Lewat tengah hari Yasmin pamit pulang setelah acara makan siang dan juga sedikit berbincang dengan Malik dan keluarganya. Namun Anisa memilih untuk pura-pura membaca buku komik dari pada ikut bergabung dengan ibu dan Malik serta Yasmin. Feelingnya mengatakan hal yang tak baik mengenai jatuhnya Yasmin tadi. Anisa merasa adanya unsur kesengajaan tadi.“Terima kasih kamu sudah berkenan main ke sini, Yas,” ucap Malik ketika mengantar Yasmin sampai di teras depan rumahnya.Yasmin tersenyum lebar.“Aku juga senang main ke sini. Keluargamu baik dan hangat. Kalau ada waktu aku pasti akan datang lagi ke sini,” ujar Yasmin dengan penuh percaya diri.“Eh, bukan nggak boleh. Hanya saja kadang-kadang aku tak ada di rumah. Aku biasanya ke kebun kalau libur seperti ini,” elak Malik dengan halus, berharap agar Yasmin tidak datang tanpa konfirmasi seperti hari ini.“Ke kebun? Sepertinya menyenangkan. Aku bisa ikutan, kan, kalau kamu ke kebun?” tanya Yasmin seolah tak mau tahu bahwa itu adalah trik yan
Malik tersenyum masam mendengar ocehan Anisa yang tidak masuk akal seperti itu. Tak mungkin Isha cemburu padanya karena cinta. Seorang Isha yang egois dan tinggi hati tak akan mungkin semudah itu jatuh cinta pada dirinya yang hanya teman kecil. Bukan, bukan teman masa kecil, melainkan mantan teman kecil.Malik kemudian mengambil ponselnya dan membuka kembali beberapa aplikasi media sosial hanya untuk mencari postingan Isha. Namun Malik harus kecewa karena ternyata Isha jarang sekali menggunakan akunnya. Bahkan postingan terakhirnya adalah setengah tahun yang lalu. Itupun hanya postingan kolam ikan milik bapaknya dengan tulisan singkat, “Di sini ada cerita.”Malik tak bisa mengurai cerita apa yang dimaksud oleh Isha, namun kadang dia merasa bahwa mereka memang punya cerita di sana. Banyak cerita bahkan. Tetapi untuk sekarang, Malik tak ingin mengulas lagi cerita pertemanan mereka karena akan membuatnya menyesal.“Hei, bagaimana? Tak ada niat untuk menemuinya?” tanya Anisa yang tiba-tib
“Malik menyukai postingan beberapa tahun lalu? Apakah itu artinya dia juga sedang mengintai akunku?” gumam Isha pelan.Seketika Isha kembali membuka postingan-postingan lama Malik. Hal konyol yang tak disangka akan dilakukannya. Isha tak habis pikir, mengapa dia harus menyita pikirannya hanya untuk memikirkan Malik dan siapapun perempuan yang bersamanya. Itu mutlak hak Malik dan Isha sama sekali tak punya hak untuk mencegah ataupun berkomentar.“Sha?” panggil Rosminah dari depan pintu.“Ya, Bu?” jawab Isha sambil mematikan ponselnya cepat dan buru-buru membuka buku pelajaran, seolah dia sedang belajar. Karena pamitnya tadi memang dia mau belajar.“Boleh Ibu masuk?” tanya Rosminah.“Masuk saja, Bu. Pintunya tidak dikunci,” jawab Isha yang kembali menekuni bukunya.Pintu kamar terbuka dan Rosminah masuk dengan senyum bijak.“Ada apa, Bu?” tanya Isha sambil mengisi buku yang dipegangnya.Rosminah yang kemudian duduk di sisi ranjang itu menatap Isha.“Ibu minta maaf kalau tadi salah tanya
Tangan Isha masih gemetar dengan jantung yang berdebar kencang ketika membaca pesan pertama yang dikirim Malik setelah sekian tahun berteman namun dalam keadaan tidak baik-baik saja seperti belakangan ini.‘Balas? Nggak? Balas? Nggak?’ Isha bimbang untuk membalas atau tidak pesan yang dikirim Malik kali ini.Entah ilham dari mana yang membuat Malik tiba-tiba mengirim pesan padanya, setelah sekian lama mereka berada dalam kondisi saling diam.Tapi setelah menimbang banyak hal, sebagaimana yang Rosminah sering katakan, bahwa terlalu banyak kebaikan yang sudah Malik lakukan padanya, akhirnya Isha memutuskan untuk membalas pesan Malik.“Waalaikum salam. Alhamdulillah, saya baik,” balas Isha dalam chat yang diketiknya dengan tangan tremor karena gemetar dan jantung yang berdegup berkejaran.Sepi. Tak ada balasan. Diam-diam Isha menunggu jawaban dengan beberapa kali melihat ponselnya kemudian menutupnya pagi. Lalu hatinya bersorak gembira ketika terdengar bunyi nada adanya pesan masuk.“Syu
Pagi ini Isha bangun agak kesiangan sehingga shalat subuhnya pun terburu-buru. Bahkan pagi ini dia tak sempat sarapan pagi. Untung saja Rosminah sudah menyiapkan bekal untuk dibawa ke sekolah, sehingga Isha bisa segera menyambarnya sebelum melesat keluar dari rumah. Tentu setelah meminta izin pamit pada bapak dan ibunya.“Jangan buru-buru di jalan, Sha. Tetap hati-hati. Hari senin biasanya jalanan ramai, lho,” pesan Rosminah ketika dilihatnya Isha sedikit tergesa-gesa.“Iya, Bu,” sahut Isha yang kemudian bergegas berangkat.Rosminah hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Isha hari ini.***Siang ini, Bayu benar-benar datang ke rumah Malik. Mereka berbincang akrab dan hangat karena memang beberapa bulan di akhir sekolah SMA, Malik dan Bayu demikian dekat. Bahkan beberapa teman sudah menganggap mereka sepasang kekasih, meski sebenarnya tidak demikian yang mereka jalani.“Jadi tahu dari mana kalau aku di rumah?” tanya Malik ketika mereka berdua berbincang di teras rumah Malik.“Kaka
“Kak? Ada apa?” tanya Bayu yang terkejut melihat Malik buru-buru masuk ke dalam rumah. Sejak tadi dia hanya menatap interaksi penuh kecanggungan antara Malik dan Isha. Tak terasa hatinya nyeri melihatnya. Apalagi ketika melihat Malik buru-buru masuk ke kamar, seolah mengabaikan keberadaannya di teras ini, rasa itu semakin menyesakkan.Sementara itu Malik yang tadi bergegas masuk ke rumah, meletakkan termos kolak di atas meja makan kemudian masuk ke kamar mencari ponsel yang sejak tadi diisi daya. Dengan buru-buru, Malik mengambil dan membuka ponselnya. Ketika ada pesan dari Isha, Malik segera membacanya dan menyesal mengapa tidak membuka ponselnya dari tadi.Tak berpikir panjang, Malik segera menghubungi Isha tetapi nomor gadis itu tidak aktif. Malik menghubunginya kembali, tapi tetap saja tidak aktif.“Ke kolam? Ya, aku harus menyusul ke sana karena dia mau bertemu di kolam,” tekad Malik akhirnya memutuskan.Dia bergegas keluar dari kamarnya, namun langkahnya terhenti ketika ingat ba
Tak ingin membuang waktu, Malik kembali naik ke atas motornya dan melarikannya menuju rumah Isha. Dia sungguh ingin memperbaiki pertemanan mereka yang entah mengapa selalu saja menemui kendala dari hal-hal tak terduga lainnya.Namun, ketika sampai di rumah Isha, rumah itu sepi. Pak Tono yang mendengar suara motor Malik, segera datang menemui laki-laki itu.“Ada apa, Mas?” tanya pak Tono.“Rumah sepertinya sepi, Pak. Bisa ketemu sama Isha, nggak?” tanya Malik penuh harap bahwa Isha tidak akan salah paham, apalagi marah dan dia akan bisa menemuinya lagi.“Iya, Mas. Sepi. Bapaknya pak Ridwan meninggal dunia,” jawab pak Tono.“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kapan meninggalnya, Pak?” tanya Malik kaget.“Siang ini juga, Mas. Makanya semua berangkat ke rumah duka, baru sepuluh menit yang lalu,” jawab pak Tono lagi.Malik mengangguk.“Terlambat lagi,” gumam Malik dengan wajah murung.“Apanya yang terlambat, Mas?” tanya pak Tono yang mendengar gumam Malik itu.“Eh, nggak, Pak Tono. Tadiny
Melihat ketegangan di wajah Malik, Yasmin tersenyum.“Tenang, Mal. Tidak ada hal buruk yang terjadi pada Isha. Malah kabar baik,” ujar Yasmin tak tega membuat Malik tegang.Seketika Malik menghela napas lega.“Syukurlah. Kabar baik seperti apa yang kamu tahu, Yas?” tanya Malik kemudian sambil mengemasi beberapa peralatan menulis yang tadi digunakannya dengan untuk membuat rancangan dengan rekannya.“Dia ternyata kuliah di ibu kota. Di jurusan akuntansi,” jawab Yasmin.“Oh, ya? Bagus, dong? Cita-citanya dulu memang menjadi pegawai bank. Katanya pegawai bank itu cantik-cantik, makanya dia ingin menjadi pegawai bank agar terlihat cantik,” kata Malik sambil tersenyum ketika terbayang bagaimana polosnya Isha ketika itu.Dan hati Yasmin bagai tersayat ketika melihat bahwa ada gurat bahagia sekaligus bangga ketika Malik bercerita mengenai Isha.“Kamu memang begitu menyayangi dia, ya, Mal? Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, kamu masih saja mencintai Isha,” ujar Yasmin.Malik tersenyum ma