,” ujar Rendra mendoakan Murad.Namun, Rendra tak tahu doa ini sebuah ketulusan atau sebuah ejekan. Nyatanya dia berharap Murad akan dicaci maki oleh Isha, terlebih orang tuanya. Meskipun begitu, Rendra salut dengan tekad dan semangat Murad untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukannya, tidak seperti dirinya yang menjadi pengecut dengan menghindari Isha. Padahal hatinya be
Jujur, Malik kali ini memang merasa sangat cemburu dengan laki-laki yang ada di kamar rawat inap Rendra tadi sore. Malik sama sekali tak menduga bahwa yang membuat Isha demikian kolap dan marah serta sedih ternyata adalah Murad, bukannya Rendra.“Murad? Pacarmu di masa lalu itu?” tanya Malik ragu.Namun, anggukan Isha berhasil mengikis keraguan Malik. Kecemburuan Malik semakin menjadi kini.“Ada apa dengan Murad? Apakah dia menghubungi kamu? Mencarimu?” tanya Malik dengan bodohnya.“Tidak. Tapi dia ada di kota ini sekarang,” jawab Isha murung.“Ada di kota ini? Bagaimana kamu tahu kalau dia tidak menghubungimu?” Malik masih juga tak mengerti.“Karena aku melihatnya, Bang.”Malik semakin terpana mendengar jawaban Isha kali ini.“Melihatnya? Dimana?” Malik tersenyum, mencoba menganggap bahwa jawaban Isha hanya omong kosong belaka.“Di rumah sakit, di ruang rawat inap Rendra tadi sore.”Jleb!Jawaban Isha spontan membuat Malik semakin terkejut.“Di kamar Rendra? Apakah … apakah dia laki-
Isha sudah tidur sejak lepas isya tadi ketika Malik keluar dari kamar untuk ngobrol dengan Ridwan. Sepertinya sudah agak lama mereka tidak berbincang karena belakangan memang Malik dan Isha jarang pulang.“Tumben pulang bukan hari libur, Mal?” tanya Pak Ridwan yang sedang menikmati secangkir kopi hitam ditemani Rosminah.Malik tersenyum.“Iya, Pak. Belakangan Isha sering malas kalau diajak pulang. Katanya belum rindu sama rumah,” jawab Malik dengan senyum kecil.“Memang anak itu, ya?” gerutu Aminah membuat Pak Ridwan tersenyum.“Eh, Mal. Ibu lihat tadi dia sepertinya murung? Ada sesuatu, Mal? Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Rosminah ketika tadi dia melihat wajah Isha sedikit murung ketika mereka tiba.Malik terkejut mendengar pertanyaan itu. Ya, memang diakui bahwa Isha sedikit murung karena memang tadi menangis di rumah sakit. Setahu Malik, karena dia melihat Rendra yang mungkin menimbulkan rasa marah dalam hatinya. Tapi tak mungkin Malik mengatakan hal ini karena ini menyangkut
Tanpa kata, Isha yang gemetar dan jantung yang berdetak kencang oleh amarah sekaligus kecewa dan sakit hati, dia bergegas meninggalkan ruang rawat inap dimana Rendra dirawat. Malik yang kebingungan dengan sikap Isha, bergegas meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Isha.“Sha! Isha tunggu, Isha!” panggil Malik yang kemudian berlari untuk menjangkau Isha yang seolah tak mempedulikan panggilan Malik.Ketika akhirnya Malik bisa menjangkau tangan Isha, dia memaksa Isha berhenti. Namun, saat Malik melihat raut muka Isha yang berlumur air mata, runtuh sudah hati Malik. Rasa bersalahnya menjadi-jadi karena merasa sudah membuat Isha bersedih, meskipun dia belum tahu apa yang membuat istrinya itu sedih.“Hei, Sayang? Ada apa? Mengapa pergi dan menangis?” tanya Malik dengan lembut sambil mengusap air mata di pipi Isha.“Aku mau pulang,” jawab Isha tak peduli bahwa mereka bahkan belum menjenguk Rendra.“Nggak jadi menjenguk Rendra?” tanya Malik masih dengan lembut.Isha mengangguk dan menunduk.