Sophie menyeringai. “Kalau kamu mau mikirin usulku tadi dengan objektif, kamu akan tau kalau itu ide yang jenius. Harus dimanfaatkan dengan maksimal untuk orang-orang yang sedang jatuh cinta,” celotehnya asal-asalan.
“Nggak usah ngeledek melulu! Aku jadi penasaran gimana kalau nanti kamu jatuh cinta dan punya pacar. Apa setuju untuk ngelakuin ide gilamu tadi?” balas Amara. Gadis itu masih terkekeh geli.
“Karena itu ideku, udah pasti aku bakalan ngelakuinnya, Mara,” sesumbar Sophie.
“Serius, aku kadang ngerasa semua ini kayak mimpi, tau! Aku takut Ji Hwan nggak benar-benar ada. Bukan cuma Ji Hwan, tapi juga kamu dan Brisha. Yah, walau untuk saat ini Brisha udah mirip orang asing yang kita nggak kenal. Selama ini aku nggak cuma berkhayal, kan?” tanyanya bodoh. Amara cuma bisa pasrah saat Sophie menertawakannya tanpa ampun. “Oke, aku memang manusia dungu yang bikin geli,” katanya pasrah. Semenit sudah berl
“Akhirnya kamu dengar juga suara perutku yang keroncongan sejak tadi,” komentar Sophie saat Amara menyerahkan buku menu pada gadis itu. Mereka baru tiba di restoran hamburger kepunyaan keluarga Amara itu. “Ini makan siang yang udah lewat waktunya. Boleh pesan dua porsi, kan?” tanya Sophie lagi sembari membalikkan buku menu.“Masa cuma dua porsi, sih? Kenapa nggak lima aja sekalian?” gurau Amara. Gadis itu tergelak setelahnya. Lihat! Sekarang dia sudah bisa santai dan mencandai Sophie. Padahal saat pertama kali mengenal gadis itu, sikap Amara begitu kaku dan menjaga jarak. Waktu yang berlalu perlahan membengkokkan beberapa hal yang dikira Amara tak akan pernah berubah.“Sumpah, tadi rasanya kenyang dan enek. Apalagi waktu kita di ruangannya Tante Connie,” cerocos Sophie. Gadis itu akhirnya menunjuk ke satu menu, smoked burger. Sedangkan Amara memilih double cheese burger.“Apalagi aku. Kalika
“Minta izin apa?” tanya Merry sambil menatap putrinya.Amara terpaksa menunda memberi jawaban karena seorang pramusaji membawakan pesanannya dan Sophie. Gadis itu menggumamkan terima kasih. Barulah setelah itu dia berniat untuk angkat bicara. Namun Sophie sudah mendahuluinya.“Kami pengin malam tahun baruan di rumah Ji Hwan, Tante. Nggak cuma bertiga, tapi ada keluarga besar papanya Ji Hwan juga. Jadi, acaranya lumayan rame. Rencananya, Ji Hwan bakalan bikin barbeque, Tante. Kalau Amara diizinin pergi, kami bakalan pulang pagi-pagi. Dari rumah sih berangkat sekitar jam delapanan. Saya bakalan ngekorin Amara ke mana-mana. Janji,” tegas Sophie sembari mengangkat telunjuk dan jari tengah kanannya dengan sungguh-sungguh. “Sejak kemarin kami mau minta izin sama Tante tapi Amara agak ragu. Takutnya nggak dikasih,” aku Sophie terus terang.Pengakuan itu mengejutkan Amara. Dia tak mengira jika sahabatnya memilih untuk berteru
Pertanyaan itu membuat Amara sempat menahan napas. “Maksudnya ‘serius’ itu apa, Ma? Kalau itu artinya kami bakalan segera nikah atau minimal bertunangan, itu salah besar. Umur kami baru berapa, sih? Nggak kepikiran sampai ke sana. Tapi aku sih ngejalanin hubungan ini bukan untuk iseng doang. Artinya, aku akan pegang komitmen dengan sungguh-sungguh, Ma. Nggak akan selingkuh, contohnya.” Gadis itu mencebik ke arah ibunya. “Ah, kadang aku jadi merasa serbasalah. Pacaran, salah. Nggak pacaran pun salah juga.”Merry mengacak-acak rambut putrinya hingga Amara mengajukan protes dan menjauhkan kepalanya.“Jangan salah paham, Nak! Mama hepi banget karena kamu akhirnya bisa jatuh cinta, nggak fobia kalau berhadapan sama cowok. Tapi, apa kamu yakin kalau Ji Hwan memang yang terbaik?” tanya Merry dengan nada hati-hati. “Eh, tapi ini nggak ada kaitannya soal acara malam tahun baru nanti lho, ya. Izinnya tetap berlaku
Setelah Merry pulang, Sophie dan Amara diajak ke halaman samping yang luas dan diperkenalkan dengan para sepupu Ji Hwan yang sudah datang. Ronan juga sudah datang dan sedang duduk di salah satu kursi lipat yang nyaman. Melihat sepupu Brisha itu membuat Amara kian tenang karena ada orang lain yang dikenalnya selain Sophie dan sang pacar.“Brisha beneran nggak ikutan? Ada acara apa di rumahnya, sih?” tanya Sophie begitu bertemu Ronan. Yang ditanya malah menggeleng dengan raut muram.“Nggak ada acara apa-apa. Palingan Brisha mau tahun baruan bareng pacarnya. Anak itu makin nggak asyik sekarang ini,” komentar Ronan.“Nggak asyik gimana?” Amara balik bertanya.“Aku udah nggak bisa bolak-balik main ke rumahnya kayak dulu. Brisha ngingetin kalau aku jangan terlalu sering ke sana. Trus kalau agak lama dikit di rumahnya, buru-buru disuruh pulang. Bisa nebak alasannya?” Ronan menatap Sophie dan Amara bergantian.
Sejak sore sebenarnya Amara sudah dilanda kecemasan yang memberi efek mirip obat pencahar bagi perutnya. Dia tahu kalau kemampuannya menyesuaikan diri dengan orang-orang baru tergolong mengkhawatirkan. Amara takut dia akan membuat Ji Hwan merasa tidak nyaman saat diperkenalkan dengan keluarga cowok itu. Atau bahkan sampai malu. Amara bahkan sempat tergoda ingin membawa beberapa buah lolipop.Seperti biasa, Sophie memilih menjadi penyelamat yang berusaha membuat Amara lebih percaya diri. Entah berapa banyak kalimat penyemangat yang diucapkan gadis itu sejak datang ke rumah Amara. Hingga Amara tahu bahwa dia tidak punya pilihan selain menepati janjinya pada Ji Hwan.“Masa-masa ngemut lolipop itu berlalu ribuan tahun silam, Mara. Anggap aja sebagai masa transisi dari Amara yang suka cemas jadi Amara yang berani. Percaya sama aku, semua bakalan baik-baik aja tanpa kendala berarti. Kalaupun ada sedikit masalah, ada aku yang bakalan selalu nemenin kamu.”A
Sebagai tuan rumah, Ji Hwan dan ayahnya sudah menyediakan aneka makanan yang memanjakan lidah. Meski Amara dan Sophie mengaku sudah kekenyangan, tak membuat keduanya berhenti mengunyah. Apalagi saat disajikan aneka cake potong ukuran kecil yang baru datang belakangan. Amara bahkan ketagihan setelah mencoba sepotong cake cokelat berkaramel. Belum lagi aneka buah dan salad dalam beberapa mangkuk ukuran besar.“Kenapa tiap setengah jam ada makanan baru?” komentar Sophie sambil melahap cake vanila bertabur kacang mede.“Mungkin ini bagian dari menjamu tamu ala keluarga Ji Hwan,” sahut Amara asal-asalan. “Perutku beneran udah penuh tapi mulutku nggak bisa berhenti mengunyah.”“Sama,” komentar Sophie dengan mulut penuh.Perhatian Amara teralihkan karena Ji Hwan mendatangi mereka dengan sebuah piring berisi jagung dan sosis panggang. Ronan menggantikan cowok itu mengurusi barbeque
“Serius? Kalau kamu beneran tertarik, ntar kita praktik di sini atau di mana pun kamu mau, Soph,” respons Ji Hwan, ikut antusias. Amara mendadak merasa tidak nyaman. Wajahnya berubah muram hanya dalam waktu sepersekian detik.“Kenapa kamu kok malah cemberut, Heartling?” tanya Ji Hwan dengan suara lembut. Saat itu Sophie kembali beranjak dari kursinya untuk mengambil camilan lagi.“Aku tau kamu bakalan ngomong apa. Tapi kadang aku tetap merasa agak terganggu karena nggak punya kemampuan oke urusan dapur. Aku nggak kayak Sophie. Dia jago masak. Kadang aku....”Ji Hwan tidak memberi kesempatan kepada Amara untuk menggenapi kalimatnya. “Oke, Sophie jago masak. Trus, apa masalahnya? Tiap orang punya kelebihan masing-masing. Juga kekurangan. Kamu itu udah sempurna, Mara. Kamu sempurna karena punya kekurangan.”Amara terhibur dengan cara Ji Hwan membangkitkan semangatnya. Senyumnya merekah kemudian, mengusir rasa t
“Nanti, kita bisa ngeliat kembang api dengan leluasa dari halaman belakang. Ada semacam gazebo yang cukup tinggi di sana. Papaku suka duduk di sana saat sore atau malam hari,” beri tahu Ji Hwan. Cowok itu bangkit dari kursinya. “Aku masih harus ngurusin daging panggang dan sebagainya sampai setengah jam ke depan. Kalau kamu pengin sesuatu, ngomong aja ya, Heartling.”“Oke,” jawab Amara sembari menahan jengah. Diam-diam dia berdoa semoga tak ada sepupu Ji Hwan yang mendengar panggilan sayang dari cowok itu untuknya. Gadis itu merasakan senggolan di lengan kiri setelah Ji Hwan menjauh.“Gimana rasanya, Mara?” tanya Sophie tanpa menjelaskan lebih lanjut.“Gimana apanya?” Amara menaikkan alis sambil menatap sahabatnya.“Gimana rasanya bolak-balik merasa jengah karena dirayu Ji Hwan? Mukamu dari tadi berubah warna melulu. Sebentar merah sebentar normal,” komentar Sophie dengan nada santai.